FATE, TIME, DISTANCE. / KV

De maachin

5.1K 529 166

Tapi kisah mereka, sejak awal tidaklah sesederhana membentuk ekspetasi. [GOUTERFEST_KOOKV] Mais

i

5.1K 529 166
De maachin

tags (●⌒∇⌒●) ;
TIAN_LIAN
Anis-S
macchano
aidisally
Leonpie

wish me luck,
and hope you enjoy
(。・ω・。)ノ♡

/ / / / /

Kira kira, dari bayang perkiraan Kim Taehyung, sejak dua tahun yang lalu ia membenci Jeon Jeongguk. Dan dari bayang perkiraannya lagi (iya, ingatannya memang serapuh itu) dua tahun yang lalu mereka tengah duduk di bangku SMP.

Maka, kini otaknya tengah berfungsi pada titik didih paling tingginya, bagaimana ia harus bersikap, menunjukkan bahasa tubuh, bahkan memberikan pandangan dari maniknya, kala Jeon Jeongguk, pemuda yang ia benci, kembali tepat di depan matanya.

Ingin terkejut kala pemuda tersebut memperkenalkan diri di SMA-nya, namun Taehyung tampaknya memilih cara lain. Tatapan sinis yang ia lempar kala Jeongguk meliriknya, decihan pelan, lalu membuang mukaㅡTaehyung sekali lagi, ingin mengatakan bagaimana ia bersyukur dengan jendela di samping bangkunya.

"Perkenalkan, namaku Jeon Jeongguk."

Taehyung tau. Ia membuang nafas lagi, ingin menunjukkan seberapa bosannya ia manakala suara itu baru saja keluar dari belah bibir tipis sang empu.

"Aku berasal dari Busan."

Taehyung juga tau.

Taehyung ingin membuang jauh jauh fakta yang dirinya sendiri lakukan; bagaimana otaknya memilih memutar ulang rekaman yang lalu daripada memfokuskan pandangan yang terpampang dari jendela, bagaimana hatinya membisikkan; "Lihatlah dia. Sama sekali tak berubah", bagaimana benaknya ingin menolak namun kemudian mengakui kalah.

Maka, Taehyung habiskan dua detiknya untuk menatap Jeongguk dari ujung matanya. Kali ini, Taehyung tidak akan berbohong, Jeon Jeongguk benar sama sekali tak berubah. Ia masih miliki surai kelam bak gagak, dengan segala manik mata, bibir tipisnya, suaranya, yang tak berubah. Mungkin, hanya saja, suaranya yang terdengar lebih berat daripada sebelumnya.

Namun, Taehyung sama, masih dengan sebelumnya; ia benci Jeon Jeongguk.

"Aku pindah ke Daegu lima tahun yang lalu."

Taehyung tau, ia pernah cerita.

"Semoga kita bisa berteman."

Taehyung mendengus dalam diam.

"Iya, kan, Kim Taehyung?"

Kini, Taehyung hadapi tatapan yang terlayang padanya sejak daritadi, pemuda Jeon menatapnya dengan tatapan yang Taehyung sendiri tidak dapat artikan; sapaan atau ejekan. Taehyung membalas pandangan, dengan manik yang ia buat sekosong mungkin.

"Maaf, kita perlu banyak waktu untuk itu," katanya, Jeon Jeongguk tak menjawab, layaknya Taehyung selanjutnya.

Taehyung dengan jelas bisa mendengar bisikan bisikan yang mendesis dalam ruangan kelas, lalu menatap tak berniat pada Hoseok, pemuda di belakangnya yang baru saja menepuk pundaknya beberapa kali.

"Kau mengenalnya?"

Taehyung tak ingin menjawab, sebenarnya. Namun, kala Jeongguk melangkah melewati mejanya dan Hoseok, ia menjawab;

"Tidak. Dia orang asing."






Iya, mereka orang asing. Begitu, singkatnya.

Sekali lagi; Taehyung membenci Jeongguk.

Sejak dua tahun yang lalu, dimana Jeongguk mengatakan "Kita akhiri saja" tanpa alasan, membiarkan Taehyung menangis, berjalan pergi dengan dinginnya, mereka adalah orang asing.

Atau mungkin, lebih tepatnya, jikalau mereka berkata tanpa kebohongan dari hati; mereka orang asing dengan segala kenangan yang terlewati, dan kini mencoba melupakan segalanya, walau mereka tau kenangan itu sudah melekat pada relung dan ikut berdetak disetiap detik detakan nadi.





[] [] [] []





"Bisa berhenti menatapku selama pelajaran berlangsung?" Taehyung mengeluh, kedua tangan tersilang dengan mata jengah menatap pemuda Jeon.

"Percaya diri sekali," Katanya, melontarkan senyuman kecil pertanda sinis kepada Taehyung, "Aku bisa meyakinkan bahwa aku menatap luar jendela," katanya lagi.

