NATA [Selesai]✓

By trajec70ries

904K 96.8K 6K

Versi novel tersedia di Shopee Firaz Media. *** Adinata Emery Orlando merupakan pemuda yang tidak bisa mengek... More

PROLOGUE
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
EPILOGUE
For you...
Sequel?
📌Skema Nestapa
°• Elegi & Tawa •°
MAU TANYA
INPO TERBIT MAZEHHH
VOTE COVER
PILIH BONUS NOVEL
OPEN PO

CHAPTER 15

17.8K 2.4K 218
By trajec70ries

#15

Tepat pukul satu siang, dua siswa berbeda gender itu telah selesai menghadapi turnamen Matematika yang sudah mereka persiapkan jauh-jauh hari. Usai menjalani hari-hari panjang dengan sekumpulan rumus yang memenuhi kepala, akhirnya hari ini terbayar sudah dengan kerja keras mereka dalam turnamen.

Walaupun hasil kemenangan tidak langsung diumumkan, namun mereka cukup yakin dengan kerja keras mereka yang tidak akan mengecewakan. Yah, pada perlombaan tadi bisa dikatakan Nata dan Elzi cukup sportif. Mereka juga tidak kewalahan dengan soal dan waktu yang dihadapi. Jadi, itu menjadi alasan kenapa mereka yakin dengan hasilnya. Sekalipun mereka enggan berbangga diri terlebih dahulu-- mengingat masih banyak kemungkinan yang akan terjadi di luar ekspektasi mereka berdua. Percaya dengan usaha keras mereka sendiri-- itu sudah cukup.

Usai perlombaan, Pak Rasyid mengizinkan dua siswa itu untuk pulang, alih-alih ke sekolah mereka diperintah untuk istirahat saja di rumah. Karena, mereka pasti akan sangat kelelahan jika melanjutkan belajar siang ini di sekolah.

Nata yang memang membawa kendaraan ke tempat perlombaan kini diperintahkan Pak Rasyid untuk mengantar Elzi pulang. Mengingat saat menuju tempat perlombaan, gadis itu menaiki mobil Pak Rasyid bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan kini Pak Rasyid dan para guru akan menuju ke sekolah lagi. Jadi, Nata lah yang harus mengantar Elzi pulang dengan selamat.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan membosankan, akhirnya roda motor Nata berhenti di pelataran rumah Elzi.

Elzi turun dari motor Nata, tangannya otomatis menata surai hitamnya yang sedikit berantakan. Setelah di rasa cukup, ia akhirnya membuka suara.

"Nat, selamat atas kerja keras lo tadi." Ucap Elzi.

Lelaki itu pun tersenyum tipis, "lo juga."

"Thanks, udah nganter gue." Ucap Elzi yang dibalas anggukan beserta senyum tipis dari Nata.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Nata memilih untuk melajukan motornya-- keluar dari pelataran rumah Elzi.

Usai memperhatikan punggung Nata yang kian menjauh hingga akhirnya hilang dari pandangan. Elzi melangkahkan kakinya untuk memasuki rumah. Rasa-rasanya tubuh mungil itu kini sudah sangat mendambakan kasur empuk kebanggaannya-- serta ingin menyapa Sang Bunda dan juga Lili, kucingnya yang lucu dan menggemaskan.

Jemari Elzi memegang gagang pintu rumahnya, alih-alih terbuka ataupun Sang Bunda membukakan pintu kala Elzi mengucap salam. Elzi justru mendapati pintu itu terkunci rapat.

Dilihatnya home screen ponselnya, benar saja-- hari ini Bundanya akan pulang malam. Padahal bunda sudah memberi tahunya kemarin, tapi Elzi justru melupakannya.

Gadis itu memilih duduk di kursi teras, mencoba untuk mencari kunci cadangan yang selalu ia bawa. Sialnya, Elzi kini memakai tas yang berbeda dari biasanya. Oh Tuhan, kunci cadangan rumahnya masih bersemayam di tas sekolah yang satunya. Tentu saja tas yang Elzi maksudkan kini berada di dalam kamarnya. Ck, Elzi yang malang.

Elzi menghembuskan nafasnya kasar sebelum akhirnya ia bersandar di punggung kursi sembari memejamkan matanya. Sepertinya, hari ini Elzi harus menelan pil pahit, bukannya berbaring di kasur empuknya, yang ada ia malah duduk di kursi depan rumah-- sembari menunggu bundanya pulang. Aish! Ini melelahkan.

Deru suara motor yang kian mendekat, langsung membuat Elzi membuka kelopak matanya. Apakah itu bundanya? Tapi, tidak mungkin. Itu suara motor, sedangkan bundanya selalu membawa mobil saat bekerja.

Mata Elzi membola, alih-alih Bundanya yang ia lihat, justru ia mendapati manusia kaku bermulut tajam di hadapannya sekarang. Siapa lagi jika bukan Nata.

Elzi berlari kecil, mendekati Nata, "kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?"

"Kenapa masih di luar?" Bukannya menjawab, pria itu justru melontarkan pertanyaan lagi kepada Elzi.

Elzi menggaruk bagian belakang kepalanya, kemudian ia menceritakan penyebab dirinya masih di luar rumah sampai sekarang.

"Kenapa lo balik?" Elzi kembali bertanya usai menjelaskan perkara kunci rumah kepada Nata.

Lelaki itu merogoh tasnya, lalu mengulurkan benda dari tas miliknya kepada Elzi. "Buat Lili, kemarin gue lupa mau ngasih ke lo."

Elzi mengambil alih makanan yang Nata beli untuk Lili, "thanks." Ucapnya yang dibalas anggukan oleh lawan bicara.

"Nat, gue boleh minta tolong." Ucap Elzi yang diakhiri dengan ringisan-- gadis itu ragu kalau Nata akan menerima permintaannya.

"Apa?"

"Anterin gue ke rumah Nelly boleh? Gue mau nunggu di rumah Nelly sampai bunda pulang." Elzi berucap dengan penuh hati-hati.

Nata memakai helmnya, "Nelly belum pulang."

Mendengar itu, Elzi melirik jam di pergelangan tangannya. Ada benarnya juga ucapan pria itu, pasti Nelly belum pulang dari sekolah.

Sebenarnya Elzi bisa saja meminta Nata untuk tetap mengantarnya ke rumah Nelly, mengingat Nelly pasti tak akan pulang larut. Tapi, sepertinya Nata memang tidak mau mengantarkannya. Dilihat dari realitanya, hubungan mereka berdua tidak bisa dikatakan-- hubungan yang baik. Mereka lebih sering berdebat. Jadi, Elzi pantas merasa ragu jika Nata akan menerima permintaan tolongnya dengan senang hati.

Elzi menunduk lesu, "ya udah kalau gitu." Sepertinya Elzi memang harus menunggu disini sampai bundanya pulang.

Lelaki itu melirik Elzi yang menunduk, kemudian bola matanya merotasi. "Tunggu apa lagi? Naik!" titah Nata.

Gadis yang kini mendongak pun langsung menerjapkan matanya, "kan Nelly belum pulang."

"Siapa bilang mau ke rumah temen lo?" Nata menaikkan sebelah alisnya.

"Terus, lo ngajak gue tadi?"

"Kita makan."

***

Awalnya Elzi mengira sisi kemanusiaan Nata yang dulu tenggelam sangat dalam-- kini mulai sedikit timbul ke permukaan. Namun, Elzi harus membuang jauh-jauh spekulasinya itu, karena kenyataannya makhluk bernama Nata memang tidak memiliki sisi kemanusiaan.

Enggan munafik, ajakan Nata yang berhasil menyusup masuk ke indra pendengarannya-- membuat sensasi hangat diam-diam menjalar di dadanya, merebak luas hingga laju jantungnya pun ikut terusik dengan hebat.

Namun, kenyataan kembali mendobrak alam bawah sadar Elzi. Bukan ke restauran ataupun warung makan pinggir jalan-- tempat yang memang seharusnya mereka membeli makanan. Nata justru mengantar Elzi ke basecamp yang masih sepi. Alih-alih mendapat makan siang, Elzi justru diperintah Nata untuk memasak. Ralat, bukan di perintah lebih tepatnya di paksa memasak untuk Nata dan geng bobroknya.

Elzi akui, dirinya cukup terpana dengan interior basecamp yang sedang ia pijak sekarang. Mungkin akan terlihat biasa saja jika di lihat dari luar, namun begitu kaki jenjang Elzi berpijak ke dalam-- mata telanjangnya akan dibuat kagum oleh interior klasik dihadapannya.

Mata kecil Elzi mendapati ruangan minimalis dengan tembok kayu coklat yang membuatnya terlihat sederhana, namun tetap terkesan elegant dengan adanya lampu hias sebagai furnitur di dalamnya. Tidak lupa sofa panjang dark grey dengan dua bantal merah yang saling berhadapan, membuat ruangan ini lebih terisi. Furnitur cantik nan klasik lainnya juga turut andil untuk memanjakan mata Elzi. Belum lagi pintu kaca yang  membuat ruangan mini tersebut tidak kehausan cahaya.

Ruang klasik yang kosong ini sama sekali tak menunjukan kehampaan, sekalipun masih belum diisi penghuninya. Binar kagum masih terus menyelimuti manik Elzi, seolah ruang sunyi ini tengah mengalunkan melodi lembut yang menarik jauh dirinya ke dimensi nyaman.

Pletak.

Nata menyentil kening Elzi, kontan ringisan pun timbul dari mulut gadis itu. Elzi melotot, "sshh, lo kira jidat gue mainan?!" protesnya.

Nata mengedikan bahu acuh, "ikut gue." Ucapnya yang langsung memimpin jalan. Masih dengan mencibir, Elzi berjalan mengikuti pria di depannya. Hingga kakinya menapaki dapur kecil yang senada dengan basecamp.

Nata menunjukan jam di ponselnya kepada Elzi, "bentar lagi temen-temen gue pulang. Tugas lo sekarang masak disini."

Elzi memandang bahan dan alat masak di hadapannya dengan datar, kemudian ia menatap Nata yang memang masih berdiri di sampingnya dengan bersedekap dada.

"Nggak mau! Gue bukan pembantu lo sama geng bobrok lo itu!" tolak Elzi.

Nata menatap gadis keras kepala dihadapannya dengan datar, "masak, El."

"Nggak mau!" Elzi membalikan badan hendak pergi, namun Nata menghadang jalannya.

"Masak."

"Nggak."

Bola mata lelaki jangkung itu berotasi, "El, gue bilang masak sekarang." Suara Nata terdengar santai namun kental dengan paksaan di dalamnya.

Tak mau kalah, Elzi menatap Nata dengan berkacak pinggang. "Nat, gue nggak mau! Gue bukan pembantu lo! Jadi, lo nggak ada hak buat perintah gue!"

Usai berargumen, gadis itu langsung mengincar celah di samping Nata-- berniat melarikan diri. Lagi-lagi usahanya gagal, Nata terus menggerakkan kakinya seirama dengan langkah kaki gadis dihadapannya. Jengah dengan tingkah Nata, gadis itu pun mendorong dada bidang Nata. Alih-alih Nata tergeser guna memberi ruang gerak, justru tangan Elzi dicekal oleh Nata. Dengan gerakan spontan, Nata menarik Elzi untuk lebih mendekat kepadanya.

"Lo harus bayar hutang lo." Ucap Nata.

"Gue nggak pernah punya hutang sama lo! Lagian lo yang selalu nawarin diri buat traktir gue!" jelas Elzi.

Nata berdecak kesal, demi apapun bukan hutang seperti itu yang Nata maksud. Reflek Nata pun semakin menarik tangan gadis itu, kontan tubuh kecil Elzi tertarik mendekati badan tegap Nata. "Hutang maaf. Gue masih punya sisa tiga permintaan."

Elzi mendengus sebal. Pria itu tengah menggunakan otoritasnya ternyata. Menyebalkan!

"Iya-iya gue bakal nurutin perintah lo. Tapi nggak sekarang, yah? Please." Ucap Elzi penuh harap. Sungguh, tubuh Elzi sangat lelah. Bahkan tulang-tulangnya seperti remuk secara bersamaan.

"Kapan lagi kalo bukan sekarang?" tanya Nata yang lebih tertuju pada pernyataan.

"Lomba udah selesai, nggak ada alasan lagi buat gue ketemu lo, begitu juga sebaliknya." Lanjut Nata.

Mendengar kalimat Nata, jiwa Elzi seolah ditarik ke dimensi yang amat jauh dan hampa. Tatapan Elzi perlahan turun, seakan tak memiliki kuasa lagi untuk menatap bola mata pria itu.

Ucapan Nata memang benar, tapi kenapa ada perasaan aneh yang kini bersemayam di hati Elzi. Semacam-- tak rela? Bukan, lebih tepatnya sedihlah yang lebih mendominasi. Tapi, kenapa? Ini bukanlah perasaan yang seharusnya Elzi rasakan saat ini. Bukankah Elzi lebih tepat untuk merasa senang? Karena bisa berpisah dengan rivalnya itu.

Gadis itu dapat merasakan cengkraman Nata mulai melonggar, kontan tatapan Elzi perlahan mulai naik, mencari objeknya-- mata elang milik Nata. Sial! Lelaki itu kini tengah menatapnya, dan itu benar-benar tatapan yang melemahkan Elzi.

Lagi dan lagi, tatapan macam apa yang kini Nata berikan padanya? Elzi sama sekali tak mampu membaca arti tatapan itu. Tatapan Nata dan segalanya, Elzi tak bisa memahami segalanya yang berkaitan dengan Nata juga hatinya sendiri.

Cukup lama keduanya saling menyelami manik mata masing-masing, hingga Elzi yang terlebih dahulu memutuskan benang diantara keduanya.

"O... oke, gue buat makanan dulu." Ucap Elzi gugup.

Nata pun sama, ia membuang muka dengan sesekali berdehem, seolah itu mampu menetralisir rasa gugup yang melanda.

"Hmm, gue mau mandi." Pamitnya yang langsung meninggalkan dapur.

Elzi mengamati punggung Nata yang mulai tertelan dinding klasik dihadapannya. Hingga tanpa sadar tangan mungil Elzi meraba dadanya sendiri yang masih terasa sesak.

"Gue kenapa?"

***

Kurang dari setengah jam Elzi berkutat dengan peralatan dapur, akhirnya Omelet Mie buatannya telah siap untuk dihidangkan. Hanya itu lah yang bisa Elzi masak, pasalnya gadis itu hanya mendapati tiga butir telur dan dua mie instan di sini.

Elzi melirik jam dinding, sepertinya ia harus menunggu 20 menit lagi untuk melahap makanan. Karena sekarang memang belum jamnya geng bobrok itu keluar dari sekolah.

Sejujurnya, perut Elzi sudah sangat keroncongan sedari tadi. Tapi, mau bagaimana lagi-- ia harus menunggu kepulangan para makhluk astral terlebih dahulu. Setidaknya Elzi masih sayang nyawanya sendiri. Bisa-bisa riwatnya habis ditangan Nata hanya karena perkara omelet.

Gadis itu memutuskan untuk mencuci peralatan yang tadi ia pakai untuk memasak. Hitung-hitung mengalihkan perhatiannya dari omelet yang menggoda iman.

Sesekali mulut mungil Elzi bersenandung ria, diiringi tangannya yang lihai membersihkan sisa-sisa noda di teflon. Hingga aroma mint yang menyusup indra penciumannya berhasil mengalihkan perhatian gadis itu.

Terlihat perawakan pria jangkung di depan pintu yang tengah menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil. Elzi dibuat bergeming oleh Nata, bagaimana tidak. Pria itu kini terlihat lebih tampan dengan rambut basah acak-acakanya. Tunggu? Elzi bilang apa tadi?

Masih dengan gerakan menggosok rambutnya, Nata melihat gadis mungil itu, "masak apa?" tanyanya.

Alih-alih mendapat jawaban, Nata justru mendapati gadis itu masih bergeming sembari menatapnya tanpa berkedip.

Pria tampan itu berjalan mendekati Elzi, hingga-- pletakk

Tangannya menyentil dahi Elzi cukup keras, kontan Elzi mengaduh kesakitan dan langsung mengusap dahinya. Tapi, kesialan Elzi tak sampai di situ. Ia lupa bahwa telapak tangannya masih terbalut oleh sabun pencuci piring. Alhasil cairan sabun tersebut mengalir dari keningnya menuju mata.

"Awwss. Nata! mata gue!" adu gadis itu kelabakan. Ia mengibas-ngibaskan tangannya di depan matanya yang terpejam, seolah tindakannya itu akan membuat rasa perihnya hilang.

Nata meletakkan handuk ditangannya ke sembarang tempat. Digenggamnya tangan Elzi agar berhenti bergerak, lalu ia menunnduk-- mensejajarkan badannya dengan tinggi Elzi.

"Buka mata lo." Titahnya.

Gadis itu berusaha membuka mata, namun baru terbuka sedikit rasa perihnya lebih kuat dua kali lipat. "Nggak bisa, perih."

Nata berdecak pelan, jujur saja Nata sedikit kesusahan karena tinggi gadis dihadapannya. Alhasil, ia mengangkat tubuh mungil itu dan mendudukannya di meja dapur. Elzi yang masih memejamkan matanya, langsung terpekik kaget dan reflek mengalungkan tangannya di leher Nata.

"Buka mata." Ucap cowok itu.

"Ditutup terus gue nggak bisa niupnya." Lanjut Nata memberi pengertian.

Perlahan Elzi mulai mencoba membuka kelopak matanya, meskipun sesekali ia kembali memejamkan matanya karena rasa perih yang menjalar. Namun akhirnya, ia berhasil membuka matanya.

Adalah wajah tampan Nata yang menjadi penampakan utama kala kelopak mata Elzi terbuka. Tak mau membuang kesempatan, Nata segera meniup bola mata Elzi yang sudah terlihat merah. Jarak wajah mereka kini begitu dekat, bahkan hidung mancung mereka pun hampir bersentuhan.

Debaran jantung Elzi seakan mendominasi atas rasa perihnya. Entah menghilang kemana rasa sakit yang sempat menyiksanya beberapa menit yang lalu. Yang Elzi tahu, sekarang dia lebih kesulitan untuk sekedar menghirup oksigen dengan bebas.

Nata menghentikan kegiatannya kala menyadari obsidian Elzi terfokus padanya. Seolah tak mau kalah, Nata pun menatap lekat manik Elzi. Terus terpaku seolah samudera dalam mata Elzi begitu memikatnya. Dua insan itu terjerat dalam manik masing-masing.

Sungguh, sunyinya sore ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan dua insan tersebut. Ada gemuruh hebat yang terus menguasai rongga dada mereka hingga menciptakan ruang gaduh di dalam sana. Seakan mereka tengah berlomba-lomba membentuk melodi dari ritme jantung yang terus berpacu dengan cepat.

Dan entah sadar atau tidak, Elzi masih mengalungkan kedua tangannya di leher Nata. Begitu juga sebaliknya, tangan pria itu masih melingkar di pinggang ramping milik Elzi. Siapapun yang melihatnya, pasti akan mengatakan bahwa mereka berdua terlihat begitu intim sekarang. Belum lagi jarak wajah keduanya yang masih dekat. Sangat dekat.

"N... nat?"

"Hm." Tanpa sadar Nata berdehem sebagai sahutan dengan pandangannya yang masih tertuju pada mata hangat Elzi. Sedangkan debaran Elzi semakin dibuat menggila kala suara bariton Nata memasuki indra pendengarannya.

Merasa kesehatan jantungnya sedang di pertaruhkan, Elzi mencoba menjauhkan tubuhnya dari Nata. Tanpa di duga, Nata justru mengeratkan lingkaran tangannya pada pinggang Elzi dan menariknya untuk tidak menjauh. Kontan perbuatan Nata pun membuat gadis itu hampir menabrak dada bidangnya jika Elzi tak segera menumpukan kedua tangannya di dada Nata.

Seakan dihipnotis oleh obsidian legam nan hangat milik Elzi, lelaki itu pelan-pelan mulai mendekatkan wajahnya kepada Elzi. Katakanlah kewarasan Nata benar-benar lenyap kali ini. Sungguh, pancaran hangat bola mata Elzi sudah merenggut habis sisa kesadarannya.

Elzi meremas kaos putih yang dikenakan Nata, sedangkan tangan yang lainnya, ia jadikan tumpuan untuk menopang tubuhnya sendiri. Elzi menatap lelaki dihadapannya dengan resah, "N- nat... "

"Astaghfirulloh!! 18+!! Zikri polos, Zikri nggak liat!"

___________________________________________
TBC...
Kalau kalian suka bab ini silahkan beri vote juga komen(•‿•)
Maaf typo bertebaran
See you🧡

Continue Reading

You'll Also Like

4K 309 56
Antaressa TAMAT [TELAH DIREVISI] "Berjuanglah untuk hidupmu meskipun nggak ada yang mau memperjuangkan mu" -Ressa Dia Reva Antaressa. Gadis yang diju...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 82.8K 37
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
301K 18.7K 73
[ Sebelum baca follow dulu ya] #1 wattpad (13/06/21) #2 basket ball (31/03/21) #1 Arista (16/02/21) #1 Fikar (23/01/21) Arista Kenzie alexis. Gadis...