ARMY (Completed)

נכתב על ידי itsfiyawn

320K 44.4K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... עוד

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
4. Bima
5. Aku di Garis Terdepan
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

6. Kabar Bulan & Rahasia Langit

8.4K 1K 210
נכתב על ידי itsfiyawn

Cahaya matahari membakar aspal jalan yang menghitam. Dedaunan terasa rindang menyejukkan di depan gedung Fakultas Ilmu Komputer yang kini tengah aku lewati dengan berlari. Waktu menunjukkan pukul 13.30, artinya sudah setengah jam yang lalu mata kuliah di kelasku sudah dimulai. 

"Permisi, Pak!" Tubuhku berhenti mendadak begitu sampai di ambang pintu kelas. 

Benar saja, semua mata tertuju padaku yang siang ini menjadi Ms.Late. Ralat. Tidak hanya siang ini. Tapi setiap hari.

Mataku tertumbuk ke arah kursi dosen yang kosong.

 Loh? Kok nggak ada dosen? Aku berjalan linglung ke belakang kelas, mengambil kursi dan duduk di samping Nanang--yang tumben nggak telat. 

"Kenapa baru datang?" Satu suara menyentakkanku. 

Aku celangak-celinguk mencari suara siapa itu. Ah, sial! Seorang cowok berkemeja biru dengan lengan digulung sesiku menghampiriku. Disitu rupanya dari tadi ia duduk. Pantas saja kukira dia murid biasa. Bukan Pak Haryo yang masuk kelas, tetapi asistennya yang menyebalkan ini. 

"Pak Haryo mana?" tanyaku berbisik ke Nanang. 

"Pak Haryo tadi masuk sebentar memberi pengantar, saya yang melanjutkan. Kenapa? Kamu nggak suka?" Dia berdiri menjulang di depanku. 

Aku meliriknya lalu meringis. Nanang di sampingku malah pura-pura bego, 'bukan teman saya', begitu pikirnya. Awas aja nanti lo, Nang!

"Maaf, Bang... saya telat, hehehe," jawabku nyengir. 

Dia berlalu sebelum perkataanku selesai dan cengiranku tertutup. Kupukul tangan Nanang, protes. 

"Lo kenapa nggak bilang kalau Bima yang ngajar siang ini? Gue WA bukannya dibales," rutukku.

"Hape gue lagi dipegang sama cewek gue! Gue aja tadi masuk hampir telat," balasnya. 

Bola mataku berputar jengah. Kulihat di depan Bima sedang membuka laptopnya sambil mengoceh soal tugas Kecerdasan Buatan yang kami kerjakan kemarin. Ternyata cowok absurd yang tiba-tiba meminta nomor teleponku menjadi asisten dosen, kayaknya otaknya lumayan. 

"Mi, bantuin gue dong..." Nanang mencolekku.

"Ngapain?"

"Cewek gue marah, nih." 

"Lah, terus? Gue harus ngapain? Jadi topeng monyet biar dia ketawa gitu? Mending elo aja, lo lebih mirip, nggak usah pakai topeng juga udah mirip."

"Dia marah karena nyangka gue selingkuh sama elo, makanya hape gue disita ama dia." 

"Hah? Selingkuh sama gue?! Hahahaha!" Tanpa sadar tawaku menggelegar hingga memecah keheningan kelas. Lagi-lagi aku mendadak jadi rusa di antara singa lapar yang siap menerkamku. 

Terutama singa di depan sana yang menatapku nyalang. Matilah aku. 

"Ada yang lucu?" tanyanya datar. 

"Engg... Enggak, Bang," sergahku. 

"Kamu santai banget, apa karena tugasmu paling bagus diantara yang lain?" tanyanya nggak aku mengerti. Nih orang ngomong apa sih?

Dia melanjutkan, "Saya sudah memeriksa seluruh tugas AI kelas ini. Yang paling sempurna adalah tugas milik Army Senarya Al Fatih dan Lanang Satrio. Kalian mendapat algoritma yang berbeda. ANN dan Fuzzy." Jeda sebentar. "Silakan terangkan ke teman-teman apa yang telah kalian kerjakan." 

Mati aku! 

Mataku melotot sempurna dan bibir terbuka menganga. Yang benar saja! Yang mengerjakan tugas kami 'kan Koko. Aku dan Nanang saling melempar pandangan dan menyumpah dalam hati. 

"Kenapa kalian liat-liatan? Army ke depan, jelaskan." Bima menyodorkan spidol dari meja depan. 

Aku menggigit bibir. Harus bilang apa aku, masa iya aku mendeklarasikan kecuranganku dengan berkata kalau tugas itu dikerjakan oleh bukan aku melainkan adikku. Kakiku sedikit gemetar melangkah ke depan. Semakin jelas saja sunggingan senyum jahat Bima menantiku mati kutu. 

"Jelasin yang bener, yah," bisiknya culas. 

Kupandang balik matanya. Mulai sekarang, kami saling menyatakan perang dingin. Kuambil kasar spidol itu dari tangannya lalu menuju papan tulis. 

Di tanganku sudah ada kertas hasil kerjaan Koko yang sama sekali tidak aku mengerti. Aku menulis soalnya lebih dulu sembari menenangkan diri berkali-kali. 

"Jadi begini teman-teman..." Aku menghadap ke depan kelas. "ANN ini kan Artificial Neural Network. Artinya Jaringan Saraf Tiruan. Algoritmanya mengikutinya kinerja otak. Karena otak itu ciptaan Tuhan, maka manusia nggak akan ada yang bisa membuat tiruannya. Sekian." 

Semua melongo. Kecuali Bima yang tertawa sinis. 

Fix, Army! Kamu jadi wanita bercap bego kuadrat siang ini!

"Aduh, perut saya mulas. Saya izin ke toilet ya, Bang."

Kabur!

Satu-satunya yang aku pikirkan adalah berlari secepat kilat keluar kelas, kemanapun asal kabur. Soal apa yang terjadi setelah ini, itu urusan nanti. Yang penting sekarang keluar kelas! 

*****

Kalau aku bisa menghapus satu peristiwa tadi siang, maka akan kuhapus dari ingatan semua orang yang terlibat di sana. Terutama Bima. 

Bayangkan saja, dia berhasil menemukanku yang mengumpat di perpustakaan beberapa jam setelahnya, menyeretku keluar dan memaksaku mengaku. 

"Ini kerjaan lo apa bukan?" tanyanya mengangkat kertas tugasku. 

"Bukan, itu kerjaan adik gue. Puas?" jawabku dingin. 

Dia menyunggingkan senyum miring. Menyipitkan mata, memandangku remeh. "Adik lo kuliah dimana?" 

"Bukan urusan lo."

"Ya, masalahnya ternyata elo lebih bego dari adik lo. Mungkin adik lo orang teknik juga. Bener, kan?" 

Aku mendesis. Kuinjak  saja kakinya, dia mengaduh, memberiku ruang untuk kabur (lagi). Aku melewatinya dengan langkah kesal lalu menemui Nanang untuk mengambil tasku. 

Pasti mata kuliah selanjutnya aku akan mendapat panggilan dari dosenku karena Bima mengadu. Kurang ajar cowok satu itu memang. 

Teleponku berdering. Menepuk kesadaranku yang sempat melayang ke peristiwa siang tadi. Langit menelepon. Ah, seketika kekesalanku runtuh. Senyumku terbit seketika.

"Halo, Lang. Ada apa?" Pasti Langit minta temenin beli nasi goreng atau nongkrong, deh. Asik. 

"Bisa ke rumah gue sekarang nggak, Mi? Please. Ada kabar gembira." Suara Langit terdengar begitu antusias, menggebu-gebu. Kayak baru dapat duit sepuluh juta tapi harus dihabiskan dalam waktu setengah jam. 

"Okey. Otw." 

Dengan penampilan seadanya mengayuh sepeda kesayanganku, aku sampai di rumah Langit sepuluh menit kemudian. Dia segera menarik tanganku untuk duduk di sampingnya, menghadap laptop yang menyala. 

"Bulan kirim email," katanya penuh kebahagiaan. 

"Oh ya? Mana?!" Tanpa sadar, aku ikut bahagia. 

Email from: Bulan
Lang, how r u? Aku akan ke Indonesia minggu depan. Sampai bertemu :) 

"Really? She's comeback?

Langit mengangguk. Aku tertawa dan Langit memelukku. Pelukan yang tak pernah kuinginkan, karena dia berbisik, "Akhirnya dia kembali, Mi. Kita bertiga bisa main lagi kayak dulu."

Tubuhku membeku. Senyumku mendadak kaku. Kenapa aku tidak terima kebahagiaan Langit atas kembalinya Bulan? Ya, aku senang Bulan kembali. Aku senang bisa melihat sahabatku lagi. Tetapi... aku akan kehilangan Langit. Aku akan kehilangan kebersamaanku dengannya. 

"Gue mau jujur sama Bulan, Mi," ujar Langit menatap layar laptop penuh harap. 

"Jujur tentang perasaan lo?" 

Langit mengangguk lagi. "Gue nggak bisa kehilangan Bulan untuk kedua kalinya, Mi." 

Gue juga nggak bisa kehilangan lo, Langit. Aku menggigit bibir keras-keras. Ya, Tuhan. Sakit rasanya. 

"Lo sayang banget ya sama, Bulan?" tanyaku hancur. 

"Gue nggak tahu ini perasaan apa, Mi. Tapi gue selalu pengin di samping dia. Kepergian dia menorehkan luka yang sampai sekarang masih sakit." 

"Itu karena elo menutup rapat hati lo, Lang. Lo biarkan kuncinya dilempar Bulan dan nggak akan bisa ditemuin kecuali oleh Bulan sendiri." Tolong, jangan sekarang. Aku tidak serapuh ini. "Ada yang berdiri di depan pintu itu, Lang. Bertahun-tahun... Kehujanan, kesakitan, diterpa badai, menunggu dibukakan. Tapi lo nggak kunjung ngebukain, Lang." Tanpa sadar, air mataku mengalir begitu saja. 

Langit menatapku prihatin. Pantulan wajahnya memburam oleh mataku yang basah. 

"Maksud lo, Mi?" 

"Masih nanya maksud gue apa?! Orang itu gue, Lang! Yang perasaannya serius tapi dianggap bercanda! Yang menunggu lo sadar tapi lo gak peka-peka juga! Yang berusaha selalu ada, walau kehadirannya diabaikan. Yang elo mau selalu Bulan! Selama ini yang ada buat elo tuh gue, Lang! Bukan dia!" Aku berdiri. Bersiap pergi dari pada amarah ini meledak lebih lagi. 

"Mi..." Langit memegang tanganku. Genggamannya lemah, tetapi sentuhannya memohon. "Maafin gue..."

Aku menepisnya. Ketika aku hendak pergi,Langit membuka suara. "Setelah ini, lo boleh membenci gue, Mi. Gue mau jujur sama elo," ucapnya memaku tubuhku. 

"Gue nggak ada maksud buat mainin perasaan lo. Sebenarnya gue tahu kalau lo ada perasaan lebih sama gue. Tapi, gue nggak akan bisa balas perasaan lo, Mi. Di sisi lain, gue juga nggak mau lo pergi, cukup Bulan. Gue pikir, dengan menganggap pernyataan lo angin lalu dan candaan adalah cara terbaik biar gue nggak menyakiti perasaan elo, Mi." 

Kakiku lemas, tanganku kebas. Apa lagi ya yang cocok mendeskripsikan apa yang kurasakan saat ini? Yang jelas, aku benar-benar hancur. 

"Jadi, selama ini lo tahu gue suka sama elo tapi lo pura-pura bego?!" Aku menegaskan.

"Sorry, Mi... I'm the worst..." Langit menunduk. Kabung sesal kini menggelayut di pundaknya.

"Lo emang jahat, Lang. Gue nyesel kenal sama orang sepengecut elo." 

  Setelah itu, aku berlalu. Pergi meninggalkan rumah Langit tanpa sepatah pamit. Mengayuh sepeda sekencang-kencangnya. Tidak peduli jalan raya, suara klakson mobil, atau umpatan pengendara motor karena aku ugal-ugalan. Terserah. Aku tidak peduli. 

Jadi, begini ya rasanya patah hati. 

Sesakit ini ternyata. 

****

Maaf lama update ya.. aduh ini cerita makin gaje aja deh -_-)a tunggu ya kelanjutannya.. hehe

Love you guys :*

המשך קריאה

You'll Also Like

17.3K 2.8K 53
Semesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya d...
50.7K 4.5K 13
[COMPLETED] Pertemuan antara si bilioner muda dengan pemilik cafe hits gyeonggi-do. Penasaran? Selamat membaca^^ Tolong berikan banyak cinta untuk c...
492K 53.5K 34
cover by @nailayaa ❤ Karena Fanzone, Friendzone, Kakak-Adek Zone dan zona-zona cinta lainnya akan kalah sama yang namanya Halal Zone. Tapi untuk mema...
15.5K 3.3K 38
"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memi...