SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

27. If Only I Could

1.7K 277 47
By Arabicca69

"Yis, bawalah anjing ini ke mobil!" perintah Letnan Samsuri yang segera diangguki oleh Ayis di sampingnya.

Buru-buru Ayis melepas jaketnya. "Ekh ...," erangnya takut-takut sembari menjulurkan tangan. Dia berusaha meraih posisi lebih dekat dengan Hachiko. Diselimutinya tubuh besar anjing itu yang—mungkin—kedinginan, kemudian diangkatnya dengan susah payah.

Luka di atas kepala Hachiko masih mengucurkan darah, bahkan bercaknya sampai menjiplak pada jaket Ayis yang berwarna cokelat terang. Anjing itu sempat meronta keras, menunjukkan penolakannya ketika mengendus bau pelukan dari seseorang yang tak dikenalnya. Namun, tubuh Hachiko yang dirasanya semakin tak berdaya membuat anjing itu pun akhirnya pasrah, seiring dengan suara napasnya yang makin tidak beraturan.

"Anda mau ke mana, Letnan?" cegah Ayis saat mendapati Letnan Samsuri justru melangkah ke arah sebaliknya. Ayis berpikir untuk menyusulnya. Namun, melihat kondisi anjing dalam dekapannya yang semakin melemah, Ayis lebih memilih menunggu Letnan Samsuri di dalam mobil patroli.

Semakin jauh Letnan Samsuri melangkah menuju rumah papan di ujung sana, semakin waspada pula dirinya terhadap situasi sekitar. Ketika senternya padam di pertengahan jalan, Letnan Samsuri berupaya menggoyangnya beberapa kali, memaju-mundurkan tombol pemicu arus, namun benda berwarna silver yang digenggamnya itu tetap tidak kunjung menyala.

Bersama sisa cahaya rembulan yang mengintip di balik awan hitam, kakinya terus menapaki halaman yang luasnya melebihi ukuran lapangan bola itu. Suara gemerisik dedaunan serta ranting yang saling bergesekan membuat perasaannya makin tidak keruan. Pohon-pohon yang ditanami di sepanjang halaman rumah ini, membentuk siluet mengerikan yang seolah tengah melambai-lambai padanya. Dari posisinya sekarang, Letnan Samsuri dapat mencium bau kandang sapi, juga bau-bau busuk—entah apa—yang makin menguat.

Rumah itu ternyata tidak begitu besar jika dilihat dari dekat. Bentuknya persis seperti rumah-rumah kubus pada umumnya, dengan sebuah teras kecil yang diberi semacam pembatas dari batu bersemen memanjang pada bagian depan juga sisi kanan-kirinya. Nyala lampu pijar pada teras membantu Letnan Samsuri menelisik bagian sisi kiri rumah tersebut. Terdapat sebuah bangunan tambahan yang hanya dipasangi pagar kayu dan ditutupi seng seadanya, yang sepertinya berfungsi sebagai garasi dan tempat penyimpanan barang. Letnan Samsuri buru-buru mengendap-ngendap ke dalam sana. Perasaan takut ketahuan tentu saja menghantuinya. Letnan itu tidak memiliki surat perintah yang membuatnya dapat leluasa menggeledah seisi rumah ini, namun dia merasa perlu memastikan sesuatu untuk membuktikan kecurigaannya; mengapa Hachiko bisa sampai berdarah-darah di halaman rumah ini.

Dalam garasi reyot tersebut tampak sebuah mobil bak terbuka terpakir tepat di tengah-tengah. Tangannya segera meraba-raba pemukaan bemper depan dan lampu sorot mobil. Letnan Samsuri dapat merasakannya pada permukaan kulit. Kaca pada kedua lampu sorot mobil tersebut sama sekali tidak rusak. Bember depannya juga tidak mengalami penyok sama sekali. Itu berarti mobil bak terbuka ini tidak pernah menabrak sesuatu atau—mungkin saja—pemiliknya sudah mengganti dengan spare part baru untuk menghilangkan bukti.

Jika saja Letnan Samsuri bisa membuktikan perkataannya soal asal-usul pecahan kaca yang dia temukan di Kilometer 13 itu, maka kecelakaan yang tanpa sengaja disamarkan oleh guyuran hujan tersebut, juga tanda pengenal milik Hachiko yang Letnan Samsuri pungut di sana, tidak akan jadi sesamar ini. Kapten Darwis juga pasti tidak kan mengatainya berdelusi soal ini. Kedua tangannya seketika mengepal erat. Kecurigaan Letnan Samsuri pun seakan lenyap begitu saja.

_____________

Letnan Samsuri mendapati wajah Ayis sudah berlinang air mata begitu dia membuka pintu mobil patroli.

Berulang kali, dilihatnya perwira yang usianya tujuh tahun lebih muda darinya itu, menyedot ingus dalam-dalam. Tangan besarnya menepuk-nepuk tubuh besar Hachiko yang tergulung oleh jaketnya, sebisa mungkin berusaha menenangkannya, namun anjing itu justru semakin mendengking dalam dekapannya.

Anjing malang itu pastilah sangat kesakitan.

"Pegangan yang kuat. Kita akan membawanya ke klinik hewan," ujar Letnan Samsuri sembari men-stater mobil patroli.

Letnan Samsuri buru-buru memasang sabuk pengaman, kemudian memacu mobil patroli lurus ke depan. Begitu mendapat ruang, Letnan Samsuri tak membiarkan dirinya membuang waktu lebih lama. Dia segera memutar arah. Kakinya menekan pedal gas lebih dalam, membawa mobil patroli melaju kencang di atas jalanan panjang yang banyak dipenuhi lubang. Bau anyir darah yang menguar membuat perut ikut terkocok saat mobil patroli bergoyang tidak keruan. Namun, kedua perwira itu berusaha kuat menelan bulat-bulat rasa mual dalam mulut mereka.

"Letnan—" Ayis mencoba mendapatkan perhatian Letnan Samsuri, tetapi dia justru mendapati suaranya bagai tertahan di kerongkongan. Sembari menatap wajah Letnan Samsuri, Ayis menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Letnan itu bahwa—sepertinya—harapan hidup Hachiko sudah sampai pada batasnya. "Letnan ...," bisiknya lagi, dengan suara lebih parau.

Bermenit-menit lamanya, Ayis masih melihat Letnan Samsuri menatap ke depan. Tidak sedikitpun Letnan Samsuri berniat menatapnya, meskipun begitu, Letnan itu tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kesedihan yang menggenangi sudut matanya dari Ayis.

Letnan Samsuri tersenyum getir sembari mencengkram kemudi kuat-kuat. Dia mengulum bibirnya yang nyaris saja meloloskan suara isakan. Saat Letnan Samsuri merasa sudah siap, dia pun menatap Ayis dalam-dalam. "Kita ... akan menyelamatkannya." Iris matanya kemudian bergerak turun, memandangi tubuh Hachiko yang terlihat semakin mengenaskan.

"Kita akan segera sampai!" Sekali lagi Letnan Samsuri berusaha meyakinkan juniornya itu, tetapi di sebelahnya Ayis justru kembali menangis.

Desahan panjang keduanya memenuhi mobil patroli kemudian.

Letnan Samsuri menggeleng pelan, merasa begitu—entahlah.

Memangnya apa yang bisa aku lakukan?! Mendadak kata-kata pahit itu pun memenuhi rongga dadanya. Pada akhirnya tidak ada kalimat yang tepat untuk dia janjikan pada siapapun, sebab dia sendiri pun tidak tahu di mana letak klinik hewan atau rumah sakit hewan berada. Sedari tadi jalanan yang mereka lewati hanya mengarah pada kegelapan yang justru menelan mereka dari dunia. Tanpa sadar Letnan Samsuri memukuli dadanya yang serasa ditimpa bongkahan batu besar. Sekuat apapun dia berusaha mencegah, air matanya tetap menuntut untuk turun. Semakin dia bersikeras menyangkal, semakin dia menyadari ternyata harapan memang tidak selalu menerangi jalan semua orang.

Dengkingan panjang kemudian keluar dari mulut anjing itu bagai sebuah salam perpisahan yang susah payah dia suarakan. Dilihatnya Ayis semakin mengetatkan pelukan sampai anjing itu benar-benar tidak bergerak lagi dalam dekapannya. Serta-merta Letnan Samsuri pun segera menepikan mobil patroli ketika merasakan kedua matanya telah penuh dengan air. Dia mengambil jeda untuk menarik napas. Akan tetapi, berapa kali pun dia mencoba untuk berbicara, dia ... tetap kehilangan kata-kata. Dia tidak kuasa menghibur Ayis yang sudah menangis menggerung-gerung di sampingnya.

Aryan sudah tertidur dengan pulasnya di atas sofa saat Dimas masih terjaga bersama kopinya di atas meja. Setengah melamun, dipandanginya layar komputer yang tengah menyala, menampilkan file word pada halaman 'Laporan Saksi'. Sesekali Dimas memjiat pangkal hidungnya. Padahal laporan tersebut belum juga rampung, tetapi Dimas merasa jari-jarinya terlalu kaku untuk mengetik saat ini. Dia masih belum bisa melupakan sesi interogasi yang dia lakukan pada pria bernama Dodi, adik kandung Wahyam—Ayah Rudi. Kata-kata yang keluar dari mulut pria itu bagai mimpi buruk yang terus menghantuinya. Seketika kerawasannya seperti terenggut sia-sia. Bukan—bukan karena fakta yang dia dapatkan dari pengakuan Dodi bahwa Wahyam merupakan seorang dukun penganut ilmu hitam—melainkan sebuah kebenaran lain, yang selama ini tak diketahui banyak orang, membuat Dimas tercengang hingga dia nyaris tak bisa berkata apa-apa.

Saat itu Dodi menggeleng, mematahkan pernyataan Dimas tentang Ayah Rudi yang tewas akibat kecelakaan tunggal.

"Bukan—kematian Abang saya bukan karena kecelakaan tunggal."

"Apa maksud Anda, Pak?" Dengan raut bingung Dimas bertanya.

Di balik meja interogasi, Dimas mendapati Dodi menunduk dalam-dalam. Saat Dodi kembali pada posisi tegak, dilihatnya mata pria itu sudah berkaca-kaca.

"Saya sempat mengunjunginya di rumah sakit, Pak Polisi," katanya menjelaskan. "Saat itu saya tidak sengaja menguping pembicaraan Kakak Ipar dengan seorang pria berseragam polisi. Pria itu mengaku, bahwa sebenarnya dialah yang menyebabkan mobil yang dikendarai Abang saya masuk ke jurang." Dodi menjeda sebentar. Keningnya terlipat-terlipat, terlihat berusaha mengingat-ingat. Dia bilang, "Pria itu sebenarnya berniat menyerahkan diri, namun Kakak Ipar kelihatannya tidak ingin memperpanjang masalah, jadi kasusnya ditangani secara kekeluargaan saja."

Dodi mengaku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, sebab saat itu dia langsung pergi merantau ke Kalimantan, untuk membantu membayar biaya pengobatan Wahyam yang mendapat cidera serius. Sayang, Tuhan ternyata berkehendak lain, setelah tiga bulan dirawat di rumah sakit, Wahyam pun harus mengembuskan napas terakhirnya.

Dimas sempat menanyakan, barang kali Dodi tahu siapa nama pria berseragam polisi yang dilihatnya tersebut, namun Dodi hanya bisa menggeleng, menegaskan bahawa pria itu sama sekali tidak tahu identitas polisi yang datang menemui istri Wahyam.

Kecelakaan tersebut adalah masalah yang serius, bahkan sampai menyebabkan Wahyam koma dan meninggal, tetapi mengapa istri Wahyam memilih berdamai begitu saja? Dimas yakin ada sebuah alasan di baliknya—yang mungkin tidak diketahui Dodi.

Kopinya yang hampir dingin Dimas habiskan dalam sekali tenggak. Dia kembali memeriksa kelengkapan berkas-berkas kasus dua belas kerangka itu dalam map. Siti Sundari, Santini alias Joseph Judith, Lina S, Dwi Sartika, S. Saragih, Fatmawati, Ria FS, Paula L, Ajeng Rahayu, Hastuti Nirwana, Diah Ayu, dan terakhir Dewiana, mereka semua adalah korban kebiadaban Wahyam—pria empat puluh tiga tahun, berprofesi sebagai dukun atau orang pintar—si pembunuh berantai yang ternyata menganut ilmu hitam. Semua berkas milik para korban telah dia urutkan sesuai dengan tanggal dan waktu para korban dinyatakan menghilang dalam laporan Pusat Orang Hilang. Dimas tinggal menyiapkan laporan kesaksian dari Dodi, agar kemudian berkas ini bisa diserahkan ke Kasat Reskrim, dan press release-nya bisa segera dibuka ke hadapan publik. Namun, raut wajah Dimas mendadak berubah bingung saat dilihatnya tulisan dalam sebagian berkas print out itu seperti bergerak-gerak tidak keruan. Huruf-huruf hasil ketikan papan tombol itu kian lama kian memburam, kemudian dalam sepersekian detik raib begitu saja, persis seperti gambar dalam layar hologram yang berderik-derik sebelum lenyap dalam satu garis tipis.

Dimas nyaris saja terjengkang dari bangkunya. Dia masih berusaha mencerna kejadian tidak masuk akal ini sembari menjeritkan nama Aryan berulang kali, namun Briptu itu tidur seperti kerbau dengan sumpalan handsfree di telinganya.

Sekali lagi diperiksanya berkas-berkas tersebut, yang kini hanya menyisakan berkas milik Siti Sundari, Santini, juga tiga korban setelahnya, sementara sebagian besar halaman kertas A4 lainnya kosong melompong; nihil.

Desahan napas Dimas tahan sebisa mungkin. "Apa yang ...." Dia hendak menyerukan ketidakpercayaannya ini, tetapi suara berisik yang berasal dari dalam laci meja kerjanya membuatnya refleksnya buru-buru menarik gagang laci tersebut.

HT tua yang mendekam di dalamnya terus mengeluarkan suara krasak-krusuk yang khas mirip semut-semut berjalan dalam televisi rusak. Sesegera mungkin Dimas membawa benda berantena panjang itu ke hadapan mulutnya. "Letnan Samsuri ...?" panggilnya, ragu-ragu. Selama ini HT tersebut memang tidak pernah berfungsi lagi. Dimas menunggu cukup lama, sampai kemudian dia merasa yakin bahwa operator yang masuk ke HT tua tersebut berasal Letnan Samsuri, senyumnya pun serta-merta terbit begitu saja.

"Inspektur ...," sahut suara di seberang dengan tersendat-sendat. "saya ... merasa tidak pantas menjadi seorang polisi."

Senyum yang tadinya mengembang di wajah Dimas pun seketika menciut. Dia sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapan Letnan Samsuri.

"Saya mungkin akan segera mengundurkan diri dari kepolisian."

"Hah ...?" balas Dimas yang makin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Letnan Samsuri. Dahinya ikut terlipat tidak keruan. Suara Letnan Samsuri yang berhasil ditangkapnya terdengar sangat parau. Sesuatu yang buruk mungkin menimpanya di masa lalu, sampai-sampai suara pria itu terdengar sangat putus asa. "Apa yang terjadi memangnya, Let—"

"Saya merasa sangat gagal, Inspektur," sergah Letnan Samsuri cepat. Desahan panjangnya pun mengudara kemudian. Dimas kembali membuka mulut, namun kelihatannya Letnan Samsuri tidak bisa disela. "Hachiko ... saya tidak bisa menemukan tuannya. Maafkan saya, Inspektur, saya—saya—"

Tidak ada suara setelahnya.

Letnan Samsuri menjeda untuk menelan isakannya yang nyaris saja keluar. "—telah membunuh seseorang."

"Mem—bunuh ...?" Dimas refleks menutup mulut, tidak tahu harus bagaimana menanggapi pengakuan dari Letnan itu.

Meski memang tidak begitu jelas, Dimas yakin mendengarnya menangis tersedu-sedu. Dimas sampai kebingunan dibuatnya. "Apa maksud Anda, Letnan?"

Belakangan mereka nyaris tidak pernah berkomunikasi lagi lewat HT. Dimas tidak bisa menebak apa yang terjadi, namun dia benar-benar merasa sangat khawatir pada Letnan Samsuri. Menyadari nama Hachiko disebut-sebut oleh Letnan itu, Dimas jadi menduga-duga; sepertinya Letnan Samsuri juga tengah menyelidiki kasus ini di masanya.

"Maafkan saya, Inspektur. Saya tidak bermaksud membunuh dukun gila itu ...."

Kalimat itu menjadi ucapan terakhir Letnan Samsuri yang dia dengar sebelum HT di tangannya benar-benar padam.

Dimas meneriakkan nama Letnan Samsuri berulang kali, hendak menagih penjelasan, tetapi sia-sia saja  sebab HT tua itu telah mati sepenuhnya.

Seketika semuanya berubah.

Dimas pun baru menyadarinya, ketika kedua bola matanya dia bawa bergulir ke tumpukan informasi yang tampak pada kaca linimasa.

Santini alias Joseph Judith, kerangka pertama yang berhasil ditemukan di halaman sebuah rumah reyot—tepatnya di Desa Batu Bedimbar—informasinya tertulis jelas di sana, hanya saja keterangan terkait Hachiko tidak ada dalam linimasa, seolah memang tulang-belulang milik anjing jenis Siberian Husky itu tidak pernah dikuburkan dalam liang yang sama dengan jasad waria tersebut.

Selain itu, korban yang semula berjumlah dua belas orang, pada kaca linimasa hanya tertulis detail infomasi milik lima orang (korban) saja, selebihnya menghilang, sama seperti berkas-berkas print out yang tadinya Dimas periksa. Padahal Dimas yakin sekali kemarin Aryan sudah menulis nama-nama para korban dengan benar.

Dan juga ... Wahyam, dukun gila yang seharusnya meninggal pada November 2003, waktu kematiannya berubah menjadi November 2002.

Dimas yang tidak mengerti hanya bisa menggeleng takjub.

Letnan Samsuri ..., ucap Dimas dalam hati. Ternyata dia tidak pernah menyerah pada kasus ini.

Meski Letnan Samsuri tidak bisa menangkap Wahyam saat itu dengan tangannya sendiri, dia berhasil menghentikan pembunuhan berantai ini.

... Inspektur. Saya tidak bermaksud membunuh dukun gila itu, kata-kata Letnan Samsuri mengiringi langkahnya menuju linimasa di sudut ruangan. Dimas seperti kehabisan kata-kata. HT tua dalam genggaman tangannya memang punya kekuatan magis, namun sesungguhnya usaha dari Letnan Samsurilah yang justru membuat kejadian-kejadian di masa lalu mengalami banyak perubahan. Hubungan transmisi keduanya bisa saja mengacaukan masa lalu, yang pastinya turut berimbas pada masa kini. Namun, di balik itu semua, setidaknya Letnan Samsuri berhasil menyelamatkan tujuh nyawa manusia sekaligus—yang seharusnya mati di tangan Wahyam pada akhir tahun 2002 sampai awal tahun 2003.

_____________

Notes:

Bingung gak kira-kira kalian?

Tunggi sebentarrrrr!!!! Beri saya selembar tisu man-teman.

Saya tuh sedih tau nggak sih nulis tentang Hachiko sebenarnya. Airmata saya aja sampe meleleh, nih, saya kasih ingus sekalian. Wkwk (btw yang bener airmata atau air mata, sih?)

I'm so sorry for Hachiko, tetapi semoga kalian bisa ngerasain feel-nya dan juga bisa ngebayangin gimana perasaan Letnan Samsuri juga Ayis saat itu. //ukh nangis

Ngomong-ngomong saat saya lagi nulis adegan Letnan Samsuri megang senter tetiba saya teringat benda jadul ini, tetapi saya tidak begitu pandai mendeskripsikannya. //mangaap

Entah kenapa jadi berasa ikut bernostalgia saat saya lagi nulis cerita ini. 2002, kira-kira umur saya ... em ... berapa ya? Wkwk

Hayoloh. Kok bisa ya jadi Letnan Samsuri yang nabrak tuh dukun gila?

Penjelasannya bakal saya kasih di part selanjutnya. Kita bakal flashback (mungkin) karena sewaktu HT tua itu bunyi posisi Letnan Samsuri ada di bulan November 2002. Ok stopppp!! Kebanyakan sopiler.

Semoga kalian gak bingung ya dengan alur cerita ini.

Love you, gaeys //lebay beud.

Arabicca.

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 483K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
30.3K 2.4K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
Milikku By es

Mystery / Thriller

30.7K 3.2K 15
"Aku tidak suka berbagi. Tubuhmu, wajahmu, dan cintamu, hanya untukku. Karena kau milikku, dan aku pemilikmu." Warning ⚠️ • sungsun area • bxb/homo...
9.7K 924 18
Jangan keluar jika kau ingin selamat Semua orang melupakan semua yang mereka sayang, demi menyelamatkan nyawa Dunia kami hancur Hidup kami hancur Nam...