His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18a
18b
19
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

20

29.7K 3.5K 238
By AyaEmily2

Jumat (16.50), 26 April 2019

-------------------------

Ellen duduk di kursi samping pengemudi mobil polisi Ryno dengan kacamata hitam untuk menutupi mata sembapnya. Jemarinya saling tindih di pangkuan. Dia tampak santai, meski sebenarnya jantungnya berdegup amat cepat. Khawatir apa yang akan dihadapinya beberapa menit lagi.

Di sebelahnya, Ryno juga tampak santai. Tapi diam-diam dia mengawasi Ellen, mencari tanda-tanda kegugupan seperti maling yang aksinya nyaris ketahuan.

Ya, Ryno sama sekali tak memercayai ucapan Ellen. Dia yakin sekali Ellen pasti bersama Dennis sejak diusir dari rumah hingga James datang menjemput. Semuanya terlalu kebetulan jika ternyata Ellen benar-benar menghabiskan malam kemarin di penginapan.

Sudut bibir Ryno melengkung membentuk senyum sinis. Ellen salah jika berharap kebohongannya bisa melindungi Dennis. Yang Ellen hadapi bukanlah anak kemarin sore yang bisa ditipu dengan mudah. Ryno adalah polisi berpengalaman. Kebohongan yang dilotarkan Ellen akan dengan mudah ia patahkan.

Tiba di penginapan yang dimaksud Ellen, Ryno memarkir mobilnya lalu keduanya turun. Meski terbilang merupakan penginapan terbesar di sini, penginapan ini hanya terdiri dari dua lantai. Bahkan kamar-kamarnya sebagian besar berada di lantai pertama, menandakan lantai kedua baru saja dibangun.

Ryno dan Ellen berjalan beriringan memasuki lobby dan langsung menuju ruang resepsionis. Devi yang berada di balik meja resepsionis terbelalak melihat siapa yang datang.

Ya, kabar mengenai James Morris dengan cepat menyebar. Seluruh penduduk di kota itu tengah membicarakannya sejak jasad James ditemukan.

Devi yang sudah mengenal Ellen sangat lama tak kuasa menahan diri untuk keluar dari balik meja resepsionis lalu memeluk wanita itu. Matanya berkaca-kaca saat mengecup lembut pipi Ellen.

"Aku turut berduka, Nak," kata Devi setelah melepas pelukannya. Dari dulu dia menyukai Ellen dan berharap memiliki anak perempuan seperti wanita itu. Sayangnya dia hanya bisa memiliki seorang putra yang kini telah duduk di bangku SMA. "Kau harus kuat."

Ellen melepas kacamata hitamnya lalu mengangguk sambil berusaha tersenyum. Itu sangat berat. Apalagi melihat mata Devi yang sepertinya tak kuasa menahan tangis, dia sendiri menitikkan air mata.

"Terima kasih." Hanya itu yang bisa Ellen ucapkan.

Devi mengangguk seraya menangkupkan tangan kanannya di pipi Ellen, berharap bisa menyalurkan kekuatan.

Ryno yang berdiri di samping kedua wanita itu mulai tak sabar. Dia berdehem sejenak sebelum berkata, "Maaf, Vi. Tapi kami buru-buru. Ellen berniat mengambil barang-barangnya di sini."

"Oh, kenapa kau repot-repot datang? Kau bisa menelepon dan aku akan menyuruh seseorang mengirim barang-barangmu."

Ryno mengerutkan kening. "Jadi Ellen benar-benar menginap di sini?"

"Ya, tentu saja." Devi mengangguk. "Bahkan—astaga! Kemarin James terlihat sehat ketika datang menjemput Ellen. Siapa sangka hari ini dia sudah—" Devi terdiam saat melihat Ellen memalingkan wajah. Ekspresinya tampak menyesal. "Ellen, aku tidak bermaksud membuatmu semakin sedih."

Ellen menggeleng. "Aku hanya belum bisa menerimanya." Dan entah kapan dirinya bisa.

