His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18a
18b
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

19

28.2K 3.4K 177
By AyaEmily2

Rabu (12.40), 24 April 2019

-----------------------------

Henry masuk ke ruangan Ryno di kantor polisi dan langsung menarik kerah seragam yang dikenakan Ryno. Dua polisi yang berusaha mencegahnya masuk hendak menghentikan perbuatan Henry tapi Ryno mencegahnya dan menyuruh mereka keluar.

"Kuharap kau punya sesuatu yang penting untuk dikatakan dengan membuat keributan semacam ini," kata Ryno tenang, tak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Henry.

"Kau tidak bisa memenjarakan Dennis begitu saja," geram Henry. "Sebelum dia dinyatakan bersalah, dia adalah orang bebas. Perbuatanmu ini sama sekali tidak sesuai prosedur hukum. Dan apa kau tidak malu, mengaku polisi tapi menuduh orang hanya berdasarkan dugaan? Apa kau tidak bisa menggunakan otakmu?"

Ekspresi Ryno sama sekali tidak berubah. Masih datar. "Ini bukan sekedar dugaan. Luka di pipi Dennis dan jaringan kulit yang ditemukan di cincin James terlalu kebetulan. Karena itu, memenjarakan Dennis adalah pilihan yang tepat. Aku hanya melindungi wargaku dari seorang pembunuh dan memastikan Dennis tidak melarikan diri."

Henry semakin murka, "Dennis bukan pembunuh," desisnya. "Bahkan rumor itu sama sekali tidak benar. Aku yang paling tahu mengapa dulu Dennis dipenjara."

Ryno menepis tangan Henry dari kerah bajunya. "Itu bagus sekali. Kau juga akan jadi orang yang dimintai keterangan. Silakan carikan pengacara untuk Dennis lalu buktikan bahwa dia memang tidak bersalah."

Tangan Henry mengepal kuat. Ingin sekali dia menghantamkan tinjunya ke wajah Ryno. Tapi dia menahan diri. "Akan kupastikan kau menyesal telah melakukan ini pada Dennis."

"Aku tidak suka mendengar bualan. Tidak perlu katakan apapun. Buktikan saja." Sebelum Henry berbalik, Ryno melanjutkan. "Ngomong-ngomong kau tidak boleh mendekati rumah Dennis hingga sore nanti. Anak buahku sedang menggeledah rumahnya. Berdoa saja semoga mereka tidak menemukan apapun untuk mematahkan dugaanku bahwa Ellen sempat menginap di rumah Dennis." Mata Ryno berkilat. "Karena jika mereka menemukan sesuatu, maka itu cukup untuk menjebloskan Dennis ke penjara untuk waktu yang lama. Kami punya bukti dan para saksi."

Sebelumnya Henry tidak pernah merasakan kebencian sedalam ini terhadap seseorang. Tapi kali ini dia merasakannya. Dia amat membenci Ryno, terutama atas kebodohannya. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain berbalik keluar dari ruangan si brengsek Ryno Kirton sementara hati kejinya berdoa semoga ada pembunuhan lain yang membuktikan bahwa pembunuh sebenarnya masih berkeliaran bebas.

***

Dennis tengah meratapi nasib, menilai lucu bagaimana Tuhan memberinya takdir yang sedemikian berlikunya. Tapi dia tidak bisa menyalahkan Tuhan. Mungkin ini hukuman karena dirinya meninggalkan keluarganya begitu keluar dari penjara. Dan resiko atas pilihannya melepaskan diri dari mereka.

Lalu apa yang bisa dilakukannya sekarang?

Tidak ada.

Jika tim forensik menyatakan bahwa jaringan kulit dan darah yang ditemukan di cincin James adalah milik Dennis, maka akan sangat sulit membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. Bahkan meski Ellen menceritakan yang sebenarnya bagaimana Dennis mendapat luka itu, bukannya mematahkan segala dugaan, itu akan semakin memperkuat bahwa memang Dennis yang membunuh James. Kecuali jika tim forensik menyatakan kematian James tengah malam atau menjelang pagi, maka Dennis masih punya alibi—meski lemah—untuk menyangkal tuduhan itu. Tapi jika waktu kejadiannya hanya sekitar satu atau dua jam setelah James membawa pulang Ellen, maka Dennis benar-benar tamat.

Dennis mendesah lalu menyandarkan punggung di dinding putih sementara bahunya bersandar di jeruji besi. Ingatannya kembali melayang pada tatapan Ellen.

Jaringan kulit di cincin James jelas miliknya. Barang-barang Ellen yang masih tertinggal di rumah Dennis juga bisa dijadikan barang bukti bahwa Ellen sempat menginap di rumah Dennis yang akhirnya memicu pertengkaran antara James dan Dennis. Sisanya tinggal mengumpulkan keterangan dari Ellen. Dan melihat bagaimana Ellen sendiri meragukannya, maka jalan untuk Dennis keluar dari tempat ini benar-benar buntu.

Sial!

Dennis tertunduk dengan kedua kaki bersila. Lalu dia mendongak mendengar seseorang jongkok di dekatnya dari di luar jeruji besi.

"Henry."

Yang dipanggil tampak berkaca-kaca. Lalu dia mengerjap sejenak untuk mencegah air mata jatuh ke pipinya. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik."

"Mana mungkin baik?"

"Kalau tahu begitu, kenapa masih bertanya?"

Henry menahan senyum sedih. "Humor mengerikanmu belum hilang, ternyata." Lalu raut wajah Henry tampak penuh tekad. "Dengar," dia berbicara lebih pelan seraya mengulurkan sobekan kertas pada Dennis. "aku akan mencarikanmu pengacara. Bertahanlah sebentar selama kami mencari bukti untuk menyatakan bahwa kau tidak bersalah."

Dennis tak menanggapi, memilih membuka lipatan kertas di tangannya lalu membaca.

Dennis tersenyum tipis membaca tulisan di kertas itu seraya menyerahkannya kembali pada Henry. "Itu sama sekali tidak perlu," Dennis merujuk pada tulisan di kertas. "Hanya akan menimbulkan semakin banyak tanda tanya."

"Lakukan saja seperti yang kukatakan," bisik Henry tegas lalu berdiri. "Jika situasinya semakin buruk, aku akan menghubungi keluargamu."

Dennis mendongak menatap Henry. "Jangan lakukan itu. Aku pergi bukan untuk merepotkan mereka lagi."

"Maka berdoa semoga kau bisa segera keluar dari situ."

"Kalau kau mengaku temanku—"

"Kalau kau mengaku temanku," Henry memotong ucapan Dennis dengan geram. "maka berusahalah keluar dari situ dan jangan tampilkan raut pasrah dan menyerah seperti itu. Aku akan berusaha mengeluarkanmu. Tolong hargai usahaku."

Cukup lama Dennis hanya menatap Henry, lalu akhirnya mengangguk dengan senyum lebih tulus. "Terima kasih."

"Simpan itu untuk nanti, setelah kau keluar dari sel ini. Sekarang aku pergi dulu."

***

Setelah Henry selesai mengunjungi Dennis dan pergi dari kantor polisi, Ryno memutuskan pergi ke rumah Ellen untuk bertanya-tanya sebentar sebelum mengawasi anak buahnya yang masih menggeledah rumah Dennis. Mungkin ini agak keterlaluan karena baru beberapa jam sejak mayat James ditemukan. Tapi Ryno berharap segera menyelesaikan kasus ini. Lagipula lebih cepat lebih baik untuk mendapat keakuratan informasi.

Tiba di kediaman keluarga Morris, cukup banyak tetangga yang datang menyampaikan belasungkawa. Sementara mayat James terpaksa dibawa ke rumah sakit di luar kota karena klinik di kota kecil itu tidak memiliki alat yang memadai untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh mencari penyebab kematian korban.

Ryno melewati orang-orang yang tengah berduka itu hanya dengan anggukan singkat sebagai sapaan. Saat bertemu Rennie di ruang keluarga yang tampak sedang dihibur beberapa teman sosialitanya, Ryno menanyakan keberadaan Ellen. Dia langsung menapaki tangga menuju kamar Ellen di lantai dua sesuai arahan Rennie.

Tok... tok... tok...

Ketukan pelan Ryno tak mendapat tanggapan. Akhirnya dia putuskan menekan handle pintu dan mendapati pintu itu tidak terkunci. Tampak di sana Ellen duduk melamun dengan pandangan keluar jendela tinggi. Wajahnya sembap, menandakan dia baru berhenti menangis.

"Ellen."

Panggilan Ryno tak mendapat tanggapan. Bahkan menoleh pun tidak. Ryno duduk bersila di samping Ellen dengan pandangan tertuju ke arah yang sama. "Aku turut berduka atas kejadian ini, Ellen. Kau pasti sangat terpukul."

"Langsung saja utarakan tujuanmu ke sini, Paman. Aku benar-benar ingin sendirian." Ellen mengusap pipinya yang basah.