"Halah," Taehyung, sekali lagi, mengeluh, dengan mata yang terbawa memutar, "alasan."

"Kau menuduh, itu pembelaanku," Jeongguk membela dirinya, "lagipula," katanya, seraya berdiri dari posisi duduknya, dihadapan Taehyung ia kembali melanjutkan, "memangnya siapa kau mengatur mataku? Mataku berhak untuk melihat apapun yang aku mau."

Dengan posisi seperti ini, Taehyung bisa lihat perbedaan tinggi keduanya setelah tahun tahun berlalu. Tak jauh berbeda, tapi Taehyung bisa pastikan dirinya sedang sedikit mendongak untuk menatap pemuda Jeon itu kali ini, "cih."

"Selalu saja," Jeongguk bergumam pelan.

"Apa?"

"Mendecih."

"Urusanmu?" Taehyung setengah berteriak, tangannya diam diam terkepal, guratan dahi sekarang tampak terlihat dengan alis yang menyatu. Sedangkan, pemuda Jeon menatapnya dengan jengah, beberapa detik ia palingkan wajah, kemudian kembali menatap Taehyung yang sudah dulu menatapnya nyalang.

"Lihat? Kau paham sekarang?"

"Apa?"

"Mulutmu berhak berkata demikian, lalu mataku, apa yang kau ambil pusing?"

Taehyung menarik satu sudut bibirnya, tawa miris terdengar pelan dan sesaat, "berbeda. Mulutku berkata demikian namun aku yakin tak ada yang dirugikan dalam hal ini."

"Lalu, aku yang menatap luar jendela itu merugikanmu?"

Alasan yang tak berubah.

Katakan, ada setidaknya lima jendela yang mengarah pada suasana luar sekolah, mengapa Jeongguk memilih yang pertamaㅡdimana bangku Taehyung berada?

Katakan, mengapa Jeongguk perlu memalingkan mata kala Taehyung dengan tidak sengaja (kadang Taehyung benci ketidak sengajaan yang berujung terpaksa) bertemu dengan maniknya? Taehyung bisa lihat, mata itu dengan sekejap berkedip, kemudian dengan kacaunya, ia memfokuskan pada objek lain.

"Itu menggangguku."

"Kau tampak membenciku sejak langkah pertamaku masuk kesini, Taehyung."

Aneh. Kalau Taehyung boleh jujur, aneh rasanya bagaimana namanya tersebut sekali lagi oleh bibir pemuda yang ia benci.

Tanpa memikirkan lebih jauh (manusia memang sering bertindak lebih dulu daripada memikirkan hal kedepannya), Taehyung berkata;

"Percayalah, aku sudah membencimu sejak dua tahun yang lalu."

Kalau boleh jujur, lagi, ia sendiri mengerjap. Matanya berhenti sesaat, lupa berkedip; perasaannya absurd. Padahal, sebenarnya tidak ada yang salah. Iya, dia benci Jeongguk, namun ada yang kacau darinya kala berkata demikian. Ia tidak tau apa, bagaimana, dan mengapa.

"Sungguh perlu mengungkit masa lalu?"

Jika tidak egois, harusnya Taehyung mengaku kalah. Namun, tatapan yang kembali ia nyalangkan, dengan mata menukik penuh keseriusan di dalamnya mewakilkan bagaimana ia ingin menyembunyikan segala. Segala yang sekiranya salah dengan dirinya sekarang.

"Baik, kau yang memulai," Jeongguk berkata demikian, disela gurat serius yang terbuat, ada satu guratan yang pertanda kebingungan dari raut Taehyung.

"Maka percayalah juga," Jeongguk berkata, "kau juga menjadi pengangguku sejak dua tahun yang lalu."

Taehyung tak menjawab. Bahkan sekiranya, tak ada susunan kata yang terpikir di benaknya untuk membalas.

"Alangkah lebih baik kita tidak bertemu," Katanya lagi, matanya meredup bukan pertanda sedih, namun sinis, "apalagi menjalin hubungan."

Tanpa sadar, guratan marah pada raut Taehyung hilang, lenyap perlahan lahan terganti dengan raut tak berekspresi. Ia sendiri mempertanyakan; raut apa yang harus ia buat?

"Karena sejak dua tahun yang lalu, kau mengacaukan segalanya, Kim Taehyung."

"Kau juga begitu, Jeon."

Lalu, percakapan itu terhenti kala Taehyung memilih melangkah keluar kelas, menyisakan Jeongguk seorang diri.



Hanya saja, ada yang mereka tidak tau satu sama lain setelah dialog keduanya selesai.

Mungkin, Jeongguk tidak tau, ada yang salah dari raut wajah Taehyung kala ia memilih melangkah cepat.

Mungkin juga, Taehyung tidak tau bagaimana Jeongguk kemudian berdiam seorang diri dengan segala renungannya.

Namun, alasan keduanya bersikap demikian adalah sama; tentang satu sama lain.



Ini rumit. Namun tidak ada diantara mereka ingin untuk mempermudah segalanya.

Ada suatu alasan, dimana Jeongguk tidak akan membuat ini mudah. Karena diam diam, ia menumbuhkan benih pada benaknya, yang jikalau bisa dirangkai dengan kata kata;

Ia ingin membenci Taehyung, namun baiknya lagi, ia ingin Taehyung membencinya.





[] [] [] []





Taehyung akui pada dirinya sendiri, sulit untuk dirinya melewati satu bulan dengan Jeongguk sebagai orang sekelasnya.

Taehyung terkadang kembali melihat pada ujung matanya bagaimana Jeongguk menatapnyaㅡatau luar jendela, sebagaimana Jeongguk mengatakannyaㅡnamun ia tak kembali mendumel apalagi mengatakan bahwa itu adalah sebuah gangguan baginya.

Taehyung, begitu pula Jeongguk, tidak pernah saling menyapa sejak itu. Padahal harusnya, setelah tiga tahun berlalu tanpa dialog apapun, ini hanyalah hal kecil. Nyatanya, jauh dari itu. Matanya berusaha keras tak melirik, walau sekedar ketidaksengajaan (karena sekali lagi, Taehyung benci ketidaksengajaan yang selalu berujung keterpaksaan). Mulutnya dengan paksa mereka kunci, bungkam dengan segala kalimat kalimat yang tersusun rapi dalam benak.

Bersikap seolah bukan seseorang yang pernah mengenal, namun sebagai orang asing.

Tapi, siang itu kala Taehyung memilih diam pada jendela kelas, membiarkan angin menerpa surai golden honey-nya, ada yang meruntuhkan ego.

"Taehyung, kau punya waktu kosong liburan mendatang?"

Taehyung ingin berhadapan kala Jeongguk berdiri tepat di belakang pundaknya. Namun, ia kembali menolak. Ia punya detik untuk sedikit melirik, kemudian membuang wajah, sebagaima mereka selama ini bersikap.

"Banyak. Tapi untukmu, sama sekali tidak ada, kurasa."

"Bagaimana jika aku memaksa?"

Taehyung mendengus, "pemuda pintar sepertimu harusnya tau; tidak baik memaksa seseorang."

"Kau tau aku tidak lagi pintar semenjak dua tahun yang lalu," Jeongguk berkata, keterdiaman Taehyung membuat ia kembali melanjutkan, "dan itu karenamu."

Kini, pemuda Kim itu melihatnya. Matanya menukik penuh tanda tanya dan kekesalan yang bercampur menjadi satu, "segala yang ada pada dirimu adalah salahku?"

Jeongguk tertawa kecil, tidak ada sunggingan smirk dan binar sinis dari matanya, namun Taehyung masih anggap bahwa itu sebuah ejekan.

Jeongguk ambil alih ruang di sebelah Taehyung, sebelum manik teduh Jeongguk bertemu dengan manik kesal Taehyung, "menurutmu?"

"Menurutku, batinmu menyalahkanku atas segalanya."

Jeongguk terkekeh, lagi, "bisa jadi begitu."

"Kau menyebalkan, kau tau itu, Jeon?"

Jeongguk melirik maniknya, lebih lamat dari sebelumnya, sebelum ia buat kurva tipis dari bibirnya, namun kali ini terbersit pilu diselanya.

"Aku tau persis."

"Bagus," Taehyung bergumam, tubuhnya berbalik, kakinya menapak, manik sinisnya ia lontar beberapa detik pada Jeongguk.

Jeongguk tidak menghalanginya manakala Taehyung ingin memutuskan dialog, namun Jeongguk hanya ingin menambahkan kalimat dari belah bibirnya sebelum dialog hari iniㅡia yakinㅡbenar benar putus seutuhnya.



"Tapi kaupun tau persis kita tidak bisa bersikap layaknya orang asing, 'kan, Taehyung?"



Dari penglihatan Jeongguk, kaki Taehyung berhenti menapak beberapa detik.

Kembali, layaknya satu bulan yang lalu dimana mereka memulai dialog, dan pemutus dialognya adalah sama; Taehyung berlari, dan Jeongguk yang berdiam diri.





[] [] [] []



Liburan hari keberapa ini? Mungkin, lima belas? Taehyung bahkan tidak yakin.

Ia juga tidak yakin tanggal berapa hari ini, ia tak yakin jam berapa hari ini.

Juga, ia tak yakin mengapa Jeon Jeongguk berada di depan pintu rumahnya dengan pakaian modis serba hitam.

"Apa yang kau lakukan disini?" Taehyung bertanya, matanya yang sedikit membola terlihat dari sela sela rambutnya yang kian memanjang.

"Kau perlu memotong rambutmu," Jeongguk terkekeh seraya Taehyung yang memperbaiki rambut kacaunya.

"Jangan ubah topiknya."

"Baik, aku ingin mengajakmu pergi."

Taehyung mengernyit, "pagi pagi begini?"

"Ini jam dua siang, Taehyung," Jeongguk menggeleng pelan, sembari memperlihatkan jam di ponselnya pada Taehyung.

"Iya, itu maksudku."

"Jadi?"

Taehyung memutar bola matanya, "tidak," singkat, sebelum ia ingin mendobrak pintu cokelat rumahnya sebagai tanda penolakan.

Ia intip, Jeongguk masih disana, menghela nafas sebentar kemudian memainkan ponselnya. Mungkin mengetik pesan untuknya, karena setelahnya, ponsel Taehyung berdenting. Benar, dari Jeon Jeongguk, dan isinya begitu singkat;

'Aku hanya ingin mengajakmu berkeliling, aku janji tidak akan mengacaukan apapun.'

Terhitung tujuh menit Taehyung tak menjawab, hingga Jeongguk memilih melangkah pergi dengan langkah pelan. Lalu, dua menit setelahnya kira kira, Taehyung jawab;



'Aku tidak percaya janji semenjak dua tahun yang lalu. Apalagi darimu.'



Dentingan kecil, pesan masuk lagi.



'Aku serius, Taehyung.'

Taehyung tak berniat menjawab, lalu dentingan kecil ketiga untuk hari ini berbunyi melalui ponselnya.

'Jika aku bilang aku mencintaimu, apa artinya kau tidak percaya lagi?'





[] [] [] []





Apa yang lebih melelahkan dari mengetahui bahwasannya tugas kembali datang? Mengetahui hari ini adalah hari terakhir libur.

Apa yang lebih menjengkelkan dari mengurus Jeongguk pada hari liburan? Mengurus Jeongguk dua kali pada hari liburan. Setidaknya, menurut sudut pandang Taehyung begitu.

"Kali ini apa?" Taehyung mendengus, bahunya yang tadinya ia bawa tegap, jatuh bebas bersamaan dengan dengusan kasar yang ia hempas.

"Sama," Jeongguk dengan ringannya menjawab, "masih sama, aku ingin mengajakmu keliling."

"Kemana? Daegu tidak berubah, Jeon," Taehyung menjawab. Tangannya kali ini disilang.

"Aku.. tau?" Jawabnya, sedikit tidak yakin. Matanya menelisik ke sembarang arah sebelum menatap Taehyung kembali, "tidak bisakah kau anggap ini sebagai hiburan sebelum sekolah kembali datang?"

"Mungkin, tidak?"

"Anggap jalan biasa saja, kalau begitu."

Agaknya, Jeongguk tau satu lagi dengusan yang keluar kala itu adalah tolakan lagi, lantas bahunya tertarik ke bawah, matanya lebih milih menelisik sepatu hitamnya, bibirnya bungkam akan segala susunan kata, tangannya yang ia bawa ke dalam kantong jaket kelamnya bergerak absurd.

"Sudah, Jeon?"

Pintu cokelat tertutup lagi. Namun kali ini hanya sebatas hampir. Sebelum dentuman keras menghantam di depan wajah Jeongguk, pemuda itu lebih dulu menjanggal pintu itu dengan kakinya. Lalu, bahkan sebelum Taehyung sempat protes dengan meneriaki marganya, Jeongguk tarik tangannya menuju depan pintu, dimana Jeongguk sebelumnya berdiri.

Sebenarnya, sekarang hampir seperti pelukan kecil jika saja jarak keduanya bisa sedikit lagi terkikis. Taehyung ingin mendumel kala itu, guratan guratan kekesalan datang saat itu juga, namun di hitungan detik selanjutnya, memudar kala itu juga.

"Taehyung."

Dari awal, sebenarnya, Taehyung tidak bisa mengatakan bahwa pantulan manik dari Jeongguk seperti biasanya, karena nyatanya ada yang berbeda. Tidak ada sorotan ejekan, atau jahilan semata, atau bahkan bukan sorotan biasa. Ada pantulan pilu, juga nada keseriusan di setiap katanya.

"Kali ini saja," katanya, membawa kedua tangan Taehyung kedalam dekapan tangannya, "aku janji tidak akan mengacaukan apapun."

Taehyung terdiam, begitupun Jeongguk.

"Baik, kali ini saja."

Pelan pelan, Jeongguk tersenyum. Taehyung melihatnya, namun detik selanjutnya ia memalingkan wajah, "tunggu di sini, aku bersiap."