"Sebaiknya kami mengambil barang-barang Ellen sekarang agar dia bisa segera istirahat," sela Ryno lagi.

"Oh, baiklah."

"Tapi Bibi Devi, aku kehilangan kunci kamar yang kutempati. Aku bahkan tidak ingat apa sudah menguncinya lagi atau belum."

"Akan kuambilkan kunci cadangan." Devi kembali ke balik meja resepsionis lalu mengambil salah satu kunci. "Ayo kubantu mengemasi barang-barangmu."

Ellen segera melangkah di samping Devi sementara Ryno di belakang mereka. Mati-matian dia berusaha menyembunyikan raut tak percaya. Mengapa semuanya di luar yang dia bayangkan?

"Sebenarnya aku sudah mengemasi barang-barangku," kata Ellen. "Aku sudah siap pulang. Tapi dengan konyolnya kami malah melupakan barang-barangku karena Ayah terlalu marah melihat memar di wajahku dan aku terus berusaha meyakinkannya bahwa Ibu tidak benar-benar berniat menyakitiku." Ellen mengulangi cerita yang sebelumnya telah ia katakan pada Ryno untuk menegaskan bahwa dia tidak berbohong.

"Itu wajar. Ayah mana yang tidak murka mendapati anaknya terluka?" Lalu Devi berhenti di sebuah kamar. Sejenak dia berkutat dengan kunci lalu membuka pintu lebar-lebar.

"Apa sudah itu semua barangmu?" tanya Devi menunjuk dua tas besar di dekat kaki ranjang yang masih rapi.

Ellen menghampiri tasnya lalu memeriksa tempat ia menyimpan ponsel dan dompet. Ryno memperhatikan itu lalu jemarinya mengepal menyadari bahwa kedua tas itu memang milik Ellen. Segera dia keluar kamar lalu menelepon anak buahnya yang tengah memeriksa rumah Dennis.

"Apa kalian menemukan sesuatu?" tany Ryno pada orang di seberang telepon.

"Tidak ada. Kami sudah memeriksa seluruh bagian rumah dan tidak menemukan barang apapun yang mencurigakan. Apalagi benda-benda milik perempuan seperti kata Anda, Pak."

"Kau yakin?"

"Dennis sama sekali tidak punya banyak barang. Pekerjaan ini selesai kurang dari satu jam. Kecuali kalau Anda menganggap panci, pisau, dan peralatan dapur lainnya merupakan benda milik perempuan, berarti kami menemukan banyak barang."

Ryno memejamkan mata seraya menghela napas berat. Padahal dia sudah membayangkan kasus ini selesai dengan cepat dan mudah. Tapi ternyata—

"Aku sudah selesai," Ellen memberitahu seraya keluar kamar bersama Devi.

Ryno buru-buru mengakhiri sambungan telepon dengan memerintahkan anak buahnya kembali ke kantor polisi lalu mengambil alih dua tas Ellen. Setelah berpamitan sejenak pada Devi, Ellen segera membuntuti Ryno yang sudah lebih dulu berjalan menuju mobil.

Devi kembali ke balik meja resepsionis, bersiap melanjutkan pekerjaannya. Saat ini tidak terlalu banyak pengunjung penginapan karena bukan musim liburan. Jadi Devi bisa sedikit bersantai.

Mungkin baru lima menit sejak mobil polisi Ryno melaju pergi. Seseorang turun dari lantai dua penginapan seraya berkata, "Untung saja aku sampai sini di waktu yang tepat. Jika tidak, aku sudah mengompol di celana," gerutu orang itu.

Devi mengangkat kepala menatapnya lalu tersenyum. Wanita itu juga balas tersenyum sebagai ucapan terima kasih lalu melenggang keluar seraya berpamitan pada Devi.

***

Dennis duduk di ruang interogasi menjawab pertanyaan-pertanyaan dari aparat polisi dengan sikap dinginnya yang biasa. Mereka bahkan tak memberinya waktu paling tidak untuk mendapat pengacara, seolah tak sabar segera mengirim Dennis ke rumah tahanan.