"Aku menyesal harus mengganggumu. Tapi aku tetap harus bertanya. Kapan terakhir kau bertemu James?"

Ellen memejamkan mata, sulit mengingat bahwa saat itu adalah saat terakhir dia melihat ayahnya. "Mungkin sekitar jam 5 sore. Aku ingat langit sudah berubah merah saat kami tiba di rumah. Tapi belum gelap. Jadi pasti sekitar itu."

Ryno tampak menulis jawaban Ellen di buku kecil. "Kalian baru pulang dari mana?"

"Ayah menjemputku dari penginapan."

"Penginapan?" itu tidak seperti yang diharapkan Ryno. Dia pikir James menjemput Ellen dari rumah Dennis.

"Iya," Ellen mengangguk. "Dua hari yang lalu Ibu mengusirku dari rumah karena marah. Kau pasti sudah mendengar perdebatannya dengan Dennis di depan klinik. Jadi aku putuskan bermalam di penginapan sambil memikirkan hendak ke mana aku selanjutnya. Kembali ke apartemenku atau pergi menghabiskan sisa waktu libur di tempat lain."

Kening Ryno berkerut. "Dan apa kau bertemu Dennis dalam perjalanan ke penginapan?"

"Iya," Ellen mengangguk. "Dia melihatku berdiri bingung di perempatan lampu merah lalu menghampiriku. Dia bahkan membelikanku obat luka dan menebuskan resep dokter untuk kakiku. Kurasa dia merasa bersalah. Bagaimanapun, Ibu mengusirku karena ucapannya."

"Apa Dennis tidak menawarimu menginap di rumahnya?"

"Sama sekali tidak. Dennis hanya menanyakan aku hendak ke mana lalu mengantarku."

Mata Ryno menyipit penuh curiga. Namun Ellen membalas tatapannya tanpa rasa takut. "Terdengar sangat aneh. Kupikir kalian dekat. Bagaimana dia bisa tega meninggalkanmu di penginapan?"

"Oh, aku tidak tahu kalau Paman juga suka bergosip. Jadi apa benar Paman memasukkan Dennis ke penjara juga karena gosip yang beredar? Bahwa dia pembunuh berdarah dingin?"

"Siapa yang mengatakan itu?" suara Ryno berubah dingin. Mungkin ucapan Ellen menyinggung perasaannya.

"Hanya dugaanku. Karena kalau Paman mau melihat faktanya, aku tidak pernah punya hubungan khusus dengan Dennis. Bisa dikatakan aku mendekatinya, tapi dia menolakku. Dan ayah juga tidak punya masalah apapun dengan Dennis." Fakta bahwa James marah pada Dennis akibat kata-kata kasar Dennis tentang Ellen di depan klinik hanya akan dipendamnya sendiri. "Ayah tidak pernah melarangku dekat dengan Dennis atau siapapun. Ayah bukan manusia picik yang menilai orang lain dari masa lalu atau gosip murahan. Jadi sangat tidak masuk akal kenapa Dennis yang dituduh bersalah."

Ryno terdiam. Sorot matanya menunjukkan rasa tak suka. "Sepertinya kau menyalahkanku karena memenjarakan Dennis, Ellen. Dan meski kau mengaku tidak memiliki hubungan khusus dengan Dennis, kau sekarang terdengar tengah mati-matian berusaha menutupi kesalahannya."

"Demi Tuhan, Paman! Dennis tidak bersalah. Aku yakin bukan dia pelakunya."

"Bagaimana kau tahu, sementara ada bukti jelas di depan matamu. Luka di pipi Dennis masih baru. Dan ada tanda-tanda James sempat memukul pelaku hingga cincinnya menggores kulit pelaku."

Ingin sekali Ellen mengatakan yang sebenarnya, tapi dia menahan diri karena hal itu malah bisa menjerat Dennis semakin kuat.

Ya, awalnya Ellen sempat bertanya-tanya apa memang Dennis pelakunya karena pemilihan waktunya sangat tepat. Tapi semakin lama dia semakin yakin bukan Dennis pelakunya. Kalaupun sore itu saat James kembali untuk mengambil barang-barang Ellen dia sempat mengeluarkan kata-kata kasar pada Dennis, Ellen yakin Dennis hanya akan diam karena lelaki itu merasa bersalah atas ucapannya yang terkesan menjelek-jelekkan Ellen di depan klinik.

Karena itu Ellen sengaja memilah ucapannya, membuang hal-hal yang memberatkan Dennis yang tidak seorang pun tahu selain dirinya, Dennis, dan almarhum ayahnya. Seperti menginap di rumah Dennis dan kemarahan James pada Dennis.

