His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18a
18b
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

8

32.5K 3.8K 133
By AyaEmily2

Minggu (19.14), 31 Maret 2019

--------------------------

Malam ini Ellen gelisah. Matanya sulit terpejam. Ingatannya terus melayang pada Dennis dan bagaimana lelaki itu sudah menolaknya bahkan saat Ellen baru melangkah mendekat.

Tidak, Ellen tidak berniat menjalin hubungan seperti yang dituduhkan ibunya dengan Dennis. Meski otaknya terus menampilkan adegan memalukan dengan Dennis dan dirinya sebagai tokoh utama, namun Ellen tulus ingin berteman dengan lelaki itu.

Dennis tampak kesepian dan menyimpan rasa sakit dibalik topeng dingin yang menyelubungi dirinya. Dia juga membentengi diri dengan sangat rapat, membuat siapapun tidak berani mendekat.

Apa kau benar-benar tidak punya harga diri? Menyodorkan tubuhmu dengan sukarela pada sampah itu? Kenapa tidak sekalian berdiri telanjang di tengah alun-alun kota?

Ellen menghela napas merasakan sesak di dadanya akibat ucapan sang ibu yang menurutnya sangat keterlaluan. Ibunya memang cerewet dan sering melarang banyak hal. Meski kerap kali membuat kesal, tapi masih wajar karena itu berarti sang ibu mneyayanginya dan mengkhawatirkannya.

Tapi sejak mendengar gosip tentang Ellen yang sarapan bersama Dennis Anthony, ucapan ibunya jadi semakin kasar dan menyakitkan. Hingga Ellen bertanya-tanya apa ada hubungan buruk antara Dennis dan ibunya atau ibunya berubah dan Ellen tidak menyadari itu karena sudah dua tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.

Ah, iya aku lupa. Dia memang anak kesayanganmu. Jadi wajar kalau kau terus membelanya meski salah.

Bahkan sikap sang ibu pada ayahnya pun bisa sangat kasar. Tuduhannya benar-benar di luar akal sehat padahal selama ini James tidak pernah bersikap tidak adil.

Sadar dirinya tidak akan bisa tidur, Ellen turun dari ranjang lalu keluar kamar. Tujuannya adalah kamar Ellias yang berada tepat di samping kamarnya.

Tok... tok... tok....

Ellen menunggu selama beberapa saat lalu terdengar kunci diputar sebelum pintu terbuka, menampakkan sosok Elias dengan headset di lehernya.

"Kau belum tidur?"

"Kalau kau ke sini hanya ingin menanyakan itu, sebaiknya kembali k kamarmu, Kak." Ellias melipat kedua tangan di depan dada, menampilkan raut kesal.

Ellen nyengir. "Bukan begitu. Aku ingin bertanya sesuatu." Lalu tanpa permisi dia masuk ke kamar Ellias dan langsung menghempaskan tubuh di atas ranjang empuk sang adik. Sepertinya tadi Ellias tengah bermain game online dan kebetulan tidak mengenakan headsetnya hingga langsung mendengar suara ketukan pintu.

"Ingin bertanya apa?" tanya Ellias yang langsung tidur telungkup di samping Ellen dan kembali memfokuskan diri pada gadget di tangannya.

"Mengenai ibu." Ellen memulai. "Apa menurutmu ibu agak berubah? Mungkin beberapa bulan terakhir. Misalnya cepat marah yang berlebihan atau semacamnya."

"Dari dulu Ibu memang pemarah, kan?"

"Hmm, iya sih. Tapi apa sekarang tidak lebih parah lagi? Sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak masuk akal."

Atau jangan-jangan hanya kepadaku? Pikir Ellen. Apa seperti dalam film-film, mendadak ibunya baru menyadari bahwa Ellen bukan anak kandung?

Ellias terdiam, tampak berpikir.

"Atau apa akhir-akhir ini Ibu dan Ayah sering bertengkar?" lanjut Ellen. "Aku hanya merasa Ibu agak berubah."

"Tidak sering. Beberapa kali iya. Dan yah, terkadang jika sudah marah mengenai sesuatu, Ibu bisa berbicara kasar yang menyakitkan hati. Seperti beberapa bulan lalu, dia sampai bilang menyesal telah melahirkan aku," Ellias angkat bahu.

Ellen terbelalak. "Sampai seperti itu?"

"Hu'um. Aku sampai berpikir untuk keluar dari rumah. Tapi Ayah mencegah dan berkata sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu tapi Ibu tidak mau menceritakannya. Ayah sedang berusaha mencari tahu dan berpikir bahwa itu berhubungan dengan kerinduan Ibu pada kota besar, tempatnya dulu dilahirkan."

"Apa sekarang Ayah tahu penyebabnya?"

"Ibu tetap tidak mau menceritakan apapun. Dan biasanya setelah marah-marah tidak jelas, dia melunak lagi. Mulai bersikap seperti biasa dan terkadang sampai minta maaf atas kelakuannya." Terdengar hela napas Ellias. "Seperti kata Ayah, orang-orang bisa berubah seiring waktu. Mungkin Ibu juga begitu. Jadi kami berdua belajar menyesuaikan diri. Tidak melakukan sesuatu yang memancing amarahnya. Dan jika dia terlanjur marah, kabur saja," Ellias terkekeh.

Ellen merebahkan diri dengan lekukan punggung Ellias sebagai bantal. Sesuatu yang biasa dia lakukan sejak mereka masih kanak-kanak.

"Andai Ibu mau menceritakan apa yang mengganggunya."

"Mungkin sebaiknya kau tidak pergi lagi. Sepertinya Ibu kehilangan teman curhat. Aku dan Ayah pasti dianggap kurang peka untuk menjadi teman berbincangnya. Dan amat tidak mungkin dia berbagi cerita dengan pelayan."

"Aku tidak bisa," Ellen mendesah. Mimpinya sudah di depan mata. Ellen tidak bisa berhenti begitu saja.

"Aku hanya bercanda, bodoh. Tidak perlu terlalu dipikirkan." Ellias kembali fokus pada gamenya.

Ellen tidak mungkin tidak memikirkannya. Pikirannya melayang memikirkan sang Ibu. Apakah jika dirinya bertanya. Ibunya bersedia bercerita? Atau malah itu akan memancing kemarahannya yang lain?

Duuuttt....

Suara samar itu membuat Ellen mengerutkan kening. Dia tidak langsung menyadari itu suara apa. Tapi saat bau busuk terasa menyengat hidungnya, seketika dia duduk seraya menutup hidung.

"Ellias! Kau menjijikkan!" seru Ellen keras seraya bergegas turun dari ranjang lalu keluar kamar dan hanya ditanggapi tawa keras sang Adik.

***

Dennis berbaring nyalang di kamarnya. Satu tangan diletakkan di bawah kepala sebagai bantal sementara tangan yang lain tampak memegang anting Ellen dengan ibu jari dan telunjuk, memperhatikannya dengan seksama.

Tanpa bisa dicegah, otak Dennis terus memikirkan wanita itu sejak dia pergi dengan air mata menetes. Rasa bersalah sempat hingga di hati Dennis. Dia bertanya-tanya apa dirinya sangat keterlaluan.

Tapi lalu otak sinisnya menampilkan sosok Aira dan perasaan dikhianati yang masih melekat hingga kini. Terutama saat terakhir mereka bertemu. Aira mengunjunginya di penjara dengan perut buncit yang membuat hati Dennis kian beku. Bahkan Dennis masih ingat betul kalimat terakhir yang diucapkkannya pada wanita itu sebelum beranjak kembali ke dalam sel tahanan.

Aku ingin mengatakan 'selamat' untuk kalian. Tapi bisakah kita tidak bertemu lagi setelah ini? Setidaknya hargai hatiku yang sudah hancur. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, terutama dengan senyum bahagia itu.

Jemari Dennis yang memegang anting mengepal kuat. Sakitnya masih sangat terasa, seolah itu baru terjadi kemarin.

Ellen pasti sama saja dengannya, pikir Dennis kemudian. Awalnya saja yang bersikap manis. Mengisi hari-hari Dennis dengan cerita bahagia. Tapi kemudian saat menemukan lelaki lain yang lebih muda dan tampan, dia akan langsung berbalik pergi, meninggalkan luka yang dalam.

Ya, keputusan Dennis untuk menolak Ellen tidak salah. Memang seharusnya dia mendorong Ellen menjauh sejak awal, sebelum hatinya terjerat. Tidak ada wanita yang bisa dipercaya. Semuanya sama!

Dennis bangkit duduk lalu menurunkan kedua kakinya ke lantai. Tanpa berdiri, dia membuka laci nakas lalu melemparkan anting Ellen ke dalamnya. Setelah itu dia kembali berbaring dan memejamkan mata, berusaha rileks agar alam mimpi segera menelannya. Tapi baru beberapa jam kemudian Dennis benar-benar terlelap karena memorinya terus menampilkan senyum cerah Ellen Alodie yang diakhiri raut kaget dan air mata sebelum wanita itu berlari keluar rumah Dennis.

***

Setelah memasak seperti biasa untuk keluarganya, Ellen memutuskan menjelajah hutan seperti kebiasaannya dulu. Dia memang suka sekali bermain di hutan bersama teman-temannya, tanpa takut bahaya yang mungkin terjadi. Bahkan dulu mereka pernah menemukan sungai kecil yang akhirnya menjadi rahasia kecil mereka.

Enam tahun sudah berlalu sejak terakhir kali Ellen menjelajah hutan. Kini dia ingin menguji dirinya sendiri, bisakah menemukan sungai itu sendirian? Lokasinya memang agak di tengah hutan. Tapi bisa saja sekarang pepohonan sudah semakin rapat dan hutan ini tak lagi aman dari hewan buas. Tapi pasti sangat menantang untuk mencari tahu, bukan?

Dengan berbekal tas ransel yang sebagian besar isinya adalah makanan, Ellen meminta Ellias mengantarnya ke tepi hutan yang biasa dilalui para penjelajah.

"Jam berapa aku harus menjemputmu?" tanya Ellias begitu mobil berhenti.

"Aku bawa ponsel. Nanti kuhubungi. Ingat, jangan bilang-bilang Ayah dan Ibu aku pergi ke mana."

"Iya... iya..." Sebelum Ellen turun, Ellias berkata tegas. "Sebelum gelap, kau sudah harus keluar hutan. Tempat ini makin berbahaya karena hujan."

"Kalau sampai jam tujuh kau belum menghubungiku, aku akan menelepon Paman Ryno."

Ellen terkekeh. "Terserah kau saja." Lalu ia keluar dari mobil.

Ellen tidak langsung melangkah. Sejenak dia menatap pepohonan lebat di depannya dengan perasaan tenang di hati. Persis seperti seseorang yang akhirnya pulang. Mungkin karena hutan ini menyimpan banyak kenangan masa kecil Ellen.

Beberapa meter memasuki hutan, jalanan masih familiar dalam ingatan Ellen. Seolah tidak ada pohon baru yang tumbuh. Seolah kehidupan di sini sama sekali tidak berubah.

Tapi beberapa meter berikutnya, Ellen mulai merasa tersesat. Apalagi tanah mulai licin. Banyak akar pepohonan yang membuat Ellen nyaris tersungkur karena tersandung. Dan di akhir langkahnya, Ellen menjerit saat dirinya terperosok ke jurang yang lebar.

***

KYAAAA!!

Dennis tersentak kaget mendengar suara itu. Tanpa berpikir lagi dia bergegas ke asal suara. Berlari kecil seraya melompat-lompat menghindari akar dengan lincah. Lalu berhenti di tempat yang dia yakini merupakan sumber suara.

Dennis terdiam. Menajamkan pendengarannya untuk menangkap suara yang tampak asing di tengah hutan yang mulai familiar baginya. Satu menit penuh menunggu, tak ada suara lagi hingga Dennis berpikir bahwa tadi dia hanya berhalusinasi. Tapi saat dia berbalik hendak pergi, suara lemah meminta tolong terdengar dari arah bagian hutan yang menurun karena sempat terjadi longsor. Tempat itu membentuk jurang yang sangat luas dan dalam, dengan semak dan rimbunan pohon di bagian bawah.

"Tolong...."

Suara itu kembali terdengar, lebih kuat dari sebelumnya. Dennis bergegas mendekati bibir jurang. Lalu keningnya berkerut melihat rambut panjang yang tampak sedikit acak-acakan yang sekilas seperti seorang wanita.

Wanita? Di hutan?

Dennis lebih memperhatikan wanita itu yang tampaknya berusaha mengangkat tubuhnya. Tapi sepertinya dia terjebak. Terjepit di antara pohon yang tumbuh di sisi jurang. Pasti dia terperosok ke sini dan beruntung pohon itu menahan tubuhnya.

"Butuh bantuan?" tanya Dennis kemudian.

Wanita itu susah payah berusaha melihat ke atasnya, lalu matanya berbinar bersamaan dengan mata Dennis yang terbelalak kaget.

"Kau...." kata Dennis tak percaya menyadari bahwa wanita itu adalah Ellen Alodie.

Ellen tersenyum memelas. "Hai, bisakah kau menolongku? Sepertinya aku terjebak di sini."

Dennis melipat kedua tangan di depan dada. "Tergantung. Apa tujuanmu masuk ke hutan dan sengaja membuat dirimu sendiri berada dalam bahaya?" Ada sedikit rasa curiga di hati Dennis bahwa Ellen sengaja mengikutinya ke hutan.

"Aku hanya ingin menjelajah. Sesuatu yang dulu sering kulakukan bersama teman-temanku. Tapi sejak terakhir kali aku masuk ke hutan sekitar enam tahun lalu, aku yakin belum ada jurang ini." Lalu Ellen menoleh kembali ke bawah sana. "Itu dalam sekali," lanjutnya pelan.

Dennis memiringkan kepala, menimbang apakah Ellen sedang berbohong atau tidak. Tapi sepertinya dia berkata jujur.

"Jadi, kau mau menolongku, kan?" pinta Ellen, kembali menatap Dennis dengan sorot memelas.

Dennis menghela napas lalu berjongkok. Tangannya yang tertutup sarung tangan terulur ke arah Ellen. "Pegang tanganku."

Ellen menyandarkan punggung di tanah sisi jurang lalu mengulurkan tangannya ke atas. Tas di punggungnya terasa mengganjal. Poisisinya mengangkang miring di sebuah pohon yang menjulang tinggi. Salah satu pahanya terjepit di sela antara pohon dan tanah. Dan sepertinya kaki kiri Ellen terkilir hingga membuatnya kesakitan saat berusaha menghela sendiri tubuhnya ke atas.

Dengan mudah Dennis menggenggam erat jemari Ellen karena jarak mereka memang tidak terlalu jauh. "Tangan yang satunya lagi. Aku akan menarikmu ke atas."

Setelah kedua tangan Ellen berada dalam genggaman Dennis, lelaki itu mulai menarik Ellen. Begitu setengah tubuh Ellen berada di atas, wanita itu meringis sakit. Beruntung jurang tidak menukik lurus ke bawah hingga sekarang Ellen seperti duduk di sisi jurang.

"Kenapa?" tanya Dennis seraya melepas tangan Ellen tapi mengganti tangannya memeluk pinggang wanita itu dari belakang. "Lepaskan tasmu!" perintahnya kemudian yang langsung dituruti Ellen dan Dennis segera melempar tas itu ke tanah di belakangnya.

"Kakiku..." Ellen menggigit bibir menahan sakit yang kian terasa seiring tubuhnya yang ditarik ke atas.

"Mungkin terkilir."

Ellen mengangguk.

Dennis melongokkan kepala melewati bahu Ellen untuk melihat kondisi kaki Ellen. Tidak ada darah. Semoga hanya terkilir biasa dan tidak ada tulang yang patah, pikirnya.

Di antara rasa sakit yang dialaminya, Ellen menyadari betapa dekat tubuh mereka. Dennis memeluk pinggangnya erat dari belakang. Kepala lelaki itu tepat berada di sisi lehernya. Saat Ellen menoleh menatap Dennis dari samping, dia menyadari hanya dengan sedikit memajukan kepala, bibirnya bisa langsung menyentuh pipi Dennis.

"Kau sangat tampan." Kata itu meluncur begitu saja dari bibir Ellen tanpa sempat disaring otaknya.

Perlahan Dennis menoleh, membuat mereka bertatapan dengan posisi sangat dekat. "Mau kulepas tubuhmu sekarang?" tanyanya jengkel.

Ellen menahan senyum gelinya lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tapi dengan sengaja menyandarkan kepala di sisi leher Dennis. "Tidak, tolong aku. Kepalaku mulai pusing."

Dennis melemparkan tatapan membunuh ke arah wanita dalam dekapannya dan tergoda mendorong wanita itu ke dalam jurang.

------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 87.8K 31
Abel tidak pernah menyukai Garry... Sejak Garry berpacaran dengan Risty-- kakak Abel, pria itu tidak pernah menutupi ketertarikannya pada Abel. Dan k...
4.9M 267K 53
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1.7M 80K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
431K 20K 61
°FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!° Alea Azahra Aditama mahasiswi cantik yg menyukai dosennya yg tampan, tapi seakan keberuntungan tak berpihak kepadanya...