Jurnalis

By DarahKopi

20 1 2

Ulasan biasa More

WARKOP FORMA; JOURNALIST EPIC COMEBACK

20 1 2
By DarahKopi

(Achmad Fauzi Nayiruddin)

Sekapur Sirih

Mengawali tulisan ini, Penulis sarankan untuk sesegera mungkin menyiapkan seperangkat alat nyantai; bisa secangkir kopi dan beberapa batang rokok bagi kaum Adam, sedangkan bagi calon emak-emak cukup hanya camilan dan sebotol air minum saja. Tujuannya adalah supaya terhindar dari keseriusan jangka pendek atau dengan kata lain salah paham, salah persepsi. Dan juga perlu diketahui Pembaca sekalian, ini bukanlah suatu tulisan yang bagus, yang layak dibaca serius, dan dibedah dalam upaya mendapatkan pemahaman yang lebih kolektif. Maka, apabila terdapat kesalahan mengetik yang populer disebut typo, kesalahan dalam penganalogian, dan yang terpenting adalah kesalahan tata bahasa dalam lingkup KBBI dan PUEBI. Harap dimaklumi dan mohon dibimbing lagi.

***

Surabaya, Jumat, 15 Maret 2019 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Forma dari fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Negeri Sunan Ampel menggelar acara pelantikan pengurus baru 2019-2020 dengan tajuk "PENA KEKAL, TAK TERKEKANG." Yang secara konvensional dihadiri oleh berbagai LPM lain seluruh kampus, seluruh UKM sefakultas dengan sistem delegasi dari masing-masing kelompok tersebut, serta dihadiri tamu undangan agung, yang terhormat Bapak Dekan. Namun dikarenakan adanya kendala yang Penulis sendiri tak mengetahuinya, beliau tidak bisa menghadiri acara tersebut dan diwakilkan kepada yang terhormat Bapak Wakil Dekan.

Pengurus Baru LPM Forma 2019-2020 lahir bertepatan pada hari Jumat. Dalam konteks keilmuan agama Islam, hari jumat adalah hari yang suci. Secara aspek historis, nabi Adam manusia pertama diciptakan Tuhan pada hari Jumat, dipisahkan dengan ibu Hawa pada hari Jumat, dan dipertemukannya kembali juga pada hari Jumat, serta masih banyak lagi peristiwa bersejarah bagi umat Islam yang terjadi pada hari jumat yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu di sini. Sedangkan secara aspek literasi, dalam kitab suci agama Islam ada surah yang bernama surah al-Jum'ah yang diinterpretasikan Penulis sebagai surah yang mewartakan keistimewaan hari jumat dan diperkuat lagi oleh perowi-perowi hadist yang meriwayatkan hadist terkait kesucian hari Jumat dengan jumlah yang tak sedikit. Maka, bukanlah hal yang klis jika umat muslim mengkultuskan hari jumat sedemikian rupa.

Seperti yang sudah saya jelaskan pada ulasan di atas. Hari jumat adalah hari yang kudus. Idiom tersebut dapat dijadikan personal of spirits dalam memacu kesadaran masing-masing individu untuk lebih kritis, progresif, dan inovatif (KPI) dalam menghadapi dinamika kehidupan ini yang semakin marak terjadinya kesalah pahaman antar sesama. LPM Forma adalah sebuah lembaga mahasiswa yang berada di dalam orientasikejurnalistikan, jika seorang anggotanya (baca: jurnalis dan anggota pers) diwajibkan untuk kritis, inovatif, dan progresif bukanlah suatu tindakan totalitarianisme ala Soeharto.Mengingat sebuah lembaga pers (pers itu sendiri) sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

***

Tema: Pena Kekal, Tak Terkekang

Tema tersebut ialah hasil pemikiran salah satu anggota LPM Forma yang menjabat sebagai ketua angkatan 2018. Terdapat dua premis dalam tema yang diangkat acara Pelantikan Pengurus Baru LPM Forma 2019-2020. Premis pertama, Pena Kekal. Sedangkan premis kedua, Tak Terkekang.

Dalam premis pertama, pencetus tema tersebut (barangkali) seolah-olah (ingin) menjadi Chairil Anwar yang menghendaki hidup seribu tahun lagi dalam puisinya berjudul Aku yang ditulis pada tahun 1943. Di dalam puisi itu tergambar jelas bahwa semangatnya Chairil dalam melepasakan diri dari belenggu imperialisme sedang berkobar-membara. Ia ingin bebas dan membebaskan bangsanya dari praktik perbudakan kolonialis, walau pun luka menyayat-nyayat tubuh mungilnya ia tetap melawan, melawan, dan melawan.

AKU

Kalau sampai waktuku

'Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Jasad manusia macam bagaimana yang kuat mengarungi hidup seribu tahun lagi? Dan Pena yang kenapa yang dapat jadi kekal?

Secara subtansi, keduanya memiliki subtansi yang sama: yang abadi. Bukankah abadi hanya milik Tuhan semata? Ya betul, semua makhluk tak terkecuali manusia adalah fana. Namun tidak menutup kemungkinan jika Tuhan memberi hak otonom kepada manusia untuk abadi. Abadi dalam konteks di sini adalah abadi yang bersifat kolektif dalam bentuk sebuah karya atau sejarah.

Sebagai jurnalis, Pencetus tema tersebut berusaha menghipnotis Pembacanya untuk memiliki mobilitas yang tinggi. Tidak statis, pasif, stagnan, dan monoton. Penulis mengamini hal tersebut. Ketika manusia, wa bil khusus seorang Jurnalis yang berkecimpungan dalam dunia informasi, ketika memiliki mobilitas yang tinggi dan berkompetitif dalam dunianya tersebut, status sosialnya secara tidak langsung akan dikenal oleh semua kalangan, baik yang sedunia dengannya maupun yang tidak. Sama halnya dengan Soekarno yang memiliki mobilitas tinggi dan berkompetitif sebagai presiden, sampai sekarang pun beliau tetap dikenal sebagai founding father Indonesia walau jasad beliau sudah terkubur di dalam tanah. Padahal beliau juga layak disebut waliyulloh dengan bukti, bahwa beliaulah yang menemukan makamnya Abu Hurairah, perawi yang telah membukukan 9082 hadis dalam kitab al-Jamiush shahih di Samarkand, Uzbekistan. Namun dikarenakan bukti-bukti terkait penemuan makamnya Imam Bukhari masih simpang siur, Soekarno (hanya) dikenal dengan status sosial sebagai seorang Presiden pertama Republik Indonesia.

Premis kedua, Tak Terkekang dari apa? Itulah pertanyaan yang pertama kali Penulis susun setelah membaca kalimat Tak Terkekang. Penulis beranggapan bahwa kalimat Tak Terkekang sama artinya dengan kata kebebasan. (Pencetus tema apakah menginginkan kebebasan? Dan kebebasan seperti apa yang diinginkan oleh si Pencetus tersebut?)

Seperti yang sudah-sudah kita dengarkan bersama, bahwa pers adalah pelopor kebebasan. Bebas dari intervensi. Bebas dari ikatan-ikatan apapun yang membelenggu intusi dan nalar manusia. Pers harus berdikari, asosial (baca: Independen). Moderat. Mungkin kebebasan semacam itulah yang dimaksudkan oleh Pencetus tema.

Tidak hanya seorang pers yang wajib memiliki idealisme berdikari tersebut. Namun semua manusia dari semua lapisan. Pernyataan tersebut pernah disinggung oleh Pramoedya Ananta Toer melalui tokoh Nyai Ontosoroh dalam buku Tetralogi Buru; Bumi Manusia. Novel fiksi yang tergolong aliran sastra realisme tersebut seolah-olah menyindir manusia yang hanya bisa nggah-nggeh gak kepanggeh, 'pasrah' kepada manusia lain. Hal itu dapat dibuktikan melalui perkataan ungkapan Nyai Ontosoroh, "Jangan sebut aku perempuan sejati, jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tak butuh lelaki untuk aku cintai." Penulis sekaliber Pramoedya dalam membuat kalimat semacam itu bukan tanpa alasan. Penulis menyimpulkan ia mengambil diksi 'perempuan' karena perempuan adalah lambang kehidupan, atau jika dalam ranah keilmuan Tassawuf-Sufiesme ala Ibnu Arobi; Perempuan adalah manifestasi Tuhan yang paling sempurna, setelah Muhammad yang paripurna.

Demikianlah sedikit ulasan mengenai tema. Penulis beranggapan bahwa tema yang diangkat tersebut sangat relevan dengan perabadan masa kini. Dimana mayoritas manusia lebih memilih menjadi babu, daripada berdiri dengan kaki sendiri. Dimana mayoritas manusia lebih memilih keseragaman daripada keberagaman. Manusia takut beda, daripada takut sama. Padahal efek yang dihasilkan oleh keseragaman-keseragaman; menyangkut keseragaman fikiran adalah miskin kemanusiaan. Dan dimana mayoritas manusia-manusia yang lebih banyak lagi, yang tidak memungkinkan untuk diuangkan semua dalam tulisan ini.

Kritis-Progresif

Dewasa ini perang ideologi antar golongan di dalam negara kian marajalela. Isu-isu terkait politik dan agama terus-menerus digiring ke arah yang semakin jauh dari kata lugas. Hal itu membuktikan bahwa upaya menanamkan nalar kritis dan pergerakan progresif sejak awal pembelajaran merupakan sebuah rukun yang paling konstitusonal bagi seorang individu agar tidak mudah terkontaminasi dan 'tunduk' dengan hal-hal yang pada hakikatnya teramat 'biasa'. Dalam analisis lapangan yang Penulis lakukan terkait kasus di atas, negara memang sudah membentuk sebuah komunitas dengan beranggotakan orang-orang yang sudah memiliki stempel keilmuan yang teruji. Komunitas tersebut digunakan oleh staff kenegaraan untuk menangkal jaringan nalar picik (baca: Hoax) dalam membaca gejala dan fenomena. Namun fakta di lapangan mengatakan komunitas tersebut belum sanggup memberikan kontribusi yang lebih dan perubahan secara signifikan. Bahkan ada desas-desus kemungkinan orang di dalam komunitas tersebut (baik resmi atau tak resmi) ikut serta meramaikan khasanah nalar picik membaca gejala dan fenomena yang mengakibatkan pergolakan ideologi semakin memanas.

Kita tidak bisa memandang remeh jaringan nalar picik. Sejarah telah menyampaikan berita yang berorientasi dalam jaringan nalar picik. Banyak sekali peristiwa-peristiwa bersejarah supra-dahsyat yang ditimbulkan olehnya. Semisal terjadinya peristiwa pada dekade 1930-1940an dimana negara Jerman dengan Nazi-nya yang dipimpin oleh Adolf Hitler melakukan pemembantaian kepada jutaan ummat Yahudi di Eropa lantaran dianggap sebagai indikator atas kekalahan dan dekadensi Jerman. Akibat pembantaian yang menjadi cikal bakalnya Perang Dunia II itu, hingga saat ini Jerman selalu dihantui rasa penyelasan dan bersalah atas keberlangsungan kehidupan manusia dan Adolf Hitler beserta Nazi akan terus dikenang sebagai kelompok fasisme.

Dari ulasan di atas kita dapat menyaksikan bahwa hal yang dapat ditimbulkan dari nalar picik ialah ujung kematian; jaringan nalar picik hendak menohok sentimen paling senstif dalam diri manusia; rasa takut terhadap yang di luar diri kita. Dari kasus Nazi tersebut, sentimen yang dilesatkan adalah rasa takut kepada orang Yahudi dengan berbagai keahliannya.

Maka dari itu sebagai seorang jurnalis perlu adanya sebuah kesadaran untuk kritis dan progresif. Tidak hanya kritis dalam menanggapi gejala dan fenomena, namun juga kritis terhadap kalimat demi kalimat, paraghrap demi paraghrap dalam naskah-naskah yang hendak dipublikasikan, tidak boleh hanya kritis tanpa adanya progresif, begitu juga sebaliknya. Lantaran dua elemen tersebut saling berkaitan.


Inovatif

Lembaga Pers Mahasiswa dalam kampus seperti kawah Candra Dimuka untuk pengembangan diri dalam bidang kepenulisan. Mengamati gejala dan fenomena, mengumpulkan fakta lalu dituangkan dalam bentuk tulisan yang menarik dan terasa renyah bukanlah hal yang mudah. Diperlukan adanya latihan menulis ekstra keras dan pelatihan berinovatif yang disiplin. Inovatif di sini artinya proses atau hasil pengembangan dari pemanfaatan sifat kreatif, keterampilan, dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk, proses, dan atau sistem yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau signifikan.

Dalam KBBI, inovatif dan inovasi adalah dua kutub yang berbeda. Penulis analogikan seperti kita bisa memberikan inovasi dalam menyelenggarakan sebuah acara, namun dalam acara yang kita selanggarakan tersebut belum tentu adanya inovatif. Lantas bagaimana memunculkan etos kerja yang inovatif? Dari manakah asalnya etos kerja inovatif tersebut? Jawabannya sederhana, ada di dalam diri. Jawaban tersebut terlihat mengawang. Namun jika kita urutkan jawabnnya dari pertanayaan pertama, bagaimana memunculkan etos pergerakan yang inovatif ialah dengan cara menambah wawasan dan mengubah mindset yang semula konservatif menjadi lebih terbuka. Kedua jawaban tersebut adanya tergantung subjek. Jika subjek tak menghendaki melakukan keduanya, secara tidak langsung juga menanggalkan hati nurani. Sumber lain di dalam buku Agama Saya Jurnalisme, karya Andreas Harsono juga mengatakan hal yang demikian. Bahwa, "Setiap wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial."

Dengan menilik gelar mahasiswa sebagai agent of change menjadi sebuah alasan tersendiri bagi mahasiswa LPM untuk tidak menanggalkan nurani meskipun hendak mengkritik realitas sosial. Membuat sebuah narasi berisi kritikan pun haruslah dibingkai dengan nurani, dan tentu harus didasarkan atas fakta yang valid. Asumsi dan prasangka tidak berandil dalam menghadirkan potret yang benar. Prinsip jurnalisme both sides, atau tabayyun, misalnya, menjadi sangat penting dijaga. supaya tak terjebak dalam narasi publik yang penuh kepentingan sesaat, dengan melakukan diskriminasi dan bahkan agitasi, yang berujung pada polarisasi sosial yang semakin akut setelah "kemerdekaan pers" yang dijamin UU No. 40/1999 dibuka lebar.

Menyaksikan hal yang demikian, Penulis menganjutkan hendaknya semua lembaga pers mahasiswa merancang program-program pembelajaran terakait nurani serta membekali anggotanya dengan kecerdasan fisik, mental, emosional dan juga intuitif. Selain itu juga, sangat relevan jika jurnalis menyajikan peliputan informasi dengan menggali data-data secara mendalam, bukan hanya membuat berita berdasarkan apa yang sedang booming dan menjadi viral di media sosial. Kemalasan mencari data di lapangan inilah yang harus dihindari oleh jurnalis. Disiplin verifikasi seharunya masih dipegang teguh oleh para jurnalis untuk menyajikan berita terbaik bagi kepentingan publik.

Continue Reading