Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014

879 36 0
By KalaSanggurdi

Waktu menunjukkan pukul satu siang, dan siswa-siswi kelas dua belas tengah merayakan waktu pulang setelah menyelesaikan try-out terakhir di minggu itu. Try-out terakhir itu adalah mata pelajaran biologi, yang sebenarnya jauh lebih sulit ketimbang yang akan diuji saat ujian nasional nanti. Setidaknya, begitulah dugaan Sarah sembari merapikan alat tulisnya kembali ke tas.

Sarah duduk sendiri di barisan meja terdepan. Dulunya meja tersebut adalah mejanya, tetapi semenjak diadakan try-out ia terlempar ke belakang karena namanya berada di urutan belakang di daftar absen.

Ruang kelas itu sudah sepi, dan siswa-siswi sudah pulang atau membahas try-out di depan kelas. Hanya ada tiga siswa-siswi selain Sarah: satu sedang menyendiri di sudut belakang kelas sambil memainkan permainan di gawainya, satu sedang merapikan tas di tengah-tengah kelas, dan satu lagi menghampiri Sarah sambil memasukkan selembar kertas biru ke tempat pensil Sarah.

"Kerja bagus, Sar." sengir Diva sambil menaruh kembali dompetnya ke dalam tas kecilnya.

"Kamu yang kerja bagus. Siapa sangka Diva bisa ngerti kode morse dalam seminggu," gerutu Sarah sambil mengambil kertas biru di tempat pensilnya dan menaruhnya ke dalam dompetnya.

"Ide siapa dulu dong, kalo bukan elu." Diva menepuk pundah Sarah, dan tak sengaja menyenggol kerudung Sarah. Sarah dengan cepat membenarkan kerudungnya.

"Untung pengawasnya nggak ngerti."

"Mana peduli. Nggak bakal ada guru yang seniat itu buat cari tau kalo-kalo muridnya kerja sama pake kode morse. Elu kelewat paranoid, Sar."

"Soalnya ayahku ngerti."

"Emangnya yang ngawas ayah lu? Udahlah, yang penting TO udah selesai. Makasih ya, Sar."

"Ingat ya. Cuma TO. Aku nggakkan bantu kamu di UAS atau UN, kecuali bantu belajar."

"Yakin, Sar? Duit gue masih banyak loh."

"Ini bukan soal duit, Div. Jangan lupa: kita pelajar."

"Jangan mulai deh," Diva berhenti tersenyum, kemudian memegang dan memainkan kepala Sarah; "Nggak ada salahnya bantu temen yang sedang membutuhkan."

"Nggak ada salahnya juga belajar," Sarah menahan tangan Diva.

"Terserah. Aku duluan ya!" ucap Diva sambil meninggalkan ruang kelas. Sarah hanya melihat dan menggelengkan kepala. Kini ia tersenyum melihat isi dompetnya, dan membayangkan buku Dunia Anna karangan Jostein Gaarder. Sudah sedari awal tahun Sarah menemui buku tersebut di toko buku bajakan di sekitar Pasar Senen. Kini uangnya cukup untuk membeli buku tersebut.

Sarah kemudian memikirkan siswi yang memberikannya uang tadi. Ia berpikir bagaimana ia berteman dengannya sedari kelas sepuluh, dan bagaimana ia "digunakan" olehnya. Hanya saja, Diva erti Sarah, dan seringkali membayarnya langsung dengan buku-buku dambaan Sarah tiap kali Diva ingin menyontek. Diva jarang membaca, tetapi tahun lalu, Sarah berhasil membuatnya membaca beberapa buku. Salah satunya adalah buku Carl Hart, yang dibelikan Diva untuk Sarah. Ia teringat bagaimana Diva mati-matian membaca buku itu bersamanya, dan semua itu demi ujian tengah semester lima yang gemilang.

Lamunan Sarah berhenti ketika ia mulai menyadari suara permainan dari gawai siswi di belakangnya masih belum selesai. Suara gawai itu tidak berhenti-berhenti sedari tadi. Sarah menengok ke belakang, dan tersenyum.

"Novi," panggil Sarah. Siswi itu tidak menjawab, dan tetap asyik dengan gawainya.

