CHEMISE (Complete)

Autorstwa puspadenta

12.6K 1.5K 281

"Bangunlah Andaru Jaya! Aku sudah di sini sekarang." "Si ... siapa kamu?" "Dipa, Dipa Estu Jatmika, kamu butu... Więcej

Awal Mula
Visual of Casts
1. Baca Dari Balik Mendung
2. Kau Tak Akan Basah Oleh Hujan
3. Tulis Dari Bawah Helaian Patera
4. Kau Akan Terbuai Oleh Teduhnya
5. Lukiskan Di Atas Terjalnya Karang
6. Nikmati Bersama Deru Ombak
8. Alam Sang Indung Imajinasi

7. Baca, Tulis, Kemudian Lukiskan

1K 144 62
Autorstwa puspadenta

Bagai orang gila, Aru berlarian di lorong rumah sakit. Meninggalkan Mega di taman kota dalam kebingungan, tanpa ada satu pun alasan yang jelas.

Kabar dari Pak Yanto benar-benar mengejutkannya. Rasa khawatirnya pada Dipa membuat lupa segalanya. Akal sehatnya enggan berfungsi, bahkan rasa simpatinya pada Mega tidak lagi berguna.

Pikirannya hanya dipenuhi oleh Dipa, tidak ada yang lain. Memikirkan berbagai macam kemungkinan, banyak alasan yang bahkan tidak mampu dia jamah dengan akal sehatnya.

Lebih dari itu semua, keadaan Dipa saat inilah yang paling penting. Mendengar suara Pak Yanto yang bergetar, memberitahunya jika Dipa harus dilarikan ke rumah sakit, menyakiti hatinya.

Sebagian akal sehat Aru menyalahkan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya, karena nyatanya Aru tidak tahu apa pun tentang Dipa. Atau memang dia tidak ingin tahu. Dibutakan oleh euforia. Angan-angan akan kebebasan berlebih yang akhirnya bisa dia dapatkan setelah dua tahun dia terbangun dari koma.

"Dipa ...."

Aru membuka pintu kamar rawat Dipa kuat, sambil meneriakan namanya. Bahkan dia tidak peduli pada ayah dan ibu yang terlonjak kaget oleh ulahnya.

Semula ayah dan ibu Aru tengah mendengarkan cerita Pak Yanto. Cerita tentang percobaan yang Aru dan Dipa lakukan semalam. Semuanya. Hingga detail terkecilnya. Termasuk, keadaan Aru yang baik-baik saja setelah Dipa memperjauh jarak mereka, bahkan dalam kurun waktu lebih dari dua jam.

Begitu Aru datang, Pak Yanto lebih memilih untuk pamit undur diri. Pak Yanto sadar diri, tidak ada tempat baginya untuk terlibat lebih dalam urusan keluarga Jaya.

Pun ibu dan ayah Aru. Setelah mendengar langsung dari Pak Yanto, mereka tahu alasan di balik nekatnya Aru pergi ke luar rumah seorang diri, tanpa Dipa. Berusaha memaklumi tindakan Aru yang sedikit gegabah. Berniat memahami keinginan putra tunggal mereka untuk sekadar merasakan kebebasan.

Mungkin, keberadaan Dipa yang selama ini ditasbihkan sebagai tempat untuk menggantungkan hidupnya cukup membebani Aru. Mengurungnya secara tidak langsung.

Walau Aru tidak pernah mengatakannya, tapi hatinya membentuk pola sedemikian. Hingga ketika dia bisa lepas dari bayang-bayang Dipa, rasanya pasti akan sangat membahagiakan.

Aru bahkan melupakan kenyataan, jika bukan hanya dirinya yang membutuhkan Dipa. Bahwa Dipa juga membutuhkannya, bahkan lebih. Bagi Dipa, Aru bukan hanya sumber kehidupannya, tapi juga sumber kebahagiaannya.

"Mami?"

Aru masih berdiri di depan pintu. Mata bulatnya berkaca-kaca, melihat Dipa terbaring diam di ranjangnya. Bahkan setelah Aru datang, setelah mereka kembali berdekatan. Dipa masih menutup matanya.

"Mendekatlah nak! Tidak sepertimu, Dipa ternyata masih membutuhkanmu di dekatnya."

Akhirnya air mata Aru terjatuh. Bersamaan dengan tubuhnya yang terduduk tidak berdaya di samping Dipa. Untuk kesekian kalinya merutuki kebodohannya.

