Dear Kamu, Asisten Ayahku #3...

By Kanalda_ok

348K 24.6K 749

Sequel Different (Dhan-Khanza After story) Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya. Semua orang pun tahu... More

Prolog
1 : Aku punya pilihan
3 : Cari kerja
4 : Masih ada ruang
5 : Pengangguran kaya
6 : Menagih kerja
7 : Jangan Dengarkan
8 : Tugas dari kakek
9 : Pertemuan
10 : Ragu
11 : Sidang Nadila
12 : Malu
13 : Petuah Pak Kenan
14 : Patut dipertanyakan
15 : Dengarkan Nadila
16 : Menjatuhkan Percaya Diri
17 : Optimis Vs Pesimis
18 : Tugas dari Pak Kenan
19 : Pengalihan Tugas
20 : Karena Ayah
21 : Buaya
22 : Kemenangan Nadila
23 : Gagal
24 : Jangan Nikah Dulu
25 : Pembelaan?
26 : Suka Ikut Campur
27 : Tak Ada Kabar
28 : Padang
29 : What?
30 : Kurangi Khawatir
31 : Masa Lalu
32 : Camer
EPILOG
Ekstra Part A

2 : Undangan dari Nadila

15.1K 961 36
By Kanalda_ok

Aku buatin Teaser Video untuk cerita ini. Hihihi ....


PS: Jangan minta bagiannya Dhan, karena nggak punya teman cowok yang mau jadi pengisi suara. #SoSad

-----

Mungkin kejadian itu sudah berlalu dua puluh menit, tetapi emosi masih ada. Demi menghindari luapan kemarahan, Dhan memilih untuk menepi ke dalam kamarnya. Merenung pada hidup yang tak punya pilihan.

Bunyi ponsel menghentikan renungan, Dhan meraih benda tersebut yang berada dalam jarak setengah meter dari tempat ia merebahkan tubuh.

Nadila, penyebab ponselnya berbunyi.

"Dhan!"

Yang dipanggil langsung menjauhkan ponsel dari telinga, "Ini anak kenapa, coba?" gerutunya.

"Besok lo kosong, Dhan?"

"Iya, kenapa?"

Kekehan Nadila terdengar begitu jelas, "Temenin gue belanja dong, Dhan."

"Ogah." Bukannya ia begitu tega kepada Nadila, tetapi karena suasana hatinya ini sangat hancur, dan mungkin sampai besok.

"Bareng Khanza. Lo, kan, tahu gue sama Khanza nggak bisa bawa mobil." Nadila terdengar membujuk.

Namun, tunggu ....

Khanza?

"Khanza yang minta?"

"Yep," jawab Nadila segera.

Dhan bangkit dari rebahannya, ia duduk di tepi ranjang sembari menahan senyum yang akan terukir. "Gue mau," putusnya.

"Jadi supir gue?"

"Bukan," selanya cepat. "Jadi supirnya Khanza, gue mau."

Nadila tertawa di ujung sambungan, "Kalau gitu jemput gue sama Khanza di apartemennya Kak Andra dulu."

Satu informasi yang baru Dhan tahu, perempuan itu tinggal di sana. "Tapi lo yang duduk di belakang."

"Siap."

Tumben Nadila langsung mengiyakan, biasanya akan ada cekcok terlebih dahulu sebelum perempuan itu mengalah. "Lo lagi di tempatnya Khanza?"

"Iya, kenapa? Lo mau kirim salam?"

Dhan mendengkus, "Jangan macam-macam lo di sana."

"Idih, gue udah biasa, kali, nginep di sini. Harusnya gue bilang itu ke lo buat besok."

Ia mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Besok lo jangan macam-macam sama Khanza."

"Nggak bakalan."

"Kali aja lo kangen, terus--"

"Ngomong apa, sih!" Dhan menginterupsi.

"Sabar, Pak, sabar. Besok jangan lupa datang, bye." Sambungan dimatikan sepihak.

Dhan berdecak kesal karena kelakuan Nadila, padahal ia baru saja berniat menanyakan tentang Khanza.

Untuk hari esok yang cerah, ia harus menyiapkan pakaian terbaik. Sebelum kaki mencapai lemari, pintu terbuka pelan menampakkan wajah gadis kecil yang langsung tersenyum ketika melihatnya.

"Mas," panggil Risya lalu melangkah masuk.

Mata Dhan memindai ke bayangan sesorang di luar kamar. Ia bisa tebak itu adalah ayahnya yang kini bersembunyi di balik dinding, dan mungkin beliaulah yang membukakan pintu untuk Risya bisa masuk.

"Mas masih marah?" tanya gadis kecil itu, kepala mendongak menatap kakaknya.

Marah tadi sudah menghilang beberapa menit lalu, tetapi jika memikirkan kembali ada perih yang melukai perasaannya. Risya tak tahu apa-apa tentang hal ini, maka bersikap dingin kepada adiknya adalah hal yang sia-sia.

"Enggak, Mas udah nggak marah," jawab Dhan sembari berjongkok di hadapan adiknya. "Kenapa ke sini?"

Senyum Risya melebar, "Kita masak ayam goreng, yuk."