Sarah memanggil Novi lagi dan lagi. Novi seakan-akan tidak merasa dipanggil. Sarah hanya memutar matanya, dan tersenyum. Novi memang tak pernah berubah, pikirnya.

Sarah kemudian menghampiri Novi, dan memanggilnya persis di depan telinganya. Novi masih tidak mengacuhkan, seakan-akan namanya memang bukan Novi. Sarah tersenyum kecut, kemudian menyengir dan menepuk pundak Novi. Tiba-tiba Novi terguncang kaget, dan menjerit kecil. Gawainya terlepas dari kedua tangannya. Dengan mata berkaca-kaca, Novi menyingkirkan tangan Sarah. Ia tidak menengok ke wajah Sarah, atau memandangnya sama sekali. Sarah tersenyum simpul.

"Novi, udah mainnya. Yuk, pulang," ujar Sarah sabar. Novi mengambil kembali gawainya.

"Novi, ayo," Sarah mengajak sekali lagi. Novi berdiri, dan Sarah pun ikut berdiri. Novi merapikan ranselnya dan mulai berjalan, meninggalkan Sarah. Sarah tersenyum dan menyusul.

"Bagaimana tadi TO-nya, Nov?" tanya Sarah. Novi tidak menjawab, atau bahkan menaruh pandang kepada Sarah. Sarah harus mengulang pertanyaannya dua kali lagi, dan Novi baru menjawab ketika keduanya sudah keluar ke koridor sekolah dan berjalan cukup jauh dari kelas.

"Novi nggak ngisi dua puluh nomor," ujar Novi datar. Sarah mengangguk.

"TO biologi tadi?" tanya Sarah mengonfirmasi.

"TO Bahasa Indonesia," jawab Novi yang kemudian tertawa terbahak-bahak—sangat kontras dengan rautnya yang datar sedari tadi.

Sarah terkekeh sopan. Untung hanya try-out, pikirnya. Sarah tahu bahwa percakapan lebih lanjut akan membuat Novi tidak nyaman dan ketakutan, sehingga ia hanya mengiringi Novi berjalan mengarungi koridor sekolah.

Seorang siswa di sebuah kelompok siswa melirik Sarah dan Novi, kemudian berjalan meninggalkan kelompoknya. Percakapan mengenai futsal mengalahkan rasa keingintahuannya mengenai pendapat si peringkat satu angkatan tentang try-out tadi.

"Sarah, gimana TO tadi?" tanya Robi sambil menyamakan langkah dengan Sarah serta Novi. Sarah mendengar aksen unik Robi, dan langsung tersenyum hangat.

"Lumayan, Rob."

"Ah, bagus, bagus. Kalau kamu bilang lumayan, nggak salah kalau aku nganggep TO tadi kelewat gila," gelak Robi; "Novi, kamu sendiri gimana? TO biologi tadi?"

Novi tidak mengacuhkan Robi maupun melihat Robi. Robi sewot, tetapi terbiasa dengan perilaku dan datarnya mimik Novi. Sarah mengulang pertanyaan Robi untuk Novi, dan Novi menjawab sambil tertawa di sela-sela, "Lebih mending dari Bahasa Indonesia sih."

"Serius kamu, Nov?" tanya Robi.

"Novi nggak isi tiga puluh nomor!" teriak Novi kegirangan, sekali lagi mengubah drastis raut wajahya.

"Itu dari mana mendingnya?!" teriak Robi. Suaranya menggertak Novi hingga tertegun.

"Udah, Rob. Biarin. Namanya juga Novi," ucap Sarah sambil terkekeh. Ia pun berpikir untuk lebih giat lagi mengajarkan Novi. Meskipun ia tahu bahwa Novi sangat pintar, ia masih harus memaksa Novi agar dapat belajar layaknya pelajar pada umumnya. Keberadaan gawai hadiah dari ibunya kini merusak pola belajarnya, dan Sarah masih mencari cara agar ia dapat membuat Novi belajar tanpa jeritan serta tangisan karena kehilangan gawai.

Tiba-tiba, setelah lewat puluhan detik berdatar-datar, Novi berteriak kencang dengan wajah merah, "Mendingan tauk! Biasanya Novi nggak ngisi sama sekali!"

Robi heran kenapa Novi telat menjawab, tetapi kembali berpikir bahwa ini memang Novi, "Tapi tadi TO-nya kan pilihan ganda, Nov. Kan bisa ngasal; ngitung kancing atau nebak."

Novi terdiam. Semua orang terbiasa dengan Novi yang tak pernah menengok atau bahkan melihat orang yang mengajaknya bicara. Kali ini, Robi dikagetkan dengan Novi yang tiba-tiba memandangnya sambil mengernyitkan alis dan memelototkan mata.

"Ngitung kancing?" tanya Novi. Robi mengangguk.

"Kenapa nggak bilang dari tadi?! Jadi jawaban TO Novi ada di kancing seragam Novi?!" teriak Novi. Ia kemudian kembali seperti biasa, dan tidak memerhatikan lawan bicaranya kembali.

Robi tidak percaya apa yang baru ia dengar barusan, "Aduh, Nov. Itu metafora. Me-ta-fo-ra."

"Metafora itu apa?"

"Itu tadi ada di TO Bahasa Indonesia, Nov."

"Lah, serius?! Di halaman berapa?"

"Halaman sepuluh."

"Halamannya ada sepuluh?"

Robi hendak berbicara, tetapi dalam sepersekian detik ia memberhentikan suaranya. Dalam sepersekian detik itu juga ia menyadari bahwa Novi sedang menjadi Novi. Wajahnya kemudian merah padam, dan urat wajahnya mulai terlihat. Ia melirik ke arah Sarah, dan Sarah langsung menahan tawa.

"Udah, udah. Novi, nanti kita belajar lagi ya," ujar Sarah. Ia kemudian hendak mengelus pundak Novi, tetapi tidak jadi. Ia teringat kekagetan Novi tadi di kelas.

"Boleh!" sahut Novi lantang, tanpa melihat Sarah. Sarah tidak yakin Novi serius mengatakan itu, terutama ketika pada menit berikutnya saat Novi mengeluarkan gawainya dari kantung dan kembali bermain.

Permainan gawai Novi merupakan permainan sederhana. Yang perlu dilakukan Novi hanyalah mencari minimal tiga permen digital yang berderet, kemudian menutuk deret itu dengan jemarinya. Permen itu akan pecah, dan permen di atasnya akan mengisi tempatnya. Permainan sederhana, yang sudah menjadi membosankan bagi Diva maupun Robi dari dulu. Hanya saja, Novi terus memainkan, seakan-akan permainan itu masih seru. Hebatnya lagi, Novi memainkan permainan memecahkan permen itu dalam kecepatan yang tidak dapat disaingi. Fokusnya tak tertandingi, bahkan oleh Bejo—teman sekelasnya—yang memainkan permainan arena pertarungan daring multipemain, yang memerlukan refleks serta kecepatan bertindak yang tak kalah gesitnya. Jika ada pertandingan memecahkan permen daring, mungkin Novi sudah bisa bersaing dalam tingkat internasional. Sarah jelas akan mendukung jika pertandingan itu ada dan Novi ikut serta.

Bahkan ketika berjalan menuju kantin sekolah, fokus Novi masih sangat tinggi. Sarah dan Robi hanya dapat mengabaikan seperti biasa, "Kalau kita omongin Novi sekarang, kayaknya dia nggak bakal denger deh," ujar Robi jail.

"Jangan gitu ah," Sarah terkekeh.

Ketiga remaja itu tiba di kantin yang diramaikan siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas. Hanya segelintir siswa-siswi kelas dua belas yang masih ada, karena memang sudah waktunya pulang bagi mereka. Sarah dan Robi dapat melihat Bejo dan Daffa sedang diam-diam merokok di sudut kantin, bersama dengan siswa-siswi junior yang tak dikenal keduanya. Mungkin Diva akan mengenali adik-adik kelas yang badung itu, pikir Sarah, karena sama-sama perokok.

Sarah mendekati salah satu bapak penjaga kantin yang menjual "Courdon Bleu", dan memesan dua piring yang berisi keju dan kornet sapi. Punya Sarah dengan saus sambal dan mayones, punya Novi dengan saus asam manis yang membanjiri nasinya hingga lembek. Robi sendiri membeli sebungkus siomay di ujung kantin, sembari menyapa dan mengobrol sedikit dengan Bejo. Novi diam bermain gawai di meja bersama dengan tas-tas temannya, dan tak sengaja menjadi penunggu meja tersebut agar tidak diambil siswa-siswi lain.

Novi terkejut dan girang ketika melihat Courdon Bleu saus asam manis terpapar di atas meja, dan tak memandang siapa yang telah memesankan. Sarah kemudian duduk di sampingnya dengan Courdon Bleu-nya sendiri, dan dengan gesit merogoh ransel Novi untuk mengambil beberapa lembar uang sesuai dengan harga Courdon Bleu punya Novi.

Robi menyusul setelah menyapa Bejo dan Daffa, dan mendapat sedikit olokan dari mereka karena bercengkerama dengan gadis-gadis. Robi tidak peduli; Sarah telah menemaninya sedari masuk SMA dan merupakan orang pertama yang mengajarinya Bahasa Indonesia. Novi sendiri menjadi teman kolateralnya, karena Sarah selalu bersama Novi sedari awal Robi berteman dengan mereka.

Ketiga sekawan itu menikmati makan siang mereka bersama—Novi yang paling lahap dan berantakan. Sarah memulai percakapan, "Rob, gimana?"

"Gimana apa?"

"Yah, TO-nya tadi."

"Kan tadi sudah kubilang. Susah."

"Tapi bisa nggak?"

"Aku nggak jauh beda sama Novi sih."

"Harus belajar lebih banyak berarti. Kamu jadi kan, kuliah di Kualalumpur?"

"Nggak tau, Sar. Mungkin di sini aja. Malaysia lagi ribet."

"Orangtua kamu gimana? Dapat ijin?"

"Dapat sih. Katanya nggapapa."

"Udah tau mau di mana?"

"Ngikut kamu deh."

"Yakin sanggup?"

"Nggak tau," Robi terkekeh.

"Dasar," Sarah menggeleng kepala, "Orangtua gimana? Aku dengar sultan barunya dari daerah kamu."

"Yah, gitu-gitu aja. Nggak gimana-gimana. Kemaren sempet heboh Luqman. Si anak sultan. Lucu katanya. Ya iyalah! Masih bayi. Nanti kalau udah gede palingan seserem bapaknya," gerutu Robi.

"Lucu tau. Kamu mah bilang bapaknya seram. Ya iyalah, udah tua. Bapaknya boleh juga tau."

"Itu mah kamu yang genit!" maki Robi. Sarah terkekeh.

"Novi nggak suka dedek bayi," ujar Novi tiba-tiba di tengah-tengah santapannya.

"Siapa?" tanya Robi.

"Nov—"

"YANG NANYA!" teriak Robi. Dia langsung terpingkal-pingkal, sedangkan Novi kembali tertegun karena suara keras Robi. Novi tidak mengerti, dan tidak merasa terejek. Karena itu, Robi dengan cepat menyudahi tawanya, dan menjadi kikuk melihat wajah Sarah yang datar dengan alis mengernyit.

"Cie. Belajar dari Daffa pasti," sewot Sarah.

"Iya," Robi terkekeh, "Maaf, maaf. Maaf ya, Novi."

"Oh iya," Sarah merogoh tasnya dan mengambil tempat bekal, "Ini Kerak Telornya. Sekalian salam buat bapakmu ya."

"Ah, iya. Hampir lupa. Makasih Sar—"

"Kerak Telor lagi ya? Ih, tau gitu gue juga pesen!" tiba-tiba Diva datang dan duduk di atas meja. Ia memandangi Kerak Telor pesanan ayah Robi, "Makanan langka nih. Cuma ada pas pameran doang."

"Ya udah. Ambil aja sepotong. Nanti aku bilang bapak aku ambil sedikit," ujar Robi. Diva tersenyum lebar, "Makasih Rob!"