"Jadi dua hari lalu kau memang bertemu dengan Ellen?"

"Ya."

"Lalu kau membawanya ke rumahmu?"

"Tidak. Aku hanya membawanya ke apotik, membelikan obat, lalu mengantarnya ke penginapan."

"Benar begitu?" tanya polisi itu dengan nada tak percaya.

Dennis dengan sengaja menghela napas keras untuk menunjukkan bahwa dirinya bosan dan memilih tidak menanggapi.

"Kalau ditanya, jawab!"

Dennis bergeming.

Dua polisi yang menginterogasinya saling pandang lalu memilih mengalah. Sayang sekali mereka akan kena masalah besar jika menginterogasi dengan menggunakan kekerasan. Padahal mereka sangat ingin melakukannya untuk melawan sikap dingin Dennis.

"Lalu dari mana kau mendapat luka itu?"

"Di hutan."

"Ceritakan!"

"Aku mencari kayu, tak sadar wajahku sangat dekat dengan bagian tajam sebuah pohon. Saat aku berdiri secara tiba-tiba, wajahku tergores bagian tajam itu."

"Bisa kau tunjukkan pohon itu?" tantang si polisi.

Dennis berdiri. "Ayo pergi sekarang sebelum hujan dan embun menghapus segala bukti yang ingin kalian temukan. Itu juga bagus untuk menunjukkan bahwa aku tidak bersalah."

"Tidak perlu." Mendadak Ryno sudah berdiri di ambang pintu lalu berkata pada kedua anak buahnya. "Kembalikan dia ke sel. Kita akan tunggu hasil pemeriksaan dari tim forensik."

"Itu berarti jelas bahwa aku belum dinyatakan bersalah," geram Dennis. "Kenapa kau masih bersikeras agar aku ditahan? Apa kau menyembunyikan sesuatu?" Dennis sengaja berkata lantang agar bawahan Ryno mendengar. "Sungguh, aku tidak akan kaget jika ternyata kaulah pelaku pembunuhan itu."

Dennis meludah di lantai tepat di depan Ryno lalu berjalan keluar ruang interogasi dan terus menuju sel tahanan tanpa disuruh. Matanya menatap sekeliling, mengira-ngira ke arah mana dirinya bisa melarikan diri jika memang diperlukan.

Tadinya ucapan Dennis hanya merupakan luapan amarahnya. Tapi setelah dipikir lagi, hal itu bisa saja terjadi. Dan jika benar ternyata Ryno lah pelakunya, maka lelaki itu bisa saja memalsukan barang bukti dan membuat Dennis mau tak mau tetap dipenjara. Saat itulah dirinya tidak bisa hanya diam dan menunggu.

----------------------------

Yang tanya siapa Bang Kings, itu orangnya hahaha.....

Ceritanya ada di akunku yang lain, judulnya KINGSLEY & QUEENZA. Akun The_Queenza

Hati-hati kalau baca cerita ini. Efeknya ketagihan dan bikin kalian jatuh cinta setengah mati sama kaisar tengil, songong, kepedean, tapi emang ganteng ☺

Gak mau baca ceritanya tapi kepo sama dia, bisa cek IGnya langsung kingsley_kaisartampan

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

952K 76.4K 34
(Spin-off dari Tranquility) She is an Angel. He is the Ghost. She is the Light in his dark cruel world. His redemption. His Savior. His Lover. HIS LI...
4.1M 233K 45
Di dunia ini kita hanyalah boneka bagi yang berkuasa. Banyak hal yang tak terduga yang dapat mengubah semua ekpektasi dan rencana hidup kita. Akan t...
1.1M 93.4K 32
[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Aku tidak percaya pada takdir. Takdir hanyalah omong kosong agar manusia takut membuat pilihannya sendiri. Ketika a...
BABY ELARD By laa

General Fiction

461K 1.5K 1
Agatha Adriana Malik harus menerima kenyataan pahit ini bahwa ia tidak dapat mengejar cita-citanya sebagai chef terkanal dikarenakan hamil diluar nik...