SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

29. Hiatus

1.9K 278 69
By Arabicca69

|| Warning: 4000++ words ||

“Rumah yang bau kandang sapi itu, kira-kira milik siapa, ya, Pak?”

Suara berat Samsuri keluar dari dalam tape recorder, begitu Ayis menekan tombol pemicu. Lingkar gerigi pada micro casette yang berada dalam benda segenggaman tangannya itu pun berputar searah jarum jam. Terjadi jeda cukup lama, sebelum suara berikutnya masuk ke telinga.

“Oh, itu!” Seorang pria menyahut— “Itu rumah punya si Wahyam, dukun yang cukup tersohor di kampung ni,”
—kental dengan logat melayunya.

“Dukun?” Samsuri kembali menanyakan, yang sesegera mungkin disambar oleh si pria melayu tadi.

“Dijamin ... bisa sembuhkan bermacam-macam penyakit.”

Selang semenit, dentingan cukup keras mengemuka dari dalam alat perekam. Ayis reka suara tersebut berasal dari sendok dan gelas yang saling diadu satu sama lain. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, pekikan keras seorang pria pun menjadi suara berikutnya yang keluar dari dalam alat tersebut. “Yuk, kemanisan iki!”

Gerung kendaraan ikut melatarbelakangi sesaat kemudian. Namun, pada detik-detik berikutnya, rekaman lebih banyak disi oleh perbincangan antar lima orang lebih, menggunakan bahasa campuran—jawa dan melayu—dalam tempo cepat.

“Akeh pasiene sing teko seko ndi ndi njalok dibukake jodo karo ndhe e ne.”

Suara kekehan samar menyelinap ke telinga Ayis. Dia yakin, pastilah berasal dari mulut Ajun Komisarisnya.

Ayis sempat tertawa juga. Namun, begitu mendapati raut tidak suka di wajah Samsuri yang tengah menunggunya di kursi penumpang, dia pun segera menerjemahkan kalimat si pria jawa tadi ke dalam bahasa. “Banyak pasiennya yang datang dari mana saja minta dibukakan jodoh sama dia.”

Samsuri tampak mengangguk-angguk. Kemudian, keduanya pun kembali memusatkan pikiran pada isi rekaman tersebut.

Pria jawa lain ikut menimpali kali ini. Tekanan dalam suaranya yang lebih lembut, membuat Ayis mengira-ngira, bukan si pria jawa sebelumnya yang berbicara. Dia membeberkan bahwa Wahyam rupanya punya pekerjaan sampingan.

"Kadang-kadang dukun itu pun pergi keluar desa untuk mengantar pupuk kandang yang dia olah sendiri dari kotoran ternaknya."

Di menit yang entah sudah keberapa, mereka mulai menanyakan asal-usul Samsuri. Merasa penasaran lantaran sejak tadi Samsuri terus mengorek informasi tentang dukun itu.

"Cukup," ujar Samsuri tiba-tiba.

Ayis kembali menekan tombol pemicu—yang kerasnya tidak main-main—sampai tombol tersebut menyembul keluar. Rekaman itu pun berhenti memutar suara.

“Bagaimana reaksi mereka, saat Anda menyodorkan foto Siti Sundari ...," Ayis sengaja menggantung ucapannya. "..., Pak?" lanjutnya lagi, sedikit ragu-ragu. Rasanya Ayis masih belum terbiasa menanggalkan sebutan "Letnan" dari Ajun Komisaris itu.

Mendapati riak pengharapan menyirati wajah Ayis, Samsuri tiba-tiba merasa berat hati memberitahunya. Informasi yang dia dapatkan nyatanya tidaklah begitu memuaskan.

“Mereka kaget, tentu saja. Memang, katanya, pernah ada wanita yang wajahnya mirip Siti Sundari datang ke rumah Wahyam. Sekitar awal bulan Februari lalu.” Samsuri mengusap-usap keningnya yang mendadak pening. Akibat kasus ini dia tidak tidur selama berhari-hari. “Tapi—”

Di sebelahnya, Ayis sudah keburu menyela dengan lenguhan panjang. Wajahnya terdongak menatap langit-langit mobil yang tampak sangat dekat di atas kepala. Sikap Ayis seakan menunjukkan ketidaksiapannya menghadapi kegagalan—lagi.

“Tukang ojek yang kebetulan juga sedang marung di sana, mengatakan bahwa dia yakin sekali sudah mengantar Siti Sundari sampai ke batas desa sebelum naik kendaraan umum,” terang Samsuri, diakhiri desahan lelahnya.

Lagi-lagi mereka menemui jalanan buntu.

Sejauh ini, belum ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Wahyam dalam kematian Siti Sundari. Akan tetapi, setidaknya, kematian Hachiko yang cukup tragis membuat Samsuri berhasil menarik empati Ayis untuk berada di pihaknya.

Ayis bersedia membantunya melakukan penyelidikan ini lantaran dipantik rasa penasarannya sendiri. Bagaimana Hachiko bisa bertahan dalam kondisi seperti itu di halaman rumah Wahyam, adalah hal yang patut dipertanyakan.

Sementara Samsuri menimbang ide, Ayis meraih sebuah teropong di atas dashbor mobil. Dia menyorot semua objek yang terlihat di hadapannya, sampai kemudian titik fokusnya terarah pada rumah papan milik Wahyam.

Sesekali Ayis membandingkan indera penglihatannya dengan mata telanjang. Rumah papan itu tampak kerdil jika ditilik dari posisinya sekarang. Pada area halaman depannya, tampak di kelilingi banyak sekali pohon rimbun.

Jika dilihat dengan saksama melalui teropong, pohon tersebut tidaklah seseram sewaktu mereka melihatnya pertama kali. Kebanyakan dari jenisnya adalah pohon pisang, umbi-umbian, dan mangga, berbeda dengan yang tampak di sebelah barat dan sisi sebaliknya, yang lebih banyak ditumbuhi pohon randu menjulang.

Ayis mencari lebih dalam lagi. Sosok anak lelaki berkulit gelap dengan rambut ikalnya yang dipotong pendek pun berhasil tertangkap olehnya melalui teropong. Bocah itu tengah mengendap-endap menuju lokasi di mana Hachiko ditemukan sebelumnya. Matanya menoleh ke segala arah, sibuk mencari sesuatu, sampai-sampai bocah itu pun tidak menyadari seorang wanita gemuk tiba-tiba muncul dari balik pohon pisang. Wanita itu menarik tangan si bocah dengan kasar, lalu sosok keduanya pun lenyap dari jangkauan Ayis.

Perhatian Ayis segera diambil alih oleh suara jentikan jari Samsuri. Senyum yang mengembang di wajah Ajun Komisaris itu pun lantas membuatnya mengernyitkan kening.

“Kita akan masuk ke dalam rumah Wahyam,” Samsuri memberi usul, yang lebih merujuk pada sebuah perintah, sebab nada suaranya seakan tak mengizinkan Ayis menolak.

Samsuri terlihat tidak begitu yakin apakah rencana ini dapat mereka gunakan atau tidak. Namun, dengan memanfaatkan profesi Wahyam yang merupakan seorang dukun terkenal di Desa Batu Bedimbar, sepertinya mereka bisa masuk ke rumahnya sebagai orang biasa. Akan tetapi, apa alasan yang harus mereka gunakan?

“Yis, apa kau punya penyakit ambeien, gejala impoten, atau lambung kronis?”

Tawa Ayis nyaris saja meledak mendengarnya, “Kalau saya menderita penyakit semacam itu, otomatis saya pasti tidak akan lulus di kepolisian, Pak.”

"Benar juga,"

Selama hening menginterupsi, Samsuri kembali berpikir. Sepertinya Ajun Komisaris itu memang tidak pernah kehabisan ide. Dia pun kembali memberi usul.

“Orang-orang di warung kopi itu bilang Wahyam juga menerima pasien yang minta dicarikan jodoh, kan?” Ayis mengangguki pertanyaannya barusan. Sembari menerawang jauh, Samsuri menggumamkan pikirannya. “Bagaimana ini .... Aku kan sudah menikah.”

Ayis refleks mengejang di kursi pengemudi. Kalimat terakhir yang Ajun Komisaris itu katakan, Ayis anggap sebagai bentuk sindiran.

Ayis tidak menjawab, hanya memasang wajah datarnya, sementara Samsuri tahu-tahu sudah tergelak tidak keruan di sampingnya.

Bermenit-menit berdiskusi tentang rencana mereka, kedua polisi itu pun kemudian turun dari mobil.

“Bagaimana perasaanmu saat ini?”

Berulang kali suara itu masuk ke dalam kepala Dimas. Warna suaranya mirip wanita dewasa; lembut, penuh desah khawatir, dan asing. Suaranya samar membayang, seperti diucapkan oleh dua orang sekaligus. Kemudian, bunyi melengking panjang, pendek, panjang lagi, terdengar. Sebagaimana mereka diurutkan, usai jeda waktu yang cukup lama, bunyi melengking itu pun lagi-lagi memekik di telinga, perlahan menekan kesadaran Dimas yang berangsur-angsur pulih.

Begitu Dimas membuka mata, dia mendapati selang infus tersambung ke tangan kanannya, ruangan serba putih, lalu Eja yang duduk di sebelah ranjangnya sembari meniup sebuah peluit. Rupanya dari peluit itulah suara melengking tadi berasal. Eja tampak kesulitan menarik napas. Wajah mungilnya pun jadi kelihatan memerah akibat rentang tiupan terakhir yang dia lakukan cukup menguras tenaga.

