Pagi yang begitu tenang menemani acara sarapan di rumah ini. Meski hanya sandwich dan segelas susu, namun rasanya nikmat ketika dinikmati bersama dengan suasana hangat seperti ini.
"Appa, hari ini aku mau bermain di taman sepulang sekolah, boleh kah?"
Yoongi menatap gemas gadis kecil yang duduk di hadapannya. Suara cemprengnya selalu saja membuatnya gemas.
"Boleh, tapi harus ditemani Imo, ya"
"Mwo? Kenapa harus aku?" Heeyeon membulatkan matanya, menghentikan kunyahan sandwich di mulutnya.
"Hari ini aku ada rapat penting, apa kau keberatan? Atau kau ada jadwal pemotretan?" Tanya Yoongi. Dia tahu, kakaknya itu sedang libur hari ini.
Heeyeon menyipitkan matanya menatap adiknya itu, "Aku kan sudah bilang dari kemarin, aku ada jadwal pemotretan, setelahnya aku mau liburan dengan gengku!"
Yoongi mengernyit heran, "Oh, ya? Kapan? Aku tidak ingat tuh."
Heeyeon mengerlingkan matanya, "Cepatlah cari pengasuh yang baru untuk Minji! Berani bayar berapa kalau kau terus menerus menyuruhku, ha?"
Kini giliran Yoongi yang mengerling. Bukannya tidak mau mencari pengasuh untuk anaknya, ia hanya belum menemukan orang yang pas untuk menggantikan pengasuh sebelumnya. Alasannya karena, Minji tidak mudah untuk nyaman bersama orang lain.
"Apa Imo berangkat dengan Jin Samchon juga?" Minji tiba-tiba menyahut dengan nada yang semangat.
Heeyeon tersenyum lebar, lalu mengangguk, "Tentu saja. Dengan Jin samchon, Ken samchon, Sandeul samchon, dan Moonbyul Imo juga."
"Jungkook Samchon?"
Heeyeon tertawa kecil, "Yha, anak centil. Aku berteman dengan kakaknya, kenapa kau malah menanyakan adiknya?"
Tak!
Yoongi mendaratkan sendoknya di kepala kakaknya sendiri.
"Yak! Apa-apaan kau?!"
"Kau yang apa-apaan! Enak saja mengatai anakku centil." Jawab Yoongi.
"Memang benar 'kan?" Heeyeon meluapkan tawanya sembari bertos ria dengan gadis kecil di hadapannya yang juga terkikik geli.
"Yasudah. Sayang, kau tunggu Appa menjemputmu ya, nanti kita main bersama, oke?" ucap Yoongi pada gadis kecilnya.
"Tapi Appa kan sibuk. Aku bisa main sendiri kok." Gadis itu menggeleng kecil. "Aku juga bisa ajak Eunwoo main bersamaku."
"Tidak sayang, kamu jauh lebih penting bagi Appa. Nanti kita main ya. Kamu juga bisa ajak Eunwoo."
Akhirnya rona bahagia terpancar dari gadis kecil itu, sambil mengangguk senang dan kembali menghabiskan sarapannya.
***
"Bibi Lee, terimakasih sudah mengizinkanku tinggal disini." Jennie membungkukkan badannya, dan tersenyum manis pada wanita paruh baya dihadapannya.
Wanita yang dipanggilnya 'Bibi Lee' itu mengangguk seraya bertanya, "Kau sudah ingat nomor telfonmu?"
Jennie menggelengkan kepalanya, sembari memamerkan gummy smilenya, membuat bibi Lee gemas melihatnya.
Memang bodoh gadis ini. Bukan hanya ceroboh dan buta arah akut, dia juga memiliki ingatan yang payah. Jika saya ia mengingat nomor telfonnya, ia bisa saja bukan memulihkan nomernya meski handphonenya menghilang? Setidaknya, meski ia tak mengingat nomor orang-orang terdekatnya, ia bisa menunggu orang tuanya menelfonnya.
"Kau yakin tidak akan tinggal disini untuk sementara sampai keluargamu menemukanmu?" Tanya Bibi Lee memastikan.
Jennie menggeleng, "Aku mau mencari tempat sewa saja. Terimakasih untuk tawarannya, Bibi." Jawab Jennie seraya membungkukkan badanya pada Bibi Lee.
Bibi Lee mengangguk pasrah. Sejujurnya ia tidak tega membiarkan gadis malang ini berkeliaran sendirian, tapi disisi lain, gadis ini bersikeras untuk tidak merepotkannya. Padahal wanita ini senang menolong Jennie. Gadis yang tersesat di kota besar ini.
Pasalnya, semalam Jennie berjalan tak tahu arah setelah menghabiskan beberapa ramen dan soda yang dilahapnya di minimarket sejak sore tadi. Dan ketika malam tiba, Jennie kelimpungan sendiri karena belum menemukan tempat penginapan.
Untung saja ia melewati restoran kecil milik ahjumma ini, dan baiknya lagi ahjumma itu dengan senang hati menawarkan rumahnya untuk ditinggali Jennie semalam. Namun tidak mungkin bukan dia harus terus menumpang disana sampai keluarganya menemukannya? Sungguh ia tidak mau merepotkan ahjumma baik hati itu lebih lama.
Jennie sudah melangkah jauh meninggalkan restoran tersebut. Seperti semalam, ia masih belum tau ke arah mana akan pergi. Ia benar-benar buta arah.
Bibirnya sibuk menyesap segelas cokelat panas yang diberikan Bibi Lee tadi.
Tiba-tiba langkahnya terhenti, mengingat sesuatu.
"Beli handphone baru gak ya?"
Jennie melirik dompetnya. Uang tunainya lebih dari cukup untuk membeli sebuah handphone mahal. Belum lagi isi kartu debit, bahkan kartu kreditnya. Namun ia masih menimbang-nimbang, handphone apa yang paling mahal yang bisa ia beli di Korea?
Jennie memasukkan kembali dompetnya. Benar-benar memastikan benda persegi yang tebal itu sudah masuk ke dalam tasnya.
Ia kemudian melirik sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Merundukkan tubuhnya, untuk bercermin di kaca mobil tersebut. Sambil merapikan rambutnya, gadis itu bersenandung ria dengan santainya.
"Sedang apa kau?"
Jennie hampir terjungkal ke belakang saat sebuah suara tiba-tiba mengagetkannya, belum lagi kaca mobil yang tiba-tiba terbuka. Namun ia lebih kaget lagi dengan apa yang barusan dilakukannya.
"AH, SIAL! APA-APAAN KAU!"
Sial. Mampus kau, Jenn.
Cokelat panas di genggamannya refleks ia tumpahkan ke arah kaca mobil yang terbuka tadi.
"Ah, Maaf, Tuan."
Lelaki yang dipanggil 'Tuan' itu berdecak sebal. Ia merapikan kertas-kertas di genggamannya, yang kini sudah berubah warna menjadi cokelat.
"Lihat, kau sud---"
"ITU KAN SALAHMU SENDIRI!"
Jennie buru-buru memotong ucapan lelaki itu. Ia sudah tau, pasti lelaki itu mau menyalahkannya atas kertas-kertas yang ketumpahan cokelat, ataupun pintu mobil yang jadi kotor, dan lagi, tangan putih nan mulus si tuan itu yang sepertinya, eung... melepuh?
Lelaki itu menatap Jennie tajam. Jika saja tatapan bisa membunuh, mungkin Jennie sudah tewas dan berdarah-darah sekarang juga.
Jennie mempoutkan bibirnya. Tangannya menggenggam erat pegangan kopernya.
Cklek
Lelaki itu membuka pintu mobilnya, namun gerakannya tertahan karena gerakan tangan Jennie yang dengan cepat menahan pintu mobil dan menutupnya kembali.
"B-baiklah, aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf tuan." Jennie menundukkan wajahnya dengan tangan yang tetap menahan pintu mobil.
"Dan maaf, aku harus pergi."
Kemudian, gadis itu berjalan dengan cepat, tanpa sedikitpun mau menengok ke belakang. Menarik kopernya menjauhi lelaki berkulit pucat itu yang sudah bermuka masam.
"Ck, sialan!" umpat lelaki itu.
***
Jennie menghela nafasnya ketika telah merasa cukup jauh dari lelaki tadi.
Ada yang mengganjal hatinya. Sepertinya Jennie pernah melihat lelaki itu. Tapi dimana... dan kapan?
Jennie menatap sebuah minimarket di hadapannya. Ia memiringkan kepalanya.
"Ah, lelaki kemarin!" ucapnya. Ia menyunggingkan bibir kananya.
Ia baru ingat, lelaki itu kan yang menabrak Jennie kemarin, tepat di depan sebuah minimarket.
"Impas bukan? Hehehe..." cengirnya.
***
Terimakasih sudah membaca 💕