"Dokter bilang, kondisi jantungnya kembali melemah seperti dua tahun yang lalu."

Penuturan ibunya lembut, ibu coba sehalus mungkin menyampaikan kabar yang kurang bagus tersebut pada Aru.  Coba membuat Aru mengerti bahwa apa yang terjadi pada Dipa bukan sepenuhnya kesalahan Aru. Namun, karena memang sedari awal keadaan jantung Dipa memang sudah cukup parah.

Argumen apa pun itu, nyatanya tidak bisa menenangkan Aru. Dia masih menangis tersedu di samping Dipa. Menggenggam tangan anak nakal itu erat, berharap keajaiban kembali terjadi di antara mereka.

Seburuk apa pun kondisi Dipa saat ini, Aru akan terus di sampingnya, dan berharap bisa membantu Dipa sembuh. Seperti Dipa yang membangunkannya dari koma.

Aru sedikit pun tidak bergeser dari posisinya, bahkan setelah lebih dari tiga jam berlalu. Ibu dan ayahnya tentu saja khawatir. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan, selain berdoa, dan berharap Aru juga Dipa yang sudah mereka anggap sebagai putra kandung mereka sendiri baik-baik saja.

"Ru ...."

Aru berjinggat kaget, dia setengah mengantuk, juga terlalu lelah saat Dipa sadar dan memanggil namanya pelan. Dipa belum membuka mata sepenuhnya, hanya jemarinya yang merespon genggaman tangan Aru.

Tidak apa, hal kecil itu cukup melegakan untuk Aru. Dia yakin, jika dia terus berada di dekat Dipa, anak itu pasti akan pulih dengan cepat.

"Iya, Dip. Buka matamu, aku di sini."

Berusaha untuk mengembalikan kesadaran Dipa sepenuhnya, Aru yang saat itu sudah ditinggal seorang diri oleh ayah dan ibunya mulai beranjak. Berdiri di samping Dipa, berharap Dipa bisa melihatnya dengan mudah ketika anak itu membuka matanya nanti.

Dipa membuka matanya, masih merah, juga sedikit bengkak. Sisa tangisnya tadi pagi. Entah bagaimana, hanya dengan melihat Aru di sisinya bisa membuatnya nyaman. Perlahan, napasnya yang semula terasa begitu berat kini berangsur lega. Nyeri di dada yang sudah lama tidak dia rasakan sedikit demi sedikit mulai menghilang.

"Dasar bodoh! Kenapa enggak bilang yang sebenarnya Dip? Kamu bisa saja mati tadi," cecar Aru. Dia sedih, sekaligus jengkel. Tidak habis pikir kenapa Dipa menyembunyikan fakta penting ini darinya.

Ketidakjujuran Dipa membuat Aru frustrasi, apa jadinya Dipa tadi jika Aru mengajak Mega berlibur ke Bali, dan bermalam di sana?

Aru coba memikirkan kemungkinan konyol lainnya, yang bisa sedikit menghibur dirinya sendiri. Kemungkinan lucu lainnya yang bisa mengalihkan rasa bersalahnya pada Dipa, si anak menyebalkan yang sok kuat itu.

"Mana tega aku menghancurkan fantasimu tentang Mega, Ru?"

"Yaakk, kamu pikir aku serendah itu?"

Mereka bertengkar dengan cara mereka sendiri. Aru yang berteriak meluapkan rasa kesalnya, juga Dipa yang menjawabnya dengan ujaran lemah.

Satu persatu beban Dipa terangkat, kepalanya tidak seberat tadi, hatinya mulai lega walau belum sepenuhnya. Aru kini kembali ke sisinya, dan kenyataan bahwa ayah-ibu Aru masih menyayanginya bahkan setelah tahu putra mereka tidak lagi membutuhkannya, membuat Dipa lebih banyak bersyukur.

Dipa menyesal, karena sempat meragukan ketulusan ayah dan ibu Aru.

"Kamu sudah boleh pulang, Dipa Estu. Ini benar-benar keajaiban."

Hari berganti, keadaan Dipa semakin membaik. Dokter yang bertanggung jawab merawatnya pun terheran, bertanya-tanya. Bagaimana bisa jantung Dipa pulih secepat ini? Dokter spesial jantung dan pembuluh darah itu menyebutnya sebagai sebuah keajaiban.