Karena terlalu berisik, tangan Dimas yang lain bergerak memukul kepalanya. Eja menangis pijar, tetapi lama-kelamaan menjadi senyap karena bibirnya yang dipaksa mengatup rapat.

Eja memang anak yang cengeng sejak dulu, tetapi kalau Dimas menyuruhnya diam, dia pasti akan menurut, meski air matanya tetap bercucuran di pipi.

“Kata Ayah, tiup peluitnya ... kalau ada bahaya,” ucapnya, sarat akan getaran di dalamnya.

Dimas bilang “shhh” sembari mengusap-usap kepalanya, dan tangis anak itu pun makin mereda.

Gerakan tangan Dimas semakin instens, sampai-sampai dia bisa merasakan rambut Eja yang lurus terasa halus sekali. Saat Dimas menyibak rambut depannya yang jatuh di dahi, dia mendapati sepasang mata anak itu yang kelihatan sedikit aneh, membelalak lebar, membuat Dimas tiba-tiba teringat pada Miu, kucing kecil peliharaannya.

Sisa air mata yang masih menggenang membuat bola mata Eja terlihat sangat jernih. Kedua alisnya tampak sedikit menurun. Menurutnya, Eja sangat manis, hanya saja Dimas merasa ada yang kurang darinya. Sewaktu senyumnya mengembang, gigi gingsulnya di kanan-kiri tidak ada. Dia ... ompong.

Aneh.

Mendadak Dimas kebingungan dibuatnya.

Eja yang ada di depannya masihlah balita. Bicaranya saja patah-patah.

Dimas lalu mendapati dirinya sendiri bertanya-tanya dalam hati, apakah dia memang sudah mengenal Eja sejak dulu?

Alunan musik instrumental yang perlahan mengalir menarik dirinya dari kilasan mimpi itu.

Dimas terbangun—masih di ruangan yang sama, ruangan serba putih dan dipenuhi bau obat-obatan. Bedanya, kali ini Eja tidak ada di sampingnya.

Intensitas cahaya lampu LED di langit-langit terlalu kuat hingga melemahkan otot mata Dimas untuk tetap membuka. Bermenit-menit setelahnya, tidak ada yang Dimas lakukan selain berbaring di atas brankar. Dia menyempatkan diri untuk tertidur, hingga tak lama kemudian terdengar suara datar milik seorang wanita, yang memaksa kelopak matanya kembali mengejang.

“Bagaimana persaan Anda, Inspektur?”

Dimas mencari sampai ke sudut ruangan. Wanita itu rupanya sedang membelakanginya, hingga apa yang bisa Dimas lihat hanya jas dokternya dan rambut ekor kudanya yang diikat tinggi-tinggi. Ketika wanita itu berbalik, wajah kuyu serta mata sembab yang melekat padanya langsung terekam dalam kepala Dimas. Papan nama tersemat di dada kanannya. Meski Dimas bisa membacanya, wanita itu tetap memperkenalkan dirinya sebagai Dokter Hanum, seorang psikolog yang bertugas di Rumah Sakit Bhayangkara.

Walau Dimas cukup sering mendengar nama Hanum Arum disebut-sebut, ini adalah kali pertama dia bertemu dokter itu.

"Saya datang atas permintaan Kapten Depari," seyumnya hangat, sembari mendekat pada Dimas, kemudian menduduki sebuah kursi kecil di sebelah ranjang.

Dimas tidak begitu memedulikannya. Saat ini dia hanya ingin memejamkan mata, lalu masuk dalam fase tidur panjang, tetapi tampaknya Dokter Hanum tidak memberinya kesempatan untuk itu.

Dokter Hanum terlalu banyak bicara hingga Dimas merasa risih dibuatnya. Dokter itu bercerita tentang banyak hal padanya; bagaimana awal mula dia bisa bekerja di RS Bhayangkara, prestasinya, serta pengalamannya dalam menangani masalah kejiwaan dan pembekalan konseling sebagai seorang psikolog kepolisian.

Dia bilang, kejiwaan para Perwira dan Bintara yang banyak turun ke lapangan—baik selama proses pengintaian, penyelidikan, dan Olah TKP—sangatlah perlu diperhatikan. Sejak tahun 2016, kepolisian semakin gencar merekrut beberapa psikolog dalam hal untuk mendampingi para anggota polisi, sebab pada saat itu, kasus anggota polisi yang bunuh diri atau yang membunuh anggota keluarganya sendiri, mulai jadi sorotan publik. Dia menjelaskan, titik masalahnya bisa jadi dikarenakan tekanan tugas yang berat, sikap atasan yang terlampau keras, atau akibat terlalu banyak melihat mayat—yang kadang dapat memicu jiwa seorang polisi menjadi lemah dan stres. Meski sudah banyak makan asam garam dalam penyelidikan, dan ditempa selama masa pendidikan di akademi, baginya, para polisi tetaplah seorang manusia yang butuh diterapi secara berkala.

Pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter itu pun masih sama seperti sebelumnya. “Jadi, bagaimana perasaan Anda, Inspektur?”

Dimas menimbang sejenak. Lalu, dia pun menjawab sekadarnya. “Tidak tahu. Akhir-akhir ini saya jadi sering pingsan mendadak.”

“Saat sedang bertugas?” tanya dokter itu, sembari membuka sebuah map, yang Dimas asumsikan sepertinya berisi rekam jejak miliknya. “Kalau iya,” katanya lagi. “... mungkin, itu disebabkan karena Anda tidak bisa berada di tempat gelap dan berdebu. Ingat, dulu, Anda pernah diculik,” terangnya.

Dokter Hanum menambahkan, berdasarkan rekap medis, tidak ada yang bermasalah dengan kondisi fisik Dimas, sehingga dia menyimpulkan, inti masalah sebenarnya mungkin ada di dalam diri Inspektur itu.

Pikiran Dimas sekilas menerawang jauh. Sebelumnya Agus Sinar pun sempat menyinggung soal penculikan itu. Keningnya menampilkan kerut yang cukup dalam, yang kemudian Dimas sadari justru menular pada dokter itu.

“Sebenarnya sampai saat ini, saya ... masih tidak yakin soal penculikan itu,” akunya. “Saya merasa ... tidak sedang diculik ....” Dimas mencoba menggali ingatannya. “Saat itu ... guru saya tiba-tiba datang dengan wajah panik, mengatakan bahwa ... Mama sedang sakit dan berjanji akan mengantar saya ke rumah sakit untuk menemuinya."

Suaranya lambat laun terdengar pelan, tetapi Dokter Hanum masih bisa mendengarnya. "Lalu, saya dibawa masuk ke mobil. Kami berbincang. Guru saya bilang, semua akan baik-baik saja. Dia bahkan memberi saya permen kaki, lalu saya ... tertidur.”

“Benar,” sahut Dokter Hanum kemudian. “Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan waktu itu, penyidik mengetahui bahwa guru Anda sebenarnya kembar indentik. Yang Anda lihat saat itu bukanlah guru Anda, melainkan sosok pelaku sindikat penculikan anak. Wajah mereka sangat mirip. Saya rasa hal inilah yang menyebabkan ingatan Anda tidak bisa menyesuaikan antara apa yang Anda lihat dan kenyataan yang terjadi. Anda masih berumur dua belas tahun saat itu.”

Dan, rasa-rasanya pazelnya pun semakin lengkap, saat Papa berbohong bahwa Mama meninggal karena sakit. Hati Dimas mendadak tidak keruan saat mengingat kata-kata Agus Sinar—

“Sebenarnya apa yang menjadi alasan Mama mengakhiri hidupnya?”

—sampai-sampai tanpa dia sadari kalimat itu pun meluncur dari mulutnya.

Sayangnya, Dokter Hanum tidak bisa menjawab banyak, selain memberitahu Dimas soal Mama yang memang menderita depresi cukup parah pasca-melahirkan.

“Depresi pasca-melahirkan dapat membuat perlakukan seorang ibu bisa sangat kasar pada anak-anaknya," ujar Dokter Hanum. "Apabila seorang ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan tak segera mendapat bantuan, mereka akan mengalami psikosis postpartum, yang dapat ditandai dengan gejala seperti paranoid, halusinasi, sehingga memungkin timbulnya dorongan untuk membunuh atau menghilangkan nyawa anak-anak mereka. Tak jarang pula, muncul pemikiran untuk melukai diri sendiri hingga bunuh diri."

Dimas tahu, Mama memang tidak seperti ibu di luar sana. Akan tetapi, bagaimana pun, dia tetap ....

"Ibu Anda pastilah sangat terpukul saat itu, sebab ayah Anda tidak ada di sisinya lantaran terlalu sibuk bolak-balik ke kantor polisi—mengurus kasus Anda.”

Ucapan Dokter Hanum persis seperti pengakuan Agus Sinar kemarin. Dimas tidak ingin terlihat hancur di depan dokter itu, jadi dia hanya menanggapi dengan gumaman singkat.

Seakan mengerti dengan apa yang masih dirisaukan Inspektur itu, Dokter Hanum kembali mengatakan, “Pasti ada sebuah pazel yang Anda lewatkan. Kalau Anda mau, saya bisa merekomendasikan seorang pendamping untuk memulihkan ingatan Anda melalui teknik hipnoterapi. Tetapi itu terlalu berisiko, karena ingatan Anda sewaktu diculik bisa-bisa semakin mengemuka, terasa begitu dekat, dan mencekik Anda perlahan-lahan.”

Dimas tidak benar-benar mendengarkan ucapan Dokter Hanum. Sekali lagi, pikirannya melayang pada peristiwa itu, berusaha mengaitkan, serta mencari susunan pazel yang mungkin memang dia lewatkan. Pazel yang hilang itu perlahan membentuk sebuah gambar bergerak, tetapi kian memburam. “Sepertinya ... saya sempat melihat seorang pria berseragam polisi saat itu.”

Dokter Hanum menautkan kedua alisnya. “Mungkin, dia adalah polisi yang menyelamatkan Anda, Inspektur. Apa Anda bisa mendeskripsikan wajahnya?”

Cukup lama, mata Dimas terpejam mencari sosoknya. “Wajahnya terlihat gelap. Dia ... membelakangi lampu," jawabnya pahit. "Tapi ...," —Dimas menarik napas dalam-dalam— "... saya bisa melihat nama yang terajut pada seragamnya.”

“Siapa namanya?”

“A-y-i-s M-u-i-s.”

“Ayis Muis?” ulang Dokter Hanum kemudian. Dimas pun lantas mengangguk, meyakinkan dokter itu yang—entah mengapa—justru terlihat meragu.

“Dia adalah seorang perwira berpangkat Inspektur Polisi Dua yang bertugas di Unit PPA. Dialah yang menangani kasus Anda saat itu.”

Rasa pahit seketika memenuhi rongga dada Dimas. Itu berarti dia memang benar-benar diculik saat itu. Dan, akibatnya Mama pun harus kehilangan nyawanya. Juga, seseorang yang dicari Papa ... meninggal karena menyelamatkannya.

Dimas mencoba mencerna perkataan Dokter Harum. “Jika Ayis Muis adalah polisi yang menangani kasus saya, apakah dia juga orang yang menyelamatkan saya?”

“Bukan." Dokter Hanum menggeleng spontan. "Bukan IPDA Ayis Muis orangnya. Namanya adalah ....” Sembari membalik lembar pada halaman selanjutnya, dokter itu menggantung kata-katanya di udara. Berkas di tangannya sempat terjatuh ke lantai, tetapi segera dipungutnya.

“... Syahbana Samsuri.”

Rupanya, dukun yang bernama Wahyam itu, sama dengan orang yang pernah Samsuri lihat di tenda gorengan. Dia pulalah yang membawa serta Hachiko ke warung waktu itu. Dan, kini di hadapannya, pria itu duduk menjamu mereka di ruang tamunya, dengan tiga cangkir teh yang asapnya masih mengepul. Setelah beberapa kali beradu pandang dengan dukun itu, Samsuri menjadi semakin yakin, memang benar dialah orangnya. Samsuri sempat gelisah di kursinya, tetapi tampaknya Wahyam sama sekali tidak mengenali dirinya.

“Mau dibukakan jodoh?” tanya Wahyam, memecah keheningan yang terasa semakin canggung di antara mereka.

Samsuri menyikut lengan Ayis yang duduk di sebelahnya, memintanya untuk segera menjawab pertanyaan dukun itu.

“Benar, Mbah!” Ayis nyaris memekik. “Tapi saya ....” Matanya kemudian sibuk melirik ke arah Ajun Komisarisnya. Mendapati dukun itu menatapnya begitu lekat, tiba-tiba saja Ayis merasa seluruh bulu romanya berdiri, seperti hendak terbang ke angkasa. “... suka pada seseorang, tapi orang itu tidak suka pada saya, Mbah!”

“Siapa nama perempuan itu?”

“Namanya ... namanya Nunung, Mbah!”

Mendadak tangan Samsuri terasa gatal. Ingin sekali rasanya dia memukul kepala Ayis. Bicaranya terlalu terbata-bata. Selain itu, gelagat dan aktingnya pun sungguh buruk.

Kalau diperhatikan, sebenarnya Wahyam tidaklah setua itu sampai harus dipanggil ‘Mbah’. Pria itu sepertinya berada di usia awal empat puluhan. Namun, postur tubuhnya yang ceking dan agak bungkuk membuatnya jadi terlihat seperti seorang kakek yang telah memasuki usia senja—yang tentu saja berdampak pada bentuk matanya yang tampak seperti mendelik, seakan hendak menelan lawan bicaranya bulat-bulat. Rambutnya pendek dan ikal. Dia memelihara jenggot yang cukup panjang di dagunya.

Samsuri menyiagakan matanya pada seisi ruang tamu yang tampak tidak begitu luas, hanya diisi beberapa perabotan saja. Selain kursi rotan yang mereka duduki, sebuah lemari kayu jati asli diletakkan di ujung ruangan. Sebuah radio tersimpan di atas meja kecil, yang disandingkan bersama sebuah gosokan arang. Gelaran tikar membentang di tengah-tengah. Lalu, tampak beberapa foto dalam bingkai kayu, yang gambarnya nyaris memburam, dipajang pada dinding rumah.

“Boleh saya pinjam kamar mandinya, Mbah?” Samsuri mulai bersiasat.

Wahyam mempersilakannya dengan segala hormat. Dukun itu menunjuk sebuah pintu yang menghubungkan ruang tamu ke kedalaman rumahnya dengan ibu jari.

Samsuri lantas menepuk pundak Ayis, sementara Ayis membalasnya dengan senyum canggung. Harapan Samsuri, semoga Ayis mampu memberinya sedikit waktu untuk menemukan rahasia di dalam rumah dukun itu.

Dua buah ruangan yang saling bersisian baru saja Samsuri lewati. Garis pada dinding ruangan pertama ukurannya jauh lebih besar, sementara satu lagi tampak lebih kecil. Pintunya tertutup rapat-rapat. Ruangan pertama sepertinya merupakan kamar tidur yang digunakan oleh Wahyam dan istrinya, sementara sisanya ditempati oleh anak Wahyam.

Rumah Wahyam seolah hanya memiliki satu baris lorong saja. Sebab, begitu Samsuri melewati pintu di sebelah lemari kayu jati tadi, dia langsung terhubung dengan dapur di sisi kanannya. Banyak perkakas yang disusun sembarang pada rak. Mulai dari alat-alat makan, sampai keperluan memasak, diletakkan pada tempatnya masing-masing. Dari semua benda-benda itu, rasa-rasanya sama sekali tidak ada yang penting di mata Samsuri.

Lalu di sisi kiri terdapat ruangan lain yang hanya diberi penutup semacam gorden pada pintunya. Awalnya Samsuri mengira ruangan itu adalah kamar mandi, tetapi rupanya dia salah. Ketika disibaknya kain penutup tersebut, Samsuri justru mendapati istri Wahyam yang sedang memijat tubuh seorang wanita muda di dalamnya. Kedua wanita itu sama terkejutnya dengan Samsuri. Merasa tindakannya sangat lancang, Samsuri pun segera meminta maaf, kemudian menarik diri menuju ke sebuah pintu lain—pintu yang akan menghubungkannya dengan dunia luar.

Bau kandang sapi adalah hal pertama yang menyapa panca inderanya. Kemudian, terdengar suara sapi yang meribut dari kandang ternak, dan selanjutnya adalah ... dingin.

Terlalu gelap. Lampu petromak yang menggantung di dekat kandang sapi nyalanya tidak memberi banyak penerangan sampai ke seluruh halaman belakang rumah. Akan tetapi, setidaknya Samsuri masih bisa melihat tanaman oba-obatan yang tumbuh berjajar di dekat parit.

Terdengar suara alir mengalir, yang rupanya berasal dari dalam kamar mandi.

Samsuri mengambil langkah dengan penuh kehati-hatian. Mengintip ke dalam kamar mandi, yang bentuknya menyerupai sebuah gubuk yang nyaris ambruk. Bagian luarnya hanya dikelilingi karung dan plastik poly bag bewarna hitam pekat. Terdapat sebuah sumur di dalamnya. Peralatan mandi yang dibiarkan berserak di batu tidak begitu menarik perhatian Samsuri untuk memeriksa lebih jauh.

Beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini, terlihat sebuah ... kakus sepertinya. Sebab, bau tak sedap yang menguar dari dalamnya dirasa cukup menyengat bercampur pesing.  Sekali pun merasa sangat enggan, Samsuri tetap harus memastikan isi di dalamnya. Tidak ada yang bisa menjamin di mana para pelaku kejahatan menyembunyikan jejak mereka. Semua opsi bisa menjadi sebuah kemungkinan. Bahkan, di tempat yang paling kotor sekali pun. Sayangnya, begitu Samsuri masuk ke dalam, tetap—dia tidak menemukan apapun di sana.

Bau-bau tidak sedap membuat saluran pernapasannya seakan pindah ke perut. Berulang kali Samsuri mengumpat. Di mana sebenarnya Wahyam menyembunyikan bukti-bukti kejahatannya. Setidaknya satu saja, entah itu kerangka lampu depan mobilnya yang pecah, atau ... apa saja.

Samsuri berputar-putar cukup lama. Di dalam kandang ternak dia juga tidak menemukan hal-hal yang ganjil, selain dua buah gentong besar berisi air dan berkarung-karung rumput untuk pakan ternak.

Samsuri memutuskan untuk kembali. Dilihatnya Ayis masih menyibukkan diri bersama dukun itu.

Di belakang punggung Wahyam, Samsuri menggeleng pada Ayis. Lagi-lagi, kegagalan memutus jalan mereka.

Jadi, ternyata ... Letnan Samsurilah orang yang sudah menyelamatkanku, dan juga orang yang dicari-cari oleh Papa selama ini.

Dimas mengetuk-ngetuk papan linimasa dengan spidol. Sungguh, apakah ada hal lain lagi yang dapat membuatnya terkejut lebih daripada ini? Rasanya ... Dimas tidak bisa membayangkan.

Tragedi penculikan itu terjadi pada tahun 2006. Letnan Samsuri saat ini hidup di tahun 2002. Masih ada waktu empat tahun lagi.

Dimas harus menyelamatkannya, meski dia tidak tahu apakah dia bisa melakukannya atau tidak.

Pasalnya, pergerakan waktu yang terjadi melalui koneksi HT lintas waktu tidak dapat diprediksi.

Empat tahun lagi, bisa jadi satu bulan atau justru dua hari lagi, jika dikonversikan ke dalam masa di mana Dimas hidup saat ini.

Satu masalah lagi, HT tua itu belakangan—nyaris—tidak pernah berbunyi lagi.

Dimas mendesah panjang. Mendadak dia merasa begitu serakah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia pun sangat ingin menyelamatkan mamanya dari kematian.

Kalau saja Letnan Samsuri lebih memilih menyelamatkan Mama, ada kemungkinan Letnan Samsuri tidak perlu kehilangan nyawanya.

Akan tetapi, risikonya, takdir kematian mungkin justru akan berbalik pada Dimas sendiri. Lalu, eksistensinya pun akan terhapus dari dunia ini.

“Yan,” ucap Dimas tiba-tiba, tanpa mengalihkan perhatiannya dari kaca linimasa. “Apa mungkin—kita bisa mencegah kematian orang-orang yang kita sayangi?” Dimas memberinya sebuah perumpaan, "Jika nyawa dua orang yang kamu sayangi terancam, termasuk dirimu sendiri, siapa yang akan lebih dulu kamu selamatkan?"

Aryan terpekur selama beberapa saat—lebih dikarenakan dia tidak tahu ke mana sebenarnya arah pembicaraan Dimas. Dengan menjeda cukup lama, dia berusaha memahami ucapan Inspekturnya, kemudian menjawab, “Mungkin, saya akan menyelamatkan diri saya dulu, Inspektur, agar kemudian saya bisa menyelamatkan mereka—orang-orang yang saya sayangi.”

Jawaban dari Aryan pun tak lantas membuat rasa gundahnya membaik. Bagaimana mungkin Dimas bisa memberitahu dirinya sendiri—untuk tidak masuk ke dalam mobil itu?

Masih empat tahun lagi.

Saat ini, yang lebih penting, Dimas harus memfokuskan dirinya pada kasus pembunuhan berantai di Desa Batu Bedimbar.

Ditemukannya kerangka seorang waria, tiba-tiba membawa mereka pada kasus yang jauh lebih besar—kasus pembunuhan berantai.

Kembali diketuk-ketuknya kaca linimasa. Perubahan mendadak yang terjadi dalam semalam membuat Dimas harus memutar otak. Tidak seperti kasus pembunuhan satu keluarga di Karang Sari, kasus pembunuhan berantai ini justru menjadi semakin rumit.

Untuk kasus di Karang Sari, karena Letnan Samsuri berhasil menyelamatkan Rianda Bumi, kerangka milik bocah itu pun otomatis menghilang dari ruang bawah tanah. Letnan Samsuri berhasil menyelesaikan kasus itu di masa lalu, sehingga kasusnya tidak lagi masuk dalam tumpukan berkas kasus dingin.

Dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada kasus kali ini, Dimas tidak bisa sembarangan menarik kesimpulan.

Jam di dinding ruangan terus berdetak, seakan berpacu dengan suara degup jantungnya. Tiga jam lagi, sampai waktu di-release-nya kasus pembunuhan berantai itu ke muka publik, Dimas masih belum menyelesaikan laporan. Di luar, Kapten Depari sudah ribut, menggedor-gedor pintu ruangan Divisi Pembunuhan, seakan hendak menghancurkannya.

Dimas sengaja mengunci pintu ruangan, hingga yang tersisa di dalam hanya dia, Aryan, Joana, dan Evan. Akan tetapi, dia malah tidak bisa berkonsentrasi akibat suasana terlalu berisik di luar ruangan.

Di mejanya, Aryan tampak sibuk mempersiapkan bahan briefing untuk media, sementara Evan dan Joana tengah mendata rincian daftar barang bukti dalam dus di ujung ruangan.

Dimas berderap menuju jendela, menyaut kemeja putihnya yang tergantung pada jerjak, kemudian segera memakainya. Bola matanya jatuh ke bawah sana, pada pemandangan di sekitar area lahan parkir. Banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Tentu saja, kasus pembunuhan berantai ini pasti telah menarik banyak media maupun masyarakat Batam.

Sembari mengaitkan kancing lengan kemeja, Dimas kembali bergerak ke linimasa. Dia sempat menyambar dasi merah miliknya yang sebelumnya dia letakkan di atas meja.

Evan yang melihat Dimas begitu gugup pun segera mendekatinya.

“Apa yang kauragukan, Dim?” tanya pria itu sembari membenarkan ikat rambutnya yang terasa longgar. Ditatapnya Dimas dengan kerutan di kening. Menjadi penanggung jawab kasus pembunuhan berantai pastilah membuat Dimas tertekan. Evan berharap Dimas bersedia berdialog dengan mereka, sebab bagaimanapun juga mereka adalah rekan satu tim.

“Entahlah, aku merasa ada aneh dengan perilaku si pelaku.”

“Aneh ... bagaimana maksudmu?”

Pembicaraan keduanya berhasil menarik Aryan dan Joana untuk mendekat.

Dimas kemudian berbalik, menatap satu per satu wajah rekan-rekannya. “Siti Sundari ditemukan tewas pada Februari 2002. Terdapat jarak yang cukup lama sampai pelaku kembali beraksi membunuh korbannya. Lina S, Dwi Sartika, S. Saragih, keluarga korban melaporkan soal kehilangan mereka pada saat yang hampir bersamaan, yaitu; pada awal bulan Juni.”

Evan tampak berpikir keras sembari memilini janggut di dagunya. “Kau benar, Dim,” ucapnya. “Pelaku adalah seorang dukun penganut ilmu hitam, yang mengemban sebuah misi demi mendapat kekuatan gaib. Seharusnya tumbal yang dia persembahkan ... em ... bagaimana caraku mengatakannya.” Evan sedikit kebingungan menimbang bahasa. “Jika benar untuk mendapatkan kekuatan itu pelaku harus membunuh, biasanya tumbal harus diberikan secara berkala.”

“Mungkin, ada sesuatu yang memaksa pelaku menghentikan kegiatannya untuk sementara.” Joana menyahut. Tidak seperti biasa, Dimas lihat wanita itu kali ini menguncir rambut pendeknya ke belakang.

Dimas memijat pangkal hidungnya. “Tetapi, apa kira-kira? Mengapa pelaku harus berhibernasi terlalu lama?” Sayang sekali, Dimas tidak bisa menghubungi Samsuri, sehingga dia harus mencari jawaban ini dengan memeras otaknya sendiri.

Di sebelah Joana, Ayis ikut menimpali, dengan mengibarat pelaku seolah-olah sengaja membuat dirinya terlihat seperti hiatus dari kegiatannya agar tidak dicurigai. “Atau mungkin ada alasan lain, Inspektur. Seperti ... bencana alam, misalnya?”

“Bencana alam?” Dimas tidak percaya mendengarnya. Entah bagaimana Aryan selalu memiliki deduksi yang aneh—yang nyaris tidak terpikirkan oleh orang lain. Dilihatnya Aryan menyengir kuda. Evan segera menegur Briptu itu. Dia bilang, ini bukan waktunya untuk bercanda!

Gedoran pintu di luar makin meribut, membuat pikiran Dimas pun mendadak buyar. Dengan perasaan marah bercampur kesal, dia buru-buru beranjak menuju pintu, lalu membukanya dengan kasar, “Bisakah kalian diam sebentar, sialan!” teriaknya tak main-main.

Seharusnya orang-orang yang berada di luar ruanganlah yang terlonjak kaget, tetapi Dimas justru mendapati dirinya sendiri yang terkerjut, ketika melihat Bunda Elizar berdiri di hadapannya.

Dimas sontak mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Astaga. Dia baru saja memaki Bunda Elizar tepat di wajah.

“Kenapa Bunda bisa ada di sini?” tanyanya dengan raut kebingungan.

________________

Notes :

Unit PPA = Unit Pelayanan Perempuan dan Anak

Kakus = jamban dengan kearifan lokal wkwk jangan suruh saya mendeskripsikannya.

Btw bahasa jawa pada dialog sudah saya sesuaikan dengan versi Deli/melayu. Yang biasa dipake di Riau, Kepri, dan Sumut. Rada beda mungkin sama yang thothok dari pulau Jawa.

Continue Reading

You'll Also Like

50.5K 6.7K 39
Nera adalah anak yang tumbuh di lingkungan kriminal pinggiran kota. Keputusannya menyelamatkan seorang pria tua yang terkena luka tembak membawanya m...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

331K 17.5K 33
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.7M 553K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
93.5K 3.4K 49
Will you still love me when I'm be a monster? --------------- Shella yang dituntut sempurna oleh orang tuanya hanya dikenal sebagai cewek paling popu...