Lalu setidaknya ada lima menit berlalu, Taehyung kembali. Surainya lebih tertata rapi walau matanya terkadang sering mengintip dalam celah poni panjangnya, setelannya tampak simpleㅡdengan kemeja putih oversized, kesukaannya sejak dua tahun yang lalu.







Dan, mungkin, atau memang pada kenyataanya, Jeongguk diam diam memuja. Sama seperti selama ini.

Kalau tidak percaya, coba tanya hatinya.

Tapi, sama layaknya sang pemilik, keduanya terlalu malu untuk mengunggapkan.









[] [] [] []







"Mereka bilang ada festival kecil kecilan di sini beberapa minggu yang lalu," Jeongguk memulai, Taehyung di sampingnya hanya bergumam sebagai respon, mengikuti langkah Jeongguk yang mendatangi satu tenda kecil, menampilkan makanan laut yang tengah dibakar.

Taehyung mengedarkan pandangannya pada sekelilingnya saat Jeongguk bergumam akan memesan makanan untuk keduanya. Sebelum uap panas menggempul di depan wajahnya, dengan cepat ia melangkah mundur, serta tatapan yang menuntut maksud kepada Jeongguk. Pemuda itu hanya tersenyum.

"Untukmu," katanya.

"Tidak, masih kenyang."

Jeongguk tertawa, "kau bukan tipe menolak makanan gratis walau sudah kenyang."

Sialnya, Jeongguk masih sekenal itu pada dirinya.

"Mari cari tempat duduk," Jeongguk menimpali kala Taehyung menerima beberapa tusuk makanan laut bakar dari tangannya.

Berakhir pada satu bangku taman yang tak terlalu ramai dimana masih banyak kesunyian mendominasi diantara keduanya. Mungkin, kekehan kecil yang keluar dari belah bibir Jeongguk saat melihat surai Taehyung terhanyut bersamaan deru angin adalah hal yang memecah keheningan diantara keduanya sepanjang perjalanan menuju kemari.

"Uhm," Jeongguk membuka percakapan, "boleh aku bercerita?"

Taehyung menatapnya tepat kala makanan habis, tidak mengangguk juga tidak menggeleng, namun dahinya menyatu. Jeongguk lagi lagi terkekeh.

"Baiklah," katanya, "dengarkan saja, kalau begitu. Tidak perlu menjawab jika kau tak mau. Aku hanya ingin kau tau."

Taehyung kemudian menghapus guratan dahinya yang seakan menuntut penjelasan dari setiap detik Jeongguk berbicara.

"Sejak kecil, aku benci bagaimana pekerjaan ayahku selalu berpindah. Tapi yang aku benci lagi adalah bagaimana aku dan ibu harus mengikutinya kemana saja ia pergi," Jeongguk memulai, "sejak itu aku tidak pernah membuat teman pada siapapun, karena kau tau, sulit untuk melepaskan seseorang yang dekat denganmu saat kau tau bahwa dirimu akan pergi sesegera itu."

Jeongguk melirik Taehyung sejenak, pemuda itu tampak lebih memilih memandangi bangku kosong di depan keduanya, tapi tak apa, Jeongguk tau ia mendengar.

"Lalu, kurasa ada satu hal yang lebih aku benci daripada kedua itu. Hal yang aku sukai awalnya, kemudian berakhir pada penyesalan. Tebak apa, Taehyung?"

Taehyung kali ini menatapnya, tanpa jawaban yang muncul.

"Jatuh cinta denganmu."

Jeongguk lihat, sedikit, pemuda itu terlonjak lalu bersikap seolah itu bukan masalah besar. Matanya ia tempatkan pada objek lain. Jeongguk ingin melanjutkan, sebelum ia lihat pemuda itu menyinggung senyuman miris, "kau menyesal jatuh cinta denganku?"

"Mungkin, lebih tepatnya, aku yang menyesal atas kesalahanku."

"Atas apa?"

"Aku harusnya tidak memulai semua yang berujung pada hubungan kita. Aku tau bahwa sebentar lagi aku akan pergi saat itu, namun lihatlah, aku sebodoh itu."

"Nyatanya?" Taehyung menatapnya, matanyaㅡlagi lagiㅡmenuntut penjelasan, "Bertahun tahun berlalu, kau masih disini, di Daegu."

"Aku tau," balasnya, "aku memutus segalanya setelah ayahku bilang kami akan pindah esoknya. Nyatanya, hal itu tertunda."

"Ia menundanya dua tahun, dan kau tetap membiarkan kita terputus selama itu."

Helaan nafasa keluar dari celah bibir Jeongguk, "karena cepat atau lambat, hari dimana aku akan pergi itu akan datang, Taehyung."

Kemudian Taehyung tak menjawab.

