ab bagian 03

By atoillah

323 0 0

More

ab bagian 03

323 0 0
By atoillah

11. Menyerang Malaka

Duta Tuban yang menghadap Sultan Demak telah kembali dengan membawa serta Raden Kusnan, salah seorang putra Sang Adipati.

Beberapa minggu setelah itu pasukan laut Tuban naik ke atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada dermaga, sebuah jalur karang yang menjorok ke laut. Lima ratus prajurit laut akan berangkat mening- galkan Tuban. Dan genderang ramai bertalu ditingkah oleh bunyi kenong.

Prajurit-prajurit itu telah menjalani latihan ulangan selama tiga bulan.

Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan para prajurit yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari galangan. Dan memang tak pemah selama kekuasaan Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta teijadi pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang.

Tahun 1513 Masehi.

Gugusan pasukan laut Tuban akan dipimpin oleh Raden Kusnan. Wiranggaleng dengan resmi telah diangkat jadi pembantu-utamanya. Sang Adipati sendiri yang melantik beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: Jepara. Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, kare- na nampaknya Sang Adipati mengirimkan mereka tidak dengan tujuan merebut kembali bandar terbarat milik Tuban itu.

Sebelum layar-layar dikembangkan Sang Adipati menjatuhkan titah kepada putranya: "Kau, Raden Kusnan, kami percayakan gugusan pasukan laut Tuban ini. Berangkat kau sampai ke Jepara. Jangan tidak, ber- gabung kau dengan armada Jepara. Kau sendiri lebih tahu tentang apa yang harus kau perbuat. Setelah bergabung kau berada di bawah perintah Gusti Adipati Unus Jepara, yang akan bertindak sebagai laksamana. Keijakan kewajibanmu dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal- kapalmu dan anak-buahmu."

Layar-layar pun menggelembung dan lima buah kapalperang itu be- rangkat. Semua dipersenjatai dengan cetbang bikinan Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju pelayaran tidak dipergunakan.

Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema bersambut-sambutan. Makin jauh kapal-kapal dari darat sorak-sorai berganti dengan lambai- an umbul-umbul dan selendang dan tangan.

Makin jauh lagi, umbul-umbul dan selendang digantikan oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu berpisahan dengan alam dan manusia Tuban.

Para prajurit dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai membuka cerita dan memben- tuk lingkaran pendengar di atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal ter- tentu.

Pada hari pertama itu Wiranggaleng lebih ban yak beijalan mondar- mandir di geladak untuk menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang menimbang- nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak enak badan. Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus berjalan mondar-mandir begini ia harap akan mendapatkan daya-tahan yang mencukupi

Tetapi penghormatan yang berlebihan itu membikin ia menjadi kikuk. Ia merasa risi mendapat perhatian orang. Dan ia tahu ia lebih dipeihati- kan daripada Raden Kusnan. Memang sudah menjadi kebiasaan pen- duduk Tuban lebih memperhatikan pejabat yang berasal dari orang kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati, bukanlah suatu keluarbiasaan bila menduduki jabatan pen ting. Tetapi anak desa, hanya karena keist ime waan saja bisa meningkat ke atas.

Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams beiusaha mening- galkan kesan, tak ada maksud padanya untuk meniru-nim tingkah pem- besar ningrat. Ia jawab pandang mata bawahannya dengan senvum ra- mah. Ia dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan perhatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak bicara mereka yang nampak termenung-menung mengenangkan yang tertinggal di rumah. Ia berusaha menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat yang memperhatikan.

Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari, diri belum layak memikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi Syahbandar-muda selalu saja orang menyuguhkan pandang kagum seperti itu. Dan sebagai Syahbandar-muda ia pun masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan sebagai pengawas galangan kapal di Glondong ia lebih banyak mondar- mandir daripada melakukan pengawasan. Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang pembikinan kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa.

Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi kebesaran untuk Tuban merupakan riwayat pergolakan jiwa yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Dua-duanya terns juga jalin-menjalin, pilin- berpilin dalam hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan waspada.

Ia mulai mendapat ketenteramannya waktu matari sudah tenggelam dan malam mulai datang memeluk alam. Ufuk barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar-layar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondar- mandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada Idayu, pada Gelar, si anak itu.

Ia beijalan lambat-lambat ke haluan. Seorang prajurit yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar olehnya berkata pada te- mannva: "Sekiranya Gusti Adipati tidak berputra, pastilah Syahbandar- muda Wiranggaleng yang memimpin gugusan kita ini."

Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu. Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjung-sanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak. Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri: Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. Karena: pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah.

Pada malam pertama itu ia mendapat tugas melakukan pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah, di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai prajurit biasa.

Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk merenung dan ia mendekat. Mereka tak mengenalnya.

Di antara desauan angin dan gelepar layar didengamya salah seorang di antaranya menyebut-nyebut namanya. Ia menunduk menyembu- nyikan muka dan mendengarkan dengan diam-diam.

"Ingat kalian pada pesta perkawinannya dulu? Orang bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari tandunya! Mana pernah ada?"

"Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat, takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang membantu mereka. Wiranggaleng dan Idayu merangkak bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan prihatin ke arah Sela Baginda."

"Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita Wiranggaleng. Siapa pun tahu di balik senyum dan keramahannya: batin yang teraniaya di bawah timbunan batu."

"Betul, siapa pun tahu," yang lain meneruskan. "Orang bilang tak mungkin Idayu mau dengan sukarela. Bahkan Sang Adipati pun dito- laknya dengan menentang maut. Dia sungguh-sungguh menrintai jua- ra gulat itu. Maka, mana mungkin Idayu bisa menerima burung aneh dari Espanya itu?"

"Siapa tahu Guti Adipati sendiri yang memaksanya untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?"

"Memang Syahbandar keparat itu terlalu dimanjakan oleh Sang Adipati," seorang lain menggarami. "Manusia terkutuk!"

"Kalau Nyi Gede Idayu berani menantang maut menolak Gush Adipati, tak mungkin dia mau menerima Sayid Ulasawa, sekalipun atas paksaan Gusti Adipati. Dia akan tetap memilih maut. Lagi pula apa se- sungguhnya kepentingan Gusti Adipati? Ia sendiri memberahikannva."

"Lagi pula mengapa Gusti Adipati tak juga mangkat? Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis cantik kita."

Orang-orang itu terdiam. Masing-masing memantulkan perasaannya masing-masing, iba pada Wiranggaleng dan istrinya, tak puas pada ra- janya sendiri, dan jengkel terhadap Syahbandar Tuban.

"Kabamya Syahbandar-muda itu jarang pulang," seseorang memulai lagi.

"Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya - lelah, pulang ke rumah, dan lagi-lagi melihat bayi yang itu-itu juga. Jelas-jelas seperti Sayid Ulasawa."

"Mengapa tak dibunuhnya saja Syahbandar keparat itu?"

"Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu. Celakanya dia dilindungi oleh Sang Adipati. Kalau tidak, sudah lama dia lumat di bawah pedang anak-anak Tuban. Orang semacam itu tidak patut terke- na keris. Pedang pun mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur."

"Wiranggaleng sendiri yang sepatutnya melakukannya."

"Justru dia yang melarang anak-anak Tuban melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang, 'jangan'. Anak-anak Tuban bertanya, 'mengapa jangan? itu bertentangan dengan adat Tuban'. Aku sendiri ikut waktu itu, jadi tahu sesungguhnya duduk perkaranya. Ia bilang, 'Sang Adipati menitahkan, jiwa Syahbandar Tuban harus dijaga, dia dibutuhkan oleh Tuban'".

"Jadi cerita itu bukan omong kosong?"

"Tidak, aku sendiri menyaksikan."

"Ah."

"Coba, Kamaratih Tuban diperlakukan seperti itu. Siapa tidak melu- ap? Orang asing pula. Dengan cara yang kurangajar pula."

"Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari kesyahbandaran. katanya berasal dari Nyi Gede Kati. Idayu tidak dipaksa oleh Gusti Adipati untuk melayani Say id Ulasa wa. Katanya Syahbandar keparat itu menggunakan obat bius setiap Idayu habis menari dari kadipaten."

Wiranggaleng berdiri dari duduknya, pergi menghindar bercepat- cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru pelan: "Celaka! Bukankah itu Wiranggaleng sendiri?"

Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir cahaya menyemburat di sekitar lunas. Sekian ia teringat pada cerita Rama Cluring tentang lunas kapal-kapal Majapahit.

Dan kapalnya terus melindas dan menerjang ombak dan kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia merasa seolah setiap deburan ombak yang menghantam lambung kanan sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelamaan perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul. Angannya mengembara melintasi malam mengunjungi masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam? Tidak lebih dari setengah tahun yang lampau....

***

Ia rasakan betapa lama Idayu pergi tetirah ke Awis Krambil dengan Nyi Gede Kati. Sang Adipati telah meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa. Juga Sang Adipati sendiri yang menitahkan serom- bongan orang untuk menandu pujaan Tuban yang akan melahirkan itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari ulung ini titahnya. Tak boleh kulimya lecet barang seujung jari pun. Hukuman berat akan menimpa kepala si pelanggar.'

Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan Tuban.

Lama benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia sendiri tak mungkin berkunjung ke desa.

Kemudian datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang diri di dalam kamar. Ia lihat Idayu berjalan mengendap-endap mendekati serambi. Perutnya telah kempes. Jelas ia sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya gembung bcrisi. Ia melompat untuk mengelu-e- lukan.

Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada suami untuk dibunuh.

Idayu nampak ragu-ragu memasuki kamar. la pura-pura tak melihat kalung melati itu.

"Mengapa kau, Idayu? Kau begitu pucat!"

Ia lihat Idayu memandangnya begitu sayu. Waktu ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya gigilan pada badan istrinya.

Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung melati itu dan ia lemparkan ke pelataran.

"Kau sakit."

"Tidakl" jawab Idayu tegas tetapi menggigil.

"Mana anakku?"

Idayu menatap mata suaminya, tapi ia tak menjawab.

Wiranggaleng merasa mau memekikkan tanya: matikah anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran.

"Anakmu belum lahir, Kang."

"Kau sudah melahirkan, Idayu."

"Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku," jawab Idayu dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih juga terdengar gigilan di dalamnya.

"Jangan aneh-anah," dan ditolongnya istrinya masuk ke dalam kamar. "Kau lelah dari peijalanan sejauh itu, pucat Mana anakmu?"

"Anakku, Kang, bukan anakmu, masih di belakang digendong Nyi Gede Kati."

"Beristirahatlah kau, tidurlah," perintahnya dan siap lari untuk men- jemput anaknya.

Idayu mencegah, memegangi tangan dan berkata teibata-bata: "Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu itu," tegahnya, "dengar- kan dulu kata-kataku."

Ia duduk dan dengan isyarat memaksa istrinya duduk pula.

Wajah Idayu yang pucat itu kelihatan memohon amat sangat dan ber- sungguh-sungguh.

"Ingatkah kau dulu, Kang, waktu kuceritakan padamu tentang impianku... dan anganku, dan cundrikku yang tiada berdaya? Dalam impian. Dia datang dalam impian... Tuan Syahbandar Sayid Habibullah At masawa, Kang."

Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih juga terheran- heran.

"Kau diam saja, Kang. Kepala anakku itu sama dengan kepala Tuan Syahbandar, tipis gepeng, hidung juga bengkung. Tak ada kesamaan denganmu, Kang. Ampuni aku, Kang, Kang, Kang-"

Ia terdiam dan terengah-engah. Diambilnya cundrik dari balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali kebas sarongnya terlompat entah ke mana. Cepat ia alihkan tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya. Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini menjadi lemah, menggigil lebih keras hampir-hampir tak nyata: "Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia telah menerima seorang lela- ki lain dalam impiannya."

"Dayu!" pekik Wiranggaleng.

"... hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu. Serahknn dia pada bapaknya, Tuan Sayid. Aku sudah bilang begitu juga pada Nyi Gede Kali. Sudah, Kang... ampunilah aku... istrimu yang tidak setia..."

"Mengapa kau ini, Dayu?"

Tangan Idayu yang gemetar itu masih memegangi mata cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada suaminya.

"Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang Galeng...."

Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia membunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik waktu Idayu menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri. Ia lemparkan keris kecil itu dan dirangkulnya istrinya.

"Idayu, Idayu, adik si Kakang."

"Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti betul duduk- perkaranya, yang ini juga yang akan teijadi," suara Idayu tak lagi menggigil. "Telah kukumpulkan seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang?" suaranya merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas.

"Tidur. Tidur. Kau lelah, Idayu."

'Tidak!"

"Betapa menderita kau karena impian itu," ia angkat istrinya dan di- tidurkan di atas ambin. Tariklah nafas panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau hati sedang tidak tenang."

Kelibat bayang-bayang menyebabkan Wiranggaleng menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi Gede Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada tangannya tergendong bayi dalam bung- kusan.

"Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu."

"Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini."

"Mengapa mesti kubunuh? Masuklah," ia berjalan keluar.

Nyi Gede Kati nampak waspada.

"Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang untuk mengan- tarkannya untuk melihat ibunya."

"Mengapa hanya melihat?"

"... melihat ibunya untuk penghabisan kali."

"Mengapa hanya untuk penghabisan kali?"

"Barangkali susunya masih sempat diisapnya."

***

"Wiral" seseorang berteriak.

Wiranggaleng terbangun dari kenangannya. Ia beijalan melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden Kusnan telah berdiri di hadapannya dengan bertolak-pinggang.

"Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita?"

"Malaka, Gusti," jawabnya sambil menyembah.

"Bedebah! Dari mana mereka tahu?"

"Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, Gusti."

"Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu, Wira?"

"Patik, Gusti."

"Pernah kau berperang, Wira?"

"Belum, Gusti."

"Apalagi perang laut."

"Apalagi perang laut, Gusti."

"Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan kau."

Dari kata-katanya itu Wiranggaleng tahu, Raden Kusnan pun belum pemah berpengalaman perang, apa lagi perang laut. Tetapi ia tak menanggapi.

Gugusan Tuban terus berlayar tanpa sesuatu halangan.

Pada suatu senja sampailah gugusan itu di bandar Jepara. Semua prajurit berderet di atas geladak kapal masing-masing untuk melihat Jepara yang beberapa tahun belakangan ini tak pemah mereka singgahi lagi. Orang terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi milik Tuban.

Tetapi pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan beberapa kapal dagang ber- labuh di muara kali Wiso.

Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten Jepara. Di sana tak ada mereka jumpai Adipati Unus Jepara. Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki Aji Kalijaga.

Wiranggaleng melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata: "Buvung! Mengapa Tuban lima hari terlambat datang?"

Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:"Ampun, Kakanda Aji,

pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patik Tidak lain dari ayahanda sendiri Gusti Adipati Tuban."

Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya.

"Itu tidak patut," katanya pelahan. "Biarpun seorang ayah, seorang adipati, orang tak patut membikin malu anaknya."

"Apakah yang patik harus perbuat sekarang, Kakanda?"

"Susul Laksamana Adipati Unus Jepara. Ayahmu telah memalukan kita semua. Kau jangan bikin malu kakandamu."

Ki Aji Kalijaga membalikkan badan dan berjalan tenang masuk ke dalam kadipaten.

Raden Kusnan dan Wiranggaleng kembali bergegas ke kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan memberi isyarat pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan mengembangkan layar. Ia perintahkan menge- rahkan semua dayung.

"Wira!" teriaknya memanggil pembantu-utamanya dengan nadabe- rang.

Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat wajah Raden Kusnan telah kehilangan kepucatannya, kini merah-hitam dibakar oleh kemarahan.

"Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu tentang keter- lambatan Tuban yang disengaja ini. Lima hari! Terlambat lima hari!"

"Mereka semua sudah tahu, Gusti."

"Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?"

"Mereka tak melihat armada Jepara."

"Mereka harus percaya, armada Jepara ada dekat di depan kita. Mengerti?"

"Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan kapal, Gusti."

"Aku tak percaya mereka tahu."

"Ya, Gusti, mengapa Gusti berkata demikian? Bukankah semua mereka kawula Gusti sendiri? Bukankah mereka bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa, Gusti, tapi kawula Gusti sendiri?

Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya dipukulkannya pada telapak tangan kirinya.

"Memalukan," gumamnya. "Di mana harus kusembunyikan mukaku ini?"

"Perang akan menghapuskannya, Gusti."

"Ya-ya, perang," ia berhenti berputar-putar.

Wiranggaleng pergi ke geladak dan mencoba beramah-tamah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua bertanya mengapa Tuban terlambat. Dan mereka semua tahu belaka akan keterlambatan itu sekalipun tak tahu tepat berapa hari.

Ia hanya dapat menjawab: "Hanya ada satu jalan dapat ditempuh. Laju, lebih laju."

Seseorang menyeletuk: "Kita belum lagi membikin perhitungan de- ngan Jepara, Wira. Belum. Mestinya kita mendarat, dan.,.."

"Husy!"

Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah dan melihat pelaksanaan pendayungan. Prajurit-prajurit itu mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. Tetapi pelayaran memantai itu bukan pekerjaan mudah untuk kapal- perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh seperti gila untuk mengejar keting- galan.

Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung tetap di- kerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri. Angin tetap terasa kurang, sangat kurang.

Dalam beberapa hari mengejar armada Jepara tak juga nampak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi sampai jauh-jauh di ufuk barat sana.

Gugusan Tuban terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu di bandar mana harus singgah. Bahan makanan dan air mulai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh mendapatkan. Gugusan itu berlayar siang dan malam dan terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpak- sa singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan perjalanan dengan persediaan bahan makanan yang semakin tipis.

Dalam keadaan terpaksa gugusan Tuban memasuki bandar Banten. Seluruh prajurit dan awak kapal lelah dan cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi karena soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus dalam biliknya.

Syahbandar Banten, seorang Koja, membawa Raden Kusnan dan pem- bantu-utamanya pergi ke kesyahbandaran yang terbuat juga dari batu, tetapi tidak sebesar dan seindah kesyahbandaran Tuban. Mereka dija- mu dan mendapat keterangan, Laksamana Adipati Unus Jepara telah meninggalkan pesan untuk gugusan Tuban. Dan pesan itu akan disam- paikan sendiri oleh seorang perwira armada yang untuk keperluan itu memang ditinggalkan di Banten.

Syahbandar Banten menyilakan mereka beristirahat. Ia sendiri akan menjemput perwira armada Jepara. Dan tengah malam ia datang lagi beserta orang yang dicarinya.

"Anak sangat terlambat," tegur Aji Usup.

"Sahaya telah kerahkan pendayung, Pamanda," jawab Raden Kusnan.

"Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan pendayung."

"Ampun, Pamanda, memang sahaya yang terlambat sejak semula."

Aji Usup memerintahkan pada Syahbandar Banten untuk memunggah perbekalan ke atas kapal-kapal Tuban. Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan.

Wiranggaleng duduk di suatu jarak mendengarkan dengan diam- diam.

Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan dari Jepara ke Banten dinilai oleh Aji Usup sebagai keliru, merugikan persiapan perang. Gugusan Tuban berlayar bukan untuk memburu bajak atau meronda pantai. Juga ia menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang menyebabkan gugusan harus berlabuh di Banten untuk beberapa hari: prajurit dan awak kapal harus memulihkan kekuatannya.

"Sahaya memang tidak punya pengalaman laut, Pamanda," Raden Kusnan meminta maaf.

"Barangkali kau pemah dengar pendayungan terus-menerus kapal- kapal Majapahit. Kau keliru. Kapal-kapal Majapahit ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya bukan prajurit atau awak kapal, tapi bajak laut yang menjalani hukuman sampai mati."

"Kami dari gugusan Tuban akan semakin tertinggal tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di Banten...."

"Kami mendapat titah dari Gusti Kanjeng Laksamana untuk menjadi tetua gugusan Tuban. Jangan hendaknya jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan."

Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu. Wiranggaleng mendeham, tapi Aji Usup tak menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari duduk-perkara: Sang Adipati Tuban telah dengan sengaja memperlambat keberangkatan untuk tidak menyertai perang di Malaka. Sebaliknya Jepara kini telah merampas gugusan Tuban, kapal dan anakbuahnya dan prajuritnya, termasuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan Tuban.

***

Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal.

Raden Kusnan dan Wiranggaleng untuk kedua kalinya harus menelan kemarahan Adipati Unus Jepara melalui mulut Aji Usup.

"Insya Allah," kata Aji Usup kemudian, "kita masih akan dapat menyusul Kanjeng Gusti Laksamana di Riau atau Tumasik."

Setelah itu ia menerangkan, armada Jepara telah dipecah jadi dua. Gugusan-I menyusuri pantai barat Sumatra, memutari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara Malaka. Gugusan-I telah berangkat dan hanya singgah sehari di Banten. Gugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin sendiri oleh Laksamana Unus, bertugas menyusuri pantai sebelah timur Sumatra dan bergabung de- ngan gugusan pasukan laut Jambi-Riau.

Di Riau Gugusan-II akan beristirahat sambil menunggu gugusan Tuban dan Banten yang terdiri atas pelarian dari Malaka yang menggu- nakan kapal-kapal dagang yang telah dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan pendaratan dan penyerangan dari selatan Malaka.

Aji Usup kemudian melakukan pemeriksaan di semua kapal Tuban. Para prajurit dan awak kapal nampak sudah sangat lelah. Banyak di antaranya telah jatuh sakit dan ditunmkan di Banten.

Pembicaraan yang kemudian diteruskan membuat Wiranggaleng mengerti, bahwa armada Jepara menunggu Tuban di Banten selama delapan hari. Tetapi semua itu tak menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa, Demak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu kali Demak akan memukul dan menaldukkan Tuban. Tuban sebaliknya, membiarkan dirinya mengulur-ulur waktu untuk memperiihatkan diri untuk dapat memukul Demak dengan jalan lain dan cara lain la pernah mendengar. Sang Adipati tidak menyukai perang Maka boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada Demak-Jepara hanya suatu dalih untuk menjerumuskan musuhnya dalam penghamburan kekuatan di Jepara, dan dengan demikian takkan dapat menyaingi bandar Tuban sebagai bandar rempah-rempah. Bandar Jepara harus tetap pudar.

Dan waktu prajurit dan awak kapal bersorak-sorai menyambut pengu- muman, bahwa Gugusan Tuban akan meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada Jepara, ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia menjadi curiga dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden Kusnan menjadi hilang. Pemimpin Gugusan Tuban itu tidak semestinya mengjakan saja perintah Aji Usup.

la catat semua yang dianggap kelicikan Demak-Jepara dan juga Tuban sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan dapat memecahkan teka-teki yang ruwet ini

Gugusan Tuban berangkat ke baratlaut beberapa hari kemudian. Kapal- kapal dagang para pelarian Malaka yang dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari ukuran kecil. Ia mendapat keterangan, Gu-gusan-II akan menampung juga kapal-kapal kecil semacam ini, milik para pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi setelah Malaka jatuh.

Di Riau ternyata Gugusan-II telah berangkat lebih ke utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari Laksamana karena keterlam- batannya. Raden Kusnan telah kehilangan semangat harus menelan

kemarahan tiga kali berturut. Aji Usup berusaha menghibumya, tetapi temyata semangatnya telah patah. Pimpinan gugusan Tuban diambilnya sama sekali, dan dengan sendirinya Wiranggaleng naik menggantikan- nya, juga atas perintah Aji Usup.

Kenaikannya memberikan suatu kekuasaan untuk melakukan tindakan yang memutuskan, bila Demak-Jepara bermaksud untuk merugikan Tuban. Ia akan lemparkan Aji Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan akan dilakukan atas Tuban. Dan ia akan melakukannya tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana Patragading telah naik ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh ayahnya.

Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak dipergunakan. Prajurit dan awak kapalnya harus tetap dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan.

Gugusan Tuban berlayar hanya dengan kekuatan angin. Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul gugusan pelarian Malaka di Banten.

Bukannya empat hari, tetapi lima setengah hari Adipati Unus telah menunggu gugusan Tuban di Riau sambil memberi kesempatan pada Gugusan-I untuk menerima penggabungan gugusan Aceh. Setelah ternyata Tuban tak juga nampak, dianggapnya sekutu itu telah melanggar janji dan ia hapus dari perhitungan perang.

Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya telah bergabung dengan Gugusan-I, dipimpin oleh seorang perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajurit-prajurit Jepara-Demak dan Aceh terdapat kelainan pa- kaian yang menyolok. Jepara-Demak menggunakan celana dan baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada pada kelainan ikat- pinggang. Prajurit-prajurit Aceh bercelana dan berbaju hitam, berdestar hitam. Perwira-perwiranya berikat-pinggang selendang merah. Des- tarnya yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda: tombak, pedang, pe- risai. Karena mereka mengharapkan perang lapangan, mereka tidak menggunakan panah. Pada para perwira terdapat senjata-senjata jabatan.

Gugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran. Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tanda-tanda yang diberikan oleh Gugusan-I. Portugis takkan diberi kesempatan untuk meninggalkan Malaka dari laut. Mereka harus dibinasakan di darat sebagai hukum- an, atau dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah timur.

Laksamana Adipati Unus telah memperhitungkan: waktu penyerang- an akan dilakukan tepat pada saat Malaka kosong dari armada Portugis. Maka bila musuh telah ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di Malaka. Setelah itu musuh boleh melakukan serangan balasan dan mendarat- kan pasukan. Perang darat harus memutuskan kemenangan.

Bandar Malaka telah nampak sayup-sayup di hadapan Gugusan-II. Tak nampak ada satu kapal Portugis pun. Nampaknya Gugusan-I terlambat memberikan isyarat. Tapi tidak, peluru-peluru cetbang da- ripadanya mulai beterbangan di udara dan meledak merupakan bunga- api dan gumpalan asap. Wama merah membelah langit: juga di sebelah utara sana tak ada nampak kapal Portugis. Gugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula: juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal Portugis.

Sayup-sayup oleh Gugusan-II kelihatan prajurit-prajurit Aceh-Demak- Jepara, hitam dan putih mulai mendarat, kemudian kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara Malaka dan membasminya dengan tembakan-tembakan cetbang. Dentumannya menggelora disambut oleh sorak-sorai Gugusan-II.

Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari Gugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan tak lama kemudian mereka melihat api dan asap mulai membubung ke udara.

Tetapi Portugis bukanlah penakut. Dari pengalaman perangnya di ber- bagai benua mereka mengerti benar bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi, sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka semua, membendung, membubarkan dan menghan- curkan. Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya menggunakan penggertakan- penggerta kan dengan peluru dan gelegar menam serta penyergapan, dan melumpuhkan lawannya dengan tembakan-tembakan musket. Dari pengalamannya di Asia Bawah mereka mendapatkan. temyata musuh- nya lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut.

Dan meriam-meriam mereka mulai terdengar beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang setengah jam kemudian tembakan- tembakan musket mulai terdengar. Tetapi kebakaran di Malaka itu menjalar-jalar juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota.

Gugusan-II makin menghampiri bandar.

Gugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru cetbang dari kapal dan mulai menurunkan prajurit yang teisisa. Nampaknya tak ada seorang prajurit pun sudi ketinggalan menikmati kemenangan atas Portugis. Kapal-kapal mereka tersauh kosong.

Laksamana Adipati Unus memerintah memberikan tembakan peringatan terhadap Gugusan-I, tetapi tidak digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong tercancang pada jangkar masing-masing.

Gugusan-II makin mendekati Malaka. Cetbang-cetbangnya mulai di- arahkan ke bandar. Peluru-peluru api itu meledak menyambari ba- ngunan-bangunan dan pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi di sebelah selatan kota Malaka. Angin dari selatan me- niup api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi.

Dari kapal-kapalnya Gugusan-II dapat melihat meriam-meriam Portugis mulai ramai diarahkan pada kapal-kapalnya. Tetapi cetbang menyapu sarang-sarang mereka. Musuh di darat itu nampak berlarian, ber- lindung di balik-balik pepohonan yang masih utuh.

Sekarang peluru-peluru besi Portugis mulai beterbangan mencari sasaran. Tetapi hujan petir cetbang menghalangi mereka menembak dengan baik.

Makin dekat dengan bandar makin nyata terdengar sorak-sorai prajurit gabungan dari Gugusan-I, yang dengan kecepatan luar biasa mendesak ke selatan.

Karena kebingungan melayani serangan dari darat dan laut meriam- meriam Portugis mulai berjatuhan sepucuk demi sepucuk.

Sebuah peluru Portugis masih sempat melayang dengan garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding itu. Sebentar kemudian selembar papan baru telah nampak ditambalkan dari dalam.

Dan sorak-riuh mengikuti.

Sebutir peluru besi lainnya telah memagas mancung haluan kapal ben- dera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang bikinan Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu.

"Dengarkan!" katanya sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Tem- bakan mereka semakin tipis. Gencarkan tembakan kalian!"

Perintah itu disampaikan melalui isyarat pada kapal-kapal lain.

"Perhatikan laras, jangan sampai terlambat mengganti!"

Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras telah pecah ambyar.

Unus meneruskan perintahnya: "Hari ini si kafir harus angkat kaki dari bumi Malaka. Hari ini! Insya Allah. Kalau Peranggi telah terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi milik kita bersama lagi."

Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di belakangnya: "Lihat peluru Peranggi itu. Dipaprasnya mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh. Tapi insya Allah, mereka akan menerima

paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu, Peranggi! Habis- kan!" ia tertawa senang.

"Tembakannya semakin berkurang juga, Gusti."

"Ya, dan kalau Peranggi tidak terusir pada kesempatan ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi."

"Tak ada nampak armada Peranggi, Gusti."

"Alhamdulillah."

"Betapa indahnya hari ini, Gusti."

"Syukur kepada Allah s.w.t. Kalau mereka tinggal berkuasa di Malaka, tidak lama lagi, dan pelabuhan-pelabuhan kita akan jadi perkam- pungan nelayan belaka. Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?"

"Patik, Gusti." Seorang perwira yang agak jauh memuji-muji: "Perhitungan Kanjeng Gusti Adipati tepat. Malaka jatuh dalam sehari," ia mengunci kata-katanya dengan sembah.

"Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menembak. Malaka telah jatuh di tangan Gugusan-I. Alhamdulillah. Ya Allah, ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana telah terjadi di selatan sini: Peranggi kalah. Biar begitu, lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak tertinggai kosong."

Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan. Tetapi Gugusan- I sudah lupa daratan dengan kemenangan.

"Mendaratkah kita, Gusti?"

"Tidak mungkin! Keteledoran Gugusan-I menyebabkan kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi Kantommana - kapal- kapalnya harus segera diisi, sekarang juga."

Sebuah sampan diturunkan dan orang bercepat-cepat mengayuh ke arah bandar.

"Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas, sayap kanan Gugusan-II supaya maju sampai melewati kapal-kapal Gugusan-I. Was- pada ke sebelah utara!"

Isyarat-isyarat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap kanan Gugusan-II mulai bergerak maju.

"Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua kapal seyogia- nya diadakan sembahyang syukur."

"Patik, Gusti. Sebentar lagi magrib. Besok, insya Allah, akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan."

"Insya Allah, kelambatan dan keteledoran dalam sehari ini semoga ter- tebus oleh kegemilangan hari esok: pendaratan, perkubuan, pemburu- an terhadap Peranggi...."

Malam pun jatuh.

Langit di atas Malaka merah-hitam oleh api dan asap.

Dari atas kapal-kapal Gugusan-II nampak prajurit-prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara mondar-mandir menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga tukang-tukang kayu sibuk membetulkan kerusakan pada tubuh kapal.

Sampan utusan tiba dan membawa surat dari perwira Kantommana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk besok hari. Sampan dikirimkan kembali, me- merintahkan agar kapal-kapal Gugusan-II tetap diperlengkapi dengan kekuatan.

Di atas geladak semua kapal Gugusan-II sembahyang magrib dilanjut- kan dengan sembahyang syukur, diimani dan dikhotibi oleh Adipati Unus sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang isya!

Sampan utusan datang kembali, membawa berita bahwa prajurit- prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan, dan bahwa perintah itu akan segera di- laksanakan.

Surya memancar cerah di pagi hari. Langit biru muda dan bening. Kapal-kapal dari Gugusan-II tetap menjaga perairan Malaka. Gugusan- I tetap kosong dari penjagaan. Tembakan Portugis di daratan sudah tak terdengar lagi. Mereka telah terbenam dalam arus prajurit gabungan. Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di mana-mana. Gugusan-II tetap tak dapat mendarat.

Dan bila Gugusan-II mendarat, dan puluh ribu prajurit gabungan akan berpesta di atas kekalahan Portugis, tanpa gugusan Tuban dan Banten.

Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera dan mem- persembahkan pada Laksamana Unus, bahwa Malaka sudah siap untuk didarati.

Unus menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia mendapat keyakinan, Gugusan-I memang tidak mematuhi rencana semula. Ia pe- rintahkan perahu itu kembali tanpa jawaban.

Tepat pada waktu perahu itu sampai ke bandar, dari sebelah utara sayap kanan Gugusan-II melepaskan tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayup-sayup iring-iringan armada Portugis. Layar-layar- nya yang tinggi bergambar salib itu kembung sepenuhnya. Kapal-kapal itu meluncur cepat ke selatan.

"Peranggi!" orang memekik dari atas tiang utama.

Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang Gugusan-II bergerak laras- larasnya, semua tertuju ke arah datangnya armada musuh.

Pada sayap kanan Gugusan-II yang telah ada di sebelah atas Malaka

Unus memerintahkan agar berlawan sambil mengundurkan diri bergabung dengan induk Gugusan. Pada daratan diisyaratkan pada Gugusan-I yang lengah, bahwa Portugis sedang mendatangi, dan mende- sak agar kapal-kapalnya diisi kembali.

Mengikuti tradisi Majapahit, cetbang hanya dipergunakan di atas laut dan sekali-sekali tidak diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari Gugusan-I yang kosong cetbang-cetbangnya pun menjadi bungkam.

Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang menduduki tempatnya masing-ma- sing menghadapi perang laut.

Armada Portugis ternyata lebih maju daripada yang diperkirakan. Baru saja prajurit-prajurit dari Gugusan-I turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masing-masing, guruh meriam Portugis sudah mulai kedengaran. Kemudian disusul oleh tembakan balasan dari cetbang- cetbang sayap kanan Gugusan-II yang mengawal Gugusan-I. Armada Portugis itu maju terus sambil menembak - lima buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari Gugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal Portugis dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa tempat.

Pertempuran laut antara armada Portugis dengan sayap kanan Gugusan-II nampak dari kejauhan seperti perkelahian antara dua rom- bongan ka tak raksasa dengan lidah-lidah api yang panjang menyambar- nyambar. Dan kapal-kapal Gugusan-I masih tertidur dalam kedamaian diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada kehancur- an yang mendatangi.

Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan Gugusan-II dire- jam oleh peluru logam dan hanya dapat membalas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal Portugis maju terus, terlalu yakin pada kekuatan meriamnya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan dan pada keperkasaan layarnya.

Sebuah kapal Portugis nampak terbakar layar-layamya terkena sem- burat api ledakan cetbang. Orang juga melihat sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan dindingnya terbongkar, kemudian dengan ragu-ragu menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya menge- rahkan dayung menghindari derasnya hujan peluru. Tetapi peluru logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan kapal. Sukun- sukun besi itu menghunjam buritan, haluan, lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena teijang dadal tak dapat bertahan.

Laksamana memerintahkan menghadang musuh dengan tembok tembakan cetbang. Ia telah saksikan kehebatan meriam Portugis dengan mata kepala sendiri, dan mengakui keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa membela diri.

Dan Portugis maju terus seperti tak teijadi apa-apa atas dirinya.

Sayap kanan Gugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah, hilang ke dasar laut.

Portugis mulai menembaki kapal-kapal Gugusan-I yang kosong dari prajurit, kosong dari pengawalan. Sampan-sampan prajurit bubar tak berani meneruskan memasuki kapalnya. Gelegar meriam Portugis dan ledakan cetbang Gugusan-II sambar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah demi sebuah dari Gugusan-I menyusul menyelam ke dasar laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri.

Dan armada Portugis terus saja maju. Sebuah kapalnya yang terbakar layamya tertinggal di belakang.

Unus memerintahkan semua dayung dipersiapkan. Keningnya berkerut melihat Gugusan-I tak sempat melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pemah melawan.

Dan armada Portugis semakin mendekat, semakin jelas dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung. Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru. Dan kapal-kapal itu ternyata memang tidak lebih besar daripada kapal bendera Demak-Jepara.

Tak ada terdengar sorak. Hati orang telah menjadi kecil melihat tumpasnya sayap kanan Gugusan-II.

Cetbang Gugusan-II mulai menyemburkan tembok api dan ledakan, tembok penghadang. Tetapi dalam pada itu setiap kapal datang melapor- kan, bahwa semakin banyak lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan membunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal Portugis tetap tak dapat dicapai oleh cetbang.

Laksamana Adipati Unus sebentar menunduk, mengerti ia telah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari Blambangan. Sesal tiada berguna. Meriam-meriam Portugis tak memberikan padanya kesempatan berpikir lebih lama. Peluru-pelurunya tak mengindahkan tembok api dan ledakan cetbang.

Gugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan sana disusul oleh datang- nya bola-bola besi lawan yang menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan.

"Ya Allah, bantulah ummat-Mu ini," Adipati Unus mengangkat tangan ke atas.

Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak henti-hentinya me- nembak. Barangkali ia menyesal juga telah menangguhkan pendaratan yang kemarin.

"Perintah Gusti Kanjeng Adipati ditunggu," seorang perwira menyedarkannya.

Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat beberapa buah kapalnya telah pada mulai miring, hancur pada lambung, menungging karena pecah haluan.

Dan cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai mereka....

"Ya Allah, bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan pada semua kapal untuk meninggalkan perairan Malaka!"

Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung.

"Cetbang tak mampu, Gusti."

"Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang mereka, sudah melawan dan mendatangi."

Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga pendayung.

"Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap meriam? Apa obat dan bagaimana ramuannya kiramu?"

"Warta-warta itu ternyata tidak bohong, Gusti. Senjatamerekalebihung- gul."

"Ya, persiapan kita kurang sempurna."

Pada waktu kapal-kapal dari Gugusan-II memutar haluan, armada Portugis semakin menggencarkan serangan karena mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring kemudian tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada gudangsendawanya. Api menyemburat ke langit dan kapal itu sendiri ambyar berkeping-keping.

Armada Portugis semakin mendekat juga.

Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiang-tiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah. Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyambar siku haluan, dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan serpihan besi beterbangan.

Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak bermandi darah. Serpihan besi telah menghujani tubuhnya.

Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jambi-Riau-Demak- Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang itu binasa dengan kekalahan....

***

Tumasik telah di depan mata.

"Semenanjung!" seseorang berteriak dari tiang utama.

Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di belakangnya mengikuti Wiranggaleng. Semenanjung nampak semakin nyata.

Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak.

Tumasik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ.

'Tidak singgah, langsung ke Malaka."

Gugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar kembang.

Setelah setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga pendayung.

Wiranggaleng naik ke atas tiang utama, menghampiri juru-tinjau.

"Barangkali kapal bendera Jepara," kata juru-tinjau.

Wiranggaleng tak menanggapi. Memang kapal bendera Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada Aji Usup.

"Gustiku! Gustiku!" sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit, dan kapal bendera yang somplak: "Gustiku, Gustiku! Ya Allah, Gustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir Peranggi. Gustiku! Gustiku!"

Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba: "Gustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat memenuhi janji."

Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan adonan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh nampak seperti merpati compang- camping dalam keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan telah gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga. Bendera Jepara, putih dengan gambar kupu-tarung, tidak nampak - telah terbabat oleh peluru Portugis.

Aji Usup memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk.

Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masing-masing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan Wiranggaleng turun ke biduk menuju ke kapal bendera, naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang menghilang ke dalamnya.

Mereka memasuki kamar Laksamana.

Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang. Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang itu.

Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di sana-sini balut itu ditembusi darah.

Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang nampak.

"Gusti, Gusti!" ratap Aji Usup.

Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: "Masih juga terlambat kau, Aji Usup?"

"Inilah patik, Gusti, hukumlah patik!"

"Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna."

"Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang menghadap, Gusti," sem- bah Raden Kusnan, "hukumlah patik, bunuhlah patik, Gusti. Tak patut lagi patik mengabdi pada Gusti. Gusti! Gusti!"

"Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati janji."

"Ampun, Gusti Kanjeng," Kusnan hendak bicara lagi, tetapi seseorang telah mendorongnya keluar.

Wiranggaleng mengantarkan Kusnan kembali ke biduk Aji Usup ting- gal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak henti-hentinya menangis. Dan juara gulat itu telah memutuskan dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugus- annya pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban ini jatuh ke tangan Demak-Jepara. Ia akan pertahankan kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil tindakan terhadap bekas pimpinannya itu.

Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi. Wiranggaleng memerintahkan pada seluruh gugusan untuk mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan upacara berkabung.

"Sampaikan juga pada kapal-kapal Banten supaya kembali!" penntah- nya. 'Tak ada di antara mereka boleh meneruskan pelayaran."

Di Riau, kapal-kapal Riau-Jambi yang masih selamat memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada kapal bendera dengan kibaran ben- dera-bendera alamat: selamat jalan pada armada yang pulang membawa kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal.

Di Banten baru iring-iringan itu singgah untuk memunggah perbekal- an, kemudian meneruskan pelayaran ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus mengiringkan.

Wiranggaleng sempat melihat bagaimana orang berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa armada yang somplak compang-cam- ping itu. Semua mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang nampak oleh mereka bukan sisa armada, tetapi kegagahan Peranggi.

Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di bandar Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwira-perwira Demak-Jepara. Ada yang mengutuk pandai-pandai Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang tak melaksana- kan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelas-jelas telah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan membenarkan semua. Tetapi juga membenarkan: Adipati Unus satu-satunya orang yang berani berusaha mempersatukan kekuatan pelawan Portugis, dan bera- ni melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan kekalahan perang, tetapi kegagalan dalam mengatur kekuatan sendiri. Kemudian ia menyimpulkan: armada gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia mengangguk-angguk mengerti.

Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang datang menyam- but. Semua pekerja galangan kapal berkerumun untuk melihat kesudah- an dari kapal-kapal bikinannya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak kelapa tidak mempunyai makna terhadap sukun besi, bahkan semakin memberati kapal.

Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang daripada kekalahan sendiri.

Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri Sultan Demak, juga datang mengelu-elukan.

Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh Wiranggaleng turun ke biduk untuk menyertai Laksamana mendarat.

Dari kapal bendera yang somplak compang-camping diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat di atasnya. Raden Kusnan dan Wiranggaleng mendekati tandu untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri.

Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah. Semua orang bersimpuh dan menyembah.

"Pulang, kau, putraku, Adipati Unus?" tanya Ratu. "Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan kekalahan. Ampu- ni putra Ibunda ini - menyembah dan mencium kaki Ibunda pun putran- da tak mampu."

Wanita tua itu menghampiri putranya dan menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari balik balutan.

"Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu sekarang tahu.

Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak."

Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang bereampur dengan desau angin dan deburan laut: "Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah mendatangi Peranggi di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain berjatuhan satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! Jepara telah mendatangi dan menyerang mereka!"

"Perhatikan semua itu, seluruh kawula!" Adipati Unus memperkuat dengan suara lemah. Kemudian keluar kata-katanya yang takkan dilu- pakan oleh sejarah: "Adipati Unus Jepara terluka, pulang tidak memba- wa kemenangan, tapi tidak membawa kekalahan. Jepara sudah bertem- pur melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana, tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh dunia tahu: dia telah pemah berhadap- an dengan Peranggi dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali kita akan datangi Malaka lagi. Lain kali!"

Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wiranggaleng telah tak dapat merebut kesempatan untuk memikul. Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pela- tarannya, di atas tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa.

Tiga hari Wiranggaleng tinggal di Jepara sebagai Punggawa Tuban. Bekas teman-temannya sekerja dulu tak habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri sambil bersungut-sungut: "Kafir! Pengkhianat dari Tuban! Kafir!"

Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di Jepara telah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban.

Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri. Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk mendapatkan penghinaan baru pula: "Nyahlah semua tentang Tuban dan dari Tuban!"

Hatinya terluka.

Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten: "Kau, Wiranggaleng dari Tuban, kembali kau pada Gusti Adipati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati. Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu per- mulaan yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. Allah memberkahimu."

Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera memerintahkan mancal.

Jamal Konong, pemimpin gugusan Banten, menghadangnya di dermaga: "Tuanku Wiranggaleng, kepala gugusan Tuban," katanya sambil menyembah dada, "raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk mendarat di Banten untuk selama-lamanya. Kami hendak menyatakan bergabung dengan Jepara, tetapi tak ada punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami menggabung pada Tuanku."

"Dua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap?"

"Utuh, Tuanku."

"Baik. Mari mancal."

***

Gugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara menuju ke Tuban.

Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat semua dalam keadan utuh dan selamat.

Waktu Wiranggaleng mempersembahkan akan kapal-kapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat.

Ia sama sekali tak pemah menanyakan Raden Kusnan. 12. Timbulnya Kerincuhan

Wiranggaleng mengangkat bocah yang sedang bermain-main seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat dan ko-tor seperti bocah-bocah di desa.

Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut tertawa.

Ia ayunkan Gelar ke atas kepalanya, dan anak itu menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira karenanya.

"Mana emakmu?" tanyanya walaupun tahu Idayu sedang di dapur.

Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat itu! Sekiranya Peranggi sampai memburu... pasti ia tidak akan bermain-main dengan Gelar, anak istrinya ini. Peranggi tidak memburu. Mereka membelok ke kiri, menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas ribu prajurit gabungan Aceh-De- mak-Jepara untuk dapat melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi Peranggi lebih penting daripada menghancurkan sisa kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi membutuhkan pangkalan!

Ia turunkan Gelar ke tanah, mengetahui Paman Marta datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah.

Dengan masih menggandeng tangan Gelar ia mendengus: "Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku hanya seorang anak desa?"

"Sahaya, paduka Wira."

"Husy." tapi Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya: "Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira."

"Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu."

Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang.

"Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya, Jepara kalah. Mau apa lagi?"

"Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira?"

"Apa itu paduka?"

"Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira?

"Apa itu bendara? Ya, Peranggi memang hebat."

"Baru saja sahaya dengar, paduka Wira...."

"Husy. Apa yang kau dengar?"

"Setelah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira?" juru gulat itu mengangguk. "Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi setelah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian, Wira?"

Kening Wiranggaleng mengernyit. Tanpa bicara ia serahkan Gelar pada Paman Marta. Ia langsung memasuki gedung utama untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan ma-suk ke dalam gedungnya.

Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Paman Marta sedang menggendong Gelar yang sedang menangis.

'Tuan Syahbandar sudah ada di dalam, Wira," katanya sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung.

Wiranggaleng melompat masuk ke dalam.

"Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira," sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di belakang meja tulis.

"Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke tangan Peranggi setelah Jepara kalah?"

Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya: "Rangmuda! Rangmuda!" sebutnya. "Berapa kali sudah kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh dunia. Lupa kau sudah? Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, rangmuda! Apa boleh buat, akal diberi- kan oleh Allah kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka menggunakan- nya." Kata-katanya membanjir seakan tak bakal berhenti. "Sekali orang mengenal karunia ini dan dapat menggunakannya dengan baik, dia akan menciptakan hukumnya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira."

Wiranggaleng pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari Syahbandar membakar hatinya- Pada suatu ketika kelak, tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wiranggaleng akan ikut serta melakukannya!

Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya sambil meng- geleng dan berkecap-kecap kasihan.

Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya Paman Marta tclah menunggunya membawa Gelar yang meronta-ronta dalam gendongan.

Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya sendiri.

Gelar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan meronta. Matanya sayu, kemudian jatuh tertidur dengan kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan diletakkan si bocah di atas ambin.

Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar Tuban itu menyampaikan- nya! Ia duduk tepekur. Kemudian ia pandangi Gelar. Makin lama wajah itu makin menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang bulat, dan teru- tama hidung yang bengkung. Hidung bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.

Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali memasuki kamar ini...

***

Nyi Gede Kati mengira Idayu telah mati di ujung cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga karena kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu apa lagi, seperti tak sedarkan diri.

Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan dari Wiranggaleng.

"Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali, Wira," katanya.

Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi Gede Kati mendiamkannya de¬ngan mendesiskan bibirnya.

"Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? Idayu sedang tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar aku gendong bayi itu."

"Jangan!" Nyi Gede menolak kontak dan dari matanya nampak ia ber- jaga-jasa. "Jangan bunuh dia, Wira. Idayu berpesan, 'Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang Galeng'. Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang."

Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap waspada mendekati Idayu, yang tergolek di ambin. Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: "Idayu, pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka hidupmu, Nak."

"Dia tidak celaka, dia berbahagia," juara gulat membetulkan.

'Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk menghadapi hari ini," ratapan itu diteruskannya, "untuk menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan dicintai."

"Tak pemah ada cundrik pernah mengenainya," bantah Galeng.

"Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya, seorang wanita utama, dikagumi semua orang. Idayu, ah, Idayu!"

"Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur," tegahnya.

"Kau bukan wanita pertama menderita semacam ini, Idayu. Manakah darahmu, biar kucium sebagai penghormatan dari semua yang mencintaimu?"

"Tak ada darah keluar dari tubuhnya," sekali lagi ia membantah, namun tak dapat mencegah Nyi Gede meneruskan ratapannya.

Dengan satu tangan Nyi Gede meraba-raba tubuh Idayu, dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia membeliak padanya, menuduhnya dengan suara keras: "Keji kau, Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun ke- hormatan pada Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi."

"Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia?"

Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan pada leher Idayu. Ia dekatkan matanya pada leher itu dan baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan leher itu pun tidak cedera.

"Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?"

"Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat buat pembasah- nya. Sini! Biar kulihat anakku."

Nyi Gede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya.

Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula cerita Idayu tentang impiannya yang temyata kejadian sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah membicarakannya: Idayu terkena bius setiap habis pulang dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau percaya? Dan lelaki manakah yang bisa membuktikan seorang bayi itu anaknya atau tidak?

Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. Ia pandangi Idayu yang lelap-nyenyak mendekati pingsan. Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas. Mengapa yang menderita harus menerima hukuman? Mengapa bukan si penyebab penderitaan?

Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombak-tombak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu terdengar olehnya titah Sang Adipati untu

menjaga keselamatan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya.

"Terkutuk!" sumpahnya. "Bedebah itu tak boleh aku punahkan."

Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus membatalkan pele- pasan dendam terhadap musuh-pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat menampung titah para dewa. Dan titah itu tak da- tang dan tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah mema- tah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban. Tetapi kemudian melengking suara Rama Cluring yang mengharapkan dirinya dapat me- manggil kebesaran dan kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan itu terpanggil tanpa restu seorang raja.

Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja Sayid Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan langkahku terhenti di tengah ja Ian; lihat, telah kuremas hati penghalang jalanan ini!

Kedua belah tangannya menggigil dan keringat kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan tangan telanjang menuju ke gedung utama.

Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang kuda dari kepatihan telah memanggilnya. Tugas penting telah memerlukan tenaganya....

Tidak lebih dari sebulan setelah kedatangannya dan Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara kapal-kapalnya datang ke sana, tetapi hanya mencari lada dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah ter- jadi diiku ti dengan perkelahian kecil di darat. Kemudian kapal-kapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil.

Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua minggu Portugis menduduki Sabang, kemudian pergi lagi ke Malaka.

Orang memberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, kemudian juga di perairan Jawa sendiri.

Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk memboikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam hati para raja Nusantara. Tetapi pemboikotan sesungguhnya bukan karena seruan itu. Para raja

Nusantara memang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di Malaka.

Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang populer.

Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja selebihnya ang- kuh dan tak sudi menggubris kepentingan bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka membutuhkan Malaka, dan Malaka tak membutuhkkan mereka.

Pemboikotan semu yang beijalan dengan sendirinya telah membikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan Malaka, dan ter- utama untuk menggagahi Selat, urat nadi kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani meramalkan: Kalau Peranggi belum juga melaku- kannya adalah karena masih disibuki oleh perkara-perkara lain.

Pada waktu itu Portugis memang sedang sibuk memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, mencerai-beraikan armada-armada dagang Tuban dan Blambangan, membunuhi dan membinasakan pedagang- pedagang pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini me- megang monopoli atas Maluku.

Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban merosot. Ban¬dar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.

Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya Tuban membantu Jepara dengan seju- jur had, mungkin Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli pemborong dan pedagang Tuban dan Gresik atau Blambangan. Maka bandar Tuban takkan selengang sekarang ini.

Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan jatuhnya pelayar¬an dan perdagangan bebas seluruh Nusantara. Nasi telah menjadi bubur.

Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten, Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke Pasai.

Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan hampir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban.

Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah perdagangannya dengan Tiongkok ber- jalan terus: kayu-kayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan da- rat.... Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada yang memperhati-

kan mereka dalam ketenangannya.

Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja. Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan, penganiayaan, pencuri- an dan pembunuhan. Kerusuhan merambat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman.

Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja galangan tak dapat lagi mengharapkan upah.

Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapal-kapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah ke- giatan dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman: ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan atas Malaka mereka mulai mengambil sikap membenci, memusuhi, dan menentang Sang Adipati Tuban.

Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang membenci kejayaan golongan Islam. Pertentangan-pertentangan lunak kadang terjadi. Lama- kelamaan yang lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar-golongan.

Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam juga yang bakal mengganti- kan agama lama. Pemeluk-pemeluknya punya kegesitan, punya keper¬cayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakar- sa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di antara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja mampu jadi penantang dan penggem- pur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi kelak?

Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. Seluruhnya! Tak pemah nenek-moyangnya bercerita tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewa-dewa itu tak pemah beranjak dari tempatnya, tapi si manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi penyembahnva yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan putra-putranya, dan siapa saja yang menyembah dewa baru ini.

Tetapi kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya akan mara- bahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi raja lautan itu menginjak- kan kaki di bumi Tuban, wajah Tuban sudah berubah, dari ramai menjadi lengang, kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi sepi.

Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian dari Malaka. Mereka ditampung dalam asrama di luar kota. Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rem¬pah dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan dan minum.

Dan pada suatu hari, seluruh asrama itu kosong. isinya hilang-lenyap tanpa bekas.

Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk melakukan penye- lidikan hanya bisa menduga, bahasa mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar Tuban.

Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu telah menggunakan kegelisahan umum untuk mencapai maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti kerugian. Telah ia perintah- kan agar bekas Syahbandar itu meninggalkan Tuban Kota dan ditempat- kannya di pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa. Nampaknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga mengajukan banyak per- mohonan. Telah diijinkannya untuk mendirikan perguruan untuk mengembangkan agama baru itu. Masih juga ia memohon tambahan desa.

Dalam dua tahun memegang lima desa itu telah menyebabkan desa- desa tersebut mendapat kemajuan luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan- aturan yang tak pernah dikenal selama itu, yang menyebabkan pen- duduk desa bekerja dua kali lipat daripada biasanya. Perumahan didi- rikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya menjadi patuh padanya.

Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi Tuban.

Dengan hati prihatin ia melihat, bah wa bekas punggawa itu mengibar- kan panji-panji Islam untuk memusuhinya. Ia tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orang-orang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mempelo- pori persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupati-bupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan keruntuhan kerajaan Buddha Tantraya- na itu. Ialah pula yang membenarkan putra-putranya masuk Islam dan berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandamya, telah mengambil sikap memusuhinya.

Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi... semua itu dirasainya sedangmenga- cuhkan ujung tombak tertuju pada dirinya.

Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan Rangga Iskak di desa Rajeg.

Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru pendamai terhadap pembang- kang baru ini. Tak seorang pun di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikir¬nya. Dan sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putra-putranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah sediakan alasan secukup- nya, mengapa gugusan Tuban terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul.

Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan Wiranggaleng ke Demak karena bagaimana pun putra-putra itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan Idayu juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa tan- dingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya. Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wiranggaleng untuk tidak meletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu, biar apa pun kata orang tentang dirinya.

Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu: perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirimkan balatentara. Setiap teijadi perang dalam negeri di Tuban akan memanggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang. Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan dipunggungi- nya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu, bahwa orang-orang Tiong- hoa yang mendapat perlindungan di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara suatu permulaan, tetapi kekalahannya di Malaka juga menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukuman itu sudah setimpal dengan kejahat- annya.

Tapi Sang Adipati tak pemah berani mengakui dirinya sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai kebencian terhadap perang - dan perang merugikan.

Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg'adi ini: Bulan sedang menerangi alam. Tengah malam.

Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia beijubah genggang. Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang berjalan seorang diri dalam kesepian.

Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar. Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi ini.

Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga. Antara se- bentar ia menengok ke segala jurusan. Kemudian ia berhenti.

Dan Wiranggaleng yang berjalan agak jauh di belakangnya melom- pat ke tepi jalan, berlindung di balik sebatang pohon asam.

Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. Hilang-timbul di balik puncak ombak, kemudian terayun naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat. Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok matanya, takut salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang pendarat itu daripada kulitnya, juga membedakannya dari kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana, sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal Portugis dengan layar-layar tergulung.

Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid Habibullah Al- masawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu kemudian turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut lagi, menuju ke kapal.

Wiranggaleng mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang itu tidak pemah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan mengapa pendarat-pendarat itu segera balik lagi? Ada apa- kah semua ini? Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka? Dan adakah Sayid nanti mempersembahkan peristiwa ini pada Sang Patih?

Sambil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap gumamnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut itu terlalu keras.

Setelah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia berjalan ce- pat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik ke atas.

Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur nyenyak. Suatu gelombang kemarahan menyebabkan ia memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun.

Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.

Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja Syahbandar.

Orang itu sedang duduk pada meja menu lis surat. Di hadapannya ter- buka selembar surat yang sebentar-sebentar dibacanya sebelum menerus- kan tulisannya. Tarbusnya tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia mengin- jakkan kaki di bumi Tuban.

Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang.

Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali ke pelabuh¬an dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga itu masih juga tergele¬tak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai mereka teijaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang- bayang kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga. Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka mulai bergerak- gerak, menggeliat, dan membukakan mata dengan malas.

Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak dengan mata belum sepenuhnya terbuka.

Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari adanya se- pasang kaki di hadapan mereka. Diangkat pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata Wiranggaleng yang tajam mengancam dan wajah- nya terbuka.

Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan memohon ampun.

"Keparat kalian!" sumpah Wiranggaleng berang dan menyorong kepala mereka dengan kakinya. "Apakah kalian kira karena tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai begini siang?"

"Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang di antara kami sedang ber- jaga. Ampun, Wira, ampun, ampun."

'Tak ada ampun lagi bagi kalian."

Mereka mencoba mencium kaki Wiranggaleng, tetapi Syahbandar- muda itu menendangnya dengan gerakan kaki lemah.

"Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur berbareng seperti ini?"

"Justru karena keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah hilang en- tah ke mana. Mungkin diculik perampok...."

"Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga keselamatan tuan Syahbandar. Hanya di sini..."

Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga memberikan.

"Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk penghabisan kali?"

"Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira...."

"Kemarin sore," desak Syahbandar-muda.

"Betul. Masih ada di sini, Wira."

" Apa diperbuatnya di sini?"

"Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira."

"Bangun kalian! Itu saja ceritanya?"

"Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira. Katanya hi- dungnya mancung dan kulitnya putih seperti bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?"

"Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian tanyakan padanya sendiri?"

"Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa dan Benggala perbegu. Tak ada bida¬dari bergigi hitam, katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh, hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang senang bergigi- hitam."

"Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan Ispanya."

"Diperintahkannya pada kami untuk membayang-bayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan Syahbandar, jangan sampai salah mem- bayangkan. Rambut mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya, kalau di- putamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang seperti cendawan, di- tadahkan mukanya pada langit bila dipuji kecantikannya... tak dapat orang melupakannya seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?"

"Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat."

"Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara celaka, pada suatu kali akan da¬tang kapal-kapal Ispanya ke Tuban membawa perawan-perawan tiada tandingan itu, lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas sana!.... Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal nampak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami."

"Mengapa tertawa?"

"Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh dengan perawan-perawan Ispanya yang can¬tik. Apakah kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil terus tertawa di belakang kami." "Apa kemudian?"

"Kami kira dia sedang mabok tuak. Setelah itu dia turun dan pergi entah ke mana."

"Kemudian kalian makan," Wiranggaleng mendakwa. 'Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya." "Kemudian kalian minum." "Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat." "Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?" "Tidak, Wira. Hanya minum." "Terlalu banyak tuak," Wiranggaleng mendakwa lagi. "Tidak, Wira, tak pern ah kami langgar larangan itu di sini. Kami hanya minum dari gendi, kemudian, entah bagaimana..."

"Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar." Melihat dua orang itu ragu- ragu, ia mendesak lagi, "ayoh, makan dulu sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih." "Ampun, Wira," mereka mencoba lagi untuk mencium kakinya. "Makan, kataku!" perintahnya Dan setelah mereka makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi, "minum segera sebelum kita berangkat, karena Sang Patih sedang di luar kota."

Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat seperti hendak bengkak. "Wira, ampun, Wira, ampun," mereka bergumam berat, kemudian menggelesot tidur di geladak.

Ia mencoba membangurvkan mereka. Takberhasil. Ia tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.

Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat bius itu sung- guh-sungguh cepat dan kuat bekeijanya. Ia menghela nafas dan mengu- cap syukur pada Hyang Widhi. Betapa jadinya kalau Idayu dulu kubunuh? Dia telah teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. Idayu! Idayu! Memang Syahbandar itu patut aku binasakan. Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. Hati-hati, kau!

Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar salib dari sebuah kapal Por¬tugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya, yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu membayang-bayangkan?

Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nye- nyak dalam tidumya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah. Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan menuju ke dermaga.

Ia berhenti memukul melihat Syahbandar meninjau ke atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, tapi kemudian berjalan terus.

Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi ramai. Wanita-wanita berlari-larian membawa barang dagangannya menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk mendapatkan tempat terbaik. Menyusul kemudian pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah dan sayur-mayur.

Waktu canang kadipaten telah menyambut, ia turun dan segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang pada tengkuk atasan- nya. Kalau tengkuk itu kucengkeram, dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan meronta untuk kemudian mati terkapar sekarang juga. Dia akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan: hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa Idayu kemudian pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya. Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang noda itu tetap tiada kan terhapus.

Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan persoalannya.

***

Untuk pertama kali Wiranggaleng ikut dalam iring-iringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat. Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembah-menyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup dan keringat nampak membasahi punggung mereka. Sebentar- sebentar mereka menyeka keringat leher dengan sepotong kain, kemu¬dian memasukkannya ke dalam saku baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain nampaknya tak mengindahkan orang selebihnya.

Beijalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang adalah dirinya.

Biasanya Syahbandar beijalan di kepala iring-iringan. Mungkin pera- turan sudah berubah tanpa diberitahukan padanya. Biasanya pula Syah¬bandar bertindak sebagai tuan rumah. Mengapa sekarang sebagai pengi- ring? Dan apakah yang mereka percakapkan semalam dengan Syahban¬dar? Apa pula isi surat itu?

Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi. Kalau tidak mengapa kapal berlabuh setelah semalam mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis hubungan ini?

Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala makara gapura telah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya telah berganti dengan balok- balok kayu tiada berukir. Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya. Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain. Mungkinkah karena kebenciannya pada Sang Adipati ia menyediakan diri jadi perin¬tis hubungan mereka?

Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.

Di penghadapan hanya Wiranggaleng duduk di kejauhan.

Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo. Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan sekali ini nampak kehilangan wibawa.

Syahbandar-muda merasa tersinggung oleh sikap tamu-tamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa sesuatu persembahan.

Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk pertama kali Peranggi menda- rat di Tuban, maka mereka belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adat-kebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk pendatang- pendatang baru itu.

Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu Wiranggaleng tak dapat melihat perubahan-perubahan pada wajah gustinya. . Terdengar olehnya orang-orang Portugis mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: "Bu¬kan maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang menuju ke Pasuruan atau Panarukan, tetapi sesat di jalan. Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat perlindungan di bandar Gusti Adipati. Berhubung salah jalan ini, Gusti, menyebabkan perhitungan kami juga salah. Tentang ini akan kami persembahkan nanti....

"Gusti Adipati Tuban, kami datang ke man, ke Pasuruan atau Panaru¬kan, atau bandar-bandar lain di Jawa, bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini telah mengenal Peranggi, karena dunia ada di ta¬ngan kami. Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan lain...."

"Terjemahkan yang betul!" tegur Sang Adipati gusar.

"Memang tidak sedap untuk didengar, Gusti," tambah Sang Patih "juga berlebih-lebihan panjangnya."

"Patik telah terjemahkan dengan betul, Gusti."

Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar meneruskan: "Kami datang dan membutuhkan beras, sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang akan kami bayarkan. Mas Peranggi."

"Tuan Syahbandar," tegur Sang Patih, "bukankah untuk urusan ka¬pal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar? Bagaimana soal begini dipersembahkan pada Gusti Adipati Tuban?"

Sekilas Wiranggaleng dapat melihat wajah Sang Adipati dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam karena tersinggung. Sebentar saja:

Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.

Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam kesenyapan itu ter- dengar pengiring Lamaya bicara pelan pada atasannya. Sebuah percakap- an terjadi antara mereka. Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih: "Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?"

"Biarlah mereka meneruskan bicaranya, Gusti. Memang mereka be¬lum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya," sembah Sang Patih.

"Ampun, Gusti Adipati Tuban," Syahbandar meneruskan. "Adapun pekerjaan patik memang mengurusi semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar."

"Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi kebutuhannya."

Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang Portugis kembali ke pelabuhan.

»»»

Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya menginap di gan- dok kanan kesyahbandaran. Wiranggaleng ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani.

Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan orang-orang pe- rempuan berlarian meninggalkan pasar bandar sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan. Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan mereka.

"Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang Peranggi itu!"

Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan awak kapal Portugis. Bebera- pa orang Portugis lagi sedang memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.

"Wira! Syahbandar-muda!" dua orang berlarian menghampiri. "Mereka merampas, mengamuk dan melukai."

Dalam Melayu Wiranggaleng berseru-seru: "Peranggi, hentikan!"

Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam kepungan beberapa belas orang Portugis.

"Syahbandar-muda bicara di bandamya/' ia berseru dengan nada memperingatkan. "Hentikan perbuatan kalian. Kembalikan barang- barang yang kalian rampas!"

Orang-orang Portugis itu mengejek dan mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka memperlihatkan sikap hendak menyerang.

"Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda, Wiranggaleng, sudah bicara. Kembali! Kembali!" Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya per- bukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking. Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang lagi tertangkap oleh tangan- besinya, ia pelintir, meraung seperti macan terkena tombak. Ia melom- pat sambil memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orang- orang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu berjalan hanya beberapa detik. Kemudian ia sempat menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan, kemudian ia angkat tinggi, dibantingkan- nya di atas teman-temannya sendiri.

Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya. Beberapa kali kepalanya mengge- leng karena terkena tetakan dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang dapat ditangkapnya.

Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan orang itu dita- riknya dan dihantamkan lututnya pada kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling untuk membubarkan kepungan.

Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. Kawan-kawannya merubungnya.

"Kembali! Kembali ke kapal!" raung Wiranggaleng. Tangannya menu- ding pada kapal Portugis yang sedang berlabuh.

Mereka mengangkat temannya yang tak ban gun lagi itu. Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambat-lambat mulai lenyap dibawa angin lalu.

Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan te- man-temannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah bumi ini bumi Tuban dan bukan bumi Peranggi? Belum lagi mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak tertahankan. Betapa akan jadinya kalau... kalau.... Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan kerisnya pada tubuh orang terbenci itu?

Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: Syahbandar-mudalah orang pertama-tama yang telah mencederai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak lain dari Wiranggaleng! Dan di Tubanlah mereka dicederai! Di Tuban!

Lain lagi yang teijadi di kesyahbandaran. Pembesar-pembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar. Salah seorang di antaranya ingin mencoba | tuak.

Dan pergilah Syahbandar-muda ke waning Yakub, yang sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan hendak mendengarkan berita yang lebih baru.

Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. Pertanyaan jatuh ber- tubi-tubi. Dan ia menerangkan segala sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan: "Kau benar, Wira, kau benar."

Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, berdiri dan meng- hampiri. Berkata: "Kalau orang berpikir semua akan jadi baik lagi seperti dulu karena berbaik dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru. Ke- terlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni. Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, rupa-rupanya semua akan jadi beres."

Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: "Bukan adat Perang¬gi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia baru manda, bukan Wira?"

"Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu warung," tegur Wiranggaleng.

"Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak ada pekeijaan." "Memang Gusti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar. Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi akan sudah lemah sampai kemari," nakhoda pertama itu meneruskan. Suaranya berkobar- kobar."

"Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali bebas seperti dulu, Wira. Sayang Gusti Kanjeng Adipati Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah, Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali Gusti Adipati Tuban, barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu tin- dakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani bertaruh, pem- bikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak oleh Gusti Adipati." 'Tapi had ini kau yang menang, Wira."

"Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah binasakan mere¬ka, Wira," nakhoda itu berkata lagi." Lihat, mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira. Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan."

"Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari orang-orang Islam," seseorang menambahi dengan gemas. "Kalau tidak, celakalah kita semua."

"Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan, tenggelam dalam kebosanan," na¬khoda itu meneruskan.

"Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak baik terhadap kita," seorang nakhoda Pribumi bukan Islam menengahi. "Apakah bu¬kan orang Islam yang merampas Jepara? Apakah bukan orang Islam yang sekarang membikin gaduh di pedalaman?"

Wiranggaleng tahu, kalau percakapan ini diteruskan, orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang Peranggi datang membawa aga- ma lain pula dan dengan perangainya sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak lebih baik. Patragading dan Pada telah dijatuhi hukuman mad tanpa jelas perkaranya.

"Hancurkan kapal Peranggi itu," tiba-tiba seseorang membakar-bakar gemas.

"Husy," tegah Syahbandar-muda. "Itu melanggar amanagappa. Bagai¬mana jadinya kalau kapalmu sendiri dihancurkan di bandar asing? Di- hancurkan tanpa sebab perang seperti tingkah Peranggi? Kalian sendiri tak suka. Dan di Tuban tidak ada perang." "Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut digulung." "Lebih dari patut."

"Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang." "Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya pura-pura tidak tahu."

pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang angkat bicara.

"Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub?"

Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya sendiri ke ju- rusan kesyahbandaran.

Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran. Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keri- butan. Juga para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju ke sana.

Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang Portugis sedang memukuli dua orang yang terbelenggu tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu: "Ayoh, tambahi dengan lima babi!"

Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang dianiaya itu orang- orang Muslimin.

Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orang-orang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.

Darah Wiranggaleng tersirap. Ia tegah mereka. Dan justru karenanya pentung mereka berpindah sasaran padanya.

"Lima babi!" Portugis yang lain ikut berteriak menuntut.

Sebentar terdengar pikulan Syahbandar-muda menangkisi pukulan. Kemudian menggeletar pekikannya: "Ini yang kau pinta!" pikulannya berputar menghantam tengkuk salah seorang Portugis yang paling jang- kung. Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia melom- pat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka tergeletak berkaparan.

"Biar kami habisi!" teriak pelaut-pelaut yang pada berdatangan.

"Jangan," tegahnya dan kepada dua orang teraniaya, "mengapa kalian dipukuli?"

"Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit. Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi."

"Kalian berdua pedagangnya?"

"Benar, Wira."

"Dan memang kurus sapi-sapi kalian?"

"Bukan kurus, Wira, hanya kurus-ke ring dan ceking, cacingan ham- pir mati."

"Dasar rakus!" Syahbandar-muda meludah ke tanah.

liga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus dirawat di warung Yakub.

Wiranggaleng kembali ke syahbandaran.

***

Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan tugasnya.

Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh upahan: Yakub dan nnak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih sendiri untuk dapat memperhati- Ican Tholib Sungkar Az-Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesem- patan ini baru ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri, hilang sikap besar yang selama ini selalu dipertunjukkannya. Ia tak ba¬nyak bicara dan lebih banyak mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka mulut.

Hampir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan: ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka dengan Syah¬bandar. Tetapi ia belum berani meneruskan.

Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula Idayu dari dapur. Dan Gelar telah tertidur di punggungnya.

"Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini," juara gulat itu mengadu pada istrinya. "Orang Peranggi pertama-tama, biasa dimanja- kan di mana-mana. Di sini pun mereka menganggap kita sudah takluk- annya. Kurang-ajar!"

Idayu tak menanggapi. Ia pindahkan Gelar dari punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata: "Sudah malam, Kang."

"Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan berkeruyuk," ia duduk dan mencoba berpikir tanpa ban tuan pendapat orang lain ten- tang kedatangan Portugis yang mencurigakan itu.

idayu telah tertidur di samping Gelar.

Tak mungkin kapal ini singgah karena tersasar. Sebelum berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk menyerang, karena hanya dengan satu kapal. Lagi pula Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-Maluku. Benarkah tu- juan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan Islam itu? Tetapi dari perbekalan yang dibu- tuhkannya, jelas bukan jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa? Dan untuk apa pula singgah di Tuban? Ada apa di Panarukan dan Pasuruan sana?

Ia berpikir dan berpikir.

Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari gendi dan duduk lagi pada tepian ambin.

Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari kejauhan. Mereka mencari-cari be- rita ten tang kegiatan Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila mereka sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan Malaka telah jadi miliknya.

Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang pada mereka di Malaka. San Adipati hams mengerti. Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah. Orang- orang Islam semakin memperlihatkan permusuhan terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepat-cepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin merana, mungkin sampai mati.

Gelar terbangun menangis minta minum. 13. Meningkatnya Kerincuhan

Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan. Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnva berirama. Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti menari di atas jalan- an batu, dari kejauhan nampak seperti serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk Wiranggaleng mengenakan seluar panjang dari kaliko. Bagian atas se- luar tertutup dengan kain batik yang dipasang miring dan bersibak pada belahan tengahnya.

Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.

Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit. Selu¬ruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari Sang Adipati untuk seorang pe- jabat dari desa. Dan bentuk bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata dari ikan perak itu.

Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut kulit di dalam- nya sebagai tanda punggawa menengah.

Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan tombak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang masing-masing.

Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda membalas

hormat orang lalulalang dengan sembah dada.

"Tuan Syahbandar-muda!" seseorang memanggilnya dalam Melayu. "Berhenti dulu, Wira."

Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan berbuah baju kain pula.

Wiranggaleng turun dari kudanya. Sudah beberapa kali ia melihat orang ini, tetapi tak pernah tahu nama dan tak tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya menunggu orang ilu meneruskan kata- katanya.

Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya sendiri, tersenyum ramah. Juga matanya yang sipit ikut tersenyum.

"Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan Syahbandar-muda," katanya sambil menyerahkan. "Kalau Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub...."

Wiranggaleng memperhatikan orang yang fasih Melayu itu dan sekali- gus menduga, orang itu seorang pedagang yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah berpengalaman di bandar-bandar Nusantara.

"Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan."

Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata pimggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan matanya. Dengan tangannya ia memberi isyarat mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta perhatian khusus.

Syahbandar-muda menyapukan pandang pada kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya.

"Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu."

"Dari siapa?" tanya Wiranggaleng.

"Dari Mohammad Firman."

"Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu."

"Sahaya hanya sekedar menyampaikan."

"Islam baru atau lama?"

"Tak ada Islam lama, Wira, semua baru."

"Di mana tinggalnya?"

"Tidak menentu, Tuan Syahbandar-muda. Dia seorang musyafir Demak, mengembara ke mana-mana."

"Apa itu musyafir Demak?"

"Semacam pekerjaan, Wira."

Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya - seorang Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: "Di mana kau bertemu dengannya?"

"Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya, sebelum dia masuk Islam," dan ia tetap tak memperlihatkan tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.

"Apakah balasan diharapkan dengan segera?"

"Tidak, Wira, tidak." Kemudian ia berkata dengan nada lain, "Maaf- kan, tidak sahaya antarkan surat ini ke kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana."

"Ya," dan Wiranggaleng mulai membacanya.

Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, memper- hatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada wajah Wiranggaleng dan memajukan binatang mereka beberapa langkah serta menyiapkan tombak.

Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu - sama dengan yang pemah diperlihatkan padanya oleh Sang Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir kesayangan.

Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya, dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan.

"Pengirim ini bernama Mohammad Firman?"

"Benar, Wira."

"Sebelum masuk Islam apakah namanya? Bukankah Pada?"

"Benar, Tuan Syahbandar-muda."

Berdua mereka berjalan ke warung Yakub. Wiranggaleng sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh perahu-perahu nelayan. Dan bila pan- dang mata orang telah melewati deretan perahu-perahu kedl itu, laut pun terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit

Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan arak juara gulat itu mulai membaca lagi: "Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda Tuban, Wiranggaleng. Ketahuilah, Kang Galeng, kakangku sendiri, dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin had datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu Idayu. Bagai- mana mungkin? Tuban telah membunuh aku dan melemparkan aku ke laut. Tuban itu juga yang tetap menginginkan nyawaku, sekiranya dike- tahui aku masih hidup. Pasti engkau mengerti, Kang Galeng, kakangku sendiri, betapa besar harapanku diperkenankan menggendong dan me-

momong kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria...."

Wiranggaleng berhenti membaca. Ia merasa seakan disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya, kemalangan suami-ist ri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga tersenyum dengan bibir dan matanya.

Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan membenarkan bacaan- nya. Dan perbuatan itu menghilangkan kecurigaan Galeng. Ia menerus- kan bacaannya: "Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun adik ini senakal setannya Tuhan Allah, Kang, dan biarpun kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap kakangnya yang harus dibalas budinya.

Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan. Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan Tuban. Bicaralah sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama denganku, dan tiadalah kau bakal menye- sali aku lagi."

Sementara itu orang Tionghoa itu telah mengatur cawan-cawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan sebuah cawan sambil berbisik: "Sahaya bersedia membantu Tuan Syahbandar-muda," ia masih juga tersenyum. "Liem Mo Han nama sahaya," suaranya jelas walau- pun warung itu ramai dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum.

Yakub memperhatikan keduanya dengan selintas.

Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo Han mengajak- nya minum, untuk kemudian keluar dengannya berjalan-jalan disepan- jang dermaga. Senyumnya yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian kalinya memaksa ia menerima ajakannya.

Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang mata semua yang tertinggal.

Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga berjalan.

"Memang sahaya sedia membantu," Liem Mo Han mengulangi kata- katanya dalam surat itu, sekarang dalam Jawa halus. "Mohammad Firman telah membicarakan kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali. Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan, Wira."

Wiranggaleng masih jua belum mengerti maksudnya dan diam men- dtngarkan.

"Mohammad Finnan dan sahaya tahu, ada satu kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa Peranggi. Kalau hanya Syahban-

dar Tuban Sayid Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang vang dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu, Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orang-orang Peranggi."

"Babah dan Pada sungguh tidak keliru."

"Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan untuk Wira."

"Sayang, sekiranya Babah datang lebih dulu," Syahbandar-muda itu berkecap-kecap menyesali.

"Sahaya datang setelah dapat mengalahkan keragu-raguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya bacakan?"

"Nanti pada waktunya, Babah."

"Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak tahu. Baru setelah kapal Peranggi itu berangkat, nampak mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah pelabuhan.

"Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman."

"Benar, Tuan Syahbandar-muda. Tetapi Peranggi adalah Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya."

"Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di Jepara?"

'Tidak keliru, Wira, itulah mereka."

"Mata-mata."

"Sahaya belum dapat memastikan. Nampaknya memang demikian."

"Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara. Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?"

"Lama sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan, mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi? Penembak meriam!"

"Penembak meriam!"

"Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah perlindungan Tuan Sayid sendiri? Hampir-hampir satu atap dengan Wira?"

"Ha?" seru Wiranggaleng, ia mencoba menembusi mata Liem Mo Han untuk dapat membaca pedalamannya.

"Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firman?" Wiranggaleng mengangguk membenarkan. "Mohammad Firman adalah anak-pungut sa-haya. Patutkah sahaya mengatakan yang tidak benar pada Tuan?"

Wiranggaleng meletakkan kedua belah tangannya yang kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya.

"Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi itu. Syahbandar Tuban pun tidak," kata Sang Patih. "Tak ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan? Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi? Awas- awaslah selalu, tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang me- nyalahi ketentuan."

"Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, Gusti."

"Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu, bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu, tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama soalnya Semarang, persangkutannya selamanya De- mak. Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah memboros- kan hampir seluruh tenaganya di Malaka."

"Mereka tinggal di kesyahbandaran, Gusti," Wiranggaleng memo- tong.

"Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya."

"Mereka pelarian dari kapal Peranggi, Gusti, penembak-penembak meriam."

"Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak meriam pula, Gusti Adipati tentu akan menaruh perhatian. Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku belum. Meriam, Wira! Setelah kekalahan Pati Unus di Malaka, semua tahu: meriam saja kunci keme- nangan. Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu mereka bisa membikin untuk Tuban? Biarkan mereka tinggal di kesyahbandaran. Pergi!"

Setelah menerima Sang Patih dan setelah bercengkerama di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban masuk ke dalam harem.

Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada pengurus baru ia berbisik memperingatkan: "Jangan sampai terulang lagi peristi- wa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan kau ulangi perbuatan Nyi Gede Kati. Hukuman yang akan dijatuhkan kemudian akan lebih berat."

Ia diam mendengar-dengarkan.

Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa orang selir se- dang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik yang terkunci dari dalam.

"Siapa itu?" bisiknya bertanya.

"Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari kawula Gusti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami."

"Nyi Gede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu sebelum waktunya?"

"Tidak, Gusti, patik tidak tahu mengapa sekarang begitu."

Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di tanah dan pe- lan-pelan mendekati pintu untuk mendengarkan.

"... siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa punah. Panen kita bisa musnah," penguasa Tuban itu mendengar.

"Apa belum juga ada yang mempersembahkan?" suara yang lain.

"Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana," suara yang ketiga.

"Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke Tuban. Bagaimana desamu?"

"Belum sampai ke perbatasan desa kami," jawab yang ke empat.

"Tapi siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga ke sana sekarang?"

"Kalau Gusti Adipati belum menggerakkan balatentara, tentu belum ada yang mempersembahkan," suara pertama menyimpulkan.

Sang Adipati kembali mendekati Nyi Gede Daludarmi yang masih juga bersimpuh di tanah.

"Berapa umurmu, Daludarmi?" bisiknya bertanya.

"Tiga puluh lima, Gusti, menurut perhitungan surya."

"Apakah kau Islam?"

"Patik, Gusti."

"Mengapa menurut perhitungan bulan?"

"Patik tak tahu menghitungnya, Gusti."

"Gila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi! Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga jadi selir?"

"Semua Gusti Adipati sesembahan patik yang menentukan, Gusti."

"Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi," bisik Sang Adipati. "Dan kau belum pernah beranak." Sang Adipati mulai merabai tubuh pengurus harem itu. "Kau masih lebih kukuh dari si Kati." Ia sejenak tak bicara. Kemudian, "Coba, mana mukamu?" dan ia pandangi wanita itu dalam kegelapan malam.

Ia tak teruskan dengan membikin cinta.

"Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?"

"Ampun, Gusti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat. Patik pohonkan ampun untuknya, Gusti, wanita semuda itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas."

Sang Adipati berdiri termangu-mangu- Ditariknya Daludarmi berdi- ri dan diciumnya pada pipinya, kemudian ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsu menuju ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke dalam.

Dua jam kemudian ia keluar lagi dan menuju ke bilik ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, tetapi tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab.

Nyi Gede Daludarmi berjalan menghampiri Sang Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, kemudian memanggil-manggil pelan pada pintu: "Nyi Ayu, Nyi Ayu Sekar Pinjung! Nyi Ayu!"

"Nyi Gedekah itu?" terdengar suara sayu menjawab dari dalam.

"Nyi?"

"Bukalah pintu, rang manis," kata Daludarmi lemah.

Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan Sang Adipati masuk ke dalam.

Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, tersedan-sedan tan- pa bisa bicara. Pintu ditutup oleh Daludarmi dari luar.

Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang bergolak di dalam hatinya.

Setelah mendengar pembicaraan para selir dari balik pintu, ia menger- ti, ada kepala-kepala desa yang tak berani mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya, maka dipergunakan selir-selir. Mereka se- lalu mendapat kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus. Memang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri.

Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala.

Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman.

Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu berdasar- kan suapan. Benar atau palsukah persembahannya? Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. Kepala desanya telah mempersembahkan upeti dua kali lipat. Hampir selama dua tahun ini! Tetapi ia masih juga belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar Pinjung-

Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang mencium ka- kinya. Kemudian tangan gading itu memeluk kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan ter- hadap Peranggi. Ditambah lagi dengan pengetahuan, Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan makan dan minum, hanya ku- litnya saja putih dan bahasa dan adatnya lain.

Hukuman itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak mencabut kembali kata-ka- tanya.

Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu kulitnya yang tiada tertu- tup- Dingin hati Sang Adipati lebih membekukan.

Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil karena sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa membikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur menga- jarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang hasutan dan fit- nah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. Betul. Tempat raja-raja tumbang karena gosokan. Betul. Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. Be- nar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya memperingat- kan. Dan aku sudah berbuat kurang adil terhadapnya. Bukankah keadil- an semestinya mampu mencabut kata-kata satria yang keliru?

Sebelum Sang Adipati dapat memutuskan pergolakan di dalam dirinya telah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan dan berbisik: "Telah dicabut hukuman bagimu, Sekar Pinjung. Berdiri!"

Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya luruh ke lan- tai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau. Kepalanya masih juga terangguk- angguk kecil karena sedu-sedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepa- tah pun.

Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan dia pada dirinya, kemudian dipangkunya.

Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis terampuni. Dan lu- luhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi.

"Daludarmi!" panggil Sang Adipati dari dalam bilik.

Wanita pengurus harem itu masuk ke dalam, membawa nampan berisi cawan-ca wan tembikar. Pandangnya tertuju pada lantai, untuk tidak mo- lihat pemandangan di hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sanj; Adipati.

Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan meminumnya habis

Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar.

"Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan itu di meja."

Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan dalam tubuh pa- sukan kuda. Puluhan prajurit telah meninggalkan Tuban Kota nu nuiu ke berbagai jurusan negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh teijadi selama ini.

Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum.

Beberapa hari setelah keberangkatan kesatuan-kesatuan kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk bersila di atas lantai.

Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: "Betapa sangat menye- sal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada mempersembahkan sesuatu yang sedang teijadi di desa-desa kalian. Ketahuilah, Gusti Adipati Tuban sangat murka mendengar adanya huru-hara tidak dari persem- bahan kalian. Gusti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab sekarang juga. Be- nar-tidak?"

"Ampun, Gusti Patih," seorang kuwu mengangkat sembah. "Adanya huru-hara itu memang betul, karena terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum juga mempersembahkan adalah karena patik masih berusaha, belum lagi putus-asa."

"Pernahkah kalian menang terhadap mereka?" "Ampun, Gusti, belum pernah, tapi kalah pun belum." "Jangan persembahkan teka-teki."

"Begitulah adanya, Gusti, kalau mereka datang, pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari." "Apa kalian sedang main petak?"

Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap menunduk.

"Mengapa membisu? Hilangkah sudah lidah kalian?" "Ampun, Gusti, di tempat patik agak lain keadaannya. Telah patik persembahkan ini ke hadapan Gusti Patih, bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan satu kali pun tidak pernah menjebak." "Apa maksudmu dengan jebak-menjebak?" "Maksud patik, Gusti, rajakaya desa hilang kalau tidak dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga." "Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu." "Ampun, Gusti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu."

"Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti." "Ampun, patik pun tidak mengerti, Gusti. Hei, kepala desa, bersembah kau yang benar dan patut."

"Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di dalam desamu aendiri?"

"Kira-kira begitu, Gusti, tetapi patik tidak berani mempersembahkan dengan pasti."

"Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri persembahan bavvahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini! Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya," Sang Patih menebarkan pandang ke seluruh peng- hadap. Meneruskan, "Kami beri waktu untuk kalian satu bulan penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian sendiri bagaimana Diendatangkan bantuan pagardesa dari desa-desa lain yang am an. Kalau gagal, tahu kalian akibatnya?"

"Tahu, Gusti."

"Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambil-alih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?"

"Mengerti, Gusti."

"Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desa-desa yang didatangi bala- tentaranya. Cukup sebulan itu?"

"Lebih dari cukup, Gusti," mereka menjawab berbareng.

Kemudian Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa Gusti Adipati Tuban menjabat Syah- bandar Tuban Kota. Nama sebutannya adalah Rangga Iskak. Nama kela- hirannya adalah Iskak Indrajit.

Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama raksasa dalam Ramayana itu, nama yang tidak populer bagi negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan ketegangan lenyap.

Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari kakeknya Rangga Iskak mera- sa dirinya orang Benggala, maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayah- nya, yang berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. Tetapi bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu, dan dari ibu- nya ia mendapat nama Indrajit.

Sekali lagi penghadap gelak tertawa.

Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Rupa-rupanva ia telah mendapat firasat, anak yang dikandungnya nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang agak mencolok.

"Tetapi keadaan sudah berubah," Sang Patih meneruskan. "Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat dipertahankan. la harus di- ganti. Tetapi ia tidak rela diganti, ia merasa bandar Tuban adalah mi- Hknya pribadi. Segala apa pun yang dikaruniakan Gusti Adipati dung gapnya kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergvgi tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa jadi seorang bupati Tetapi tidak, dengan desa itu ia semakin bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk melawan....

Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah mena- makan diri Ki Aji dan mendapatkan, banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, seakan- akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. Ajaran leluhur mulai di- lupakan, sedangkan ajaran baru belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di seluruh pulau Jawa."

Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan gemas: "Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit, berdarah bupati pun dia tidak. Malah- an orang Jawa dia pun tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetul- an pandai berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu banyak. Hanya dia puny a satu kebodohan, satu saja: dia tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan: tumpaslah dia sebelum menja- di-jadi. Jangan ragu-ragu. Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, karena dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para dewa. Nah, pergi kalian."

Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara Tuban akan bergerak dalam sebulan men- datang.

Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan itu. Pertukar- an barang dengan pedalaman merosot sejadi-jadinya. Pasar Kota semakin sunyL Orang-orang kota banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antar- pulau, beku.

Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan pembersihan, hampir tak ada peketjaan lagi....

***

Wiranggaleng tak pernah lagi kelihatan seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru: menjaga keamanan bandar Kota dan Glondong.

Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin banyak, dan peraahabatannya lebih-lebih lagi.

Hubungannya dengan Liem Mo Han membawanya pada suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan, Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya, bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran. Dan setelah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu berangkat. Mereka tinggal di Blambangan.

Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri Tuban dan dengan persekutuan itu akan mengancam Tuban dari laut dan darat.

"Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi. Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan pe- nyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan dari musuh se- luruh dunia itu."

Lama ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han. Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua- duanya menari karena adanya Portugis.

"Ya, Peranggi tetap pokok," ia memutuskan.

Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui: Tuban be- rada di antara Hindu dan Islam, tidak punya sikap yang pasti terhadap Peranggi.

"Tuban harus menentang Peranggi, tanpa menjadi Islam, juga tidak karena Hindu."

Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih. Namun kata- kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam memahami dunia yang sedang berubah.

Tetapi sahabatnya itu tak pernah bicara tentang Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang perdagangannya, tidak tentang musuh- musuhnya, bahkan tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah membuka mulut. Dan Wiranggaleng merasa tak ada kebutuhan untuk mengetahui.

Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu menolak. Dan dalihnya terakhir adalah: "Hanya kerajaan yang sudah sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah sahaya membantu dari jauh saja, Wira."

Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewa-dewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap melawan. Ia merasa tersinggung karena Liem Mo Han mengang- gap Tuban setengah Islam. Seperempat pun belum! Tapi aku akan melawan Peranggi. Hanya kesempatan saja belum aku peroleh.

Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. Ia selalu bicara tentang praja.

Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan pengetahuannya. Dan da- tangnya pengetahuan itu tidak binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari Rama during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi sesuatu, dan masuklah dalam hatinya.

Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak.

Pagi waktu itu.

Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari memeriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda telah terdengar: "Wira! Wira!" Tholib Sungkar Az-Zubaid memanggilnya.

Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang dibencinya. Se- baliknya yang terbenci nampaknya merasa juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi permainan hindar-menghinda r ini.

Ia naik ke gedung utama dan didapatinya Syahbandar sedang minum kopi di kamar-kerjanya.

"Selamat untukmu, Wira," ia berdiri. Wajahnya berseri-seri dan nam- pak seakan bongkoknya sudah hilang sama sekali.

"Tuan Syahbandar, inilah sahaya," jawab Wiranggaleng.

Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari punggung orang Moro itu - telah sering ia perhatikan - pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.

"Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?" tanyanya dan menyilakan duduk. "Nah, semestinya kau tahu di mana desa Rajeg"

Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji Benggala.

"Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?"

"Apa yang mereka percakapkan?" mata Tholib kelap-kelip menyelidik.

Dan waktu nampak olehnya Wiranggaleng tersenyum mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan kata-katanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam: "Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak memberontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima semua titah Gusti Adipati." Nada suaranya meningkat lagi, "Begini, Wira,

kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg. Aku mengetahui dari Gusti Patih. Wira, baru saja ketahuan ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingat- nya lagi. Dan itu bisa membikin bahaya terhadap bandar. Barang itu harus di kembalikan pada Syahbandar."

"Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar," Wiranggaleng menyembunyikan keheranannya.

"Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, hanya tak ada tulisan Arab tambahan di dalamnya."

Wiranggaleng sibuk menerka maksud orang Moro ini, tetapi belum dapat.

"Kau tak perhatikan aku, Wira."

"Teruskan Tuan Syahbandar."

"Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani, pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu selesaikan pekerjaan ini."

Terbayang oleh Syahbandar-muda itu akan adanya hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi.

Aku harus buktikan! Aku harus dapat m.nyampaikan ini pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati, tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepa- tutnya dienyahkan dari bumi Tuban.

Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya Liem Mo Han dan berpesan agar membuang waktu untuk terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak resmi dari praja itu.

Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenar-benamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak sesung- guhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diper- buat dan direncanakan oleh perusuh.

"Kerjakan tugasmu dengan baik," pesan Sang Patih. "Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak. Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota, pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagang-pedagang Islam yang kecil-mengecil masuk kc pedalaman "

"Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, Gusti."

"Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang bisa lakukan tugas ini," katanya lagi seakan mengulangi Sayid Habibullah. "Kau tahu apa artinya semua ini."

"Belum, Gusti."

"Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari lua'r dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, Gustimu, kebesaran Tuban. rusak?"

"Dewa Batara! Sama sekali tidak, Gusti."

"Berangkatlah dengan sejahtera."

Dan ia pun berangkat.

la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh eerdik, pikirnya. Dipilihnva aku untuk melakukan pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih. Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa lain, karena dia pun punya kepentingan dengan kematianku pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki Aji Benggala jelas akan membunuh aku.

Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu Idayu. Bukankah Nyi Gede Kati sendiri tak segan-segan membicarakan ini dengan istri- nya, dan istrinya dengannya?

Liem Mo Han pernah memperingatkan: Tuan Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam. Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa, sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah pengkhianatMala- ka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia ber- tingkah sebagai raja muda.

"Sebaliknya, Wira," ia meneruskan, "Wira dan istri merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada satu kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai dan dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membikin orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira mengerti perbandingan ini."

Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar Tuban menghalau- nya dengan meminjam tangan Rangga Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, kemudian ia akan menghadap Sang Adipati dan memo- hon agar Idayu dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan me- miliki apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui Idayu sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat mempengaruhi Sang Adipati.

Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin terhadap Gelar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah ada seorang yang acuh-tak- acuh terhadap anak sendiri? Ah, mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi, memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran? Kasihan kau, Gelar. Seperti seekor anak burung... ia teringat pada kata-kata Rama Cluring tentang burung-burung.

Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai petani mema- suki pedalaman.

Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar ketakutan dan ke- gelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada mereka dijawab seperlunya tan- pa keramahan dan tiada di antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan menginap.

Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.

Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu juga. Nampak- nya tiang bambu dan atap ilalang itu belum juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pemah menginap di situ bersama tiga orang temannya untuk dapat mendengarkan seorang guru-pembicara dari seberang, yang mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengar-pendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: guru itu membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya bahasanya juga aneh.

Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di kejauhan di- lihatnya em pat orang temannya berjalan aman mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersa rong putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh para prajurit - tombak-tombak berburu.

Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik. Yang termuda sekira dua belas tahun.

Wiranggaleng melirik untuk dapat melihat rambut mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul

Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba putih - seperti bangau.

"Hei, kau!" tegur yang tertua, "tidak berbaju tidak berkopiah, biadab! Be rambut panjang seperti kuda betina! Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke neraka."

"Betapa galak," pikir Wiranggaleng. sebelum kena tegur lagi ia ber- kata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada bibir: "Ampun, Bapa, tersasar."

"Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!" "Galeng, Bapa."

Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wiranggaleng tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga menghias.

"Galeng? Siapa tidak kenal Galeng? Biar pun kau juara gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!"

"Apa yang dimata-matai, Bapa? Nanti dulu, siapa yang aku hadapi ini?"

"Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. Siapa hendak kau mata-matai?"

"Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji Benggala. Lain tidak."

"Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal Adipati Tuban." "Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak memusuhinya?" "Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap Jepara? Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten? Malaka tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!"

Mengertilah Wiranggaleng, benar Ki Aji Benggala telah menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: "Benar, Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu- Aku mencari-cari Ki Aji Benggala - tak tahu tempatnya, - membawa surat untuk beliau - surat berbasa dan bertulisan Arab."

"Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab - munafik itu."

"Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu bukan dari Gusti Adipati - dari Tuan Syahbandar Tuban, dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen."

"Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi dari Syahbandar keparat itu."

"Mengapa keparat, Bapa?"

"Mengapa? Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau bertanya mengapa? Coba, bukankah dia juga yang mengaku Arab tulen dan ketu- runan Nabi besar sekaligus?" ia meludah ke tanah. "Dia hanya budak kafir Peranggi. Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari budak kafir Peranggi? Kau, si rambut panjang?"

Wiranggaleng berusaha terus bicara dengan harapan pengawal- pengawalnya akan tiba pada waktunya. sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya sendiri.

"Budak dari budak kafir Peranggi," ia bergumam.

"Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa salahkan orang yang tidak tahu?"

Setelah tertawa melecehkan orang itu mengejek: "Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak, apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa tempat yang dijanjikan."

"Aku semakin tidak mengerti, Bapa."

"Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani, sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa tempat yang dijanjikan."

"Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?"

"Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu yang patut kau dengar sebelum mati."

Dan Wiranggaleng harus bicara terus.

"Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak tahukah, Bapa, rangdesa Galeng ini pernah menyerang Peranggi di Malaka?

"Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu."

"Maka aku yang mengatakan."

"Karenanya makin jelas kebohonganmu."

Wiranggaleng kini dapat menjajagi betapa pengaruh Rangga Iskak telah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati.

"Bagaimana, Paman?" salah seorang di antara tiga bocah itu bettarn a di belakangnya. "Masih juga dia dibiarkan begini?"

"Nanti dulu, jangan keliru," tegah juara gulat itu sambil menenRok sekilas ke belakang. "Lihat dulu surat yang aku bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen."

"Jih!" orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar muda ynn„ mengulurkan surat. "Semua yang keluar dari pokal kafir hanyalah najis".

"Hweeee!" terdengar bentakan berbareng di belakang mereka.

Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawal-pengawalnya. Tanpa penga- laman menggunakan senjata menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela diri.

"Jangan sentuh aku, kafir!" pekik orang tertua tak berdaya itu. Ma- tanya menyala-nyala menyemburkan kebencian, kejijikan dan penye- salan.

Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandang-pandangan satu sama lain dengan ketakutan.

"Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa tombak," gumam Syahbandar-muda. "Perdamaian yang sungguh tidak jujur, Bapa."

"Mata-mata! Telik!" pekik orang itu seperti gila. Suaranya menggaung di tepian rimba. "Allah mengutuk kau, dunia dan akhirat!"

"Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah? Ataukah Bapa sama dengan Allah?" balas Syahbandar-muda. "Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini. Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu sempit. Dan kalian," ia perintahkan pada para pengawal- nya. "bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung," perintahnya pada tawanannya yang terkecil, "biar aku lepas tali-pengikatmu, dan man aku diantarkan. Jangan menyasarkan, karena paman dan saudara-saudaramu bisa binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku."

Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada orang-orang yang dipapasinya di jalanan se- bagaimana adat baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang mata yang nampak heran memandanginya: seorang berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah.

Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.

Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan.

Beberapa desa telah dilewati. Kemudian sampailah mereka di Rajeg.

Wiranggaleng heran melihat wajah-wajah yang sudah dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah penduduk Tuban Kota yang biasa- nya belayar atau berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya me- nyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum dan salamnya pun tidak.

Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan juga me- merlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya jalan, dan me- ngawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan Wiranggaleng menyadari betapa sulit keadaannya.

Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo beratap sirap. Tiang-tiang guru terbuat daripada balok-balok kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya terbuat daripada tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja rendah di atasnya.

Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu.

Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di pendopo yang ko- song melompong itu. Ia heran mengapa tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya.

Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas tiada tertanami, nampaknva memang sengaja akan dibuat men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah, nampak tajuk pohon-pohon nyi- ur dari berbagai umur, terus-menerus bergoyang gelisah.

"Nuwun... hasalamu halaikoooom!" sebutnya.

Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah.

Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharap-harapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan langkah ragu ia mendekati Wiranggaleng. berhenti di depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyala-nyala gusar: "Wiranggaleng!" raungnya.

"Sahaya, Ki Aji," ia bersimpuh di tanah dan menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu mesti meraung.

"Berpakaian putih berambut panjang, datang imtuk serahkan nyawa.

"Sahaya, Ki Aji."

"Syahbandar-muda, juara gulat...." ' "Sahaya, Ki Aji."

Dari suara-suara di belakangnya Wiranggaleng tahu, beberapa orang

sudah berdiri dengan tombak untuk sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya.

"Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang sebagai kau?"

"Sahaya, Ki Aji," dan sekilas dalam tunduknya ia dapat menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah penolongku, pintanya dalam hati. "Sahaya meng- hadap hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang."

"Utusan siapa? Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu?" ia diam dan menolak ke belakang.

Wiranggaleng mengangkat pandang dan melihat waktu itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri, bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia Iihat Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu pergi. Tetapi yang disuruhnya manda saja.

"Ya," kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wiranggaleng, "hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang kemari," ia mengangguk- angguk.

"Sahaya datang bukan sebagai utusan Gusti Adipati, Ki Aji, tetapi Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa."

"Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi! Bekas Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang mengetahuinya."

Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari belakang, kemudian menepuk bahunya. Kembali suara Ki Aji menjadi lunak.

"Munafik keparat!" makinya pelan. "Tak ada ampun lagi bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada Peranggi. Betapa terlambat o- rang mengetahui. Datang ke Malaka begitu juga. Datang di Tuban... apalagi yang sedang diperbuatnya sekarang? Dan adipatimu, si goblok yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan pangkal keadaan...."

"Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala."

Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan kesempatan itu dipergunakannya untuk mengeluarkan surat dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk dilihat oleh Ki Aji. Tetapi orang di depannya itu tak menggubrisnya.

"Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini," ia terpaksa me- ngatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan ragu-ragu. Wanita di belakang- nya nampak memberikan isyarat dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.

".Ya," gumamnya kemudian, "Nabi pun berkirim surat pada Iuhmt kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul juga kau, Khaidar." Suara- nya sekarang meninggi, "Sini surat itu."

Wiranggaleng memanjangkan badan dan menyampaikan.

"Bedebah!" raung Ki Aji. "Ini bukan surat. Ini hanya alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan memata-matai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan melemparkannya pada muka utusan itu. "Jangan kalian kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam, tapi tak kerja sesuatu pun untuknya."

"Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji," sembah utusan itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan semakin gen ting.

Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan, kemudian memberikan isyarat pada Wiranggaleng agar menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di tan ah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata assalamu alaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu.

Ki Aji Benggala kembali menatap Wiranggaleng.

"Surat," katanya menggerutu, "hanya berisi assalamu alaikum. Lebih tidak," kekerasan yang hampir meledak lagi tiba-tiba mereda dari wa- jahnya. "Wajiblah bagimu," katanya lebih pada diri sendiri, "memba- lasnya. Ya, wajib, di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya."

la diam dan nampak berpikir. Kemudian tersenyum dan memperhati- kan si penghadap di depannya tanpa berkedip.

"Baik," katanya. "Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah menyampaikan salam damai, begundal Peranggi itu."

"Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya sedang menunggu balasan untuk sahaya bawa pulang."

"Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri rupanya, Galeng. Kau memang pandai, licik."

"Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa perbuat se- lain menjalankan perintah?"

"Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan balas surat ini." ia merengut. "Tunggu kau di situ. Jangan tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika mengenainya."

Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan itu tapi tiada berkata sesuatu pun.

Dan lama ia harus menunggu.

Terik matari telah memeras keringat dari tubuhnya. Di samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.

Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat.

"Hei, kau, Wiranggaleng, sampaikan oleh mulutmu sendiri pada tu- anmu begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak."

"Sahaya, Ki Aji."

"Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan."

"Sahaya, Ki Aji."

"Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka."

"Sahaya, Ki Aji."

"Pergi!" bentaknya keras. "Tinggalkan bumi ini dan jangan balik kalau tak bosan hidup."

Wiranggaleng mengangkat sembah. Setelah Ki Aji pergi dalam iring- an Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan jalan, dan... pengawal- pengawal berbaju serba putih itu menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan membiarkannya pergi.

"Hasalamu alaikoooom!" ia mendahului beruluk salam.

Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata tombak memenu- hi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga beruluk salam tanpa jawaban.

Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan. 14. Syahbandar, Idayu dan Gelar

Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah ada di depan- nya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan tangannya bertepuk- tepuk riang. Bongkoknya kelihatan semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala menerkam.

"Selamat bagimu, Idayu!" katanya lunak, memikat dan membujuk sekaligus.

Cepat cepat Idayu menepiskan Gelar pada dada, begitu keras se- hingga anak itu terpekik terkejut dan pengap.

Melihat Idayu terkejut, Tholib Sungkar tertawa menghibur dengan gerak tangan ramai. Kemudian: "Masa begitu saja terkejut, Idayu!"

Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu.

"Mengapa kau begitu aneh, Idayu?"

"Apa Tuan kehendaki di sini?" tanyanya megap-megap. "Biar sahaya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi Gede."

"Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi Gede masih tidur."

"Biarlah sahaya ikut membersihkan taman dengan Paman Marta."

"Buat apa, Idayu? Bukan pekerjaanmu membersihkan taman. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat anaknya."

"Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini"

"Idayu, Permata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa murung kau di- tinggalkan suami. Tiadakah kau suka bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? Idayu!" Ia bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya.

"Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan jangan masuki rumah sahaya."

Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah.

"Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata?"

"Suami sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami sahaya."

"Apa kau harapkan dari suamimu?"

"Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya."

"Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan pada tubuh yang semolek ini...."

"Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun memadai, Tuan " jawab Idayu mulai berani setelah terbebas dari kejut.

Gelar dalam pelukan meronta minta kembali bebas. Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya bergerak binal.

"Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermain-main sendiri seperti biasanya."

"Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi ayahnya."

"Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi pula dia belum lagi pulang."

"Ayah tidak pergi, bukan, Gelar? Ayahmu tidak pergi, bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam ayahmu. Dia sedang merayu ibumu."

"Ayahmu sedang ke pedalaman, Gelar."

"Ingat-ingat kejadian ini, Gelar, selama hidupmu."

Gelar berhenti meronta, memandangi Syahbandar dengan mata ter-heran-heran.

"Mak!" serunya kemudian.

"Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari dekat."

Idayu memasang Gelar demikian rupa sehingga si bocah itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.

"Ya, Gelar," Idayu meneruskan, "itu ayahmu sendiri. Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya...."

Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam. Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan berkata begitu. "Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya maka dia anakku?"

"Kau dengar sendiri suaranya, Gelar. Memang tidak menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang asli."

"Jangan bercericau seperti nuri!" sambarnya bengkeng.

"Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu, Gelar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. Makin hari kau akan makin kenal...."

"Jangan teruskan, Idayu," Syahbandar sekarang merajuk.

"... Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik."

"Idayu, kau ajari anak itu kurangajar."

"Dengar, kau, Gelar, dia tak mau dikurangajari."

"Idayu diam!"

"Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia meminjam dulu kata-kata ibunya/'

"Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku."

"Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu sejarah kelahirannya?"

"Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah Almasawa tak pernah beranak-kan dia!" matanya membeliak memperingatkan.

"Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan anak Tuan sendiri."

"Aku tak beranakkan dia!" Tholib Sungkar hampir membentak.

"Itu, itulah ayahmu, Gelar, kasihan kau, ayahmu untuk di dunia dan untuk di kemudian hari."

Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini dilihatnya. Tetapi melihat wajah orang itu berubah jadi galak, ia menjerit ketakutan.

Idayu kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara seperti meratap ia meneruskan: "Nasibmu, Nak, punya ayah tiada mengakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya...."

"Idayu!"

"... Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada gandarwa."

"Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari berbaik, Idayu," katanya lagi membujuk. "Dengarkan dulu aku, jangan ditentang juga. Kau ini, Idayu, belum lagi mengenal dunia."

"Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak mau. Nasib."

"Diamlah, Idayu. Apa kataku tadi? Kau belum lagi mengenal dunia."

"Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya seperti yang Tuan lihat?"

"Haiyaaa."

Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan, masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa kekerasan.

"Itulah, Idayu, itulah, justru karena tak kenal dunia, kau anggap semua sudah mencukupi."

"Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan kasih-sayang suami sahaya, si Galeng anak desa yang bodoh itu."

"Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamimu yang seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi... jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri orang lain."

"Apalah gunanya?"

Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa ramah. Ia tegakkan bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas bahu, kemudian bertepuk-tepuk: "Kalau di negeri lain sana, Idayu, pastilah kau akan jadi ratu."

"Huh!" Idayu berpaling melecehkan.

"... Tidak jadi istri seorang Galeng yang selalu pergi, membiarkan kau merana dalam menunggu."

"Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang berbahagia menunggu suami pulang."

"Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain. Cerdiklah sedikit," ia maju setengah langkah.

"Dalam menunggu suami pulang sahaya berbahagia."

"Mak, turun, Mak," pinta Gelar.

"Jangan, Nak, temani dulu emakmu."

Gelar meronta lagi minta turun dan Idayu membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke pelataran memanggil-manggil Nyi Gede Kati. Ia langsung menuju ke dapur.

Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat langkah: "Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia karena menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik daripada menunggu. Malah, Idayu, kau tak tahu pula apa yang dikeijakan suamimu. Apalagi sekarang." Melihat penari itu mendengarkan ia semakin berani, "Pekerjaannya berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi untuk selama-lamanya...."

"Apalah yang sahaya herani bila suami mati?"

"Jadi kau mengharapkan dia mati?"

"Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid? Tiadakah pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti suami yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan dengar? Di Tuban Kota memang sudah tidak kejadian lagi. Pergilah ke pedalaman."

"Jangan, Idayu. Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan. Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan kemolekan seperti ini punah dimakan api," larangan sambil mendekat lagi.

"Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba masuki rumahku," Idayu memperingatkan. "Sahaya sedang jaga, tidak mimpi dalam tidur."

"Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari kesyahbandaran? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?"

"Sahaya bilang: jangan."

"Layani aku, Idayu, lupakan suamimu."

Syahbandar melangkah menerjang hadangan Idayu sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.

Idayu meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya Gelar memanggil-manggil dari sesuatu jarak.

Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. "Bodoh!" gumam Syahbandar.

I "Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini?" kata Idayu cepat-cepat dan terengah-engah. "Tuan Sayid, keluar dari sini!" dengan cun-drik telanjang di tangan wanita itu mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: "Di mana pun begitu mesti bisa ditundukkan," ia tertawa melecehkan, "apa lagi, kau, Idayu. Sampai di mana kekuatanmu? Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya. Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.

"Pukullah, Tuan."

Tetapi lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa mengharapkan jawaban: "Apa yang kau andalkan? Wiranggaleng? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal tu-lang-tulang berantakan termakan anjing."

"Memang itulah yang Tuan kehendaki."

"... Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau, perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat... kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara."

"Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari sahaya?" Idayu bertanya bodoh.

"Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?"

"Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana keinginan Tuan."

"Masih juga kau bercericau!"

"Mari sahaya ceritai, Tuan," Idayu bermanis-manis. "Barangkali Tuan mau mendengarkan."

Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan Idayu yang masih juga mengamangkan senjatanya.

"Apa ceritamu, Idayu?"

"Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih bagaimana cara berlawan atau mati."

"Kau tetap melawan aku, Idayu?"

"Sahaya sedang melawan, Tuan."

"Keris Wira akan menembusi dadamu!"

"Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri ingin melihat, Tuan sudi mengakui Gelar sebagai anak Tuan sendiri, karena memang dia anak Tuan."

"Tiada aku beranakkan dia!" lelaki itu membentak.

"Keluar!" pekik Idayu. "Takkan ada orang datang menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya."

Idayu melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya bersiaga dengan tongkatnya.

Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya.

Idayu melompat maju sambil menyerang dengan cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak. Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melompat lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang bercundrik. Idayu menarik tangan dan berputar menikam punggung. Lelaki itu melompat ke depan dan lari meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan.

Panggilan Gelar semakin terdengar mendekat. Idayu keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang muncul adalah Gelar yang masih juga memanggil-manggil. Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia selit-kan pada sanggul. Kemudian ia berjongkok menyambut anaknya.

Dengan sekali renggut Gelar telah berada dalam gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.

"Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada mengakuimu."

Gelar memeluk leher ibunya.

"Sayang kau pada emak?"

Gelar mengencangkan pelukannya. 15. Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia

Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke belakang. Ada terde-| ngar olehnya sepotong kata-kata Syahbandar dalam Melayu: "... tak ada hak patik untuk mengusirnya...."

Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: "Siapa bilang kami mengusir atau memerintahkan mengusir? Patih Tuban mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak meriam. Maka itu kami mengundang mereka."

Wiranggaleng meneruskan jalannya dan masuk ke dapur kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat Syahbandar-muda datang ia tersenyum senang dan menyilakannya duduk.

"Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat perjalananmu." Dan belum lagi penghadap itu bersembah ia telah meneruskan, "Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang menghadap ke mari. Apa boleh buat. Gusti Adipati berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan mereka mau mengajar membikin meriam. Telah kami persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia, Wira. Jangankan Peranggi mau membagi ilmunya, orang Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas. Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dulu, mereka toh masih berada di bawah perlindungan Syahbandar. Bagaimana kepergianmu?"

Dan Wiranggaleng bersembah.

"Jadi sudah jelas Rangga Iskak memang hendak bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban membangkang dan melawan. Mana surat itu?"

Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk.

"Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil menghadap Mashud bersama denganmu."

Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud.

***

"Bapa Mashud," kata Sang Patih, "kami perintahkan padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan terjemahkan baris demi baris pula."

Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: "Selamat bagimu," sebaris lagi, "Dilimpahkan oleh Allah kiranya padamu taufik dan hidayatnya," sebaris lagi, "Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka," selanjutnya, "Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan menyampaikan, melindungi mempertahankan dan mengamalkan," sebaris lagi, "Maka itu kerjakan apa yang kami sebutkan di bawah ini...."

Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti keranjingan.

"Mengapa, Bapa Mashud?"

Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah dan meneruskan. Tetapi kata-katanya sudah tak jelas lagi artinya.

Sang Patih memerintahkannya berhenti dan menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada Sang Patih guru daripada Mashud. Ia seorang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga, barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat dan sorban coklat pula.

Dengan tenang dan percaya diri ia mulai menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruk-nubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi.

Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan kehilangan kapal. Ia telah diambil sewaktu sedang bersiap-siap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak bersorban, tetapi berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama Kamang Sani.

Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga.

Sang Patih memerintahkannya pergi.

"Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang Tuban "

Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan yang lain.

"Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar, juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan Peranggi."

"Barang tentu surat gawat, Gusti."

"Pergi kau sekarang juga ke Gresik. Carikan terjemahan yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu."

Dan dengan demikian mendaratlah Wiranggaleng di bandar Gresik.

***

Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih ramai, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang lalu peranannya jauh lebih penting daripada Tuban, dan sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa. Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku, sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari, dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia.

Tiga ratus tahun setelah menjadi bandar tanpa tuan, mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi. Dari Gresik ini pula sebagian angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan Asia dan Afrika.

Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga Gresik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh pendatang-pendatang dari Tiongkok. Setelah jatuhnya Majapahit pada 1478 Masehi, Gresik berada dalam keadaan tanpa tuan lagi. Tetapi perdagangan berjalan terus seakan-akan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan, sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh Darmawangsa.

Satu kekuasaan yang kemudian timbul lagi adalah justru karena ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini. Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki wilayah inti Majapahit, membungkam kekuatan-kekuatan kecil yang bertarung memperebutkan Gresik. Raja Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak tahun 1485 menguasai Gresik sebagai bawahan Giri Dahanapura atau Blambangan.

Gresik yang berpindah-pindah tangan itu tetap berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk memindahkan Gresik ke bandar-bandarnya sendiri, Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali dengan Gresik dalam keadaan utuh.

***

Keadaan memang agak lengang waktu Wiranggaleng mendarat. Namun jauh lebih sibuk daripada Tuban. Orang-orang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman, terbuat daripada kulit kayu, pelepah atau kulit kambing mentah.

Dan Wiranggaleng terheran-heran melihat betapa sedikit orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria memang sudah tak punya sesuatu kekuasaan.

Setelah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa.

Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu, bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para dewa dan para leluhur, pada Hyang Widhi, dan dimintanya seorang untuk mencukur rambutnya.

Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut panjang seorang kafir, karena ada orang dan tempat tertentu untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren. Kemudian ia ketahui pesantren adalah tempat para santri, dan santri sendiri tidak lain dari ucapan guru agama dari seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi Kiai oleh guru-guru agama dari seberang itu pula.

Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah sebuah asrama pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia sudah lakukan satu kekeliruan.

Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanak-keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.

Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar Gresik.

Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab pertanyaan dan permintaannya pun segan.

Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan yang ada dan menemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung sarong itu menegurnya: "Hei, rambut panjang, apa keperluanmu?"

"Sahaya bermaksud mencukurkan rambut," jawabnya merendah.

"Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana pula syarat untuk hajad?"

Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta diterangkan.

"Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat."

"Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan panggilan ini. Mari aku potong rambutmu."

Dan rambut itu pun dipotong sambil Wiranggaleng menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama karena memang tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar memendekkan sejari dari kulit kepala.

"Apa lagi yang kau kehendaki?" tanyanya lagi. "Rambut itu boleh kau buang ke kali."

Buru-buru Wiranggaleng mengumpulkan potongan rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur, para dewa dan Hyang Widhi.

"Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu?"

"Itung."

"Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya Islam, pergunakan sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya? Salasa, karena kau datang kemari pada hari ke tiga."

"Salasa."

"Pulanglah dengan selamat."

"Bolehkah kiranya sahaya...," ia tak tahu bagaimana menyebut orang itu, "diperkenankan belajar agama baru di sini?"

"Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti pendidikan.

Tentu saja kau boleh belajar di sini/' orang itu tertawa ramah, mengangguk dan memandanginya dengan kasihan. "Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka dan berkelakuan baik."

"Kalau sudah tidak suka lagi?"

"Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi santri?"

Wiranggaleng mengangguk mengiakan.

"Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu."

Seperti seekor kambing yang tertuntun Syahbandar-muda itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya disusun ambin-ambin seperti dalam asrama di pedalaman. Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam.

"Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa."

Wiranggaleng tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan berkata: "Surat inilah sebenarnya yang membawa sahaya kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah jawakan tulisan ini pada sahaya." Orang itu menerima surat itu dan mengawasinya dengan terheran-heran.

"Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana kau dapat?"

"Jauh, jauh dari sini."

"Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan pada Bapa Kiai."

Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain menyertainya.

Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam Melayu: "Allah memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada keperluan apa maka kau datang menghadap?"

Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu menjawabkan Wiranggaleng sambil mengulurkan surat tulisan Arab.

Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh memperhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya, kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbata-bata: "Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?" dan pengantar menjawakan.

"Nun di pinggir jalan di desa sahaya."

"Di mana desamu?"

"Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, mungkin lebih."

"Nama, nama desamu."

"Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang."

"Kabupaten mana itu anakku?" i "Bojanegara, Bapa Kiai."

"Sedang ada apa di desamu?" I "Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen."

"Atau di dekat-dekat desamu?"

"Juga tak ada apa-apa, Bapa."

"Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu."

"Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai?"

Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi Wiranggaleng, menaksir-naksir badannya yang besar. Suaranya berubah mencurigai: "Kau belum patut mengetahui, Nak," jawabnya curiga. "Biar aku simpan surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang seperti kau."

"Itu sahaya punya, Bapa Kiai."

"Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah."

Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat. Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat itu. Bapa Kiai memekik. Wiranggaleng menguguh mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekik-mekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka yang bertombak atau berpedang. Mereka takkan dapat menghalang-halanginya.

Setelah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan yang sama. Ia akan mencari pesantren lain, satu dengan lain tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering timbul di antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan perang kecil.

Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan setelah mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti gerak kesedarannya.

Benarkah aku sekarang sudah Islam? Muslim? Bernama Salasa?

Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak berambut.

Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti yang lain.

Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.

Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan kesamaannya.

Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!

Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.

Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.

Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu sendiri.

Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari terjemahan? Gerak lidah itu telah padam, suara itu telah beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia akan mulai panjang.

Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri sendiri? Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini.

Pusing karena pertikaian di dalam diri sendiri ia melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soal-soal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian orang terhadap diriku? Teringat ia pada Liem Mo Han: Wira, Tuan adalah orang berbahagia, karena dicintai dan dihormati orang banyak. Dan di Gresik sini? Tak ada orang mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku?

Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa berbahagia.

Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan kata-katanya.

Kemudian Rama Cluring muncul di depan mata batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak membutuhkan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku.

Dia tidak membutuhkannya, seakan Liem Mo Han berseru, karena dia tidak hidup dalam jamannya sendiri atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.

Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah dalam dirinya.

Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui hari-hari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore hari dan belajar membaca disore hari.

Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu. Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia perhatikan galanya.

Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar. Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan mendekati Kiai.

***

Genap seminggu kemudian ia sudah mulai meramahi Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita padanya, Gresik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati. Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah memberikan tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja negeri - sama halnya yang didapat oleh asrama-asrama Buddha.

Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya Girindra Wardha-na memasuki Gresik, ceritanya lagi, dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda, dan dititahkannya semua memindahkan harta dan perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan.

"Lihat, bagaimana hebatnya Gresik," ia meneruskan. "Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri Dahanapura, Gresik akan tetap hidup. Mereka bersembah, Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke Gresik, tetapi Gresik tak bisa dipindahkan ke mana pun!"

Danu adalah seorang patriot Gresik.

Wiranggaleng tak sempat membikin perbandingan dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan untuk bisa berdua saja dengan Danu.

Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga.

Sore itu mereka telah mandi di saluran air sawah. Enam belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung. Sekali-dua terdengar sayup guruh menggerutu seperti dari perut bumi.

Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya.

"Biar aku cuci paculmu, Kang Danu!" dan tanpa menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran dan mencucinya dengan setekam rumput.

"Kalau aku sudah tamat nanti," katanya menambahi sambil menyerahkan pacul Danu, "aku akan masuk ke daerah kafir Blambangan, mendirikan pesantren sendiri."

"Kau!" Danu tertawa geli, "belum lagi dua minggu belajar! Tidak semudah itu," dan dengan gaya keguru-guruan meneruskan. "Abangku sudah setahun di Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! Tak ada. Apa kekurangan dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa Tenggara."

"Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah."

"Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang."

"Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang."

"Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik."

"Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik. Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun punya bandar dan angkatan laut."

"Buh!" Danu melecehkan, "penyebaran agama bukanlah perang," ia meneruskan, "majunya tidak seperti tentara berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, tetapi hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?"

"Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada yang membuka perguruan, kata orang, menyebarkan agama sendiri. Itu kata orang, Kang."

"Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, beberapa waktu yang lalu," Danu mulai berjalan di atas pematang menuju ke desa dan Wiranggaleng mengikutinya dari belakang.

"Di mana abangmu sekarang, Kang Danu?"

"Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam, dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya. Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan pada Kongso Dalbi di Malaka.... Tahu siapa Kongso Dalbi?" ia menengok dan menyaksikan gelengan Wiranggaleng. "Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata abangku, telah mempersembahkan pada Kongso Dalbi sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan pengukirnya."

"Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?"

"Satu adegan dari Ramayana, Lesmana dan Sinta di dalam hutan."

"Pengukirnya, Kang?"

"Pengukir asal Tuban, Borisrawa."

Wiranggaleng mengangguk di belakang Danu. Dia sudah di sana, pikirnya. Tetapi yang keluar dari mulutnya: "Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang?"

"Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya."

"Apa meriam itu, Kang?"

"Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan."

Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya dari belakang, memanggul pacul masing-masing.

"Apakah Peranggi suka memberikan meriam?"

"Pada lawan Islam? Boleh jadi," jawab Danu ragu-ragu. "Karena itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya bisa besar dan ampuh."

"Jadi kafir Dahanapura Blambangan sudah bersekutu dengan kafir Peranggi?"

"Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi, Peranggi sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah mulai kelihatan juga di Gresik, menuju ke Pasuruan dan Panarukan."

Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wiranggaleng mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan kata-kata Danu yang menggurui. Dan begitu jarak mereka telah nampak jauh, Wiranggaleng membuka maksudnya: "Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat, tapi aku tak tahu tuah di dalamnya," ia keluarkan bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, setelah meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.

Danu pun berhenti dan memperhatikannya membuka bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu.

"Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah."

Dengan baik hatinya Danu membuka kertas itu dan mulai membaca.

"Ini bukan ajimat," katanya setelah membaca sebaris-dua. "Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam, di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak...."

"Kalau tidak, apa Kang?"

"Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?" tanya Danu mendesak dan bersungguh-sungguh.

"Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku ceritai kau."

Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa yang sunyi itu. j|. Wiranggaleng memperhatikan dengan pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap mengawasinya, sedang santri-santri lain telah i hilang di tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya ditambah lebih banyak.

"Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum selesai."

Dan Danu sudah melepaskan sikap keguru-guruannya. Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan. Dengan suara rendah ia berkata: "Kau tidak berhak memegang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai. Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali juga terjemahanku tidak benar."

"Jangan, Kang, jangan."

"Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar akan kusampaikan pada Bapa Kiai, kemudian pada Gusti Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi. Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!"

"Jangan, Kang, jangan," tegah Wiranggaleng dengan suara ketakutan.

"Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya."

Tangan Wiranggaleng cepat melayang, menangkap tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.

Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu lebih jauh lagi.

"Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa Batara."

Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya....

***

Ia tak menempuh jalan laut.

Setelah dapat menangkap makna isi surat ia langsung mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini? Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku? Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.

Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan kelangsungan hidup praja Tuban.

Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan masasilam pada guagarba haridepan? Untuk Tuban? Inikah?

Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun aku salah.

Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di pinggir hutan.

Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari. Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari.

Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati Tuban.

"Ya," katanya setelah agak lama berdiam diri, "berikan surat ini pada yang berhak."

Wiranggaleng berjalan cepat menuju ke Syahbandaran. Sekilas ia lihat Idayu berjalan dari dapur menuju ke kamar, dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke gedung utama dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang duduk membaca kitab.

"Hasalamu alaikooom!" serunya.

TTiolib Sungkar Az-Zubaid melompat terkejut. Melihat Wiranggaleng mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan menelan ludah. Awan dengan lambat berarak meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: "Wa alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira. Ah, ya, benar sekali!" ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan bongkoknya. "Siapa menduga kau sudah berambut pendek begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan lebih bersih dan lebih berbahagia."

"Alhamdulillah, tuan Syahbandar."

"Siapa yang mentaubatkan kau? Rangga Iskak?"

"Tidak salah, Tuan Syahbandar."

"Tak pernah kau nampak begitu periang seperti sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak?"

"Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat balasan."

"Surat balasan! Nanti dulu, ceritakan bagaimana perjalananmu."

Dan Wiranggaleng membikin-bikin cerita sendiri, bahwa perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyambutnya dengan tertawa-tawa senang.

"Mana surat balasan itu?" tanyanya tak acuh. "Mana. mana?"

Syahbandar-muda itu memperhatikan dengan saksama tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara kepura-puraan dari kesungguhan.

"Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang."

Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan meniadi bersungguh-sungguh._

Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu nampak berubah-ubah. Kemudian Syahbandar itu berhenti membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki wajahnya.

"Wira/' panggilnya dengan menusukkan pandang pada matanya: "Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?"

"Tidak, tuan Syahbandar."

"Memang orang keparat," katanya dan kembali mempelajari keadaan surat itu.

"Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga Iskak?"

"Demi Allah, Tuan."

"Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah memegangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira?"

"Demi Allah, Tuan Syahbandar."

Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa dirinya diragukan.

"Kalau begitu lama pergi," Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan penyelidikannya.

"Sahaya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan pulang."

"Siapa saja pernah membaca ini?"

"Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang bisa menulis dan membaca Arab."

"Kau bohong!" tuduhnya.

"Demi Allah, kata sahaya. Memang Ki Aji bilang sudah kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas."

Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondar-mandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, kemudian berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan tiba-tiba berhenti di hadapan Wiranggaleng.

"Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang membaca surat ini."

"Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai sahaya lagi."

"Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang."

"Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan sahaya."

"Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih denganku."

"Bukankah sahaya tak bisa memaksa Tuan Syahbandar percaya pada sahaya? Terserah saja pada Tuan sendiri hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak membutuhkan kepercayaan Tuan. Sungguh."

Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir itu selalu membikin orang tertarik pada persambungannya dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga tertangkup jadi satu.

Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena, dengan nada membujuk ia bertanya: "Lamakah sudah surat ini kau simpan?"

"Segera setelah sahaya menerimanya."

"Aku percaya padamu, Wira," ia diam lagi.

Dan Wiranggaleng tahu, ia tak percaya.

"Aku senang kau telah masuk Islam, Wira."

"Salasa nama sahaya, Tuan."

"Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira, tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. Tapi tiga artinya sempurna," ia tertawa dibuat-buat. "Baiklah, lain kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, Salasa?

"Tentu saja, Tuan Syahbandar."

"Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang kau sudah masuk Islam. Tetapi istrimu masih kafir. Kau harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik. Kalau seorang kafir itu pembohong, menipui suaminya, itu sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau jauh lebih mulia daripada kafir mana pion, Salasa, apalagi dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang Adipati ataupun Sang Patih. Mengerti kau?"

"Belum, Tuan Syahbandar."

"Di hadapan Allah kau lebih mulia daripada semua mereka."

"Di hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadapan mereka sendiri bagaimana, Tuan?"

"Tentu saja tetap seperti biasa."

Wiranggaleng menahan tawanya. Ia menunduk dalam.

"Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, karena kau sudah bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang pergi...."

Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya.

"Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu sahaya tahu."

"Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira?" "Bagaimana menyempurnakannya, Tuan Syahbandar?" "Menari di pendopo, Wira,... Sang Adipati. Ah, bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti."

Wiranggaleng menunduk dalam.

"Mengapa kau diam saja?"

"Baik, Tuan Syahbandar."

"Syukurlah kalau kau mengerti."

"Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi Tuan?"

"Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah dengar suara orang? Semua sudah bercerita. Wira, betapa hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri.... Pulanglah, Tuhan memberimu petunjuk dan keselamatan dan semoga kukuh imanmu. Tak ada kafir yang baik di hadapan Allah."

Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang, melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban bagi tubuhnya sendiri.

***

Idayu tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu kedatangannya di dalam kamar. Gelar tidak nampak. Ia nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam. Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang.

"Mengapa kau diam saja, Idayu?"

Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi suaminya.

"Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu?"

Idayu menunduk.

"Sakitkah kau?"

Ia menggeleng.

"Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?"

"Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang pendek."

Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu istrinya.

"Berubahkah aku, Dayu?"

"Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan perubahanmu, perubahan sikapmu," suara Idayu semakin pelahan dan sayu. "Aku masih juga ragu apakah aku boleh mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku...."

"Mengapa kau bicara begitu?" dan duduklah ia di samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal.

"Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa cundrik sambil duduk begitu."

"Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa yang sudah terjadi?"

"Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua: berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar."

"Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku?"

"Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri di hadapanmu?"_

"Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus."

"Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu. Kang."

"Kau masih suka dipanggil menari?"

"Masih, Kang."

"Dan mimpi lagi seperti dulu?"

"Tidak, Kang."

"Apakah Syahbandar masih suka mengintip seperti itu?"

Idayu mengangkat kepala dan melihat sebagian dari muka I Syahbandar terlindung pada tiang jendela. Ia mengangguk.

"Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang?"

"Dia majikanku, Dayu, tapi kau adalah istriku."

Galeng mempermain-mainkan cundrik kecil.

"Mana sarongnya ini, Dayu?"

"Sarong yang mana?"

Wiranggaleng mengangkat pandang ke arah jendela gedung utama dan muka Syahbandar Tuban sudah tiada.

"Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan tinggalkan kau terlalu lama, Idayu."

"Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan ragaku."

"Ceritai aku tentang Gusti Adipati."

"Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka menonton kalau aku menari. Kemudian wanita kadipaten itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini."

"Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar."

"Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang," ia berdiri tetapi ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, "Apakah benar kau membutuhkan sarong yang lama? Tidakkah kau menghendaki yang baru?"

Wiranggaleng berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. Idayu memeluknya dan air-mata membasahi mukanya.

Continue Reading

You'll Also Like

329K 23.4K 19
Seorang remaja bernama Arshaka Jocasta yang menjadi pusat obsessi para sahabatnya. Arshaka mengidap penyakit langka. Sindrom Kleine-Levin. Di mana s...
1.5M 46.8K 32
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
52.3K 140 8
🔞Bagi yang suka suka saja!!! Ini cerita lanjutan dari cerita berjudul Birth Sex , yuk cuss bestie!!
425K 42.5K 32
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia Alexander malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya...