His Eyes (TAMAT)

Par AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... Plus

Prolog
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18a
18b
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

2

38.8K 4.2K 68
Par AyaEmily2

Selasa (14.44), 12 Maret 2019

-------------------------

Suasana hati Ellen buruk siang ini. Bagaimana tidak? Dennis tidak sarapan di Warm House seperti biasa. Dia mulai bertanya-tanya apa Dennis memutuskan sarapan di tempat lain karena bosan dengan masakan di Warm House.

Yah, seharusnya Ellen mengikuti logikanya. Seharusnya ia bersantai dan bukannya terus membuntuti Dennis seperti maniak. Tapi dia tidak bisa menahan diri. Entah sihir apa yang mengelilingi sosok lelaki itu hingga Ellen terpikat.

Akhirnya untuk membuat harinya kembali ceria, Ellen menyeret sang adik, Ellias, ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Dia juga menjanjikan cheese cake lembut kesukaan Ellias agar adiknya itu tidak terus menerus mengeluh sepanjang jalan.

"Apa kau masih harus memilih di antara daging-daging itu?" tanya Ellias kesal. Dia tidak mengerti apa bedanya di antara semua daging itu. Toh sama-sama bisa dimasak. Menurutnya Ellen hanya membuang waktu.

Ellen berdecak malas. "Dijelaskan pun kau tidak akan mendengarkan. Jadi lebih baik diam saja."

Ellias melipat kedua tangan di depan dada. "Apa masih banyak yang ingin dibeli? Lebih baik kita bagi tugas. Kau bisa menyuruhku mencari barang-barang yang sudah pasti."

"Ide bagus. Kau bisa mencari bahan-bahan untuk membuat kuenya. Biar kukirim melalui pesan chat apa saja yang perlu kau beli."

Beberapa menit kemudian Ellen sudah selesai memilih daging dan sayuran untuk makan siang dan makan malam. Dia masih melanjutkan perburuan bahan makanannya menuju rak yang lain. Namun saat hendak mengambil saus tomat dalam kemasan botol, tangan lain menyentuh benda yang sama. Mendadak sifat tak mau mengalah Ellen muncul dan membuatnya mengeratkan pegangan di bagian bawah botol sementara tangan orang itu menggenggam bagian atasnya.

"Maaf, tapi sepertinya aku yang lebih dulu—" Seketika tubuh Ellen membeku begitu matanya beradu dengan manik biru yang telah mengganggunya beberapa hari terakhir. Refleks dia mundur dua langkah dengan bibir terbuka, tak menyangka objek fantasinya kini berdiri di depan mata, begitu dekat hingga Ellen bisa menghirup aroma tubuh lelaki itu.

Sementara itu mata Dennis menyipit dan rahangnya menegang melihat wanita di hadapannya membeku lalu mundur menjauh, masih dengan botol saus di tangan mereka berdua. Tampak jelas dia ketakutan, seperti kebanyakan wanita yang melihat wajah Dennis dengan bekas lukanya atau mengetahui masa lalunya. Tapi sungguh, biasanya Dennis bisa bersikap tak acuh dengan pandangan orang-orang. Tapi entah mengapa tatapan wanita cantik di depannya ini sangat mengganggu dan membuatnya marah. Bahkan wanita itu terlihat gemetar ketakutan dengan nafas terengah.

Kesal, Dennis menyentak botol saus di tangan mereka hingga terlepas dari tangan si wanita. Lalu dia berbalik menjauh dengan hati mendidih marah.

Ellen masih membeku di tempat dengan pandangan mengarah pada punggung Dennis yang akhirnya menghilang ke barisan rak yang lain.

Apa tadi itu mimpi?

Apa mendadak Ellen jadi berhalusinasi karena kesal tidak bisa melihat lelaki itu pagi ini?

"Kak, kau baik-baik saja?" tanya Ellias yang mendadak sudah di depan Ellen dan mengguncang pelan kedua bahunya. "Apa dia melukaimu?" Ellias berbisik. "Tadi aku melihat kalian berdiri sangat dekat."

Ellen tersentak, seolah baru tersadar dari jerat hipnotis. "Apa tadi benar-benar Dennis Anthony?" tanya Ellen juga dengan berbisik.

"Iya."

"Astaga!"

Ellen menutup mulut dengan kedua tangan. Apa tadi liurnya menetes saat menatap lelaki itu? Atau tanpa sadar Ellen mengatakan hal konyol yang membuat lelaki itu tahu bahwa Ellen menjadikannya objek fantasi?

Astaga, Ya Tuhan! Semoga Dennis tidak bisa membaca pikiran!

"Kak!" Ellias berseru sambil merangkul tubuh Ellen yang mendadak limbung. "Apa dia benar-benar tidak menyakitimu?"

"Ki—kita pulang sekarang," kata Ellen lemah sambil berusaha menegakkan tubuhnya yang mendadak lemas.

***

"Kak, kau baik-baik saja? Apa dia melukaimu? Tadi aku melihat kalian berdiri sangat dekat."

"Apa tadi benar-benar Dennis Anthony?"

"Iya."

"Astaga!"

"Kak! Apa dia benar-benar tidak menyakitimu?"

"Ki—kita pulang sekarang,"

Dennis mengemudikan pick-upnya dengan perasaan geram yang kian meningkat. Hatinya terluka mendengar pembicaraan wanita itu dengan lelaki yang menghampirinya setelah Dennis pergi.

Dia tidak bermaksud menguping. Tapi rak yang didatanginya setelah mengambil saus berada tepat di samping kedua orang itu berada hingga tanpa bisa dicegah Dennis mendengar pembicaraan mereka.

Memang apa yang salah dengan dirinya? Apa salahnya punya masa lalu kelam dan bekas luka mengerikan di wajahnya?