"Kau bisa bilang aku pembohong karena segala janji manis itu tidak aku lakukan, kau bisa aku bilang aku brengsek karena meninggalkanmu sendirian saat menangis, kau bisa katakan sepuasmu," Jeongguk berkata, matanya menatap dalam manik Taehyung yang kini telah menatapnya kembali, "tapi, kali ini, pemuda brengsek ini hanya ingin kau percaya bahwa; dia mencintaimu."

Taehyung tak berkedip, jantungnya berdegup kencang, ia bahagia, namun ia ingin menangis.

"Aku kira menjauhi hubungan kita, bersikap seakan orang asing, lalu membuatmu membenci aku adalah hal yang terbaik. Agar nantinya, saat dimana aku pergi, kau hanya ingat benci manakala mengingatku. Bukan kenangan manis yang kemudian membuatmu menangis."

Tapi, Taehyung sekarang ingin menangis.

"Tapi aku se-egois ini, Taehyung," Jeongguk melanjutnya, binar menusuk, penuh keseriusan juga pilu, nadanya seakan ingin pecah, "aku se-egois ini hanya untuk bersamamu sebelum waktunya aku pergi."

Taehyung bergumam pelan, kecil sekali, "kapan kau akan pergi?"

"Besok."



Lalu, rasanya seakan ada yang runtuh. Entah jiwa, ekpresi, atau raganya.

Atau mungkin, dunianya.





Lalu, air matanya ikut runtuh.

"Kau selalu seperti ini. Meninggalkan kenangan manis, kemudian akan menghilang," Taehyung bergumam disela isakannya. Ia tak ingin menunjukkan wajah walau Jeongguk memegang wajahnya; berusaha mempertemukan pandangan lagi.

Ia dengar, Jeongguk bergumam khawatir, mengatakan maaf  juga hal semacam ia tak bermaksud begini.

"Lihat aku, kumohon, Taehyung."

Pelan pelan, Taehyung mendongak, ia merasakan bagaimana ibu jari Jeongguk menghapus jejak jejak air mata yang membasahi pipinya.

Rasanya seperti jatuh. Tapi, Taehyung tidak ingin sesakit ini.

Ia hanya ingin jatuh pada pelukan Jeongguk, sesederhana itu. Tapi kisah mereka, sejak awal tidaklah sesederhana membentuk ekspetasi.

"Maaf," katanya untuk yang kesekian kali, "aku hanya ingin kita saling menggenggam, hanya itu. Tapi jika kau sudah benci, aku juga sudah paham," lanjutnya, lalu tersenyum kecut.

Kedua tangan Jeongguk beringsut lepas sepenuhnya dari wajah Taehyung sebelum pemuda itu menarik tangannya. Ia lihat Jeongguk sekilas, kemudian ada kehangatan yang kemudian menjalar di sela jarinya; Taehyung mengunci genggaman, dan keterdiaman Jeongguk selanjutnya.

Ada banyak tanya yang ingin ia ungkapkan, namun Taehyung menyela terlebih dahulu, "jangan tanya apapun," katanya.

Jeongguk tersenyum, halus dan ringan, tanpa paksaan yang ada di benaknya.

"Taehyung," Jeongguk panggil.

"Hm?"

"Aku belum pernah mendengar kau menyebut namaku lagi," katanya.

"Jeon Jeongguk bodoh."

Jeongguk terkekeh.

"Taehyung," ia panggil, sekali lagi.

"Apa?"

"Kita bukan orang asing, kan?"

Taehyung kini meliriknya, bagaimana matanya kian menukik serius dan genggaman yang ia makin eratkan, "bukan. Kita bukan orang asing dan selamanya tidak akan menjadi orang asing."

Manis.

Kalau boleh Jeongguk minta, ia tak ingin hari ini berakhir.

"Kau keberatan ku peluk?"

Tanpa jawaban, namun gelengan kecil. Lalu, Jeongguk mengikis ruang diantara keduanya. Kecupan kecil juga tersampaikan pada pucuk kepala Taehyung.







Ia selalu ingin merasakan ini; bagaimana waktu seakan berhenti di titik kebahagiaan yang menjalar pada setiap nadinya.

Tapi, realitanya; waktu berjalan. Ia belum menginjak hari esok namun ia sudah benci akan hari esok.

Ia hanya ingin Taehyung. Dan Taehyung, ia hanya ingin Jeongguk.









[] [] [] []





Taehyung tidak tau bagaimana langkahnya kini berpijak atas kehendak hatinya. Ia bolos, untuk menemui Jeongguk. Pemuda itu bilang keretanya tiba pukul Delapan Pagi. Taehyung masih punya waktu, setidaknya untuk melihat wajah Jeongguk melalui jendela kereta yang nantinya menjadi pembatas dirinya dan Jeongguk.

Terlalu ramai. Ini terlalu ramai. Taehyung tak tau bagaimana maniknya bisa mencari Jeongguk dalam lautan manusia seperti ini. Kini bahkan langkahnya tak yakin, kemana ia akan mencari, dimana Jeongguk berada.

Atau mungkin, dengan keberuntungan, Jeongguk yang menemui keberadaanya.

"Taehyung?"

Taehyung putar badannya, lalu pelukan tersambar begitu cepat. Keduanya bisa terduduk jika saja Jeongguk tak sigap untuk menahan beban yang tersambar pada dirinya dengan begitu tiba tiba. Ia terjolak, pada awalnya, lalu perlahan ada sengatan bahagia yang tersalir pada dirinya, lantas membentuk satu kurva yang begitu halus.

"Ada apa?" Jeongguk berbisik, begitu pelan.

Taehyung tersendat, Jeongguk mendengarnya. Pemuda itu menampakkan wajah, lalu kemudian kala pengumuman terdengar sebagai tanda kereta api yang akan membawa Jeongguk pergi terdengar, matanya membola.

"Bukankah kau harusnya di sekolah?" Jeongguk berkata, lalu tertawa kecil, "aku harus pergi, Taehyung."

Kemudian, pelukan itu terlepas dengan amat pelan. Taehyung ingin meremat kuat kuat pelukannya pada Jeongguk, namun pada akhirnya, ia hanya terdiam membisu. Pada saat matanya menatap punggung Jeongguk yang perlahan menjauh, Taehyung gapai tangannya.

"J-Jangan pergi," katanya, tersendu.

Masabodo dengan segala pertengkaran yang mereka lakukan, hatinya berada pada detik detik tak bisa berkata kebohongan.

Ia ingin Jeongguk disini, bersamanya.

Jeongguk melihatnya, gerbang kereta sudah terbuka, ia memilih menyingkir, menyisihkan beberapa detik untuk bertukar pandang pada Taehyung, atau setidaknya sedikit dialog.

"Maaf, ya," Ia bilang, "Aku harus pergi."

Taehyung kini tak lagi meneriaki marganya atau memilih beberapa langkah mundur kala Jeongguk di dekatnya. Ia lebih memilih diam kala surai golden honey-nya dielus begitu pelan dan hati hati oleh Jeongguk.

"Aku akan kembali."

Maka, Taehyung meliriknya, dengan binar sepercah harapan yang terlintas pada maniknya, "dan jika tidak?"

"Maka percayalah, di tempat yang tidak kau ketahui, aku tersiksa."

Maka, Taehyung tak lagi menjawab. Ia biarkan beberapa detik terisi keheningan kala Jeongguk lagi lagi menghapus jejak air matanya.

"Maaf, jika aku terkesan memaksa, tapi Taehyung, aku hanya ingin mendengar sesuatu darimu."

Taehyung mati matian menahan sendatnya sebelum menjawab dengan nada parau, "apa?"

"Apa kau mencintaiku?"

Maka, kali ini, Taehyung tak akan bungkam atau mengelek, apalagi berdusta. Hatinya sudah mengungkapkan segalanya, nadinya masih berdetak dengan nama Jeongguk di selanya, dan hidupnya ia ingin ada Jeongguk di dalamnya. Maka, ia bilang sejujurnya;

"Iya, aku mencintaimu."

Kekehan kecil, sebelum Jeongguk curi kecupan halus pada bibir ranumnya. Ia tersenyum menatap Taehyung, "terimakasih. Aku akan menemuimu lagi, dan jika kau lelah hanya untuk sekedar bertahan pada waktu, tak apa, kali ini tentang perjalananku. Kau perlu istirahat setelah kelelahanmu."

Taehyung hanya tersendat, ia ingin mengatakan segalanya bahwa ia tak ingin menyerah. Ini masih tentang mereka berdua yang melawan jarak dan berharap pada kejamnya takdir.

"Aku akan kembali secepatnya."

Lalu, tanpa Taehyung bisa tahan lagi, pemuda itu masuk di sela manusia lain. Tak lama setelahnya, kereta membawanya pergi.

Jauh dari Daegu, jauh dari Taehyung.









[] [] [] []











Secepatnya.

Taehyung tak pernah terlalu memikirkan apa makna dari kata yang terdengar sederhana. Namun kali ini, hatinya selalu gundah dan pikirannya selalu menelisik pada stasiun kereta api yang tak berubah suasananya. Masih ramai, namun tak ada Jeongguk diantaranya.

Jeongguk, sebenarnya, kata 'secepatnya' itu seberapa lama menurut sudut pandangmu?

Apakah esok saat Taehyung kembali menunggu pada setiap jam kereta api mengunjungi Daegu?

Apakah beberapa minggu? Apakah berbulan?

Atau, apakah Taehyung perlu menunggu tahun berlalu lagi hingga takdir mempertemukan mereka?

Taehyung tidak lelah, hanya saja, sewaktu waktu kala pagi mengusik harinya, harapannya pernah meredup.







Taehyung kira, ini bukan tentang hanya menunggu, namun menjumpai. Ia buta peta Seoul, namun rumahnya ada di bagian besarnya Seoul saat ini.

Maka, Siang itu, minggu ke-dua ia menunggu, kala pengumuman terdengar dengan jelas, kereta api tiba, logikanya padam, matanya terbersit pandangan kosong, langkahnya ia turuti semaunya. Terhenti pada satu kursi kereta api yang akan membawanya ke Seoul sore itu juga.

Jikalau sewaktu waktu, Taehyung mempertanyakan kembali bagaimana rasanya hilang akal, rasanya ia sudah dapat jawaban.

Lalu, tampaknya, keberuntungan selalu datang diwaktu waktu kritis pada hidup Taehyung. Ia mendengarnya, namun sama sekali bukan layaknya mimpi.

"Taehyung!"

Ia lihat, matanya berpendar pada jendela yang menjadi pembatas antara dirinya dan luar. Seseorang mengetuk jendela pada bangkunya, pemuda itu berlinang air mata pada pelupuknya. Dan itu Jeongguk.

Itu Jeongguk!

Logikanya kembali, langkahnya ia buat secepat mungkin untuk kembali menghambur pelukan. Kali ini, Jeongguk sudah lebih dulu merentangkan tangannya. Taehyung, untuk alasan atas seseorang yang sama, kembali menangis.

"Jangan pergi, aku mohon!" Jeongguk berkata, binar parau dengan nada permohonan yang begitu dalam, "aku datang kembali, sesuai kataku, tapi aku mohon, jangan tinggalkan aku."

"Tidak, Jeongguk. Malah, aku berfikir untuk menemuimu," ada tawa miris yang terlontar di sela air mata yang terus mengalir. Keduanya kemudian pecah dalam tawa akan mirisnya takdir pada keduanya, atau baiknya waktu pada keduanya.

Taehyung ada pada pelukannya, Jeongguk pikir. Namun, kemudian pikirannya menelisik;

Apakah ini nyata?

Apakah Taehyung benar benar ada pada pelukannya?

Apakah dunia masih berputar pada porosnya saat ini?

"Apa dunia masih berputar pada porosnya, Taehyung?" tanyanya, "karena ini terlalu indah layaknya mimpi."

Taehyung tertawa, ia buat sedikit ruang untuk menatap wajah Jeongguk, kemudian mencangkup wajah Jeongguk pada kedua tangannya sebelum ia bawa pada kecupan kecil, "ini nyata."

Jeongguk tak berkedip, "maka, jika aku bilang rindu dan aku mencintaimu, kau akan mengingat ini, dan aku tidak perlu terbangun dengan kata yang ternyata hanya tersampai lewat mimpi?"

Taehyung, lagi lagi, tertawa, "tentu."

Maka, Taehyung biarkan dirinya tenggelam pada pelukan erat Jeongguk, bagaimana hanya ada hawa hangat yang mengaliri dirinya, degupan jantung yang berdegup begitu cepat, diam diam berharap sama layaknya Jeongguk; semoga ini bukan mimpi.

"Bagaimana bisa kau ke sini lagi?" Taehyung tanya, lantas Jeongguk kembali buat sedikit ruang agar keduanya bisa berdialog.

"Tidak mudah," jawabnya, "perlu rayuan pada ayahku, dan kau tau, rayuan ibu adalah yang paling manjur."

Lagi, keduanya pecah dalam kekehan kecil.

"Apa yang kau bilang?"

"Aku tanya kepada ayahku bagaimana rasanya jauh dari ibu, dia bilang seakan jauh dari rumah," Jeongguk berkata, lalu dengan nada jahil berikutnya, ia melanjutkan, "lalu aku bilang bahwasannya dia sedang memisahkanku dengan rumahku."

Ia kemudian menyelipkan gurauan, "aku membencimu, Jeongguk."

"Aku tau, aku juga mencintaimu."

Lalu, kembali, ada rasa nyaman yang kemudian menyelinap masuk pada relung keduanya. Karena rumah dan pemiliknya telah berada pada tempat yang seharusnya; berdampingan, tak terpisah, menyatu.







Rasanya seakan takdir, waktu, jarak mempermainkan dan menguji, namun hebatnya, mereka berhasil.

FIN

Continue lendo

Você também vai gostar

71K 3.4K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
2.8M 258K 44
[FOLLOW AKU GUYS BIAR RAME. MAACIW] Kata siapa menikah sama orang kaya hidupnya pasti enak terus, kata siapa banyak uang pasti selalu bahagia. Hidup...
171K 26.9K 49
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
30K 2.4K 7
[NON BAKU] Semua berawal dari taruhan (Challange) #1 - Jintae 290518 #4 - JINV 290518 WARNING : BOYXBOY JIN TOP! V BOTTOM!