"Satu hal itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa memang Dennis pelakunya. Bisa saja itu hanya kebetulan, atau bahkan seseorang sengaja ingin menjebak Dennis. Lihat saja di mana si pelaku meninggalkan—meninggalkan...." mendadak Ellen tak kuasa melanjutkan, mengingat bagaimana ayahnya terlihat dalam kondisi mengenaskan. Dia terisak sebentar, tapi buru-buru menghela napas untuk menenangkan diri.

Bibir Ryno membentuk garis tipis tanda dia tengah menahan geram. "Yang menjadi korban di sini adalah ayahmu, Ellen. Lelaki yang selama puluhan tahun menjaga, membesarkan, dan menyayangimu. Bagaimana bisa kau mengabaikan semua fakta dan memilih melindungi pelaku hanya karena kau menyukainya? Apa kau tidak ingin pembunuh ayahmu mendapat hukuman? Di mana perasaanmu sebagai seorang anak?"

Perlahan Ellen mendongak menatap Ryno dengan kemarahan yang begitu kuat membakar hatinya. "Tidak ada—" geram Ellen. "tidak ada seorang pun saat ini yang paling menginginkan pembalasan setimpal bagi pelakunya selain aku, Paman. Bahkan aku sanggup melakukan hal yang lebih kejam daripada yang dia lakukan pada ayahku." Lalu Ellen menyentuhkan telunjuknya ke dada Ryno dengan kasar untuk menegaskan ucapannya. "Aku... mengatakan semua ini padamu agar kau lebih berhati-hati mencari pelakunya. Tidak akan kubiarkan... orang tak bersalah yang dituduh sementara si pelaku berkeliaran bebas." Mata Ellen berkilat marah. "Siapapun orang itu, dia salah mencari lawan. Aku tidak akan membiarkannya bersenang-senang di atas kematian ayahku dan membuat orang lain yang menanggung akibat perbuatannya."

Ryno terdiam selama beberapa saat lalu berkata, "Aku juga akan melakukan hal yang sama—"

"Tidak! Kau tidak berniat melakukannya. Karena kau bukan aku... karena kau bukan seorang anak yang menemukan ayahnya terkapar dengan menyedihkan dalam keadaan tak berdaya. Tidak! Jangan pikir perasaanmu sama denganku. Kau hanya melakukan yang menurutmu benar, tanpa benar-benar berambisi menemukan pelaku sebenarnya."

Rahang Ryno berkedut marah. "Ini sudah kelewatan, Ellen. Meski aku bukan kau—orang yang merasa kehilangan—tapi aku tetaplah penegak hukum. Kau mengatakan itu berarti kau merendahkan kami, para polisi."

"Kalau begitu buktikan! Buktikan bahwa kau dan semua orang yang mengenakan seragam itu tidak serendah yang kupikirkan. Sekarang pergilah!" Ellen dengan sengaja memalingkan wajah dari Ryno untuk mempertegas pengusirannya.

Ryno menatap Ellen tajam tapi tetap tak beranjak. "Dua pertanyaan lagi, baru aku pergi." Dia tampak memperhatikan sejenak catatannya. "Apa kemarin kau bertemu Dennis?"

"Sama sekali tidak," sahut Ellen dingin. Dia masih tak mau melihat Ryno.

"Baiklah, ini yang terakhir. Kau bilang sekitar pukul lima kau dan James tiba di sini setelah James menjemputmu. Lalu untuk apa James keluar rumah lagi?"

"Untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal di penginapan. Sebelum pulang ayah marah karena tahu ibu juga memukuliku sebelum mengusirku. Aku terus memohon padanya agar melupakan hal itu. Aku tidak mau orang tuaku bertengkar. Itu membuat kami sama-sama melupakan barang-barangku."

"Itu sudah cukup." Ryno berdiri. "Oh, berarti barang-barangmu masih ada di penginapan, kan? Ayo kuantar untuk mengambilnya. Sekalian aku ingin bertanya-tanya pada para pegawai di sana."

"Hah?"

-------------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 243K 44
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
4.6M 172K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
59K 5K 38
Kisah para remaja ibu kota yang bersekolah di SMA Pancasila yang punya karakter dan sifat yang berbeda warning! harsh words. ©jaegeur
469K 21.9K 35
[Youngadult 19+] Dia sendiri. Dia ditinggalkan. Dia tidak diinginkan. Seluruh hidupnya adalah kesepian. Bahagia adalah suatu hal kecil yang datang d...