Ia tersenyum kecil. Mungkin sebelum ke sini, Risya sudah diajari oleh ayah untuk bersikap manis sebagai obat peluntur amarah.

"Belum ngantuk?"

Risya menggeleng.

"Besok aja, ya. Mas lagi nggak mood," tolaknya menghasilkan bibir melengkung ke bawah.

"Mas masih marah, ya?" tanya Risya lagi.

Dhan menghela napas, tidak enak rasanya menolak permintaan Risya, tetapi suasana hatinya benar-benar tidak bersahabat sekarang. "Besok aja, ya?"

"Iya, deh." Adiknya langsung memutar tumit menuju pintu.

Ia melihat punggung kecil itu keluar dari kamarnya, langsung mengadu kepada sang ayah yang masih sembunyi di balik dinding. Sebelum pintu tertutup, ayahnya menampakkan wajah sembari memberikan senyum.

Suasana keluarga tidak seharmonis tadi pagi. Jangan salahkan Dhan, jelas bukan ia yang mengacaukannya.

----

"Ini bagus, Dhan?" Nadila menunjukkan satu pilihan baju kepada lawan bicaranya.

"Terserah," jawab Dhan tidak berminat memberikan pendapat.

Semalam kata Nadila, Khanza yang meminta untuk dijemput. Ternyata salah, Nadila yang memiliki urusan untuk berbelanja, sedangkan perempuan yang berada di sebelah Dhan sekarang hanya datang untuk menemani.

Namun, meskipun begitu, Nadila tetap menepati janji. Khanza duduk di sebelahnya saat berada di mobil, kemudian ia pun menjemput mereka di apartemen Andra. Sebuah tempat yang sudah sangat berubah ketika ia masuk ke dalam hunian itu.

Dulu tempat Andra sangat sederhana, khas hunian para lelaki, tetapi sekarang benar-benar berubah. Ketika masuk satu langkah, semua orang akan tahu penghuninya adalah seorang perempuan.

Cat berwarna hijau, beberapa pigura, vas bunga, serta bufet yang terdapat pajangan. Dhan menilai, Khanza sangat pintar menutup kesederhanaan menjadi sempurna.

"Za, ada yang mau aku omongin," kata Dhan, sesuatu memberontak di perutnya akibat tidak sarapan, "aku mau makan dulu, belum sarapan soalnya, kalau kalian mau ikut, ayo. Tapi kalau masih mau di sini, aku duluan," jelasnya.

Hei, itu kalimat terpanjang Dhan, setelah bertemu perempuan itu.

"Tumben jam segini belum sarapan?" tanya Khanza sembari melihat jam tangan.

Sedikit tersanjung, perempuan itu masih mengingat kebiasaannya. Dhan tersenyum kecil menyembunyikan bahagia yang ingin meledak. Namun, ia tak ingin senang dulu, karena ekspresi Khanza terlihat biasa saja.

"Lupa," jawab Dhan.

"Lo kalau mau makan, pergi aja, Dhan. Gue di sini dulu, tapi sebagai syaratnya bayarin belanjaan gue." Nadila menaik-turunkan alis sembari tersenyum lebar ke arah Dhan.

"Gue nggak punya duit."

"Eeelaah, sok merendah lo. Orang kaya, juga," cibir Nadila.

"Yang kaya bokap gue, bukan gue," balas Dhan. Ia beralih kepada Khanza. "Kamu mau di sini dulu, Za?"

"Nggak usah, gue sendiri aja, Za. Temenin si Dhan, takutnya dia nyasar karena kelamaan main sama kanguru." Nadila kembali berucap tanpa berpikir.

Namun, ada baiknya untuk Dhan. Siapa tahu Khanza setuju. Senyum iblisnya mengembang tanpa sadar.

"Yaudah, tapi jangan kelamaan, La," kata Khanza menyetujui.

Dhan menahan napas, takut terpekik senang karena keputusan Khanza. Sebelum ia memutar tumit berjalan berdampingan dengan perempuan itu, Nadila mengedipkan sebelah mata kepadanya.

Ternyata saudari angkat Leon bisa diandalkan, ingatkan Dhan untuk membayar belanjaan perempuan itu.

"Nggak apa kamu nemenin aku?" tanya Dhan membuka obrolan dengan perasan gugup yang ia sembunyikan rapat.

"Nggak apa," jawab Khanza.

"Kita ke restoran nasi Padang aja, ya."

"Sepagi ini?" Khanza menoleh ke arah Dhan.

"Kangen, udah lama nggak makan nasi Padang." Dhan tersenyum kikuk di akhir ucapannya.

"Yaudah, ayo." Perempuan itu mengiyakan.

Sebenarnya menurut Dhan tidak masalah makan nasi Padang sepagi ini, tetapi mungkin berbeda jika itu perempuan. Ah, lagi-lagi soal lemak. Juju saja ia bukan pemilih makanan, asalkan enak, pasti akan masuk dalam mulutnya.

"Nggak jadi, deh," putus Dhan.

Sekarang ia merasa bodoh di hadapan Khanza. Ini antara gugup atau takut perempuan itu tidak nyaman di sebelahnya.

"Loh? Kok gitu?"

Jangankan Khanza, yang memutuskan saja tak tahu mengapa bisa seperti itu.

"Makan yang ringan aja," ujarnya.

"Nggak bisa, tadi kamu udah niat lho, Dhan," sela Khanza.

"Bubur ayam aja, ayo."

Di luar dugaan, Khanza malah tertawa menanggapi ucapannya itu, "Kamu beneran lapar atau gimana, sih, kok milih banget?"

Dhan tersenyum kikuk lagi. "Habisnya aku bingung, terlalu banyak pilihan di mal ini."

"Emang kenapa bisa lupa sarapan?" tanya Khanza.

Mereka menepi dari keramaian, berada di hadapan deretan restoran yang menggugah selera. Dalam hati Dhan berharap perutnya tidak berbunyi.

"Aku lagi ngehindarin ayah sama bunda," aku Dhan. Lagi pula Khanza bukan orang baru baginya.

"Kenapa gitu?" Perempuan itu terlihat penasaran.

Dhan mulai dengan menghela napas terlebih dahulu, sebelum berujar, "Aku bilang ke ayah mau mulai dari nol, alias kerja di luar kantor ayah. Tapi malah kena semprot sama bunda." Ia terkekeh di akhir ucapan.

"Kamu marah hanya karena itu?"

"Za." Ia tak menyangka Khanza akan merespons sejahat itu.

"Maksudku, Dhan, ridho orang tua ridho Allah juga." Perempuan itu menaruh tangan di besi pembatas. "Apa yang dikatakan bunda kamu itu yang terbaik, emang kamu mau milih jalan yang nggak diridho penciptamu?"

Ingatkan Dhan untuk tidak asal bicara jika berada di sebelah Khanza. Ia lupa, umur mereka sudah bertambah, curhatan seperti ini tidak berguna karena hanya masalah sepeleh yang bisa diselesaikan sendiri.

"Aku cuma mau mandiri, Za," belanya.

"Menurutku kamu cukup mandiri, tinggal sendirian di negeri orang bukanlah hal yang mudah. Aku aja yang awalnya tinggal bareng kakak di Jakarta, sering nangis minta pulang." Perempuan itu tersenyum geli dalam tatapan menerawang, Dhan asumsikan Khanza sedang mengenang masa lalu.

"Serius, kamu sampai nangis?"

Khanza mengangguk. "Itu karena Kak Andra sering ninggalin aku di apartemen, nyuruh aku belanja sendirian di super market, harus bisa masak, belum lagi cucian, dan jangan lupakan soal aku yang nggak bisa nyetir," ceritanya panjang lebar.

Dhan tertawa. "Kasihan Kak Andra, dong, sering denger tangisanmu."

"Kasihan banget, sampai-sampai dia risi, minta abi buat jemput aku," tambah Khanza.

"Ini kamu aja yang cengeng, Za."

"Aku nggak sanggup, Dhan. Kalau di rumah semuanya disediaiin"

Dhan jadi ingat ketika pertama kali ia ditinggalkan ayah dan bundanya di apartemen. Namun, ia tak pernah menangis seperti yang dilakukan Khanza. Memang awalnya sangat berat, tetapi lama-kelamaan Dhan terbiasa dengan rutinitas yang harus ia lakukan sendirian.

"Terus setelah ini kamu mau kerja di mana?" tanyanya, ia penasaran dengan jalan hidup yang diambil perempuan itu.

"Belum tahu. Sebenarnya udah ada tawaran dari bulan lalu, tapi aku masih nunggu persetujuan abi. Balik ke Semarang atau kerja di sini," jawab Khanza.

Memang ini bukan urusannya, tetapi Dhan menjadi ingin membantu Khanza mencari pekerjaan di ibu kota. Bukan apa-apa, ia cuma ingin perempuan itu tetap berada di Jakarta, bersama dengannya meskipun hubungan ini hanya akan jalan di tempat.

Mengapa jalan di tempat?

Karena ada lelaki lain yang menjadi jarak di antara keduanya. Begitulah pikir Dhan.

"Anjir lo berdua! Gue udah masuk di semua restoran, ternyata malah mojok di sini!" umpat seseorang di balik punggung mereka.

Sebelum menoleh, Dhan pejamkan mata membuang rasa malu karena kelakuan Nadila.

VOTE
Klik Bintang, Kak.

Continue Reading

You'll Also Like

532K 47.2K 50
It was You merupakan cerita lengkap dengan judul yang sama dari It was You (Oneshoot) Berawal dari ketidaksengajaan, dilanjutkan dengan pertemuan tak...
323K 6.3K 40
🚫PERINGATAN! : MASIH DILAKUKAN PROSES PENYUNTINGAN Juan tidak rela keluarganya hancur semenjak ayahnya meninggal dunia. Tapi yang paling membuatnya...
44.8K 5.7K 41
☆Lanjutan Single Father & Love, Zano☆ _________ Meneruskan bekerja di perusahaan papanya, Zena seperti terjebak dalam cangkang. Akan tetapi ia tak m...
2.3M 249K 31
Ayudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya...