His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
17
18a
18b
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

13

30K 4.1K 215
By AyaEmily2

Senin (12.45), 08 April 2019

-------------------------

Mobil yang Henry kendarai berhenti di depan sebuah rumah makan. Lalu dia dan Dennis turun, masuk ke rumah makan itu dan sengaja mencari tempat duduk di salah satu sudut yang cukup nyaman untuk mengobrol tanpa perlu khawatir dicuri dengar. Setidaknya Henry yang berniat mengobrol. Sementara Dennis lebih tertarik untuk makan siang.

Setelah pelayan mencatat pesanan mereka, Henry bertanya hati-hati, sadar betul suasana hati Dennis masih sangat buruk. "Ehm, sebenarnya kau dan Ellen ada hubungan apa? Apa semua yang kau katakan pada Rennie memang benar?"

"Benar," sahut Dennis tak acuh. "Tapi beberapa sengaja kulebih-lebihkan."

"Termasuk 'tidur bersama' itu?"

Dennis mengangguk.

Namun Henry masih belum puas dengan informasi sepotong-sepotong itu. "Tapi Ellen memang nyaris terjatuh ke jurang di hutan, kan?"

"Ya, karena berniat berpetualang. Kebetulan aku mencari kayu di dekat situ dan mendengar teriakannya."

Henry memukulkan kepalan tangannya ke meja dengan gemas. "Kalau begitu kenapa Ellen tidak menceritakan yang sebenarnya pada Rennie? Kenapa harus berbohong dan mengarang cerita seperti itu?"

"Karena cerita yang sebenarnya melibatkanku. Dan seperti yang kubilang, Ellen bercerita ibunya sangat marah saat mendengar gosip tentang kami yang sarapan bersama. Pasti dia tidak berani karena takut semakin membuat ibunya marah."

"Tapi itu bukan sesuatu yang disengaja dan kau hanya berniat menolong."

Dennis mendengus. "Aku hanya kerikil kecil, ingat? Pasti yang berkaitan denganku akan selalu salah."

Kening Henry berkerut, masih merasakan kejanggalan. "Ellen benar-benar membawakanmu cheese cake dan bubur?"

"Ya. Sepertinya hanya berniat bersikap ramah pada tetangga yang baru dikenalnya. Ditambah lagi dia merasa bersalah karena pernah menatapku terang-terangan dengan ekspresi ngeri."

Meski tahu kenyataannya Ellen memang tertarik pada dirinya dan segala yang Ellen lakukan adalah alasan agar dia tetap bisa menemui Dennis, tapi Dennis tidak mau merendahkan Ellen dengan menceritakan hal itu, meski pada Henry sekalipun. Bahkan saat ini dia mulai diliputi rasa bersalah akibat ucapannya pada Rennie di depan banyak orang.

"Lalu tentang tidur bersama, itu juga hanya karanganmu?" Henry masih berharap mendapat jawaban jelas.

"Kami memang tidur bersama," kata Dennis santai. Saat Henry terbelalak, dia melanjutkan, "Tapi aku tidur di kamar dan Ellen tidur di sofa."

"Kau ini!" kesal Henry. Lalu dia terdiam dengan pandangan menerawang. "Kuharap Ellen baik-baik saja."

"Memangnya dia kenapa?"

"Yah, dengan Ibu seperti Rennie yang tampaknya menganggap nama baik dan martabat adalah segalanya, entah apa yang sanggup dia lakukan."

Dennis terdiam. Teringat Mamanya sendiri yang kadang bisa menjadi beruang ganas saat Dennis melakukan kenakalan tapi menjadi orang pertama yang langsung memeluk saat dirinya menangis.

"Aku yakin Ellen akan baik-baik saja. Mungkin hanya akan sedikit kena marah."

Henry mendesah. "Yah, semoga."

***

Bibi Missy mengantar Ellen yang berjalan pincang sampai pintu gerbang kediaman Morris. Dia tak henti-hentinya menangis meski Ellen sudah tidak mengeluarkan air mata lagi. Kini Ellen mengenakan jaket bertudung untuk menutupi luka di wajahnya.

Usai berpamitan dengan Bibi Missy, Ellen berjalan kaki dengan langkah tertatih di pinggir jalan raya sambil menimbang-nimbang hendak langsung kembali ke apartemen yang selama dua tahun ditinggalinya atau pergi ke tempat lain untuk menghabiskan masa liburan. Sesekali tampak dia meringis menahan sakit.

Mendesah, Ellen berhenti di perempatan lampu merah, menunggu mungkin ada taksi lewat. Tapi beberapa detik kemudian dirinya tertegun, menyadari di mana ia berada.

Di sini pertama kali Ellen melihat Dennis dan—terpesona. Bahkan tempat Ellen berdiri sekarang, sama persis dengan tempat Dennis berdiri waktu itu.

Senyum sedih Ellen muncul. Betapa banyak yang telah terjadi hanya dalam waktu yang amat singkat. Padahal waktu itu di dalam taksi, Ellen tidak pernah menduga akan bertemu lagi atau bahkan mengenal lelaki yang langsung menjadi objek fantasi liarnya dalam sekali lihat. Bukankah terkadang takdir sangat lucu dan konyol?

Dia bahkan tidak pernah menyangka hubungannya dengan Rennie akan seburuk ini. Padahal seumur hidup Rennie tidak pernah memukulnya hingga terluka seperti sekarang. Hanya beberapa kali cubitan dan pukulan ringan saat kelakuan Ellen sudah di luar batas menurut Rennie.

Di sisi lain, mobil yang dikendarai Henry terjebak lampu merah di perempatan jalan. Sejak selesai makan siang, suasana dalam mobil jadi terasa menyesakkan. Dennis tampak tenggelam dalam lamunannya namun suasana hatinya yang buruk masih terasa jelas, bagai kabut hitam yang kian tebal. Pertanyaan yang sesekali Henry ajukan pun tak mendapat sedikit pun tanggapan.

Dennis sendiri merasa tak bisa mengontrol emosinya. Rasanya dia ingin memukul seseorang untuk melampiaskan amarah. Otaknya kini dipenuhi Sintha, Ibu Ellen, dan Ellen. Terutama Ellen. Apalagi setelah pembicaraannya dengan Henry tadi. Perasaan Dennis jadi tak enak. Bertanya-tanya apa wanita itu baik-baik saja.

Dalam posisi melamun menghadap jendela samping mobil itulah Dennis melihat seseorang yang tampak familiar di pinggir jalan. Sejenak dia menyipitkan mata memperhatikan orang itu. Cukup sulit karena orang itu mengenakan jaket bertudung yang nyaris menutupi keseluruhan wajahnya. Tapi dua detik kemudian mata Dennis melebar saat mengenalinya. Lalu tanpa peringatan dia keluar mobil Henry.

"Hei! Dennis! Kau mau ke mana?" tanya Henry bingung sekaligus panik, berpikir mungkin ada masalah serius. Tapi dia tidak bisa keluar menyusul Dennis dan lampu hijau tinggal beberapa detik lagi.

Ellen masih berdiri diam di pinggir jalan, tak benar-benar berniat menemukan taksi. Dia bimbang. Haruskah pergi dengan meninggalkan masalah yang akhirnya akan menjadi jarak di antara dirinya dan sang Ibu atau memilih tetap bertahan hingga berhasil mendapat maaf dari ibunya?

Atau apa sebaiknya dia menemui ayahnya dan menceritakan semua ini? Ah, tidak. Sepertinya Ellen tidak bisa melakukan itu. Seperti malam saat Rennie memaki-maki Ellen, James akan membela Ellen lagi kali ini. Apalagi jika tahu dirinya sampai terluka, James tidak akan tinggal diam. Dan itu yang ditakutkan Ellen. Dia tidak mau menjadi alasan keretakan rumah tangga orang tuanya.

Bahu Ellen tampak lunglai dengan segala pikiran yang memenuhi otaknya. Hingga dia tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya sampai orang itu berbicara.

"Kau mau ke mana dengan semua tas ini?"

Refleks Ellen mendongak, tapi buru-buru menunduk kembali setelah sesaat tatapannya menangkap sorot mata biru yang amat familiar. Dia tidak mau Dennis melihat wajahnya yang penuh luka.

Tapi terlambat. Dennis sudah terlanjut melihat. Yang paling jelas adalah luka di bibir Ellen.

"Kenapa bibirmu?" tanya Dennis dengan nada geram yang terdengar jelas. Dia mulai menebak dari mana Ellen mendapat luka itu dan apa alasannya, tapi masih berharap bahwa dirinya salah.

Tidak mungkin Rennie sekejam itu pada anaknya sendiri, kan?

"Tidak sengaja kugigit karena sangat geram pada sesuatu," Ellen berusaha membuat suaranya terdengar seriang mungkin.

Jemari Dennis mengepal di samping tubuh. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Dan itu berarti membenarkan dugaannya. "Kenapa kau menundukkan wajahmu? Biasanya kau sangat kurang ajar."

Ellen tertawa kecil, namun tetap tidak menatap Dennis. "Sekarang aku mengerti bagaimana penilaian Anda terhadapku, Mr. Anthony.

Dia mengatakan bagaimana kau dengan tidak tahu malunya mengemis perhatiannya dengan menggunakan cheese cake dan bubur.

Mendadak perkataan Rennie terngiang dalam benak Ellen. Dia bertanya-tanya apa Dennis memang mengatakan persis seperti yang dikatakan ibunya? Bahwa Ellen mengemis perhatian?

Ellen Alodie, aku sudah muak dengan segala trik murahanmu. Aku tahu kau tertarik padaku dan berusaha mencari perhatianku.

Mendadak mata Ellen terasa panas. Bukankah memang seperti itu Dennis menilainya? Wanita yang mengemis perhatiannya. Jadi kemungkinan besar yang dikatakan ibunya benar-benar keluar dari mulut Dennis. Dan itu sangat menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik yang ditorehkan sang ibu.

"Apa ibumu mengusirmu?"

Ellen menghela napas untuk menelan gumpalan yang terasa menyumbat kerongkongannya. Lalu dia berusaha bicara dengan nada tenangnya yang biasa.

"Memang sudah waktunya aku pergi. Banyak yang harus kusiapkan sebelum memulai syuting." Setelah menghela napas sejenak, dia melanjutkan. "Senang bertemu denganmu dan jangan lupa menonton acara memasakku. Mungkin ada resepku yang bisa kau praktikkan."

Lalu dia berniat melanjutkan langkah kembali, menyusuri pinggir jalan hingga menemukan taksi atau apapun. Tapi dia terbelalak saat Dennis mencengkeram lengannya, mengambil kedua tas besar Ellen dengan satu tangan, lalu memaksa wanita itu mengikutinya.

"Mau ke mana?" tanya Ellen bingung seraya tertatih mengikuti lelaki itu.

Dennis benar-benar harus berjuang untuk mengontrol diri agar tidak menyeret Ellen mengingat kondisi kakinya. Dan seandainya tidak ada dua tas ini, Dennis pasti memilih langsung menggendong Ellen.

"Dennis, jawab aku! Aku harus segera pergi."

Lagi-lagi perkataan Ellen diabaikan. Lalu dia menyadari Dennis membawanya menuju mobil yang sedang parkir di pinggir jalan.

Dengan kasar Dennis membuka pintu bagasi mobil lalu melempar kedua tas itu ke dalam. Kemudian dia membuka pintu belakang dan setengah mendorong Ellen agar masuk. Setelah memastikan pintu mobil menutup rapat, dia membuka pintu depan lalu masuk ke kursi sebelah pengemudi.

"Kita mau ke mana?" tanya si pengemudi yang tak lain adalah Henry. Sesekali dia melirik bingung ke arah Ellen.

"Ke apotik," kata Dennis dengan nada tak ingin dibantah. Pandangannya kini lurus ke depan, dengan kedua tangan mengepal di pangkuan.

"Oh, baiklah." Henry segera menyalakan mesin mobil lalu melajukannya membelah jalanan. Kembali Henry melirik Ellen melalui spion dalam mobil. Saat tatapannya dan Ellen beradu, dia tersenyum ramah. "Hai, Nona Ellen. Namaku Henry. Mungkin kau tidak mengenalku karena aku datang ke kota ini bersama dengan Dennis."

Ellen balas tersenyum ramah tanpa melepas tudung jaketnya. Tapi mata jeli Henry bisa melihat luka di bibir dan bengkak di pipi Ellen. Dia langsung menebak pasti Ellen mendapat tamparan keras hingga bibirnya pecah.

"Panggil Ellen saja, tanpa 'Nona'. Senang bertemu dengan Anda. Seharusnya kita bisa bertemu lebih cepat. Sayang sekali setelah ini aku harus segera pergi."

"Tidak perlu bersikap formal, Ellen. Uban ini menipu. Padahal aku masih sangat muda," Henry menyeringai sambil menyusurkan tangan ke helai rambutnya yang sudah beruban.

Ellen tertawa kecil namun tidak sempat menanggapi karena mobil telah berhenti di depan apotik. Sebelum Dennis keluar, Ellen buru-buru mengeluarkan kertas berisi resep obat dari dokter tadi pagi.

"Bisa aku menitip tebuskan resep dokter? Ini untuk kakiku," kata Ellen sambil mengulurkan secarik kertas pada Dennis.

Sesaat Dennis hanya menatap kertas itu seolah berniat membakar dengan tatapannya, membuat Ellen berpikir lelaki itu akan menolak. Tapi kemudian Dennis mengambilnya tanpa mengatakan apapun lalu keluar.

"Jangan diambil hati. Dia seperti itu karena merasa bersalah padamu."

Ellen yang semula masih melihat Dennis melalui kaca mobil menoleh ke arah Henry yang kini menatapnya langsung, bukan dari spion dalam mobil lagi.

"Kenapa dia harus merasa bersalah?" Ellen pura-pura tidak tahu.

"Sepertinya kau mendapat masalah besar. Dan itu semua pasti akibat perkataan Dennis tadi pagi." Henry menghela napas melihat sikap diam Ellen, sadar bahwa Ellen sudah mengetahui insiden tadi pagi. "Dennis tidak bermaksud merendahkanmu. Suasana hatinya sedang sangat buruk. Lalu ibumu datang dan menghinanya. Jadi dia tidak bisa menahan diri untuk membalas."

Air mata Ellen mengalir dan dia buru-buru menghapusnya dengan lengan jaket. "Tapi dia tidak salah," suara Ellen serak. "Bisa dibilang aku memang mengemis perhatiannya." Lagi-lagi air matanya mengalir dan itu membuat Ellen kesal pada dirinya sendiri.

"Sejujurnya, Ellen. Aku senang kau melakukan itu. Tiga tahun mendekam di penjara membuat hati Dennis sekeras batu. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya kulihat dia memedulikan orang lain. Dan juga pertama kalinya dia mengakui sangat merindukan keluarganya."

Ellen mendongak menatap Henry.

"Aku tahu situasimu sekarang sangat sulit. Tapi aku senang kau datang, Ellen. Aku senang kau membuat Dennis kembali menjadi manusia. Bukan sekedar robot hidup yang menjalani hari menunggu ajal menjemput."

Ellen tertegun. Setetes air matanya mengalir tapi kali ini dia membiarkannya.

Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Ellen. Dan semua itu tentang Dennis Anthony. Henry pasti tahu banyak. Tapi sebelum dia sempat melontarkan satu pertanyaan pun, Dennis membuka pintu di samping Ellen lalu masuk.

Perhatian Dennis langsung tertuju pada air mata yang mengalir di pipi Ellen. Keningnya berkerut lalu dia menoleh ke arah Henry.

Henry berdehem, "Aku mau merokok." Lalu dia segera keluar sebelum mata Dennis mengeluarkan laser yang bisa membunuhnya.

"Apa yang dikatakan pak tua itu?"

Ellen mengusap pipinya yang basah. "Hanya bertanya dari mana aku mendapat luka di wajahku."

Dennis terdiam, memperhatikan Ellen yang kini menunduk, menolak menatapnya. Lalu dengan lembut dia menurunkan tudung jaket Ellen. Seketika dia tertegun, lalu dengan hati-hati menyentuh bagian rambut Ellen yang tampak basah dan lengket.

"Argh," Ellen meringis seraya memundurkan kepalanya dari sentuhan Dennis. Lalu dengan khawatir dia mengintip wajah Dennis yang kini memperhatikan tangannya sendiri yang merah oleh darah.

"Aku terpeleset lalu jatuh dan kepalaku mengenai sudut meja." Ellen menjelaskan sebelum Dennis bertanya.

Dennis mengalihkan perhatian dari tangannya ke wajah Ellen. Dan untuk pertama kalinya, Ellen merasa takut. Takut melihat kegelapan yang seolah menyelubungi mata Dennis.

"Apa Rennie ibu kandungmu?" tanya Dennis dengan nada mendesis menahan amarah.

"Tentu saja."

"Dia bisa dipenjara karena ini."

Tidak ada gunanya berbohong pada Dennis. "Tidak, tidak. Dia hanya tidak sengaja melakukannya. Aku baik-baik saja." Ellen berusaha tersenyum.

"Benarkah?"

Ellen mengangguk, berusaha menahan gumpalan tangis yang kembali menyumbat tenggorokannya.

Yang benar saja. Dirinya tidak baik. Sama sekali tidak. Ellen terguncang. Dia merasa kacau. Sangat kacau. Kondisi ini membuat Ellen sakit luar-dalam. Dan dia tidak tahu bagaimana cara meredakan rasa sakitnya.

Tiba-tiba Dennis menarik Ellen ke dalam dekapan, mengabaikan darah Ellen yang menodai kemejanya. "Maafkan aku," kata Dennis dengan nada lirih.

Dan entah mengapa, permintaan maaf Dennis membuat bendungan emosi Ellen jebol. Tangisnya pecah. Dia terisak, menumpahkan sakit di hatinya dalam dekapan Dennis sambil mencengkeram erat kemeja lelaki itu.

---------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

202K 11.2K 37
⌠SEMUA CHAPTER MASIH LENGKAP⌡ PRINCESS DIARIES #1 "She just came and went without leaving the glass shoes as recorded in the book. That's because she...
4.7M 173K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
5.8M 199K 27
Pernikahan yang sangat dinantikan oleh Ferlyn Edwardo. Menikah dengan pria yang dulu di sukainya. Pria itu bernama Delvin Arfa Patterson. Ternyata da...
3.8M 594K 45
Kayana memilih memulai hidup baru di tempat yang jauh dari masa lalunya setelah perceraian yang menyakitkan beberapa tahun lalu. Meskipun tidak muda...