His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18a
18b
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

14

30K 3.8K 105
By AyaEmily2

Selasa (11.52), 09 April 2019

--------------------------

Setelah menghabiskan sebatang rokok, Henry merasa sudah cukup memberi Dennis dan Ellen privasi. Dia masuk ke mobil lalu mengangkat salah satu alis melihat Ellen berbaring meringkuk di jok mobil berbantalkan paha Dennis.

"Dia kelelahan setelah menangis," jelas Dennis, menjawab pertanyaan tak terucap Henry.

Henry mengangguk tapi lalu perhatiannya tertuju pada tangan dan kemeja Dennis yang ternoda darah. "Sepertinya luka di bibir Ellen sudah tidak mengeluarkan darah," gumam Henry.

"Ini dari kepalanya," Dennis menunjuk.

Henry terbelalak. "Dia harus dibawa ke klinik."

"Dia tidak mau. Aku juga sudah melihatnya dan sepertinya hanya luka luar. Darahnya juga sudah berhenti mengalir."

Henry memukul stir mobil dengan raut geram. "Ini sudah sangat keterlaluan. Rennie tidak bisa dibiarkan. Dia harus dilaporkan."

Dennis memperhatikan wajah tenang Ellen yang lelap. "Tidak ada yang bisa kita lakukan jika Ellen tidak mau membawa masalah ini ke kepolisian."

"Hhhh, andai masih bertugas, orang seperti Rennie tidak akan kubiarkan lolos."

Dennis tidak menanggapi, masih memperhatikan wajah Ellen.

"Jadi sekarang, kita akan mengantar Ellen ke mana?" tanya Henry.

Dennis mendongak membalas tatapan Henry dengan kening berkerut. "Mungkin ke rumah Sunny?"

"Siapa Sunny?"

"Teman Ellen."

Henry terdiam, merasa nama itu familiar. "Oh, bukankah dia baru melahirkan? Aku ingat ibu Sunny adalah teman Shirley. Jadi beberapa waktu lalu Shirley datang menengok bayinya."

Dennis angkat bahu, menunjukkan dirinya tidak tahu atau bahkan tidak peduli.

"Sebaiknya jangan ke sana," saran Henry.

"Memangnya kenapa? Hanya Sunny teman Ellen yang kutahu."

"Sunny pasti sudah repot mengurus bayinya. Sebaiknya jangan merepotkannya."

Dennis tak menanggapi, menyadari kebenaran perkataan Henry. Dia kembali berpikir, ke mana dia bisa mengantar Ellen.

Saat itulah Dennis menyadari pandangan tajam Henry ke arahnya. Dia mendongak lalu melotot kesal ke arah Henry. "Kenapa melihatku begitu?"

Henry nyengir, membuat Dennis langsung menyadari maksud Henry.

"Tidak!" tegas Dennis.

"Ayolah, kau masih punya kamar kosong yang tidak pernah ditempati. Jika terus dibiarkan kosong, bisa-bisa kamar itu dihantui."

"Biarkan saja."

Henry terbelalak. "Kau lebih suka ditemani hantu daripada Ellen?" Lalu perlahan seringai lebar muncul di bibirnya. "Kenapa? Takut khilaf lalu menyerang Ellen saat tidur? Sebaiknya ingatkan dia untuk mengunci pintu kamar begitu langit gelap karena ada serigala yang akan menerkamnya sewaktu-waktu."

Dennis melemparkan tatapan membunuh ke arah Henry, membuat lelaki itu mati-matian menahan tawa kerasnya agar tidak mengganggu Ellen lalu mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

"Baiklah, baiklah. Jadi kita akan membawa Ellen ke mana?"

Sadar dirinya tak punya pilihan lain, Dennis berkata setengah jengkel. "Ke rumahku."

Henry menyeringai namun kali ini tak mengatakan apapun dan segera menyalakan mesin mobil.

***

Dennis membopong tubuh Ellen ke dalam kamarnya lalu membaringkannya di atas ranjang. Kamar yang satu lagi tidak pernah digunakan seperti kata Henry. Jadi masih perlu dibersihkan sebelum Ellen bisa menempatinya. Sementara itu Henry membawa dua tas besar Ellen lalu meletakkannya di ruang tengah rumah Dennis yang bisa dibilang kosong.

Usai membaringkan Ellen dan menyelimutinya, Dennis keluar kamar lalu menutup pintu agar Ellen tidak terganggu. Perhatiannya langsung tertuju pada Henry yang masih berdiri di tengah ruangan.

"Sandalnya kau bawa juga?" tanya Dennis, teringat Ellen melepas sandalnya sebelum berbaring berbantalkan paha Dennis. Saat itu Ellen berkata sangat mengantuk dan kepalanya pening.

"Itu," Henry menunjuk lantai dekat salah satu tas.

"Aku tidak punya apapun di dapur. Bahkan mie instanku sudah habis. Aku akan pergi sebentar untuk berbelanja. Bisakah kau tunggu di sini?"

"Yang benar saja. Ini rumahmu dan Ellen lebih mengenalmu daripada aku. Jadi sebaiknya aku yang pergi. Kau hanya perlu mencatat apa saja yang harus kubeli."

Dennis melemparkan tatapan jengkel ke arah Henry, sadar lelaki itu berniat membuatnya dekat dengan Ellen. Tapi lagi-lagi Dennis tak menyangkal kebenaran ucapan Henry hingga dia memilih mengalah.

***

Ellen mengerang pelan saat kesadaran menariknya ke alam nyata. Kepalanya pening. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan panas di waktu bersamaan.

"Ngghhh... ha... uss...."

Napas Ellen terengah. Air matanya mengalir membasahi bantal. Kedua tangannya meremas sprei di bawahnya.

Meski enam tahun pergi dari rumah dan hidup sendiri, terkadang sifat manja Ellen muncul. Terutama saat dirinya sakit. Dia akan menangis tertahan, memanggil-manggil ibunya, dan berharap dirawat. Seperti saat ini.

"Ibu...," erang Ellen, antara sadar dan mimpi. Air matanya semakin deras mengalir.

Bukan hanya tubuhnya, hati Ellen juga sakit. Dia berharap mendapat pelukan, belaian lembut sang ibu, tapi kemudian yang terbayang dalam benaknya adalah ucapan kasar dan tamparan keras, membuat Ellen merintih.

"Ngghhh...."

Lagi-lagi hanya erangan yang bisa dilakukannya. Panas tubuhnya semakin menyengat, tapi dia menggigil di saat yang sama. Sesekali terdengar racauan yang tak jelas dari sela bibirnya.

Dennis yang baru selesai mandi, masuk ke kamar hanya dengan mengenakan bokser dan handuk yang digunakannya untuk mengeringkan rambut. Dia berniat mengambil pakaian tapi lalu tertegun menyadari kondisi Ellen. Buru-buru dia mendekati ranjang.

"Ellen," panggil Dennis ragu.

"Ngghh...."

"Hei, kau mendengarku?" Dennis menyentuh lengan Ellen tapi lalu terbelalak. Segera dia memindahkan tangannya, menyentuh pipi dan kening Ellen. Semuanya panas. Tapi wanita itu tampak menggigil kedinginan.

"Arrghh...."

Ellen mengerang, seperti menahan sakit.

Dennis mengacak rambutnya panik. Mendadak otaknya buntu, tidak tahu harus melakukan apa. Lalu dia kembali membungkuk ke atas tubuh Ellen.

"Ellen, kau ingin sesuatu?" tanya Dennis hati-hati. Seseorang, tolong! Apa yang harus dirinya lakukan?

"Ibu...."

Panggilan itu disertai isak tangis. Air mata dan keringat telah membasahi bantal yang ditiduri Ellen. Sementara sprei di bawahnya tampak kusut karena jari-jemari Ellen.

Tangan Dennis mengepal. Mendadak dadanya sesak dan amarahnya bangkit.

Ibu macam apa Rennie Rebecca itu? Dia tega melukai anaknya sendiri lalu tanpa perasaan mengusirnya pergi. Padahal Ellen sangat mengharap kehadirannya.

Masih dengan posisi membungkuk di atas Ellen, dia sadar tidak punya pilihan selain membawa wanita itu ke klinik. Kondisi Ellen bisa bertambah parah jika dibiarkan seperti ini bersama dirinya yang tidak tahu cara merawat orang sakit.

Tapi baru saja hendak membopong Ellen, suara petir menggelegar memekakkan telinga diiringi angin keras dan hujan yang turun semakin deras. Yah, sekitar dua jam setelah Henry membawakan belanjaan dan pulang, gerimis mulai turun lalu disertai angin lembut. Menjelang malam seperti sekarang, rupanya langit tak berniat beramah tamah lagi dan langsung menjatuhkan hujannya dengan deras.

Mendesah, Dennis urung mengangkat Ellen dalam gendongannya. Dia menegakkan tubuh lalu berjalan mondar-mandir, bingung harus melakukan apa.

"Seharusnya aku tidak membawanya ke sini," gumam Dennis. Bukan menyesal karena merasa direpotkan. Tapi Dennis takut terjadi sesuatu yang buruk pada Ellen karena minimnya pengetahuannya tentang merawat orang sakit.

"Haa... uuss...."

Suara itu sangat pelan. Tapi berhasil menyelinap ke dalam pendengaran Dennis. Tanpa bertanya lagi, Dennis bergegas keluar kamar seraya membawa handuk yang tanpa sadar ia jatuhkan ke lantai. Tak lama kemudian Dennis kembali ke dalam kamar sambil membawa segelas air putih.

"Ellen, kau bisa bangun?" tanya Dennis, berdiri bingung di dekat ranjang.

"Haa... uuss... ngghh...."

Hati-hati Dennis duduk sisi ranjang seraya meletakkan gelas di tangannya ke nakas. Lalu dia menyusupkan tangannya ke punggung Ellen, membantu wanita itu duduk seraya mendekapnya ke samping tubuh.

"Buka dulu matamu," kata Dennis lembut. Nada bicara yang sudah lama sekali tak pernah Dennis gunakan.

Lagi-lagi hanya erangan yang keluar dari sela bibir Ellen sementara mata wanita itu masih terpejam dan sudut matanya mengeluarkan air mata.

Yakin ucapannya tidak akan mendapat respon, Dennis berinisatif mendekatkan tepi gelas ke bibir Ellen. Tak disangka, bibir Ellen langsung merekah lalu wanita itu minum dengan rakus tanpa membuka mata.

Tandas dua per tiga isi gelas, Ellen menjauhkan bibirnya lalu bersandar lunglai di bahu Dennis. Buru-buru Dennis meletakkan kembali gelas ke nakas lalu membaringkan tubuh Ellen.

Astaga, panasnya belum turun," pikir Dennis cemas.

"Dinginnn...," gumam Ellen masih dengan tidur gelisah.

"Dingin?" tanya Dennis bingung sambil menyelimuti tubuh Ellen.

Dia berniat keluar kamar untuk menghubungi Henry dan minta petunjuk, namun langkahnya terhenti merasakan jemari Ellen memegang tangannya lemah.

"Ibu... jangan pergi...."

Jelas Ellen belum sadar dari kondisi setengah bermimpinya. Tapi mata wanita itu kini terbuka, menatap Dennis sendu dan penuh air mata.

Permohonan lemah Ellen berhasil membuat Dennis terenyuh. Perlahan dia duduk di sisi ranjang lalu menggenggam jemari Ellen erat sementara tangannya yang lain membelai kepala Ellen

"Tidurlah," perintah Dennis lembut.

"Jangan pergi...." Ellen mengulang permohonannya.

"Aku tidak akan ke mana-mana. Jadi tidurlah yang nyenyak."

Senyum lemah Ellen merekah. Dia menarik tangannya yang digenggam Dennis lalu menggosokkan pipi panasnya ke punggung tangan Dennis seperti anak kucing. Perlahan matanya kembali terpejam dan dia tidur lebih tenang dibanding sebelumnya.

Dennis mengerutkan kening, merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya. Tak menemukan jawaban, yang dilakukannya kemudian hanya mendesah dan merelakan Ellen memeluk tangannya seperti memeluk boneka kesayangan.

--------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

470K 21.9K 35
[Youngadult 19+] Dia sendiri. Dia ditinggalkan. Dia tidak diinginkan. Seluruh hidupnya adalah kesepian. Bahagia adalah suatu hal kecil yang datang d...
1.1M 93.4K 32
[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Aku tidak percaya pada takdir. Takdir hanyalah omong kosong agar manusia takut membuat pilihannya sendiri. Ketika a...
83.6K 7.5K 34
(COMPLETED- TELAH TERBIT) Chris sang bintang layar lebar dan pewaris kerajaan bisnis keluarganya harus rela tinggal di sebuah desa terpencil dalam me...
953K 76.5K 34
(Spin-off dari Tranquility) She is an Angel. He is the Ghost. She is the Light in his dark cruel world. His redemption. His Savior. His Lover. HIS LI...