Mendengar penuturan dokternya, mata Dipa terpejam, kemudian menundukan kepalanya. Merasa berdosa, karena nyatanya apa yang terjadi padanya bukanlah sebuah keajaiban.

Karena keajaiban tidak berasal dari kegelapan. Semua hal baik yang pernah terjadi pada Dipa adalah hasil dari perjanjian terkutuknya dengan iblis.

Dipa menyesal, perkataan sang iblis beberapa hari yang lalu selalu terputar di otaknya. Seberapa keras pun Dipa berpikir, dia tidak bisa menemukan jalan keluarnya.

Mulai tidak rela jika dia harus meninggalkan keluarga yang selama ini menaunginya. Namun, juga tidak akan sanggup jika harus mengorbankan Aru. Terlintas di benaknya, kemungkinan lain. Bagaimana jika dia biarkan iblis itu membawa mereka berdua.

Dulu mereka bangkit berdua. Jadi jika sekarang mereka harus pergi lagi bersama, tidak jadi masalah 'kan? Dipa sadar betul ini akibat dari perbuatannya seorang. Aru bahkan tidak sedikit pun ikut ambil bagian dalam keputusan Dipa dulu. Saat dia dengan mudahnya mengiyakan hasutan si iblis.

Dipa hanya tidak ingin sendirian lagi.

"Dip, ayo kita pulang!"

Aru berseru semangat. Dia bangkit dari duduknya, hendak menghampiri Dipa yang masih duduk di atas ranjang. Tidak ada yang menyangka, baru dua langkah, Aru limbung. Dia ambruk, pingsan. Hampir saja kepalanya terantuk ranjang, jika Dipa tidak menangkapnya.

"Ya ... Aru, kamu kenapa? Bangun!"

Dipa panik, ayah dan ibu Aru sama kagetnya. Ketakutan mulai kembali menjalar dalam benak mereka. Terbayang kenangan dua tahun silam. Saat Aru koma, matanya yang terpejam rapat bahkan masih tergambar jelas dalam ingatan sang ibu.

Beruntung, dokter juga suster yang berniat melepas infus Dipa lekas mengambil alih Aru. Membawanya ke UGD, dengan kedua orang tuanya yang mengikuti dari belakang. Meninggalkan Dipa seorang diri. Dengan mempertimbangkan kondisinya, dokter melarangnya untuk ikut tadi.

Dalam kesendiriannya Dipa kembali termenung. Wajah panik kedua orang tua Aru, menggoyahkan hatinya. Bertanya-tanya dalam hati, bagaimana nanti jika mereka harus kehilangan Aru untuk selamanya?

Apa mereka akan baik-baik saja?

Dipa tidak bisa menunggu. Dia semakin resah. Dengan langkah tertatihnya, Dipa nekat menyusul Aru. Dari kejauhan, dia bisa melihat Aru terbaring di salah satu brankar. Ayah dan ibunya, berdiri tidak jauh darinya. Mendengarkan penjelasan dokter sambil memeluk satu sama lain, saling menguatkan.

"Kami jarang menemukan kasus seperti ini, Tuan, Nyonya. Jantung Aru bekerja terlalu keras, seolah memompa darah untuk dua tubuh sekaligus. Itu yang membuatnya pingsan. Maaf, tapi kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut terlebih dulu."

Dipa mendengarnya, jelas sekali di telinganya. Sangat tajam, hingga mampu menusuk perasaannya. Aru pingsan karena dirinya, karena jantung Aru bekerja lebih keras untuk menopang jantungnya yang lemah.

Rasa bersalah semakin menghantui Dipa. Tangan kiri yang dia gunakan untuk bersandar pada tembok mulai bergetar. Kakinya gemetar, hanya untuk berdiri saja dia rasa tidak akan mampu.

Dipa jatuh terduduk di atas dinginnya lantai rumah sakit. Enggan peduli pada air matanya yang mulai jatuh, juga pada beberapa perawat yang mengulurkan tangan. Matanya hanya tertuju pada ayah Aru yang mendekat ke arahnya. Ayah berjongkok untuk membantu Dipa berdiri, kemudian membawanya duduk di kursi tunggu di sebelah mereka.

Dalam diam, ayah dan  Dipa bergumul dengan pikiran masing-masing. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Hanya terdengar isakan Dipa sesekali, dan ayah Aru yang akan meresponnya dengan tepukan ringan di bahu Dipa.

Dipa semakin jauh meninggalkan keputusan yang beberapa hari ini dia pikirkan matang-matang. Merubah nilai-nilai yang sebelumnya dia jadikan pedoman untuk mengambil keputusan tersebut. Dan saat itu, saat Dipa hanya ingin membagi perasaannya pada ayah Aru. Laki-laki tinggi, dengan wajah lebar yang menenangkan itu sudah mendahului Dipa. Ayah Aru menggenggam kedua tangan Dipa lembut, dan dengan suara rendahnya yang sedikit serak dia mengatakan sederetan kalimat yang tidak akan pernah Dipa lupakan seumur hidupnya.

"Dipa, papi mohon, menjauhlah dari Aru.."

Harapan Dipa berakhir saat itu juga.

"Papi akan memasukan namamu dalam prioritas penerima donor, memberimu tempat tinggal, juga biaya hidup dan kuliahmu. Tapi tolong, jangan lagi dekati keluarga kami. Terutama Aru."

Bibir Dipa tidak sengaja menyunggingkan senyum. Menertawakan kemalangannya sendiri. Kini, Dipa kembali tidak diinginkan.

Mengingatkannya kembali ke masa lalu. Saat umur Dipa tujuh tahun, dan ditinggalkan seorang diri di rumah kecilnya. Masih lekat di ingatan Dipa, bagaimana cara ayah dan ibunya berpamitan dulu. Mata ibunya yang berair, tapi dengan bibir merah yang menyunggingkan senyum.

"Dipa ...."

Dipa enggan berbalik, tidak ingin lagi mendengar suara ayah Aru. Dia berjalan menjauh, pelan, tertatih, dengan rasa sakit yang mulai mencabik kecil-kecil jantungnya. Sakit rasanya, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya.

Kenapa seperti ini? Dipa tahu kehadirannya bisa membahayakan nyawa Aru. Dipa coba mengerti keputusan ayah Aru, tapi rasanya tetap menyakitkan.

Rasa tidak diinginkan.

"Sudah putuskan? Kamu atau Aru?"

Seorang laki-laki tinggi entah mulai kapan berjalan di samping Dipa. Jaket kulit Belstaff-nya terlihat sungguh mahal. Gino Mariani coklat tua yang dia kenakan sedikit berdebu juga berlumpur di ujungnya. Dan mata kuningnya yang tidak bisa Dipa lupakan, serempak melengkung dengan bibir pucatnya yang tersenyum.

Dipa berhenti melangkah. Mata kecilnya yang bengkak, coba menatap mata kuning itu tajam. Tidak ada lagi rasa takut di sana.

"Bawalah Aru pergi, dan jadikan aku putra mereka!"

"Wahhh, aku butuh banyak darah untuk mewujudkan itu semua Dipa ...."

"Dua tahun lagi, kembalilah! Aku akan siapkan untukmu. Banyak dan segar."



END
20.04.19
Habi🐘

A.n
Ehm ...
Tante penasaran sama 2 hal...

1. Apa yg bakal kalian lakukan kalo berada di posisi ayah Andaru?

2. Apa yg bakal kalian lakukan kalo berada di posisi Dipa?

Mohon dibantu jawab rasa penasaran tante😍

Terima kasih ... sampai jumpa di lain kesempatan 🙆🙌🐘😍😙😚

Habi, gajah Afrika bertelinga lebar ... pamit ... 🙆

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

199K 2.2K 4
Oneshoot gay tentang Daniel yang memiliki memek dengan bermacam macam dominan. Jangan salah lapak-!!!
42.1K 3.1K 22
Ini semua adalah tentang Dirga yang harus kalah oleh dirinya sendiri. Tentang Dirga yang harus tunduk sebab gagah dan hebatnya diri. Remuk redam tak...
298K 2.4K 17
one-shot gay ⚠️⚠️⚠️ peringatan mungkin ada banyak adegan 🔞 anak anak d bawah umur harap jangan lihat penasaran sama cerita nya langsung saja d baca
98.3K 1.7K 5
[BISA DIBACA LENGKAP DI KARYAKARSA] Banyak kemungkinan yang bisa terjadi setelah guyuran hujan berhenti. Bisa jadi hadir pelangi, atau malah datang b...