Pagi yang sibuk di Ibu kota Kerajaan Majapahit,
Wilwatikta. Orang‐orang berlalu lalang di jalanan yang
hendak berdagang dan mulai menawarkan
dagangannya. Jalanan pasar yang begitu ramai
memperlihatkan kesIbukan mereka. Ada yang berteriak‐teriak
menawarkan daging dan ikan‐ikan segar, kain‐kain sutra yang
mahal, ada yang menawarkan hasil kebun dan
sawah mereka, dan ada pula yang menawarkan barang‐barang gerabah
mereka. Seorang pemuda berwajah cantik tampak berjalan pelan
sambil menimang‐nimang kantung uangnya dan menjinjing
sekantung beras. Kantung itu terlihat tidak berat. Matanya
yang bulat berputar‐putar melihat dagangan para pedagang
dengan gembiranya. Tiba‐tiba matanya berhenti pada satu
benda yang berderet rapi di sebuah meja seorang pedagang.
Bibir merahnya menyunggingkan senyum tipis yang manis
ketika melihat sebuah tusuk konde cantik berwarna biru
kehijauan yang berukir.
"Kau mau ini, anak muda?" si pedagang yang cekatan
melihat reaksi pemuda ini tersenyum sambil mengacungkan
tusuk konde tersebut.
"Cantik sekali ..., " gumamnya.
"Ini tidak mahal. Hanya ... Heiii! Kau tidak jadi
membelinya?"
Pedagang itu berteriak ketika si pemuda tidak
menggubris aksinya yang menawarkan dagangannya.
Senyum ramahnya serta merta hilang bergantikan cemberut
di bibirnya ketika melihat pemuda ini mengurungkan niatnya
mendekati penjual hiasan kepala tersebut.
Sementara si pemuda yang melenggang pergi hanya
membatin "Itu pasti sangat mahal," pikirnya. Baru saja dia
beranjak dari hadapan penjual hiasan kepala itu, seseorang
menabraknya dan membuat kantung berasnya terjatuh
berserakan di jalan.
"Ohhh ... berasku .... "
Pemuda cantik itu segera memunguti butiran‐butiran
beras yang terjatuh berserakan. Tetapi tangannya terhenti
ketika sebuah kaki sudah menginjak‐injak beras yang
berserakan itu. Kepalanya mendongak dan melihat seorang
pemuda berpakaian pelajar sedang sempoyongan karena
mabuk. Pemuda ini menarik nafas panjang dan berdiri.
"Maaf tuan muda, itu adalah beras saya. Jadi mohon
jangan menginjaknya," kata pemuda itu dengan sopan.
Beberapa orang yang ramai di pasar segera
berhenti untuk menyaksikan pemuda itu.
"Apa? Kau sedang memerintahku? Dasar orang miskin!
Beras itu sudah tidak layak kau makan. Ambil ini dan belilah
beras yang baru! Hal seperti itu saja kau permasalahkan."
Pemuda pelajar itu merogoh kantungnya dan melemparkan
beberapa keping uang ke arah si pemuda cantik itu. Melihat
sikap pemuda pelajar itu, dia hanya menarik nafas dan
memunguti kepingan uang yang jatuh. Lalu diberikannya
kembali pada si pemuda pelajar itu.
"Seberapa banyak uang yang tuan muda berikan, tetap
saja itu tidak akan mengubah perbuatan tuan muda yang
menginjak‐injak beras ini ..."
"Ahhh! Kau pemuda miskin yang banyak bicara! Bukankah salahmu sendiri menjatuhkannya?!"
"Jika bukan tuan muda yang menabraknya, tidak
mungkin beras itu akan jatuh begitu saja," jawab si pemuda
cantik dengan tenang
"Kau berani membantahku? Dasar...!"
Tangan pelajar itu sudah melayang, namun dengan cepat
ditahan oleh pemuda cantik itu.
"Jangan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan
masalah. Tahukah tuan muda ini, seberapa penting beras ini
untuk kami? Ini adalah sumber kehidupan buat kami, pemberi
tenaga sekaligus semangat untuk kami. Mungkin bagi tuan
muda yang kaya, hal itu tidak penting karena tuan muda tidak
pernah merasakan betapa kerasnya kami bekerja mulai dari
menanam hingga memanennya. Tuan muda hanya tinggal
menikmatinya saja. Bukankahtuan muda adalah pelajar
istana? Apakah di sana tidak diajari bagaimana bersikap pada
orang? Bukankah sekolah di istana itu bertujuan untuk
mendidik para pelajar menjadi orang‐orang yang bijak dan
tahu sopan santun sekaligus menjadi calon pemimpin‐
pemimpin kerajaan ini, yang kelak akan menjadi suri tauladan
bagi rakyat kecil seperti kami? Jika seorang pemimpin hanya
bisa bermabuk‐mabuk seperti ini dan tidak bisa bersikap bijak
maka tidak ada gunanya kerajaan mendirikan sekolah istana.
Kami juga membayar pajak untuk kelangsungan sekolah
istana. Jadi, janganlah berbuat sekendak hati seperti ini
kepada kami yang miskin!"
Semua orang terperangah mendengar perkataan yang
begitu berani si pemuda cantik ini. Tidak terkecuali seorang
pemuda berpakaian biru yang sejak tadi mengawasi kejadian
itu di balik kerumunan orang‐orang. Pemuda berwajah
tampan dan gagah ini tersenyum tipis mendengar perkataan
pemuda cantik itu, lalu dia pun beranjak pergi.
"Kau berani menantangku?"
Pelajar itu marah dan belum selesai pemuda cantik itu
menjawab perkataan pelajar mabuk. Seseorang yang berada
dalam kerumunan itu menyambar kantung uang si pemuda
ini dan berlari di antara para pejalan kaki yang berlalu lalang.
"Hahh ... uangku! Pencuri! Dia pencuri!"
Pemuda itu berlari mengejar dan dia melihat laki‐laki yang
mencuri itu melemparkan uangnya ke arah pemuda
berpakaian biru yang sejak tadi berdiri di jalan tersebut.
"Pencuri! Dia mencuri uangku!!!" semua orang yang
mendengar itu langsung ikut berlari mengejar, sedang
pemuda berpakaian biru yang tidak tahu apa‐apa itu jadi
kaget dan berlari menghindar. Terjadilah aksi kejar‐kejaran
antara pemuda berpakaian biru, pemuda cantik, dan
beberapa penduduk yang ikut mengejar.
Tapi setelah kejar‐kejaran, pemuda berpakaian biru itu
menghilang. Si pemuda cantik ini hanya
bisa terduduk kesal.
Hari ini dia benar‐benar sial. Berasnya jatuh berantakan dan
uangnya hilang pula. Hhh ...! ini gara‐gara pelajar mabuk itu.
Keterlaluan! Pemuda ini merengut dengan kesal.
"Para pelajar itu benar‐benar memandang remeh kami
yang rakyat jelata," gumam pemuda cantik kesal.
"Lantas, untuk apa kerajaan mendirikan sekolah istana
sementara para pelajarnya hanya bersenang‐senang dan
bermabuk‐mabukkan? Harusnya mereka mendapatkan
hukuman karena perbuatan mereka," masih dengan gerutuan
panjang pendeknya. Lalu seorang anak kecil bertelanjang
dada menghampirinya.
"Kakang, ini...."
Anak kecil ini memberikan selembar daun lontar padanya.
"Apa ini?"
"Seorang kakang tampan menyuruhku memberikannya
padamu, itu dia!" anak kecil itu menunjuk ke ujung jalan dan
sebuah bayangan biru berlari menghilang.
"Hhh ...! Dia?"
"Kakang, Ini!" anak kecil ini mengulurkan tangannya.
Pemuda cantik segera mengambil daun lontar itu dan di
dalamnya ada sebuah pesan
~Jangan menuduh orang jika kau tahu dia tidak bersalah
Pemuda ini berpikir sejenak setelah membaca tulisan di
atas daun lontar itu. Dia tadi memang
melihat yang mencuri uangnya bukan pemuda berpakaian biru itu dan pemuda
berpakaian biru itu berlari karena kaget. Mungkin dia takut
karena meneriakinya pencuri. Oh ... Hari ini dia sepertinya
telah berbuat kesalahan. Lalu dia pun beranjak dari tempat
itu kembali ke pasar, tepatnya ke sebuah toko obat.
"Baguslah kau kembali. Obat adikmu lupa kau bawa,"
seorang laki‐laki setengah baya memberikan bungkusan obat
pada pemuda itu
"Terima kasih, Paman Wong."
"Hmm, oh ya ini ada makanan. Bawalah pulang juga!
Bibimu memasak banyak hari ini."
"Terima kasih, Paman. Kalian begitu baik padaku. Oh ya
Paman, apakah surat pemberitahuan dari kerajaan tentang
ujian masuk sekolah istana sudah ada?"
"Belum, Mahesa. Jadi, apakah kau benar‐benar ingin
mengikuti ujian itu?"
"Entahlah, Paman. Tapi aku rasa aku ingin sekali
melakukannya."
"Kau benar‐benar luar biasa."
"Paman, jangan berlebihan! Bukankah itu hanya angan‐
anganku saja selama ini?"
"Ya ya ya.
Kalau begitu, cepatlah pulang sekarang!"
Pemuda ini membungkuk dan berjalan keluar. Perjalanan
dari rumah Tabib Wong sampai ke rumahnya kurang lebih tiga
kilometer. Dia harus melewati bukit kecil dan melintasi hutan
jati yang lebat, sungai, dan pematang‐pematang sawah
hingga akhirnya tiba di rumahnya. Pondok itu sederhana namun tidak juga
besar. Sebuah pohon randu yang besar nampak gagah dan kokoh
memayungi pondok tersebut membuatnya menjadi teduh
dan sejuk. Di depan rumah terdapat tumbuhan sirih kuning
yang merambat pada kayu penyangga depan rumah. Karena
rimbun dan tertata rapi membuat kesan sejuk bagi yang
memandangnya. Di halaman rumah, sebuah pohon jambu air
sedang berbunga. Sebagian helai‐helai mahkotanya
berhamburan tertiup angin dan jatuh di tanah menciptakan
warna putih yang cantik. Sementara di sekeliling rumah
terdapat pagar kayu yang tidak tertata rapi namun
membuatnya menjadi unik dan menarik. Tak lupa, di sudut
pagar kayu depan, sebuah tempat minum dari gerabah
disertai gayung yang terbuatdari batok kelapa agak tinggi
disangga oleh batu‐batu yang tersusun rapi untuk para
pengembara atau siapa saja yang kehausan di jalan.
Sampai di pondok yang ternyata memang rumahnya,
pemuda cantik ini masuk dan langsung menuju ke kamarnya.
Begitu masuk, dilepaskannya ikatan di kepalanya dan
terurailah rambut panjangnya yang halus
dan hitam. Ternyata dia adalah seorang wanita.
Selanjutnya dia melepas baju pria yang semula
dipakainya. Tampaklah tubuhnya yang indah berganti dengan
pakaian wanita yang sederhana. Kulit gadis ini kuning langsat,
tubuhnya mungil dengan pinggang yang ramping dan dapat
dilingkari tangan agaknya, dan wajahnya cantik manis
tampak sedap dipandang mata. Ketika memandangnya
membuat orang tidak bosan dan semakin jatuh hati. Matanya
bulat dan lebar dan hidungnya mancung dengan bibir merah
merekah tanpa polesan pemerah bibir. Selesai mengubah
dandanannya, Gadis cantik itu terduduk sejenak. Entah apa
yang dipikirkannya. Setelah menarik napas panjang, dia
berjalan perlahan ke arah jendela kamar dan membukanya.
Seketika angin sore yang turun dari bukit di dekat
rumahnya membelai wajahnya dengan lembut. Kini
pandangannya menerawang jauh ke sana. Sekali lagi dia
menghela napas. Ada sesuatu yang dia sangat pikirkan. Tapi
entah apa, karena hanya dia dan Sang Penciptalah yang
mengetahuinya.
Gadis ini bernama Sekar Arum. Tinggal di sebuah rumah
kecil di ujung Ibu kota Kerajaan Majapahit bersama penduduk
lainnya. Dia hidup bersama Ibu dan adik perempuannya yang
berusia 8 tahun. Gadis ini memang berbeda dengan gadis
kebanyakan. Sejak berusia sepuluh tahun, ayahnya sudah
meninggal dan sebagai anak tertua dia mulai bekerja
membantu seorang tabib di ibu kota kerajaan.
Sejak itu dia belajar membaca, menulis, dan banyak hal
tentang pengobatan. Karena Tabib Wong adalah keturunan
Cina yang senang membaca, maka di rumahnya pun
banyak terdapat buku‐buku sastra, hukum, dan buku‐buku tentang
kebijakan hidup. Sekar bebas membaca dan melahap
semuanya dengan mudah. Tabib Wong yang tahu bakat luar
biasa yang dimiliki Sekar menjadi semakin sayang pada gadis
itu. Bersama istrinya, Sekar sudah dianggap anak mereka
sendiri. Dan dalam penyamarannya ini juga, Tabib
Wong berperan serta mengatakan pada semua orang bahwa Sekar
yang menyamar menjadi pria ini adalah putra angkatnya.
Sekar Arum memang sengaja menyamarkan dirinya
menjadi seorang laki‐laki untuk melindungi dirinya sekaligus
agar dia lebih leluasa bergerak ke sana‐kemari tanpa dikuntit
oleh para penjahat dan prajurit kerajaan yang akhir‐akhir ini
sering mengambil paksa para gadis desa untuk dijadikan
dayang istana atau yang paling menakutkan adalah menjadi
gadis persembahan raja. Beberapa kali, Sekar menyaksikan
sendiri bagaimana gadis‐gadis cantik itu dibawa paksa oleh
prajurit ke istana tanpa memedulikan keadaan keluarga para
gadis itu. Ini membuat Sekar geram dan dalam hatinya makin
mantap menyamar sebagai seorang pria. ..............................................................................................................
mohon maaf ya pembacaku...
Buku Cinta di Langit Majapahit SUDAH TERBIT....yeeeiiiii🤗😘,
jadi, cerita yang semula sudah dibaca 257 pembaca harus saya cut. jika mau tahu ceritanya
bisa order langsung ke author nya yess...,
Di sini nih,
Wa. 085835138774
terima kasih...🙏🙏