NATA [Selesai]✓

By trajec70ries

904K 96.8K 6K

Versi novel tersedia di Shopee Firaz Media. *** Adinata Emery Orlando merupakan pemuda yang tidak bisa mengek... More

PROLOGUE
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
EPILOGUE
For you...
Sequel?
📌Skema Nestapa
°• Elegi & Tawa •°
MAU TANYA
INPO TERBIT MAZEHHH
VOTE COVER
PILIH BONUS NOVEL
OPEN PO

CHAPTER 12

20K 2.5K 174
By trajec70ries

#12

Minggu pagi ini Elzi dan Nata kembali disibukkan dengan tumpukan soal beserta materi matematika. Mereka memilih kafe kemarin lagi untuk belajar bersama.

Elzi menarik nafas frustasi, lalu ia meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya sendiri.

"Gue udah capek." Keluhnya.

Nata melirik gadis yang tengah menunduk itu, "nggak usah manja."

Mendengar ucapan Nata, gadis itu pun mendongak tak terima.

"Dua jam otak gue dari tadi mikir, dan lo bilang nggak usah manja?" sewot Elzi.

"Lo kira gue itu lo, Si Batu tak berperasaan. Keras!" lanjutnya.

Nata sama sekali tak menggubris. Ia masih sibuk menelisik isi buku dengan tangan yang satunya ia gunakan untuk memegang secangkir kopi.

Elzi mencibir. Heran dengan pria di depannya. Dia pura-pura budek atau memang budek beneran sih? Senang sekali meng-kacangi makhluk hidup. Dikira enak apa?

Kalo saja ada aplikasi santet online, Elzi pasti akan menggunakannya setiap malam untuk dikirimkan ke Nata. Biar tau rasa dia!

"Berhenti ngebatin." Celetuk Nata.

"Lo tau?" heran Elzi.

Elzi menerawang ke atas, "ketahuan dong gue mau nyantet lo."

Dengusan kecil lolos dari bibir Nata. Ia meletakkan buku dan cangkirnya, kemudian memberikan atensinya kepada Elzi.

"Kalo capek diem. Nggak usah bawel." Ucapnya sembari menarik lembar soal di depan Elzi.

Goresan pulpen pun perlahan mulai memenuhi lembar jawab milik Elzi. "Istirahat dulu. Gue ngerjain ini." Ucapnya dengan atensi yang masih pada kertas.

Lengkungan pun terbit dari bibir Elzi, tanpa sadar tangan kirinya menyangga kepala-- ia menatap wajah Nata yang tampak serius mengerjakan soal.

Kalo saja sikapnya selalu seperti ini, mungkin Elzi juga akan kepincut dengan pesonanya. Tapi, realita selalu membalikkan segala persepsi Elzi. Sikap Nata itu sudah seperti cuaca--- berubah-ubah tidak jelas. Intinya manusia macam Nata itu sangat menjengkelkan.

Nata memutar arah pandangnya, bola mata legamnya pun bersibobrok dengan Elzi. Entah apa yang terjadi, namun keduanya sama-sama hanyut-- seolah ada magnet yang terus menarik keduanya.

Hingga,

Plak

Nata meletakkan lembar jawabannya ke kening Elzi dengan cukup keras, "buat belajar di rumah."

Gadis itu merampas kertas penuh rumus tersebut, lalu ia mencibir tak jelas. Jujur saja, ia tadi sedang terpana dengan Nata. Namun, lagi dan lagi Nata kembali menyadarkan Elzi kepada realita. Fiuh.

"Merusak suasana!"

Nata menaikkan alisnya, "hm?"

Kelopak mata Elzi justru menerjap-nerjap. "Hah? Emang gue tadi ngomong?"

Pria berwajah datar itu pun merotasikan netranya. Dasar gadis gila.

"Nat, kemarin kuping lo panas nggak?"

"Nggak."

Elzi mengerutkan keningnya, "masa?"

"Hm."

"Nggak kayak kebakar gitu? Padahal gue ghibahnya-- beeuuhhh. Mantep banget!" herannya.

Nata mendengus kecil.

Nge-ghibah gue ternyata!

"Kemarin gue nolong nenek-nenek kece. Intinya, singkat cerita gue tuh ghibahin lo."

"Mantap jiwa lah pokoknya! Asik aja gitu nge-ghibah-in lo yang tengilnya sampe ke hemoglobin."

Nata menatap Elzi, "gue kelihatan peduli?"

"Gue sih nggak minta lo peduli. Gue cuma pengin kuping lo panas aja."

"Biar perghibahan gue tuh membuahkan hasil. Menyukseskan dunia perghibahan!" Ucap Elzi seakan anak kecil yang tengah memamerkan kejuaraan makan kerupuk pada ayahnya.

Sepertinya Elzi memang akan sangat cocok bila disandingkan dengan si kembar alias Zikri dan Fikri. Bahkan jika boleh, Nata akan memberikan mereka bertiga gelar S.P.G atau Sarjana Passion Ghibah! Aish! Memikirkan itu membuat Nata geli sekaligus prihatin.

Elzi terus saja berceloteh ria, sontak itu membuat telinga Nata berdengung hebat. Belum sempat pria itu menjawab celotehan Elzi-- netranya menemukan seorang pria paruh baya yang letaknya tak jauh dari Nata saat ini.

Dia-- ayahnya. Sedang bersama seorang wanita yang Nata sendiri tak tahu siapa. Pria baruh baya itu berjalan mesra sembari memeluk pinggang sang wanita.

Cih!

Nata terkekeh tanpa suara. Wajahnya memang terlihat tenang, namun dadanya bergemuruh hebat. Ada emosi yang tengah menggelora dalam dirinya, siap di pecahkan namun ia memilih menahan. Kepalan tangan yang terus menguat sampai buku-buku jarinya memutih-- hanya itulah penyaluran emosi yang dilakukan Nata saat ini.

Dengan gerakan cepat, Nata memasukan kertas di hadapannya ke dalam tas. Ia langsung menggenggam tangan Elzi erat. Sontak gadis yang masih berceloteh itu pun terdiam sejenak-- matanya melihat pergelangan tangannya sendiri.

Nata meninggalkan selembaran uang di atas meja guna membayar pesanannya. Lalu ia menarik Elzi untuk mengikuti langkahnya.

"Eh, eh, mau kemana?"

"Lo marah? Lo mau culik gue?"

Nata masih diam dan terus membawa Elzi keluar dari kafe.

Gadis itu membekap mulutnya sendiri dengan satu tangannya yang terbebas.

"Atau jangan-jangan, lo mau laporin gue ke KPP?"

"Komisi Pemberantasan Perghibahan?" lanjut Elzi.

"Eh, emang ada, ya?" Elzi bingung dengan pola pikirnya sendiri.

Nata memakai helmnya lalu menaiki motor. Ia menatap Elzi yang masih berdiri. "Naik." Titahnya.

"Lo mau bawa gue kem... "

"N.a.i.k El," desis Nata penuh penekanan.

Elzi membatu sebentar, lalu ia memilih untuk menaiki motor.

Dia marah?

***

Sudah hampir 30 menit mereka berdua duduk di taman dengan selimut keheningan. Tidak ada yang membuka suara. Nata sibuk menenangkan pikiran sedangkan Elzi masih berperang bersama pikirannya. Mencoba menerka alasan di balik perilaku Nata.

Elzi melirik Nata yang masih diam.

Gadis itu berdehem, "lo marah sama gue?"

"Nggak." Jawab Nata tanpa melihat gadis di sampingnya.

"Gara-gara gue ghibahin?"

"Nggak peduli." Jawab Nata seadanya.

"Diem-diem kuping lo panas, ya? Jadi marah kayak gini?"

Nata merotasikan matanya, gadis disampingnya sangat bebal. Dia pikir dirinya akan marah hanya perihal gosip menggosip? Persetan! Sama sekali tak peduli.

"Ya udah lain kali gue ghibah online aja. Biar kuping lo nggak kebakar."

Nata menatap manik Elzi, "Elzira Virgina Sandika, gue nggak marah sama lo."

Deg!

Elzi dapat merasakan gelenyar aneh menghinggapi hatinya. Nada rendah Nata kala menyebutkan namanya tadi-- sungguh membuat getaran aneh dalam diri Elzi. Seingatnya, ini kali pertama Nata memanggil namanya seperti itu.

