[BAHASA] Bukan Logika - Fanfi...

By kittyseia

5.7K 863 167

Hasil usaha pertamaku nulis fanfiksi Bahasa Indonesia! (Terharu) Please, be gentle with me na.. Ini adalah BL... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Extra - Lebih Menarik dari Langit
Bagian 12
Bagian 13

Bagian 8

348 68 19
By kittyseia


Padahal, Kongphob ingin Kak Arthit bisa mengantarnya dengan senyuman, meringankan rasa berat di hati karena menginggalkannya. Tapi sepertinya memang mustahil, karena hari berganti hari, amarah Kak Arthit belum juga mereda. Kakaknya itu bahkan membuang muka saat bertemu di koridor kampus, seakan-akan tidak melihatnya.

Hari keberangkatan pun tiba juga, dengan langit yang muram dan suhunya yang dingin, seperti perasaan Kongphob saat ini. Kemarin malam teman-temannya mengadakan pesta perpisahan kecil-kecilan, tidak tahu malu meminta untuk dibelikan oleh-oleh dan bahkan nomor cewek cantik di sana. Siang ini ia edarkan pandangannya pada kamar kost yang akan ditinggalkannya selama berbulan-bulan itu untuk terakhir kali, karena ia janji untuk makan siang dengan ayahnya.

Layar handphone-nya yang ada di atas meja belajar masih menunjukkan tidak ada pesan atau misscall baru.

Fine. Kongphob membiarkan mulutnya mengerucut. Kalau Kak Arthit mau berlaku seperti ini, Kongphob juga tidak akan menghubungi Kak Arthit!

..tapi tetap saja sakit hati.

Ia pergi membawa kopernya, menaiki mobil yang akan membawanya untuk makan siang bersama sang ayah. Mama dan Rin sudah pergi sejak minggu lalu, dan Kongphob sedang tidak mood untuk menanyakan kabar Kak Suda dan Kak Ohm.

Mereka makan dalam diam. Kongphob dan ayahnya memang punya kebiasaan seperti ini, tidak bersuara saat makan. Cuma dengan Kak Arthit ia membiarkan dirinya berbicara saat makan, mengomentari celotehan Kak Arthit yang seakan tidak ada habisnya.

Ugh. Kak Arthit lagi.

"Sudah semua dibawa kan?" Papa bertanya sesudah makan. Ia menyeruput tehnya dengan perlahan. Kongphob mengangguk.

"Papa sudah bicara dengan Om Park Jun. Dia bilang kamu boleh kapan aja main ke kantornya. Nanti kalau dia tidak sempat, karyawannya yang akan mengantar." Info ini bukan hal baru yang didengar Kongphob, tapi ia tetap mengangguk mendengarkan. "Dia juga bilang nanti anaknya bisa mengajakmu jalan-jalan saat waktumu kosong."

Kongphob terkejut mendengar yang terakhir. "Nggak perlu, Pa." Ia menggelengkan kepala. "Kan nanti mau pergi juga sama Kak Rose dan Mama. Rin pasti mau ke tempat-tempat wisata. Nggak enak."

"Papa juga sudah bilang. Tapi kamu juga tahu kan kalau Om itu menikah dengan Tante Mook?" di sini Papa meletakkan kembali cangkir ke tatakannya, sepertinya sudah berkali-kali membicarakan ini dengan Om Park Jun itu. "Anaknya itu seumuran denganmu. Tempatmu kuliah di sana sama dengannya. Jadi dia bisa mengantarmu kalau memang perlu. Anaknya sendiri yang berkeras."

"Papa sudah bicara dengannya?" mata Kongphob mengerjap, sedikit tidak percaya. Ayahnya mengangguk.

"Video call terakhir dengan Tantemu. Dia sedang datang berkunjung waktu itu. Anaknya sepertinya baik dan ramah. Park Bom, namanya."

"Park.. Bom."

"Jaga nanti sikapmu, ya. Bagaimana pun juga dia perempuan." Nasehat Papa ini merupakan kata-kata terakhirnya hari itu. Sepertinya ia merasa sudah terlalu banyak bicara. Kongphob hanya bisa mengangguk. Bingung.

Ia berusaha tidak ambil pusing dengan informasi baru yang ia terima dari ayahnya. Ada nomor baru di handphone-nya saat mereka berpisah, tentu nomor Park Bom itu. Ia juga berjanji untuk menghubunginya nanti.

Sekarang, ia sudah berkumpul dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang juga akan berangkat ke Korea bersamanya. Hari sudah mulai malam. Pikirannya kembali pada Kak Arthit, yang mungkin sedang menghadiri pernikahan senior mereka.

Pasti Kak Arthit jadi lebih ganteng lagi. Kongphob membayangkan Kak Arthit yang mengenakan jas dengan keren. Ia juga pasti lebih rapi dari biasanya, mengatur agar rambutnya menjadi lebih stylish. Ada perasaan sakit di dada karena tidak bisa bertemu Kak Arthit untuk terakhir kali. Mood-nya menjadi bertambah buruk, sampai ia akhirnya memilih untuk duduk agak menjauh dari yang lain. Tidak mau ada yang terkena omongannya yang mungkin menjadi kasar karena perasaannya saat ini.

Eh? Handphone-nya yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbunyi. Di layarnya itu tertulis nama orang yang tidak bisa berhenti ia pikirkan; Kak Arthit.

"..Halo?" takut-takut ia menjawab telepon itu. Tidak ada suara. Buru-buru ia lihat lagi layarnya, memastikan bahwa telepon itu masih tersambung.

"Kak Arthit?" ia mencoba memanggil. Masih tidak ada suara dari kakaknya itu, tapi ada satu hal yang Kongphob bisa pastikan; Kak Arthit sedang berada di luar. Deru anginnya terdengar begitu kencang.

"..Oi." akhirnya Kak Arthit mau juga bicara. Kongphob tetap saja merasa lega.

"Kak.."

"Kamu udah di bandara?" Kak Arthit menanyakan itu dengan cepat.

"Sudah."

"Berangkatnya kapan?"

"Nanti lewat tengah malam."

"Hm.." hening. Kak Arthit tidak berbicara lama, sampai Kongphob berpikir Kak Arthit memutuskan telepon. "Banyak yang ikut?"

"..banyak, Kak. Sekitar 20 orang." Alis Kongphob berkerut. Ia tidak tahu mau dibawa kemana arah pembicaraan ini oleh Kak Arthit. Tapi bagaimana pun ia masih akan tetap mengikuti.

"..Oh." hening lagi. "Berapa lama kamu pergi? Aku lupa." Hati Kongphob sedikit mencelos. Bukannya lupa, memang Kongphob tidak sempat memberitahu karena Kak Arthit tidak mau bertemu lagi dengannya sehabis itu.

"Aku kembali nanti tahun ajaran baru."

"Hah?!" Kongphob terpaksa harus menjauhkan handphone-nya dari telinga mendengar teriakan Kak Arthit. "Kok lama banget?"

"Ya.. namanya juga pertukaran pelajar. Ada banyak kegiatannya. Nggak melulu tentang kuliah."

"..Oh.." hening lagi. Kongphob tidak merasa lelah, justru sebaliknya. Ia senang akhirnya Kak Arthit mau bicara lagi dengannya.

"Kakak dimana? Suara anginnya berisik." Ia akhirnya bertanya.

"Ah? Dimana? Em.." ada nada ragu-ragu saat Kak Arthit menjawab. Kongphob dengan sabar menunggu. "..mau.. liat?"

Kongphob mengangguk cepat. Eh, tapi kan tidak bisa dilihat Kak Arthit. "Video call?" ia sedikit memelas. Kak Arthit tidak menjawab, tapi ada kotak dialog baru di layar handphone-nya, menanyakan apakah ia mau menerima video call dari Kak Arthit atau tidak.

Tentu saja, terima.

Ia memiringkan kepalanya sedikit dan berpikir keras saat layarnya menunjukkan malam yang gelap. Ada lampu-lampu tidak jauh dari tempat Kak Arthit berdiri, seperti di sebuah taman. Tapi.. sepertinya ada di bawahnya? Ah! Ada kapal dengan lampu-lampu neonnya yang bisa Kongphob lihat di kejauhan!

"Kak Arthit di.. jembatan layang?" tanyanya tidak yakin. Akhirnya, layarnya memperlihatkan wajah Kak Arthit yang mengangguk.

Oh. Seperti dugaan Kongphob. Kak Arthit terlihat keren dengan rambutnya yang tertata rapi. Kamera layar menunjukkan Kak Arthit yang menjauhkan handphone-nya, sehingga Kongphob bisa lebih jelas melihat Kak Arthit yang berpakaian rapi dengan jas hitam dan dasi merahnya.

"Di jembatan Rama VIII." Jawabnya santai. Kongphob tersenyum semakin lebar. Wah.. ia bahkan tidak sadar sudah tersenyum dari tadi.

Entah kenapa, Kongphob menjadi kikuk. Ia tidak tahu harus berkata apa ketika sudah berada di hadapan kakak kesayangannya itu. Kak Arthit pun juga mungkin berpikir begitu. Mereka hanya diam dan tak berani saling pandang, masing-masing mengalihkan pandangan saat mata mereka bertemu.

Tapi wajah Kak Arthit akhirnya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ingin ia katakan. "Kenapa, kak?"

"Itu.." Kak Arthit menggigit bibir. "Lama banget ya programnya. Aku nggak kepikiran bakal selama itu."

Kongphob mengangguk lemah. Senyumnya juga ikut memudar memikirkan hari-hari tanpa bisa bertemu dengan Kak Arthit. "Program baru, Kak."

"Hmm.." Kak Arthit mengangguk-angguk seakan mengerti. "Bakal sibuk dong ya?"

"Ah? Nggak juga.."

"Ya pasti nggak akan sempat buat chatting."

"Bisa kok!" Kongphob buru-buru menampik. "Kalau ke Kakak, pasti sempat!" ia tidak peduli wajah Kak Arthit yang terlihat kaget mendengar ucapannya. Namun, ada senyum yang sedih terlukis di wajahnya kemudian.

"Buat aku ya..?"

Kongphob serta-merta menggigit bibir. Sepertinya ia terlalu banyak bicara lagi. Ia tidak mau Kak Arthit berhenti bicara dengannya. Lagi. Padahal baru saja dadanya terasa enteng.. jelas ia tidak mau merasa ada luka lagi di hatinya itu.

"Kongphob.." ia tidak bisa memaknai apa yang ada di wajah Kak Arthit saat memanggil namanya. Harapan? Takut?

Tapi untuk apa? Apa ada yang tidak pernah Kongphob berikan buat Kak Arthit?

"Yang waktu itu.." Kak Arthit memulai.

"Ya, Kak.."

"..Kamu serius?" Kongphob menahan napas, tidak tahu harus berkata jujur atau tidak. Apa karena ini wajah Kak Arthit jadi begitu?

Wajah yang Kongphob tidak suka. Harusnya Kak Arthit selalu ceria, dengan senyumnya yang terkadang nakal. Bukannya merasa takut seperti ini.

"..Kakak maunya bagaimana?" ia bisa mendengar jantungnya yang berdegup begitu keras.

"Aku.." Kak Arthit ragu-ragu. "Aku nggak tahu." Ia menjawab, menunduk. Ia terlihat seperti orang yang kalah.

"Kakak.." kini giliran Kongphob yang merasa ragu. Haruskah ia mengatakan ini? Persetan dengan konsekuensi dan logika? Persetan dengan pikiran panjang dan kemungkinan melukai orang tua?

"Aku nggak tahu, oke?!" oh, tidak.. ada air mata yang mau jatuh di ujung mata Kak Arthit. Dan Kongphob tidak ada di sana untuk menghapusnya. "Aku Cuma tahu aku jadi aneh setelah itu." Kak Arthit lanjut berbisik.

Ah! Persetan semuanya!

"Kak Arthit.. apa Kakak mau memberi aku harapan, sekarang?" ia berbisik. Kak Arthit langsung memandangnya. Air mata akhirnya turun di wajah mulusnya itu. Kongphob bisa melihat bibir Kak Arthit yang bergetar, menahan rasa.

"..haruskah?" tanyanya pelan, bingung.

Kongphob menghela nafas. Didekatkannya layar ke muka. "Aku mau yang kakak mau. Kalau kakak bilang tunggu, aku akan menunggu. Kalau kakak suruh aku untuk mengikuti, aku akan mengikuti. Mau bagaimana pun, aku mau liat kakak senang lagi." Di sini, Kongphob memberi jeda. "Jangan nangis, please. Jangan nangis pas aku nggak ada buat menghapus air mata itu."

Kak Arthit terisak sekali, dan menutup matanya. Ia mencoba mengatur napas kembali, menenangkan diri. "..worth it-kah ini?" ia berbisik, nyaris tidak terdengar. Kongphob tidak tahu apakah ia menanyakan itu pada dirinya sendiri, atau ingin Kongphob menjawabnya.

"Kak Arthit.."

Mata Kak Arthit tiba-tiba membuka, menatap Kongphob dengan tajam. "Jangan lupa untuk kabari aku. Setiap hari. Sesibuk apa pun kamu. Ngerti?"

"Kak.."

"Dan jangan lupa makan!"

"Kak Arthit!" yang dipanggil hanya mendengus.

"Apa?"

"Kak.. itu.." Kongphob hanya bisa terbata-bata. Ada harapan yang kian membuncah di dada.

"Aku pengen kita tetap dekat." Ucap Kak Arthit. "..apa jawaban itu cukup untuk saat ini?"

Kongpphob tidak pernah mengangguk secepat itu. "Cukup! Cukup banget! Makasih banget, kak!"

Oh.. sekarang Kak Arthit sudah memutar bola matanya lagi. Kongphob senang sekali!

"Kabari kalau sudah mendarat."

"Pasti! Langsung kukabari begitu sampai ke terminalnya!"

"Hm. Kita liat nanti."

Kongphob tidak bisa berhenti tersenyum lebar.

Dan senyuman malu-malu Kak Arthit hanya membuat hatinya semakin terasa hangat.

****

A/N : bukan.. Park Bom ini bukan si artis Park Bom2ne1 ya..

Continue Reading

You'll Also Like

940K 21.5K 49
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
206K 4.3K 47
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...
169K 4.5K 39
" She is my wife, stay away from her!" " Keep trying she will remain mine. " " Show me your scars, I want to see how many times you needed...
394K 11.8K 80
"I'm not afraid to hit a girl," he argued, and you grinned. "I know you aren't," you said, "because you know I can fight back, and you wanna know how...