Bunga Terakhir

Door Malseyes

20.9K 2.1K 363

"Aku menyayangi adikku dengan sepenuh hati. Apapun akan kulakukan demi membuatnya bahagia, termasuk mendapatk... Meer

Pertemuan
Secercah Cahaya
Krist
Mengenal Janji
Ruang
Menerima
Rumah
Impian
Belajar
Rinai Bahagia
Tak Selalu Manis
Akar
Keyakinan Lama
Hadir
Patah
Arah yang berbeda
Satu demi satu
Luka Bersama
Akankah kembali?
Bunga Terakhir
Kelanjutan Bunga Terakhir
Bunga Terakhir 2
CERITA BARUUUU

Mama

1.4K 135 16
Door Malseyes


"A mother's heart is always with her children." – Anonymous

.

.

"Sea, ada apa denganmu?" Singto bertanya pelan.

Sea kembali menangis, "P'Singto! Aku menemukan Mama!"

Singto mengernyit tidak mengerti. Pandangannya mengedar ke seluruh cafe, lalu setelahnya napasnya tertahan. Tatapannya tertumbuk pada satu orang yang sejak tadi berada di dekat mereka. Jantung Singto berdegup dengan kencang. Singto paham sekarang. Paham sekali.

Mata itu...

.

.

Singto terkejut menatap wajah di depannya. Pipi bulat yang merona, alis tebal dan hidung yang mancung memang sangat berbeda dengan sang Mama. Namun mata pemuda itu nyaris sama. Tatapannya teduh dan menghangatkan. Mendadak Singto merasa kesulitan bernapas. Ia seperti sedang ditatap oleh Mamanya. Mata Singto memanas. Ia rindu sekali.

"P'..." lirih Sea.

Singto segera tersadar, ia melepas pelukannya dan menatap Sea, "Sea, kita harus pulang."

Sea menggeleng, "Tidak. Aku ingin bersama Mama,"

Singto menghela napas,"Sea, ini sudah larut. Ayo.."

Singto menarik tangan Sea dengan sedikit paksaan. Awalnya Sea menolak, namun ia luar biasa lelah sekali. Pertemuan yang tidak terduga ini menguras energi dan juga hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Singto. Jika boleh, Singto ingin sekali menatap mata itu sedikit lebih lama. Ia rindu memeluk Mama, menceritakan segala keluh kesahnya.

Singto menatap Nanon, memerintahnya untuk ikut. Singto sama sekali tidak ingin melihat ke arah pemuda tadi. Ia meragukan dirinya sendiri. Bisa saja ia langsung lari memeluk pemuda itu.

Berteman dengan Sea sekian tahun, mampu membuat Nanon mengerti. Nanon mengangguk pada pemuda tadi. Meminta maaf lalu ikut pulang bersama Singto dan Sea.

"Krist?" panggil pelayan lain pada pemuda tadi.

Krist menoleh.

"Hari yang aneh ya?"

Krist mengangguk. Tentu saja aneh. Tidak pernah terpikir olehnya akan dipanggil "Mama" oleh seseorang. Hey, ingatkan dirinya jika ia masih laki-laki tulen. Krist sudah ingin tertawa keras-keras jika ia tidak melihat genangan air mata pada kedua bola mata gadis tadi. Krist terkesiap. Mata itu sarat akan kerinduan dan kesedihan. Jika pemuda yang ternyata adalah kakaknya tidak datang, mungkin Krist yang akan memeluk gadis itu. Krist tidak sampai hati melihat seseorang menangis tersedu-sedu.

Krist meremas dadanya. Hatinya ikut sakit. Lahir dengan tanpa kedua orang tua kandung di sisinya, sedikit banyak membuat Krist paham perasaan gadis tadi. Mungkin gadis tadi sedikit beruntung, Krist bahkan tidak pernah tahu bagaimana wajah ibu dan ayahnya.

Sudah cukup. Krist menggelengkan kepalanya. Masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan.

***

Sea langsung tertidur pulas begitu duduk di mobil. Kepalanya bersandar pada Nanon yang sejak tadi diam. Nanon hanya menatap sedih pada Sean. Menyesal kenapa ia menyetujui permintaan Sea.

Singto menghela napas lalu melirik Nanon yang berada di kursi belakang, "Nanon?"

"Ya, P'?"

"Berjanjilah padaku. Ini pertama dan terakhir kalinya Sea bertemu dengan pemuda tadi, mengerti?" jelas Singto.

Nanon hanya mengangguk. Singto berkata dengan tenang tapi Nanon jelas mendengar penekanan dari setiap kata yang Singto ucapkan.

Nanon menatap Sea lagi. Mungkin Sea akan memberontak nantinya. Tapi semoga saja Sea dapat mengerti.

Semoga.

***

Setelah mengantar Nanon, Singto melajukan mobilnya ke rumah. Jika tidak ada Sea di dalam mobil ini, mungkin Singto akan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Luapan emosi yang tidak bisa ia jelaskan menguasai jiwanya. Singto menahan diri untuk tidak mengumpat. Ia masih cukup sadar untuk tidak melakukan hal yang akan membahayakan nyawa diri dan juga adiknya.

Beberapa menit kemudian, Mobil Singto sampai di halaman rumahnya. Singto membuka pintu mobil belakang, menggendong Sea lalu membawanya ke kamar.

"Baru pulang, Nak?" seorang bibi yang bekerja di rumahnya menyapa. Singto hanya membalasnya dengan senyuman tipis lalu melanjutkan jalannya.

Setelah membaringkan Sea di ranjangnya, Singto menatap Sea dengan sendu. Kalau sudah begini, esok hari adiknya akan demam tinggi. Singto mengusap wajahnya penat. Merasa hari ini sangat melelahkan.

Sebelum benar-benar menutup pintu kamar Sea, Singto kembali memperhatikan adiknya yang tertidur pulas. Cukup untuk hari ini. Singto harus menyiapkan fisik dan hatinya untuk menghadapi Sea esok hari.

***

Singto terjaga semalaman. Tidak harus menunggu besok, Sea sudah mulai demam tinggi. Singto telaten mengganti kompres di dahi Sea.

Singto memperhatikan Sea, sudah sejak beberapa menit yang lalu, adiknya ini bergerak gelisah dalam tidurnya. Tangan Singto bergerak maju, mengusap kepala Sea lembut. Berhasil, Sea tenang kembali. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Sea kembali bergerak-gerak bahkan mulai meracau.

"Sea?" panggil Singto lembut sambil berusaha membangunkan Sea.

Sea tidak kunjung bangun juga, Singto mulai panik.

"Sea?! Sea!"

"MAMA!!" Sea bangun dan berteriak.

"Mama..."

Singto langsung memeluk Sea yang mulai menangis.

"P', tadi aku bermimpi... Mama dan Papa di sana. Mereka memelukku, P'.. Tapi tiba-tiba cahaya putih mengambil mereka.. P'..." Sea menangis dengan kencang.

"Kenapa mereka meninggalkanku P'? Kenapa mereka pergi dari kita? Apa... Apa Papa dan Mama tidak sayang lagi pada kita, P'?"

Dalam diam, Singto ikut menangis bersama Sea. Pertahanannya runtuh. Sudah sejak tadi ia ingin sekali menangis, Singto sudah berjanji pada kedua orang tuanya untuk selalu kuat. Untuk selalu menjaga Sea. Tapi tidak bolehkah Singto merasakan sedih? Singto juga rindu. Singto juga sakit.

Beberapa menit kemudian, Sea yang sudah lelah menangis akhirnya jatuh tertidur. Ini lah alasan mengapa Singto harus berada di dekat Sea jika adiknya itu sedang demam. Sea akan bermimpi buruk dan mulai meracau. Jika sudah seperti itu, Singto harus terjaga dan memeluk Sea sepanjang malam.

Singto jadi teringat pemuda tadi. Tidak. Ia harus memutar otak agar Sea tidak bertemu lagi dengan pemuda tadi.

***

Demam Sea sudah turun dan dengan semangat ia ingin masuk sekolah. Permintaan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Singto. Singto paham, adiknya itu belum sembuh benar. Tempo hari Singto pernah dihubungi oleh pihak sekolah, mengabarkan bahwa Sea pingsan usai pelajaran olahraga. Tidak. Singto tidak ingin mendapatkan serangan jantung untuk yang kesekian kalinya.

"Oh, ayolah, P'... aku kuat kok. Lihat, aku bisa berdiri sendiri," bujuk Sea.

"Apanya? Tadi saja kau nyaris jatuh saat ingin menaruh piring ke dapur. Sudahlah." Tolak Singto.

"P'.. nanti aku tertinggal dalam pelajaran,"

"Tidak akan. P' yang akan mengajarimu."

"P'Singto, nanti ibu guruku rindu padaku!"

"Tidak mungkin."

"P'SINGTOOOO! Aku ingin sekolah!" teriak Sea lalu setelahnya langsung menciut. Singto menatapnya dengan marah.

Sea menundukkan kepalanya, "P'Sing.. maafkan aku. Tapi aku ingin sekali berangkat ke sekolah.."

Singto menghela napas, "Sea, P' tidak akan melarangmu jika kondisimu sedang sehat. Lihatlah? Bahkan mukamu sangat pucat. Hari ini kau istirahat saja di rumah. Jika sudah sembuh, kau bisa langsung sekolah."

"Huh. Baiklah, P'. Tapi P'Singto harus berjanji padaku!"

"Apa?"

"P'Singto harus berangkat kerja hari ini la—"

"Tidak!" Tolak Singto langsung. Untuk yang satu ini Singto sungguhan sulit menyanggupinya.

"Oh ayolah, P'! demamku tidak separah semalam dan nanti siang Nanon akan menemaniku. Lagipula ada bibi yang akan mengawasiku."

"Tetap saja tidak. P' sendiri yang akan mengawasimu, Sea."

"P'Singto, ponsel P' sejak tadi berdering. Aku pusing. Banyak orang yang membutuhkan P'Singto di kantor. Jadi berangkatlah. Oke?" bujuk Sea lagi.

Singto tampak berpikir, "Baiklah."

Sea hampir saja bersorak sampai Singto kembali bersuara, "Tapi kau harus janji padaku. Jangan temui pemuda itu lagi. Paham?"

Sea menelan ludahnya susah payah lalu cemberut, "Iya, janji."

Singto menyodorkan jari kelingkingnya, Sea tertawa geli, ikut mengaitkan jari kelingkingnya. Pinky promise.

***

Sejak Singto pergi beberapa jam yang lalu, Sea langsung senang sekali, berlari menuju komputernya, lalu bermain game sambil bersorak-sorai. Ia memang janji tidak akan menemui pemuda yang kemarin tapi ia tidak janji untuk tidak bermain. Sea sesekali terkikik geli, mungkin Singto akan sangat murka jika mengetahui bukannya istirahat, Sea malah asyik bermain game.

Pintu kamarnya terbuka, Nanon muncul dari pintu sambil membawa buah-buahan yang sudah dikupas dan dipotong oleh bibi.

"Oh, kau datang?" sapa Sea dengan mata yang masih terpaku dengan layar monitor. Lalu mulutnya mengarah pada Nanon, minta disuapi.

Nanon mendengus, dengan sigap menyuapi Sea. "Masih hidup kau?"

Sea tertawa renyah, "Tentu saja masih. Tugasku di bumi kan untuk mengganggu hidupmu,"

"Jangan kau ulangi lagi. Aku tidak sanggup melihatmu seperti kemarin,"

Mendengar ucapan Nanon, Sea langsung menjeda game-nya dan menatap sahabatnya itu, "Kau kan jelas tahu kenapa aku bereaksi seperti itu."

Nanon mengangguk lalu menyuapi Sea lagi sambil sesekali ikut makan. "Kau tak tahu betapa sedihnya P'Singto."

"Kau pikir hanya dirimu yang terkejut melihat pemuda yang kemarin?" lanjut Nanon.

Sekarang Sea sudah benar-benar berhenti mengunyah. Sea merasa dirinya tidak berguna. Ia hanya sibuk dengan kesedihannya. Ia tidak memikirkan jika Singto juga pasti merasakan sedih. Kakaknya itu memang tidak pernah mengeluh tapi Sea yakin Singto pun juga lelah. Lelah mengurusi dirinya. Lelah dengan semua tanggung jawab yang harus dia pikul sendirian.

Nanon melihat mata Sea berkaca-kaca dan siap menangis kapan saja,"Hei hei. Sudahlah. Aku tidak datang untuk membuatmu menangis,"

Sea hanya mengangguk, selera makannya lenyap sudah.

"Kau harus berjanji untuk tidak menemui pemuda itu lagi, Sea. Kau harus memahami P'Singto,"

Sea mengusap matanya,"P'Singto mungkin saja akan membunuhku jika aku melanggarnya untuk kesekian kalinya,"

Tapi bagaimana jika pelanggaran itu yang menghampirimu?

***

Sea menggaruk lehernya. Ternyata setelah asik memakan buah, ia jatuh tertidur. Dilihatnya Nanon yang sedang tertidur pulas di sofa dengan mulut terbuka. Jelek sekali, pikirnya. Tangannya sigap mengambil ponsel lalu mengabadikan wajah Nanon. Sea bisa menjadikan foto itu sebagai senjata rahasia jika Nanon menjahilinya.

Tanpa sadar, Sea mengelus perutnya. Sea teringat ia belum makan apapun selain buah tadi. Demi perutnya yang lapar, Sea bangkit dari kasurnya menuju dapur. Lagi pula ia sudah merasa jauh lebih baik.

"Bibi!" Sea jahil sekali mengejutkan bibi yang sedang memasak.

"Astaga!" kaget bibi nyaris menjatuhkan spatula yang ia pegang.

Sea terkikik tanpa merasa bersalah,"Bi, tolong masakan aku nasi goreng keju. Ya? Ya?"

Bibi spontan menggeleng,"Tidak. Singto berpesan untuk membuatkanmu sup."

Sea langsung manyun. Bibi sudah bekerja untuk keluarga Prachaya sejak Sea dan Singto masih kecil. Tak heran jika bibi sudah seperti ibu mereka sendiri.

"Aku akan tetap memakan sup itu. Tapi aku juga ingin nasi goreng, bi. Ayolah.." Sea menatap bibi dengan tatapan melas yang dibuat-buat.

Bibi tersenyum,"baiklah. Tapi sepertinya kita kehabisan keju,"

"Aku! Aku saja yang beli!" Sea mengacungkan tangannya.

"Tapi kau masih sakit, Sea."

"Tidak, tidak. Lagi pula ada Nanon yang siap menemani. Nanon!!" Sea berteriak antusias.

"...Aku di sini sejak tadi," balas Nanon yang masih sangat mengantuk.

"Lihat kan, bi? Nanon siap menemaniku. Dan minimarket-nya pun tidak jauh. Aku berjanji akan kembali dalam 30 menit, bi."

Bibi akhirnya mengiyakan,"Baiklah. Tapi kau harus berjanji untuk tidak pergi terlalu lama."

"Yes!!" Sea senang sekali. Berlari mengambil jaketnya lalu menarik Nanon yang masih setengah sadar.

***

"Ini! Ini enak sepertinya.."

"Ini juga!"

"Yang ini juga!"

Nanon menatap Sea bosan."Seingatku bibi hanya menyuruh kita membeli keju,"

"Itu kan aku sudah mengambil keju,"

"Tapi tidak dengan semua ini," Nanon menunjuk cemilan yang memenuhi keranjang belanja mereka.

Sea mengibaskan tangannya,"Sudah, diam saja kau. Nanti kau juga ikut memakannya kan?"

"Iya sih.."

"Nah, sudah! Ayo kita bayar!"

Nanon mendengus,"Bukan kita tapi kartu kredit P'Singto."

Sea hanya melangkah pura-pura tidak mendengar. Setelah selesai membayar, Sea dan Nanon segera bergegas pulang. Mereka bisa diceramahi oleh bibi jika terlambat.

"Hei, tadi di sekolah belajar apa saja?" tanya Sea sambil berjalan.

"Tenang saja. Aku sudah membuat catatan untukmu,"

"Wow~ baiknya temanku ini~~" lalu Sea dan Nanon tertawa keras-keras.

Tiba-tiba tawa Sea berhenti. Tatapannya terkunci pada seorang pemuda. Pemuda itu. Nanon hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi.

Krist sedang berjalan ke arah mereka lalu akhirnya berhenti saat mengenali dua orang di hadapannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Krist tersenyum sopan lalu kembali melanjutkan jalannya. Namun terhenti saat tangannya ditahan oleh seorang gadis—Sea.

"Tunggu, maaf. Aku tidak bermaksud lancang. Bisakah kita berbicara sebentar?" Sea menatap Krist dengan penuh harap.

"Sebentar saja, aku mohon.." pintanya lagi.

Krist akhirnya mengangguk menyanggupi, berharap semua akan baik-baik saja. Nanon melirik jam tangannya gusar. Jangan sampai P'Singto tahu mengenai hal ini.

***

"Namaku Sea, Sea Prachaya," lahir dalam keluarga yang terhormat mampu membuat Sea tumbuh menjadi gadis yang sangat sopan walaupun terkadang ia suka seenaknya sendiri.

"Aku Krist. Krist Perawat," balas Krist sambil tersenyum.

Senyuman itu..

"Aku senang sekali bertemu denganmu, P'Krist. Maafkan aku atas kejadian kemarin," Sea menahan dirinya mati-matian untuk tidak memeluk Krist saat ini.

"Tidak masalah. Aku yang seharusnya meminta maaf karena telah membuatmu menangis, Sea."

Sea menggeleng, berusaha untuk tidak menangis. Tidak boleh. Iya sudah berjanji. "Mata P'Krist sangat mirip dengan mata Mama. Sekarang aku seperti menatap mamaku sendiri,"

Krist terkesiap, tidak tahu harus menjawab apa.

Hening melanda mereka. Krist sedikit banyak bisa menebak apa yang terjadi dengan Sea.

"Sea, kau tahu? Aku yakin Mamamu sedang menatapmu dengan bahagia, di manapun beliau berada. Beliau akan selalu mendampingimu setiap saat. Beliau tidak pergi ke mana pun."

Perkataan Krist membuat Sea nyaris kehilangan kendali. Sea sudah ingin memuntahkan tangisannya.

Nanon mendekat, menepuk bahu Sea. "Sea, kita harus pulang,"

Sea menatap Nanon lalu beralih menatap Krist,"P'Krist, bolehkah aku memelukmu?"

Permintaan sederhana tetapi begitu sulit untuk mengabulkannya. Tapi Krist tidak sanggup jika harus menolak permintaan Sea. Akhirnya, Krist mendekat lalu memeluk tubuh Sea yang terasa sangat ringkih.

Air mata Sea mengalir juga, ia merasakan kedamaian, "Mama, aku sangat merindukanmu.."

"Sea!" panggil sebuah suara.

Sea terkejut, lalu menoleh. Matanya bertemu dengan kedua mata Singto yang menatapnya dengan marah.

"P'Singto?"

TBC

Terimakasih sudah membaca. Kritik dan saran sangat membantu :)

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

138K 13.1K 60
hiya hiya hiya udah nyampe jilid 3 ajaaa
261K 24.5K 50
Saya baru pertama kali nulis cerita. Berhubung kecintaan saya yang besar terhadap Kongpop dan Arthit, lahirlah FF ini. Plot story ini murni karya say...
13.5K 1.9K 29
Kejadian naas menimpa sepasang suami-istri ketika pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dalam perjalanan liburan. "Apa takdir sedang mem...
424K 15.3K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...