Atmosfer disekitarnya seolah berubah, dadanya pun bergemuruh. Entah apa penyebab pastinya, Elzi pun masih tak mengerti jelas. Bola matanya masih menelisik wajah Nata dari samping, karena pria itu telah mengalihkan perhatiannya dari Elzi.

Hanya menyebut nama bukan? Lalu kenapa reaksi-nya bisa selebay ini? Sungguh, bukan Elzi sekali!

Sepertinya ada yang tidak beres dengan Elzi, mungkin ia perlu mempriksakan diri ke dokter. Bukankah begitu?

Tapi tunggu? Sejak kapan Nata tahu nama lengkapnya? Jangan-jangan, lelaki disampingnya adalah seorang penguntit?! Atau lebih tepatnya, ia seorang detektif yang menyamar menjadi seorang siswa untuk memberantas perghibahan yang semakin merebak luas. Wah, benar-benar spekulasi yang sangat konyol Elzi!

Elzi menatap Nata penuh selidik, "lo penguntit?!"

Nata tak terkejut dengan tuduhan Elzi, lelaki itu hanya melirik Elzi dengan ekor matanya. Seolah tuduhan Elzi bukanlah hal yang perlu didiskusikan panjang lebar.

"Untungnya buat gue apa?" Nata melayangkan jawabannya, atau lebih tepatnya pertanyaan sarkastik.

Elzi mendekatkan wajahnya, semakin menyelidik. Tatapan gadis itu seolah akan menelanjangi Nata saat ini juga. "Kok lo tau nama panjang gue?"

Pertanyaan dari mulut Elzi terdengar sangat menuntut jawaban dari Nata, detik berikutnya lelaki yang tengah diintrogasi seolah dia telah melakukan pembunuhan berantai pun akhirnya membalas tatapan Elzi tak kalah lekat.

Elzi mengudarakan jari telunjuknya, alih-alih mendengar jawaban Nata, gadis itu justru menghentikan suara Nata yang belum sempat mengambang di udara. "Tunggu-tunggu. Atau jangan-jangan-- lo cabul?!"

Lelaki yang dituduh pun seketika mendelik tanda tak terima, namun alih-alih marah-- lelaki itu justru berdecih sembari memalingkan muka. Kemudian, ia kembali memandang Elzi dengan senyuman yang sudah tercetak pada wajah tampannya.

"A...pa?" pertanyaan itu meluncur dengan tergagap dari mulut Elzi. Dengan sigap Elzi menyilang'kan tangannya di depan dada-- sebagai bentuk perlindungan diri. Siapa tahu jika tuduhan itu memang benar adanya. Setidaknya Elzi harus pasang badan untuk menghajar Nata jika lelaki itu berbuat yang tidak-tidak.

Elzi semakin dibuat gemetar karena tatapan Nata yang terlihat mengerikan dengan senyuman miringnya.

"Lo bawa gue kesini..."

"Baru takut sekarang?" potong Nata masih dengan senyuman yang terlihat mengerikan.

Mendengar itu, Elzi merasakan tenggorokannya sangat sulit untuk menelan salivanya. Apakah tudingannya tadi itu-- benar?

Nata berdecih, "mau lari dari gue?"

"Telat." Ucap Nata tenang, tapi sikap tenangnya itu tak menjalar kepada Elzi. Gadis itu sama sekali tidak tenang dengan sikap Nata. Ia takut.

"L--lo?"

Nata mengalihkan arah pandangnya, bibirnya berdecak malas. Sudah cukup sesi menakuti gadis bodoh dihadapannya. Ck ayolah, apakah Nata sungguh terlihat seperti pria yang Elzi maksud tadi? Konyol sekali. Berinteraksi dengan banyak orang pun Nata jarang, lebih tepatnya ia malas. Ia lebih senang menikmati kesendiriannya.

"Kalo gue orang kayak gitu udah dari awal gue ngelakuin hal yang nggak senonoh sama lo. Dan nggak mungkin juga kalo gue mau jahat sama lo-- gue bawa lo ketempat ramai kayak gini." Jawab Nata.

Pria itu kembali menyandarkan dirinya dipunggung bangku taman, seakan perdebatan ini memang benar-benar tidak penting. Toh, ia memang bukan pria yang Elzi maksud tadi.

Tangan Elzi perlahan turun, "terus, kok lo tau nama panjang gue? Seinget...."

"Lo sendiri yang ngasih tau."

Elzi melotot, "enak aja! Gue nggak pernah yah kenalan sama lo!"

"Gue nggak bilang lo kenalan sama gue. Lo pikir gue tertarik kenalan sama lo?"

Elzi mendengus sebal. Nata memang ahli membalikan keadaan, apalagi perihal menjatuhkan sang lawan bicara-- lelaki itulah pakarnya. Mungkin jika ada perlombaan debat tingkat kecamatan, maka Nata yang akan memenangkan mendali atas perlombaanya. Dasar si kaku bermulut tajam.

"Lagian lo fitnah gue, kalo gue..."

Enggak! Inget ya! Elzira Virgina Sandika nggak akan pernah takut sama manusia kayak lo!

Inget ya! Elzira Virgina Sandika nggak akan pernah takut sama manusia kayak lo!

Elzira Virgina Sandika nggak akan pernah takut sama manusia kayak lo!

Elzira Virgina Sandika

Elzira Virgina Sandika

Elzira Virgina Sandika

Sebuah suara yang mendengung hebat di kepala Elzi seakan menjatuhkan Elzi ke jurang terdalam. Kilasan memori tersebut seolah ditakdirkan untuk terus menerus berputar di kepala Elzi saat ini. Entah untuk sekedar memberi tau satu fakta memalukan atau memang memori itu sengaja terus berputar guna mempermalukan dirinya sendiri.

Sial. Elzi rasa kedua pipinya sudah memerah sekarang. Malu? Aiisshh. Tentu saja Elzi sekarang malu. Harus. Dia memang harus merasa malu sekarang. Mulutnya itu sudah memberi tuduhan bertubi-tubi kepada Nata tanpa ada kebenaran disana. Tanpa sadar Elzi menepuk-nepuk pelan mulutnya sendiri, seakan dengan kegiatannya itu mulutnya akan lebih terkontrol.

Bola mata Nata yang tadinya tengah terpejam sembari menikmati semilir angin taman, langsung saja terbuka kala indra pendengarannya tak menangkap suara cerewet Elzi lagi.

Posisi Elzi sudah berubah, terakhir kali ia tengah menghadap Nata, namun alih-alih menatap Nata dengan lekat dan berapi-api seperti tadi, yang Nata lihat justru punggung kecil gadis itu.

Nata mengintip gadis itu, kemudian ia terkekeh saat menangkap basah Elzi yang merona sembari terus menepuk mulutnya. Kepala lelaki itu menggeleng heran, Elzi memang benar-benar aneh. Nata yakin gadis itu sudah ingat kapan Elzi memberi tau namanya. Ya, saat perkara bakso di kantin. Seingat Nata saat itulah Elzi menggebu-gebu untuk menyombongkan dirinya. Malu dia.

Nata kembali bersandar dipunggung bangku, sembari menunggu Elzi selesai dengan sesi malu-nya. Dari ekor mata Nata, dapat ia lihat Elzi perlahan mulai memberanikan diri untuk menghadapnya. Tentu saja Nata pura-pura tak mempedulikan gerak-gerik Elzi.

"Nat?" cicit Elzi.

Yang dipanggil pun menolehkan arah pandangnya kepada Elzi. Dan-- hampir saja Nata terbahak kala netra-nya mendapati wajah Elzi yang sangat merah. Bahkan tak kalah merah dengan tomat yang sering dibeli Omah-nya. Sebegitu malu'kah ia saat ini?

"Lo sakit?" pertanyaan itu sengaja Nata lontarkan untuk meledek Elzi. Alih-alih bertanya apa gadis itu sedang malu, Nata justru melontarkan pertanyaan yang pria itu sendiri sudah mengetahui pasti jawabannya.

Nata meletakkan tangannya di kening Elzi, "nggak panas."

Pria itu mengerutkan kening heran, "tapi pipi sama kuping lo merah."

Diperlakukan seperti itu semakin membuat Elzi mati kutu. Sengatan panas yang tadi menjalar di pipi seakan merebak ke dalam dadanya hingga menimbulkan sebuah ritme aneh. Elzi menelan salivanya, bibirnya kelu hanya untuk sekedar melontarkan jawaban atas pertanyaan Nata.

"Gu... gue emang gini kalo kepanasan." Alibi Elzi yang sangat tidak masuk akal.

Pria itu justru menatap Elzi dengan datar, "mendung."

"Hah?" Elzi langsung mendongak ke atas. Lagi-lagi netranya menerjap lugu. Sejak kapan matahari bersembunyi di langit kelabu? Ya tuhan, sampai kapan Elzi akan terus bersikap memalukan di depan Nata? Ingin rasanya ia mencari selimut guna membungkus tubuhnya atau mencari kolam untuk menenggelamkan diri disana. Demi apapun, Elzi malu!

Nata mengulum bibirnya, menahan senyuman yang akan merekah kala memperhatikan Elzi yang menunduk mati kutu, dengan rona merah yang masih setia hinggap di pipinya.

"Nat, tadi gue nuduh lo yah?"

Nata menatap Elzi sejenak, kemudian membuang muka sembari menggelengkan kepalanya-- tak habis pikir dengan pertanyaan Elzi. Apakah Elzi berfikir bahwa tadi ia tengah pidato?

Nata tak menjawabnya, ia memilih untuk memejamkan matanya, kembali menikmati semilir angin yang menyejukkan.

"Maaf." Cicit Elzi dengan sangat pelan dan penuh hati-hati. Seolah, jika ia bersuara dengan keras, maka suaranya itu akan meleburkan Nata.

"Hm." Nata menjawab dengan deheman. Bukan, bukan karena marah, lebih tepatnya ia malas membuka suara. Pria itu sungguh sangat nyaman dengan posisinya sekarang.

Elzi pun sama. Seakan puas dengan pengampunan Nata, ia lebih memilih diam. Ia pikir, lebih baik mulutnya terkatup rapat ketimbang harus bersuara lagi.

Setidaknya itulah pemikiran Elzi 10 menit yang lalu. Nyatanya, suasana seperti ini sangatlah--- canggung. Sepuluh menit tak ada yang membuka percakapan, hal itu membuat Elzi tak nyaman.

"Emm-- Nat. Kenapa lo tiba-tiba pergi dari kafe? Kenapa ke taman ini?"

Nata membuka matanya, namun tak menghadap Elzi. Tatapan pria itu masih menerawang ke depan, kontan hal itu membuat Elzi was-was. Niatnya untuk kembali membangun suasana, justru Elzi merasakan sebuah boomerang--- takut jika pertanyaannya itu salah.

Tapi jauh dilubuk hati gadis itu, ia memang penasaran akan tingkah Nata tadi. Dan kalau boleh jujur dengan respon Nata, gadis itu semakin-- penasaran.

"Gue mau es krim." Sahut Nata. Tatapannya masih menerawang ke depan. Raut wajahnya pun masih sama-- tak terbaca.

"Hah?" Elzi membeo. Gadis itu mengikuti arah pandang Nata, benar saja diseberang sana ada kedai es krim yang tidak terlalu ramai.

Tapi,

Hei! Apakah Nata sedang mengalihkan perhatiannya. Tapi-- untuk apa?

"Lo beneran mau... "

Tanpa menunggu berbagai lontaran lagi dari mulut Elzi, Nata bangkit dan melangkahkan kakinya.

"Gue yang bayar." Ucap Nata sembari berlalu pergi.

Elzi mengamati Nata dengan bibir yang masih terbuka. Cih, yang benar saja.

Dasar cowok kaku bermulut tajam dan sombong!

***

Elzi melahap es krimnya dengan bola mata yang selalu mengawasi pria di hadapannya. Siapa lagi jika bukan si kaku bermulut tajam. Diliriknya es krim coklat milik Nata yang belum tersentuh sama sekali, berbeda dengan es krim stroberi Elzi yang sudah hampir habis.

Mulut mungil Elzi berdecak, "woy kaku." Panggilnya.

Nata menatap sang pemanggil sekilas, lalu kembali disibukkan dengan sebuah buku di tangannya. Buku yang isinya Elzi tidak tau dan tidak mau tau itu seakan merebut dunia Nata. Lihat saja, Nata terus saja membaca buku itu hingga mungkin matanya akan juling dibuatnya. Sekiranya, itulah umpatan Elzi sejauh ini.

Kedai es krim ini memang menyediakan buku dan majalah untuk para pengunjung. Tak sampai disitu, di kedai ini juga memiliki Rubik, Congklak, Lego, Puzzle dan juga Catur. Yang sejauh Elzi tau, benda-benda itu memang sengaja disediakan oleh pihak kedai untuk dimainkan para pengunjungnya.

"Lo mau buat meja ini banjir kena lelehan es krim lo?" sindir Elzi.

Nata menggulirkan halaman buku, "buat lo." Ucapnya dengan mata yang terus fokus pada bacaannya.

Elzi berkacak pinggang, "tadi lo bilang pengin es krim. Sekarang malah pacaran sama buku." Protes gadis itu.

"Udah nggak selera."

"Gara-gara nemu gebetan?"

Nata menatap gadis di depannya, jeda beberapa saat hingga, "nggak selera liat muka lo."

Tenang. Sangat tenang dan tanpa beban Nata melontarkan kalimat yang terdengar laknat di telinga Elzi. Kontan, lontaran yang berhasil menyusup masuk ke gendang telinga Elzi pun membuat gadis itu ingin segera menendang tulang kering Nata dengan sangat keras.

Sial! Elzi juga tidak membawa plester, setidaknya jika ia membawa benda itu maka Elzi akan segera merekatkan plester tersebut ke mulut tajam dan pedas milik Nata.

"Kayaknya boncabe level 30 kalah pedes sama mulut lo." Cibir Elzi sembari melahap sisa es krim stroberinya.

Nata terkekeh pelan tanpa mau menimpali gadis yang tengah kesal karena ulahnya. Pria itu menutup buku ditangannya kemudian meletakan-nya di hadapan Elzi.

"Baca. Bagus buat lo." Ucap Nata yang kental dengan nada ejekan didalamnya.

Elzi mengambil buku itu dengan cibiran. "Mencapai Cita-Cita, karya William J. Reilly Ph.D." gadis itu membaca sampul depan buku, kemudian ia menatap Nata.

"Lo pikir gue nggak punya cita-cita?"

Nata menaikan sebelah bahunya sebagai jawaban, "dilihat dari tingkah lo sejauh ini. Gue rasa lo nggak punya cita-cita."

Elzi mendelik, dengan gerakan spontan ia mencepol rambutnya asal, lalu menggulung kedua lengan bajunya dan di akhiri dengan bersedekap dada. Gadis itu menatap Nata dengan pose yang berbeda, "lo dendam sama gue karena masalah di taman tadi?"

Nata sedikit menelengkan kepalanya, kemudian menyandarkan punggung dan melipat tangannya di depan dada, "gue keliatan kaya cowok pendendam?" ucapnya dengan satu alis terangkat.

"Dilihat dari tingkah lo sejauh ini. Gue rasa lo banyak dendam sama gue." Sahutnya dengan mengikuti gaya bicara Nata.

"Dan gue rasa lo emang nggak punya cita-cita." Sahut Nata.

Elzi mendengus, "gue punya cita-cita!"

"Apa?"

Elzi meneguk salivanya, dapat Nata lihat gadis itu sedang merasa gusar. Elzi mengigit bibir bawahnya, alih-alih menjawab gadis itu justru terlihat tengah menimang-nimang sesuatu.

"Jangan ngejek cita-cita gue." Ancam Elzi.

Nata berdehem sebagai jawaban bahwa ia setuju untuk tak mengejek cita-cita gadis di depannya. Walaupun Nata belum tau, seaneh apa cita-cita Elzi.

"Cita-cita gue, jadi manusia jahe." Cicit Elzi.

Seakan itu bukan cita-cita yang aneh untuk dikategorikan sebagai cita-cita remaja-- anak yang sudah menginjak bangku SMA. Nata sungguh tak tertawa. Ia masih menatap Elzi dengan lekat, sedangkan gadis yang ditatap pun hanya bisa menerjapkan bola matanya lugu.

Apakah Nata tak mendengar ucapan Elzi dengan jelas? Walaupun Elzi tak berharap Nata menertawakan cita-citanya, tetapi bukankah akan lebih terlihat wajar jika Nata tertawa atau pun mengejek ucapannya? Oh ayolah, Elzi akui ini memang terlihat konyol untuk dikatakan sebagai cita-cita, tapi kenyataannya memang itulah cita-cita Elzi.

"Nat? Gue bilang cita-cita gue jadi manusia jahe. Lo nggak budek'kan?"

Alih-alih menjawab, lelaki itu masih setia menatap Elzi. Tatapan yang menurut Elzi begitu-- aneh.

"Nat? Lo nggak kerasukan jin es krim 'kan?"

Nata membuang mukanya, kemudian ia terkekeh-- sepertinya menertawakan ucapan Elzi. Sungguh respon yang sangat terlambat.

"Lo pikir gue bakal percaya dengan cita-cita konyol lo?" Nata menggelengkan kepalanya sembari terkekeh, "bener ucapan gue, lo emang nggak punya cita-cita." Lanjut Nata sembari menegak sebotol air mineral.

Elzi mencibir, "baguslah, setidaknya itu respon orang normal kalo denger cita-cita gue."

"Tapi inget, nggak usah ngerendahin cita-cita gue! Asal lo tau aja, ini cita-cita gue dari umur tujuh tahun dan cita-cita konyol gue ini punya makna sendiri di hidup gue. Jadi, nggak usah terlalu menghina." Ancam Elzi.

Tak mau berdebat panjang lebar lagi, Elzi lebih memilih untuk menggeser es krim coklat Nata yang belum tersentuh. "Kata lo ini buat gue 'kan? Thanks." Ucap Elzi tanpa menunggu persetujuan Nata.

Yah, memang faktanya Nata sudah memberikan es krim itu kepada Elzi.

Sekitar 5 sendok es krim telah masuk ke mulut Elzi, tetapi Nata masih tak berkutik. Netra'nya terus mengikuti gerak gerik Elzi. Tentu hal itu menimbulkan decakan kesal dari mulut Elzi.

"Iya-iya. Anggap aja gue nggak pernah ngasih tau cita-cita konyol gue. Jadi, berhenti liatin gue seolah gue itu jahe hidup." Celetuk Elzi.

Seakan tuli, Nata masih terus menatap Elzi. Jelas gadis itu pura-pura tak mempedulikan aksi Nata, walau sesekali ia melirik Nata dengan ekor matanya.

Elzi melihat penampilannya, takut-takut ada yang aneh. Bahkan ia pun melihat pantulan wajahnya dari layar ponsel, tetapi muka Elzi masih dikatakan normal.

"Nggak usah liatin gue kek gitu. Ngeri."

Nata menaikan sebelah alisnya, "gue yang pengin lihat, lo mau apa?"

"Hah?" Elzi membeo, "lo... pengin lihatin gue?"

"Hmm."

Seperti teraliri listrik, Elzi dapat merasakan ritme aneh dalam dadanya. Suara Nata yang masuk menyusup ke indra pendengaran Elzi sangat terdengar aneh.

Tapi dengan cepat, Elzi menggelengkan kepalanya. Tidak, Elzi tidak boleh berfikir berlebihan. Ingat, yang sedang ia hadapi sekarang adalah Nata. Lelaki yang sangat menyebalkan.

"Maksud lo, lo liatin gue karena mau ngilangin selera makan lo?" sindir Elzi.

"10%."

Elzi mendengus sebal. Lihat? Nata ya Nata, manusia menyebalkan. "90%-nya?" tanya Elzi dengan malas.

"Pengin liat calon pedagang jahe keliling."

"NATA!"

____________________________________________
TBC..
Kalo kalian suka bab ini silahkan tinggalkan vote dan komen..
Terimakasih❤️

Maaf typo bertebaran.

See you❤️

Continue Reading

You'll Also Like

301K 18.7K 73
[ Sebelum baca follow dulu ya] #1 wattpad (13/06/21) #2 basket ball (31/03/21) #1 Arista (16/02/21) #1 Fikar (23/01/21) Arista Kenzie alexis. Gadis...
583 70 25
Musim hujan kali ini membawa peri penyelamat. Kanvas hidup Digta seperti dilukis sedemikian rupa dengan kaya warna. Seseorang yang memanggilnya pelan...
75.8K 10.7K 57
"Kita layaknya bilangan tak hingga di bagi dengan bilangan tak hingga maka hasilnya adalah bilangan tak pasti" -Infinity Layaknya bilangan tak hingga...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...