Brengsek!

Sebenarnya dia kenapa? Bukan sekali ini Dennis mendengar obrolan buruk tentang dirinya. Tapi mengapa yang sekarang sangat mengganggu? Apa karena wanita itu orang asing yang sepertinya hanya datang berkunjung ke kota ini lalu dengan seenaknya menghakimi Dennis melalui tatapannya?

Dengan kemarahan yang tak kunjung reda, Dennis mengemudi ke arah sungai besar tempat dirinya dan Henry memancing sejak pagi. Mereka mendapat empat ekor ikan besar hari ini, dan bertekad menikmati ikan tangkapan mereka hanya berdua. Lagipula istri dan mertua Henry tidak menyukai ikan sungai. Jadi mereka tidak perlu membagi hasil tangkapan mereka.

Beberapa meter dari sungai, jalannya mulai menurun dan berbatu. Dennis turun dari mobil dan berjalan kaki sambil membawa kantong kresek berisi belanjaannya tadi.

"Kau lama sekali. Aku sudah membersihkan ikannya," gerutu Henry begitu melihat sosok Dennis.

"Kau terdengar seperti pria tua yang kelaparan," ejek Dennis.

"Memang. Roti isi tadi pagi sama sekali tidak mengenyangkan."

"Lucu sekali kau bilang begitu setelah menghabiskan tiga tangkup roti isi. Pantas saja perutmu semakin membuncit."

Henry menunduk lalu mendesah sedih menyadari kebenaran kata-kata Dennis. "Sepertinya besok aku harus membantumu mencari kayu."

"Tidak. Kau lamban seperti keong."

"Hei, dulu aku yang paling gesit mengejar pelaku kejahatan."

"Dulu."

Henry berdecak malas karena kalah bermain kata.

"Tidak perlu memasang tampang sedih begitu karena ucapanku benar. Kau siapkan bumbunya biar aku yang menyiapkan kayu bakar."

"Hhh, oke."

***

Wajah Ellias berbinar melihat cheese cake yang sudah tersaji di atas meja pantri. Beberapa kali dia menelan ludah saat aroma keju menguar memenuhi hidungnya.

"Kak, aku sudah boleh mencicipinya, kan?" tanya Ellias penuh harap.

Ellen yang masih sibuk memindah masakannya ke piring dan mangkuk berkata, "Kau boleh memakannya setelah makan siang."

"Sedikit saja," pinta Ellias memelas.

Ellen berdecak. "Diminta bantu berbelanja dan memasak susahnya minta ampun. Tapi giliran makan..."

Ellias nyengir, menampakkan keseluruhan gigi putihnya. "Aku mau makan ini saja untuk makan siang."

"Tidak. Cepat atur meja makan lalu panggil Ibu dan Ayah," perintah Ellen tegas yang langsung diangguki Ellias tanpa gerutuan. Jelas cheese cake sangat ampuh menjinakkan Ellias.

Ibu Ellen bukan seorang yang pintar memasak. Mungkin karena biasa memiliki pelayan hingga dia jarang memasuki dapur. Berbeda dengan Ellen yang sejak kecil selalu penasaran bagaimana Bibi Missy—pelayan di rumah orang tua Ellen—bisa menyulap sayuran hijau dan daging mentah menjadi masakan yang lezat. Tak heran jika Ellen sangat akrab dengan Bibi Missy. Bisa dibilang dia guru memasak Ellen.

Siang ini, Ellen bersikeras memasak sendiri tanpa bantuan. Karena itu dia memberi uang kepada Bibi Missy dan dua pelayan lain untuk berlibur hingga petang hari nanti.

"Oh, aku baru ingat Ibu dan Ayah masih keluar sebentar. Tapi mereka akan segera kembali," kata Ellias.

"Semoga mereka tidak lupa aku memasak lalu makan siang di luar," desah Ellen.

"Itu tidak akan terjadi. Mereka tidak mungkin melewatkan makan siang buatan koki handal."

Ellen tergelak.

"Oh ya, Kak. Tentang Dennis—"

Seketika tubuh Ellen menegang ketika nama Dennis disebut.

"Lain kali jika bertemu dengannya, jangan terang-terangan menunjukkan raut ngeri begitu. Sebaiknya kau pura-pura tidak melihat lalu menyingkir. Bagaimana kalau dia tersinggung karena tatapanmu lalu memutuskan membunuhmu diam-diam?"

Ucapan Ellias membuat Ellen terkejut. Dia buru-buru menghampiri sang adik lalu menatapnya serius. "Apa seperti itu tatapanku pada Dennis tadi? Tampak ngeri?"

"Ya, tentu saja. Karena itu aku memperingatkanmu."

Ellen menepuk keningnya sendiri dengan raut frustasi. Pantas saja Dennis terlihat amat kesal. Dia pasti merasa tersinggung.

Sepertinya Ellen harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya.

--------------------------

~~>>  Aya Emily <<~~

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

202K 11.2K 37
⌠SEMUA CHAPTER MASIH LENGKAP⌡ PRINCESS DIARIES #1 "She just came and went without leaving the glass shoes as recorded in the book. That's because she...
8.6K 1.1K 55
Gio Camaro, seorang yatim piatu yang direkrut menjadi pasukan pengaman pengiriman uang tunai, tak pernah menyangka jika hidupnya dekat dengan kematia...
2.7M 151K 23
Dia mantan pacarku, Leo. Beberapa tahun tidak berkabar, membuatnya seolah - olah tidak pernah bertemu dengan diriku sebelumnya. Namun, satu persatu k...
796K 64.5K 51
[C O M P L E T E D] [TERBIT;INDIE] Aluna tidak pernah berharap bahwa dirinya akan memiliki seorang penggemar rahasia. Kedatangannya yang tidak terdug...