Sarah yakin ia mencium bau amis dari mulut Diva. Bau itu khas, dan sangat samar. Sejak dari kelas sepuluh, tiap pulang sekolah, bau amis itu selalu tercium samar. Hanya tiap pulang sekolah, tapi kadang juga ketika Diva habis dari toilet untuk buang air besar, UKS karena pura-pura pingsan di tengah upacara, atau ruang BK karena berulah. Pasti ada rokok lain yang ia sembunyikan, pikir Sarah. Jangan-jangan ganja, pikirnya lagi, meski Sarah sendiri tak pernah tahu bau ganja.

"Kamu habis ngerokok lagi ya, Div?" Sarah menginterogasi.

"Hah?" jawab Diva keheranan, "Mulut gue bau rokok?"

"Iya. Bukan rokok mentol biasa ya?" Sarah memandang mata Diva. Robi penasaran, tetapi ia tidak dapat mencium apa-apa dari mulut Diva selain Kerak Telor yang sedang dikunyahnya.

"Apaan sih, Sar?" Robi bertanya.

"Nggak," Sarah berpikir ulang dan menganggap bau amis itu tidak penting, "Udahlah, lupain aja. Jadi kamu mau pesan Kerak Telor juga, Div?"

"Nggak Sar. Belum tentu gue mau besok Senin."

"Nanti ngiler lagi loh. Kan bisa bawa pulang, atau kamu kasih ke kakak."

"Kakak gue nggak suka Kerak Telor," Diva menghela napas, "Ya udah. Gue pesen deh buat Senin. Jangan lupa ya lu."

"Oke, Div," Sarah tersenyum. Uangnya bertambah lagi. Setelah lewat beberapa detik, Sarah bertanya lagi kepada Diva, "Div, aku mau beli buku nih. Mau ikutan baca lagi?"

Diva menjepit rahangnya dan berdiri perlahan, "Seru nggak bukunya?"

"Seru banget kayaknya. Tentang filosofi."

"Wah, berat nih. Nggak ah."

"Ya udah. TO berikutnya kamu nyontek manual ya."

"Oke. Baca bareng tapi ya. Emang ya, elu."

"Gitu dong," Sarah tersenyum manis.

"Buku apa lagi tuh?" tanya Robi.

"Dunia Anna, Rob," jawab Sarah sambil menaikkan alis dua kali, "Yang nulis yang ngarang Dunia Sophie loh."

"Aku mana sanggup baca kalau itu mah!" keluh Robi.

"Masa?" tanya Diva.

"Ya iya lah! Bukunya saja setebel—"

"BODO!" teriak Diva. Kali ini Diva yang terpingkal-pingkal, dan Robi hanya dapat tersenyum kecut. Sekali lagi Novi tertegun mendengar suara keras, sedangkan Sarah hanya bisa menggelengkan kepala.

Courdon Bleu punya Novi sudah habis, dan saus asam manisnya masih tersisa di bibir Novi. Sarah mengambil tisu dari ransel Novi, dan mempersiapkan diri. Ia kemudian memeluk pundak Novi erat-erat, dan Novi terkaget. Novi berusaha lepas dari sentuhan Sarah, tetapi ketika ia berhasil lepas, bibirnya sudah dibersihkan oleh Sarah. Diva menggelengkan kepala, "Udah kayak suster elu tuh, Sar."

"Nggak apa-apa," Sarah membuang tisu bekas itu ke piringnya sendiri yang sudah bersih, "Kan emang diamanahi ibunya. Aku juga seneng-seneng aja kok."

"Elah, gue cuma komentar, Sar. Jangan serius gitu dong," sengir Diva, "Elu kan suster kita semua ya. Hahaha!"

Sarah tersenyum, lalu terkekeh. Ia sadar, teman-temannya memang memerlukan suster. Diva adalah anak rantau yang susah berteman dengan remaja sebayanya. Hidupnya lebih seru di luar sekolah bersama dengan mahasiswa atau pekerja muda rekan kakaknya, dan hanya Sarah yang tahu bahwa Diva punya tato batik di ulu hati serta di atas tulang ekor. Robi sendiri juga anak rantau, selagi kedua orangtuanya bekerja di Jakarta. Ia bisa berteman dengan siapa pun, tetapi menempel bersama Sarah karena hanya Sarah yang membantunya belajar menjadi seperti orang Indonesia, selagi teman futsal dan daringnya mengolok aksen dan keterbatasan pengetahuannya tentang budaya remaja Jakarta. Novi, dengan keunikannya, hanya bisa melihat ibunya sebulan sekali—kadang bisa sampai tiga bulan tak bertemu. Janda itu kerjanya di tengah laut, dan anaknya ditinggal bersama "suster Sarah" di sekolah, serta suster sungguhan di rumah mewahnya. Tanggung jawabku besar, pikir Sarah, dan ia senang bertanggung jawab.

"Suster, suster. Untung dibayar ya," ejek Sarah.

"Makanya, jangan protes!" gelak Diva, "Ya udah, gue duluan ya. Mau siap-siap nonton konser."

"Ya udah, aku belakangan," lawak Sarah. Diva memutar matanya.

"Konser apa?" tanya Robi.

"Mau tau aja elu!" gertak Diva. Dengan cepat ia ganti gertakan itu dengan sengiran, "Canda. Konser ben metal. Biasa lah. Elu nggak bakal doyan juga."

"Oh, oke deh," jawab Robi.

Diva membenarkan tasnya dan bergegas keluar kantin. Setelah hening sesaat, Sarah bertanya kepada Robi, "Orangtua kamu tetap bakal pindah Maret nanti?"

Robi mengeluh, "Ya iya lah. Kerjaan mereka. Paling nanti waktu libur panjang aku nyusul."

"Kasihan kamu. Lagi UN malah ditinggal."

"Nggapapa, cuma sebentar."

"Ya kalau kamu jadinya kuliah di sini, empat tahun nggak ketemu dong!"

"Kedah-Jakarta dekat kok."

"Dekat apaan. Beda negara."

"Mending lah. Daripada Kedah-Amsterdam."

"Hahaha! Masih ngiri kamu ya sama kakak kamu."

"Ya udahlah. Aku mah apa, cuma adek goblok."

"Makanya belajar," Sarah terkekeh, "Apa mau aku bantu kamu nyusul kakakmu?"

"Udah telat kali," keluh Robi, "Lagian juga beasiswa kayak begitu cuma buat S2. Nggapapa lah. Mau di Jakarta atau Kualalumpur, yang penting kuliah."

Sarah tersenyum, "Ya udah. Fokus UN dulu. Besok aku mau ke rumah Novi, bantu dia belajar. Mau ikut?"

"Besok? Nggak bisa, Sar. Futsal," jawab Robi.

"Ya udah. Kalau kamu bisa aja," keluh Sarah.

Di ujung kantin, Bejo dan Daffa sedang membicarakan berita terbaru. Dikatakan bahwa pembunuh Sultan Malaysia sebelumnya sudah tertangkap, beserta tersangka lain yang terlibat. Kecemasan timbul di pembicaraan Bejo, saat Daffa membacakan bahwa investigasi dari pihak Malaysia mengonfirmasi bahwa semua tersangka berasal dari Indonesia.

[]

Continue Reading

You'll Also Like

7.3K 239 49
Banyak kata yang ingin kuucapkan tapi apa daya semuanya tercekat ditenggorokan. Banyak perasaan yang ingin kuungkapkan tapi apa daya semuanya terhent...
44.8K 2K 10
Blurb Sekar tak lagi percaya cinta, sebab kata yang dulu sempat diucapkan oleh Arya, kekasihnya yang menghilang tanpa pesan, telah menorehkan luka...
70.3K 8.7K 24
Aku tidak buta warna. Aku tahu bagaimana indahnya pelangi. Aku pernah merasakan sinar matahari yang menyilaukan mata. Tapi sejak hari itu... mataku...
1.4M 24.7K 16
SUDAH TERBIT! BISA DI CARI DI TOKO BUKU DAN OLSHOP KESAYANGANNN~~~ Hal paling menyebalkan dalam kehidupanku mungkin terletak pada diriku sendiri. Dis...