Trapped (Terbit) ✓

By Isarsta

4.7M 346K 4.4K

[Pemenang Wattys Award 2020 Kategori Romance] #Highest Rank 1 in Chicklit (01-01-2020) #Highest Rank 1 in Met... More

[Blurb]
Prolog
01. He's Devil
03. Produk Gagal Move On
04. Nightmare
05. Crazy Morning
06. Meet Old Friend
07. Hadiah
08. Pertunangan Yuki
09. Masalah Ari
10. Meet Daniel
11. Bolos Ngantor
12. Chicken Wings dan Siluman Tikus Got
13. Jika Waktu Dapat diputar Kembali
14. Gosip
15. Anniversary Daniel's Parents
16. Berdebar (lagi)
17. H-1
18. Ayu Birthday
19. Enplane
20. Bali
21. Bali (B)
22. Bali (C); Pesta
23. Bali (D); Pantai
24. Pulang
25. Bandung
26. Bandung (2); Hug
27. Kentjan?
28. Gagal ke Monas?
29. Little Kiss
30. Resign
31. Hurting
32. Curhat
33. Menghindar
34. Bertemu
35. Penjelasan
36. Keputusan
37. Haruskah?
38. I'm Sorry
39. Tentang Pitaloka
40. Tentang Pitaloka (2)
41. First Meet
42. Gimana Bisa?
43. Trapped (End)
Epilog
Hello🌻
Chapter Tambahan (1)
Chapter Tambahan (2)
Thank You🌻
Weekend Sale, lagi!

02. Banyak Maunya!

138K 10.6K 139
By Isarsta

“Lo, sih, enak sampe kantor langsung ketemu bos super ganteng! Lha, gue langsung ketemu muka cemberutnya bu Roseeta,” keluh Ayu sembari terus berkonsentrasi menyetir.

Aku mendengus keras. “Lo nggak tau aja sifat aslinya, tuh, bocah tengik!” seruku seraya mengembuskan napas kasar. “Bahkan, sekarang gue pengen bos gue modelannya kaya bu Roseeta aja!” teriakku frustasi.

Ayu melotot ke arahku. “Fix otak lo gesrek! Bu Roseeta si mami monster? Lo yakin pengen punya bos kaya dia? Gue aja kalo nggak mikirin cicilan mobil mending resign aja!”

Aku menatap ngeri ekspresi horor Ayu. Ya, aku paham, bu Roseeta atau anak-anak marketing biasa memanggilnya mami monster memanglah wanita tua perfeksionis² menyebalkan yang kerjanya marah-marah melulu. Bahkan, aku yang bukan anak marketing saja selalu merasa ciut jika tidak sengaja berpapasan dengan wanita itu di kantor.

“Lagian, Pita, emangnya separah apa, sih, sifatnya Dewangga? Sampe lo sebel banget sama dia? Padahal anak-anak iri sama lo karena bisa liat Dewa tiap saat.”

Seneng liat muka Dewa tiap saat? Yang ada gue pengin muntah!

“Parah banget pokoknya!” Aku pun mulai menceritakan kejadian kemarin pada Ayu. Membuat sahabatku itu melongo saat mendengar ceritaku, tapi akhirnya Ayu terbahak keras. “Serius dia nuduh lo budek?”

Aku mendengus keras. “Kampret banget, ‘kan? Tapi yang paling ngeselin masalah kopi, sih. Ya, mana gue tau kalo maksud si bos gulanya dua sendok teh!”

Tawa Ayu semakin kencang. “Dewa bener juga, sih. Harusnya lo nanya biar nggak salah.”

“Kok, lo jadi belain Dewa, sih?” decakku kesal.

Ayu tersenyum genit. “Gue selalu belain cowok-cowok ganteng,” ujarnya menggoda.

Aku menatap Ayu sinis. “Dasar pengkhianat!”

Ayu malah terbahak semakin keras. Aku tahu sahabatku itu tengah mengejekku. Dasar kampret!

Tak berapa lama akhirnya mobil Ayu sampai di parkiran kantor. Kami berdua pun segera turun dari mobil dan berjalan ke arah kantor bersisian. Hari ini aku memang meminta Ayu untuk menjemputku karena mobilku sejak kemarin masuk bengkel.

Mau naik MRT tapi takut kesiangan, bisa-bisa aku dikepret Dewa karena sepertinya bosku itu suka sekali mencari-cari kesalahanku. Aku hampir berpikir Dewa punya dendam kesumat padaku yang entah apa itu.

Setelah menaruh tasku di meja aku segera pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh untukku dan secangkir kopi untuk Dewa. Bahkan, aku berulang kali memastikan jika yang aku masukan benar-benar dua sendok teh bukannya dua sendok makan. Oh, jelas! Aku ogah dikerjai lagi oleh bos kampretku itu seperti kemarin.

Akhirnya minuman yang aku buat siap, aku pun segera meninggalkan dapur dan kembali ke mejaku. Aku meletakkan secangkir teh di sana, kemudian aku segera masuk ke ruangan Dewa dan menaruh kopi di meja pria itu.

Aku merapikan dokumen yang berantakan di meja Dewa sebelum meninggalkan ruangan ini. Bosku itu belum datang, mungkin karena masih terjebak macet di jalan, tapi namanya bos, mah, bebas. Mau sampai di kantor jam berapa pun tidak akan ada yang protes.

Kecuali kita para cungpret yang telat, terlambat satu menit saja ancamannya potong gaji. Itulah kenapa hidup selalu adil bagi mereka yang punya kekuasaan, tapi tidak bagi mereka yang harus menelan ludahnya sendiri hingga kenyang.

Baru saja pantatku bersentuhan dengan kursi, tiba-tiba Dewa berjalan di depanku. Membuatku terpaksa kembali berdiri untuk menyapa pria itu. “Pagi, Mas Dewa!”

Sumpah gue nggak ikhlas manggil, tuh, bocah ‘Mas’!

Dewa mengangguk singkat. “Pagi juga, Pitaloka,” jawab Dewa seraya mengecek arloji di lengannya. “Bisa ikut saya sebentar?”

Aku mengangguk mengiakan. “Bisa, Mas,” jawabku seraya mengikuti Dewa masuk ke ruangannya.

Seperti kemarin Dewa membuka jasnya sebelum duduk dan aku pun segera mengambil jas pria itu untuk kugantung. Sepertinya Dewa tipe orang yang gerah jika bekerja menggunakan jas, makanya pria itu selalu menanggalkan jasnya sebelum bekerja dan memakainya kembali saat ingin pulang atau ada rapat penting di luar.

Thanks!” seru Dewa yang langsung aku respons dengan anggukan mengiakan. “Sama-sama, Mas.”

“Oh, ya, Pitaloka.”

“Kenapa, Mas?”

Si bos pasti mau bilang makasih karena udah gue bikinin kopi!

“Temenin saya ngecek restoran, ya?”

Kampret ternyata bukan!

Aku mengerjap polos. “Kapan, Mas?”

“Sekarang,” jawab Dewa singkat.

“Se-sekarang?” tanyaku syok.

Memang, sih, letak restoran Nusantara cabang Jakarta letaknya tepat di samping gedung kantor ini, tapi biasanya kalau mau ada pengecekan akan ada diskusi dulu dengan manajer restoran. Agar sang manajer bisa segera menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan, seperti presentasi laporan penjualan misalnya.

“Kenapa? Ada masalah?”

Aku berdeham pelan. “Biasanya kalo mau ada pengecekan ibu Mala akan berdiskusi dengan manajer restoran dulu, Mas,” jelasku.

Dewa mengangguk mengerti. “Saya tau, Pitaloka. Tapi saya ingin melakukan pengecekan dadakan. Tidak apa-apa, ‘kan?”

“Iya, Mas, tidak apa-apa,” ujarku seraya mengangguk mengiakan.

“Yasudah, sebaiknya kita ke sana sekarang!”

Sekali lagi aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah Dewa keluar ruangan. Sebelum pergi aku menatap miris kopi buatanku. Buset boro-boro diminum, dilirik saja nggak!

Kini kami berdua tengah ada di lift yang akan mengantar kami ke lantai dasar. “Pitaloka,” panggil Dewa.

“Ya, Mas?”

“Kopi yang ada di meja kamu yang buat?”

“Iya,” jawabku datar. Sumpah aku masih kesal dengannya.

“Oh, kalo gitu kamu minum sendiri aja. Hari ini saya lagi nggak pengin minum kopi. Tadi sudah minum teh hijau di rumah.”

Gue nggak nanya!

“Baik,” jawabku seraya tersenyum manis. Walau sebenarnya aku ingin sekali menjedotkan kepala Dewa ke dinding lift agar otak pria itu—yang mungkin sedikit bergeser—kembali ke tempatnya semula.

Dasar bocah tengik menyebalkan!

Sekarang kami sudah tiba di restoran. Dewa langsung mengumpulkan para koki, waiter dan waitress, tidak ketinggalan satpam dan OB. Pria itu berdiri di depan semua karyawan restoran dan dapat aku lihat para karyawan yang pria itu kumpulkan menatap Dewa takut-takut. Memang, sih, aura Dewa saat ini benar-benar membuat nyali ciut. Aku juga merasakannya.

Danang—sang manajer restoran meneguk ludah kasar. “Selamat pagi, Pak Dewa! Maaf saya belum menyiapkan laporan apa-apa. Karena biasanya kalo mau berkunjung ada pembe—“

“Oh, tenang Danang. Saya ke sini cuma mau main saja, kok. Kalian nggak perlu tegang begitu.”

Main katanya. M-A-I-N!

“Saya cuma mau bilang good job buat kalian semua karena grafik penjualan restoran selama enam bulan terakhir naik terus. Kalo bulan ini juga naik, mungkin saya bakal kasih bonus liburan. Kalian tinggal pilih mau ke Bali, Raja Ampat, Bunaken, atau mungkin pulau Komodo?”

Mendengar penjelasan Dewa suasana menjadi tidak setegang tadi, malah para karyawan terlihat sangat bahagia. Bahkan, ada yang terang-terangan memekik senang.

Dewa menepuk bahu Danang. “Kerja bagus, Nang! Terus pertahankan, ya!” serunya. Kini tatapan Dewa kembali beralih ke semua karyawan restoran. “Kalian juga sudah bekerja keras! Terus pertahankan seperti ini!”

“Siap, Pak!” jawab mereka serentak, membuat Dewa tersenyum puas.

Setelah itu Dewa undur diri dan seperti biasa aku mengekor di belakangnya. Sebelum pergi aku mengacungkan jempol ke seluruh karyawan. “Good job, guys!”

Thanks, Mbak Pita!” sahut mereka kompak.

Ya, tadinya kupikir Dewa bakal membuat drama pagi-pagi, tapi ternyata Dewa tidak seburuk yang aku pikirkan. Ternyata bos kampretku itu juga tahu bagaimana caranya memberi apresiasi.

***

Noted :

2. Perfeksionis adalah orang yang ingin segala-galanya sempurna.

Continue Reading

You'll Also Like

2M 34.3K 6
Opposite Polarity Kelinci dan Penguin. Kalau Dean itu es batu, berarti Naya es doger. Sama-sama es, tapi berbeda. Dean adalah es yang keras, dingin...
137K 9.8K 44
Tidak ada yang seabadi aksara dalam menyimpan sebuah cerita. Bahkan ketika ingatan mulai berkarat dihujani sang waktu... Bahkan ketika hati membeku s...
Stay With Me By Azizahazeha

Mystery / Thriller

1.1M 99.7K 64
WARNING! CERITA BANYAK MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN *** -Musim Pertama- Malika Kamilah mendapat tuduhan atas pembunuhan teman satu kosn...
1.3M 38.9K 16
[Nagara Univers ~ 1] Erien merasa dunianya terguncang saat Mama membawa kabar buruk ketika harinya sedang buruk. Dengan omongan asal Erien yang bilan...