[BAHASA] Bukan Logika - Fanfi...

By kittyseia

5.7K 863 167

Hasil usaha pertamaku nulis fanfiksi Bahasa Indonesia! (Terharu) Please, be gentle with me na.. Ini adalah BL... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Extra - Lebih Menarik dari Langit
Bagian 12
Bagian 13

Bagian 7

341 70 10
By kittyseia


A/N : I'm off hiatus!

Kalau aku boleh kasih judul.. untuk bagian ini aku kasih judul, "Pergi ke Korea?!" lol *coughs* maaf ya.. biarkan aku jadi klise di cerita ini.. dan maaf plus kasih tau kalau ada yang nggak pas ya..

****

Life goes on.. Seperti itu katanya kalau di novel. Tapi memang itulah yang terjadi di kehidupan Kongphob saat ini. Setelah kejadian itu. Yang Kongphob tahu, keadaan memanas di rumah. Ibunya tidak menyarankannya untuk pulang. Jadi.. di sinilah ia, berjalan mengenakan seragam di kampus pada hari minggu, hari dimana tidak ada kelas untuknya.

Ada pengumuman baru di mading kampus. Kongphob membacanya dengan penuh minat. Tentang pertukaran pelajar ke Korea. Sepertinya menarik untuk diikuti. Tapi ia sepertinya harus mengulang kelas lagi kalau ikut. Hm.. mungkin boleh juga untuk didiskusikan dengan ayahnya.

Tapi kalau jadi pergi, berarti akan meninggalkan Kak Arthit.

..Sial. belakangan, kepalanya semakin dipenuhi oleh senior yang satu itu. Apalagi setelah ia dengan jeleknya menangis di pundak Kak Arthit. Ugh. Memalukan!

Semenjak kenal Kak Arthit, Kongphob merasa kalau ia banyak berubah. Dan, ia tidak tahu apakah perubahan itu baik atau tidak. Ia tidak biasa dengan perasaan asing yang untuk Kak Arthit ini. Rasa yang membuat seniornya itu menjadi spesial, yang bahkan bisa membuat Kongphob mengeluarkan kesedihannya.

Apakah ia menjadi orang lain?

..Kongphob rasa tidak. Ia masih bisa kok, berpikiran jernih dan belajar dengan baik. Bahkan Kak Arthit membantunya hingga bisa mendapatkan nilai yang lebih baik dari yang ia kira. Ia masih loyal dan bisa bercanda dengan teman-temannya, tidak dengan sengaja meluangkan waktu untuk mengajak Kak Arthit makan atau melewatkan hari bersama. Kak Arthit lebih sering mengingatkannya untuk tetap meluangkan waktu bermain bersama teman, bukannya mengurung diri terus di perpustakaan.

Kak Arthit.. selalu ada saat ia butuhkan.

Kongphob jadi berpikir, apakah punya rasa kepada orang yang berjenis kelamin sama memang bisa menyebabkan dia seperti banci? Ia tidak merasa menjadi lebih feminin atau apa, malah ia menjadi lebih sehat dan berfisik kuat karena Kak Arthit banyak memberi masukan untuk tetap bugar.

Sial. Kak Arthit lagi.

Kening Kongphob berkerut. Kalau begitu.. apa mungkin meninggalkan Kak Arthit adalah hal yang akan sangat berat untuknya? Apa ia yakin bisa pergi?

Ahhh! Kuliah lebih penting! Kongphob akhirnya memutuskan untuk membuang pikirannya itu jauh-jauh sekarang. Dengan cepat ia memotret pengumuman yang ada di mading, untuk bahan diskusi dengan ayahnya. Langkah kakinya kembali maju.

Supaya tidak ingat terus dengan Kak Arthit.

****

"Programnya bagus." Begitu komentar ayahnya saat mereka memulai diskusi. Kongphob sudah mengirimkan foto pengumuman itu sejak malam senin. Sekarang, enam hari sesudahnya Papa mengajak Kongphob untuk bertemu. Ia segera pulang setelah kuliah terakhirnya selesai, karena batas waktu pendaftarannya tinggal sebentar lagi.

"Aku juga pikir begitu."

"Memang lebih pada kegiatan sosial, ya. Tapi kamu juga pernah ikut program yang sama, walau nggak pernah selama ini kan?" Papa mengangkat satu alis saat memandangnya, memastikan. Kongphob mengangguk.

"Pernah, Pa. Ke Chiang Mai, dan waktu itu pernah ke Singapura dan Jepang juga. Tapi ya, yang paling lama cuma sebulan."

"Ini satu semester lebih." Papa bergumam. Kongphob mulai menunduk. Itu juga yang ia pikirkan. Terlalu lama.

"Aku tidak yakin memang, apa manfaatnya lebih besar daripada rugi. Makanya minta pendapat Papa." Akunya.

"Kamu bisa bahasa Korea kan?" pertanyaan Papa dijawab anggukan. Ia pernah les bahasa Korea beberapa level saat SMA. "Kalau ke sana, berarti koneksi tambah, bahasa Korea-mu juga bisa lebih bagus lagi. Ada teman papa yang bisa temani kamu untuk lihat pabriknya juga di sana." Papa mulai menjelaskan keuntungannya ikut program itu. "Dan yang penting-"

Kata-kata Papa harus terputus karena adanya seruan Mama yang terdengar bahkan hingga ruang kerja ayahnya ini. "CUKUP! Kalau begitu Mama akan pergi dengan Rin sampai kalian selesaikan masalah kalian ini!"

Tidak berapa lama, terdengar suara debaman pintu yang tertutup kencang. Lalu sesaat kemudian, pintu ruang kerja Papa diketuk. Mama datang membawa Rin di pangkuan.

"Om~!" Rin langsung berusaha menggapainya, tidak peduli akan jatuh atau tidak. Ibunya memberikan Rin dengan raut muka cemberut. Ia lalu duduk di sofa sebelah suaminya dengan tatapan memelas.

"Mama mau pergi dari rumah ini!" begitu kata Mama.

"Mau kemana.." Papa bertanya dengan tenang, berusaha agar istrinya ikut tenang bersamanya. Mama menghela nafas panjang sebelum menjawab.

"Pokoknya Mama mau pergi! Sudah cukup melihat kelakuan anak-anak yang tidak mau dinasehati!"

"Ya tapi-"

"Mama mau pergi ke Rose aja sama Rin!" ucapan Mama membuat Papa dan Kongphob saling pandang. Dengan Mama yang mengatakan ingin mengunjungi Kak Rose bersama Rin.. berarti..

Papa menghela napas. Masih memandanginya, ia berkata pada Kongphob, "Ya berarti lebih baik kamu ke Korea saja. Temani ibumu dan ponakan di sana."

Ya sudah pasti begitu jadinya.

Kak Rose, atau Rochana sebenarnya, adalah kakak kedua Kongphob. Sudah beberapa tahun ini Kak Rose yang berprofesi sebagai reporter tinggal di Korea, bekerja di sebuah stasiun televisi terkenal di sana. Kongphob belajar bahasa itu juga karena kakaknya. Ibunya punya kebiasaan pergi berkunjung pada kakaknya yang hingga kini belum menikah itu. Ada rasa khawatir kalau-kalau ibunya terkendala bahasa di sana, meski ia cukup fasih berbahasa Inggris. Makanya, Kongphob belajar bahasa Korea agar bisa menemani ibunya bepergian saat kakak yang dikunjungi itu harus bekerja.

"Ya, Pa. Aku ngerti." Kongphob menangguk, tersenyum lemas. Mata Rin yang ada di pangkuannya mengerjap, memandangi.

"Pegi sama om?" tanya si kecil polos. Senyum Kongphob melebar. Ditepuk-tepukkan tangannya dengan pelan ke atas kepala Rin.

"Iya, sayang."

Sekarang.. suara degup jantung Kongphob menderu. tinggal pikir bagaimana cerita ke Kak Arthit..

****

Sesuai dugaan Kongphob, mata Kak Arthit terbelalak dengan mulut yang terbuka tanpa suara. Ia akhirnya bisa bertemu dengan Kak Arthit, makan malam bersama di kantin biasa mereka bertemu. Tangan Kak Arthit menggenggam erat sendoknya, terhenti tepat di tengah-tengah piring makan yang masih terisi setengah.

"Pertukaran pelajar ke Korea? Kamu?" pertanyaannya seakan menuduh Kongphob melakukan suatu kejahatan. Atau mungkin sebegitu tidak percayanya Kak Arthit kalau dia ingin ikut program ini?

Kongphob hanya mengangguk, menyuapkan nasi omelet ke mulutnya agar bisa sedikit menunduk menghindari pandangan tajam Kak Arthit.

"Kok tiba-tiba?" nah. Kalau yang ini Kongphob percaya Kak Arthit menuduhnya. Pundaknya turun lemas.

"Ohh.. bukannya tiba-tiba, Kak. Aku sudah lihat pengumumannya dari kemarin-kemarin. Sudah diskusi juga dengan orang tua. Mereka pikir itu bagus untukku. Jadi. Ya.." di akhir, Kongphob mengangkat bahu, berusaha seakan itu bukanlah hal besar baginya.

Padahal ia masih punya rasa bersalah entah kenapa dengan Kak Arthit. Karena akan meninggalkan kakak kesayangannya itu berbulan-bulan lamanya.

Kak Arthit menghela napas keras, sedikit kesal dengannya. "Kapan kamu berangkat?"

"..minggu depan." Kongphob ragu-ragu memberitahunya.

"Hah?! Minggu depan?! Kok kamu baru ngomong sekarang?!" Kongphob mau tak mau berjengit mendengar amukan Kak Arthit. Takut-takut ia lihat wajah seniornya, yang melotot dan mengernyitkan kening dengan hebat.

"Ya.. mau bagaimana lagi? Kak Arthit selalu sibuk akhir-akhir ini." Kongphob sedikit mengeluh. Ada rasa tak mau kalah dari dalam dirinya. Memangnya Cuma Kak Arthit saja yang bisa seenaknya menjalani hari tanpa menemuinya? Kak Arthit selalu begini sejak kejadian itu. Kadang-kadang dingin dan seakan menjaga jarak dengannya, tapi kadang-kadang akan mengajaknya makan malam dan pergi bersama seperti semuanya berjalan dengan normal.

Kongphob mulai lelah.

"Itu.." Kak Arthit kehabisan kata-kata untuk membela diri. Kongphob jadi merasa bersalah. Ia melihat sendiri kalau Kak Arthit dan teman-temannya sibuk mengerjakan tugas kelompok dan melakukan laboratorium kesana-kemari dua minggu kemarin. Senior yang duduk di depannya ini juga masih terlihat kurang tidur sekarang.

"Aku juga tak bisa datang ke acara pernikahan Kak Tum dan Kak Fon. Itu hari keberangkatanku." Tambahnya pelan. Terlihat jelas Kak Arthit berusaha menahan emosinya dengan mencoba mengatur nafas. Tapi sepertinya tidak berhasil.

"Udah kenyang nih." Kak Arthit setengah melempar sendoknya ke piring dan menatapnya tanpa ekspresi. "Aku pulang duluan ya."

Kongphob tidak tahu harus mengejar Kak Arthit yang langsung beranjak dari kursi atau tidak. "Kak Arthit!" ia hanya bisa berseru. Kakinya membeku, tidak bisa diajak kompromi untuk berdiri. Ia kepalkan tinjunya, merasa tidak berdaya.

"Sial!"

****

A/N : sekedar info~ seinget aku, Arirang World menampilkan segmen berita dari Thailand. Jadi kupikir ya, mereka bisa kirim reporter ke Korea, gitu.

Continue Reading

You'll Also Like

102K 9.1K 110
"You think I'm golden?" "Brighter than the sun, but don't tell Apollo" Dante hates Rome's golden boy. Jason doesn't even remember him. Right person w...
107K 3.2K 31
"she does not remind me of anything, everything reminds me of her." lando norris x femoc! social media x real life 2023 racing season
1.1M 20K 44
What if Aaron Warner's sunshine daughter fell for Kenji Kishimoto's grumpy son? - This fanfic takes place almost 20 years after Believe me. Aaron and...
1.3M 58K 104
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC