ARMY (Completed)

By itsfiyawn

326K 44.6K 11K

Gue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. D... More

Sepenggal Kata
1. Aku, Langit, dan Bulan
2. Pernyataan Langit
3. Kepergian Bulan
5. Aku di Garis Terdepan
6. Kabar Bulan & Rahasia Langit
7. Army on Revenge
8. Mr. Arrogant
9. Deal! Kesepakatan Baru
10. Ms. Batu
11. Misi satu... berhasil!
12. Prome Night
13. Misi Kedua, Gagal.
14. Prabumi dan Semesta Barunya
15. Rumpang
16. Perselisihan
17. Pelukan Pertama
18. Kita akhiri ini, ya?
19. Sisa Waktu
20. Perasaan Baru
21. Menghindar
22. Kedatangan Tamu
23. Perjanjian yang Sebenarnya
24. Perasaan Army
25. Kita Ini Apa?
26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi
27. Army in My Arm
28. Rahasia Bima
29. Rin, Si Cinta Pertama
30. Tentang Maaf yang Seluas Jagad Raya
31. Waktu Perjanjian Selesai
32. Titik Nadir
33. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (1)
34. Kemarahan Bima & Penyesalan Army (2)
35. Yang Memilih Pergi
36. Makna Keberadaan
37. Jangan Cari Gue
38. Terima Kasih
Epilog
Pengumuman
Special Ending 1 (We Meet)
Special Ending 2 (My Picture)
Special Ending 3 (Fated)
Special Ending 4 (Us)
Ada yang kepo tentang Army?

4. Bima

9K 1.1K 78
By itsfiyawn

Sewaktu memilih universitas, aku tidak ambil pusing masalah pilihan kampus dan jurusan. Aku hanya mengikuti alur dalam hidup ini. Alurku yang selalu mengikuti kemana Langit pergi. Gampang saja. Apa yang Langit pilih, aku pilih. Sialnya, Langit memilih jurusan Ilmu Komputer, ketika aku terjun memelajari mata kuliahnya, otakku kejang-kejang lantaran dipaksa berpikir melibihi kapasitasnya dan kini dia hampir tidak berfungsi! Ya ampun! Susah banget! 

"Kalau bego jangan nyeret-nyeret gue, kek!" rutuk Nanang, sahabat boleh nemu di got, ketika kami mengerjakan soal Kecerdasan Buatan yang nggak juga mencerdaskan justru menyusahkan. 

"Lah, elo mah emang udah bego dari lahir kali, Nang. Masih mending gue masih ada semangat untuk menyelesaikan soal yang memakai bahasa jin ini!" 

"Lima menit pertama lo mikir setelahnya lo main game, Ijah!"

"Lah, kan main game-nya juga ama lo, Bambang!" 

"Ya emang kalian duo bego," sahut suara berat yang entah muncul dari mana. Tiba-tiba saja Koko, adikku, duduk di atas sofa ruang tengah. 

Aku dan Nanang sedang berusaha menyelesaikan game, maksudnya tugas. Tapi sudah sejak tiga jam yang lalu lembar jawaban kami masih polos tak noda. Suci belum terjamah tinta. Sama kosongnya dengan otak Nanang. 

"Nah ini ada adik lo, Mi. Adik lo aja yang ngerjain, nih. Apalagi dia kuliah di kampus teknik, kan? Beginian mah udah jadi makanan sehari-hari kali," celetuk Nanang yang dihadiahi lemparan kacang goreng dari Koko. 

"Gue? Minta bantuan dia? Ewwhh. Sori sori stroberi, ya! Ogah banget! Yang ada dia makin besar kepala dan minta yang aneh-aneh yang bisa menjatuhkan harga diri gue!" tolakku mentah-mentah. 

"Yailah, singkirkan harga diri lo sesaat demi nilai lo, Mi. Nilai lo masa depan lo." Nanang nyengir tanpa dosa. 

Kini Koko sedang tiduran santai di sofa, memainkan ponsel  sambil mengunyah kacang goreng. 

"Big no, Nanang!" teriakku kesal. 

Koko yang dari tadi kita bicarakan tetap tidak peduli. Dia memang orang yang sangat cuek. Jangan ditiru. 

Sepuluh menit berlalu, kami tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Nanang sudah seperti anak kecil yang nggak tahan BAB. Mukanya merah frustasi. Tersisa satu jam lagi sebelum batas akhir pengumpulan tugas melalui email

"Ko! Lo mau makan apa? Gue beliin. Asal tugas gue kelar!" Ya ampun! Nanang sudah menggadaikan harga dirinya! 

"Bagus!" Koko loncat ke arah Nanang. Mengambil kertas, pulpen, dan laptopnya. "Gue pengen makan pizza, donat, baso Mang Supri, gado-gado Bu Nani. Minumnya tolong beliin Chatime rasa green tea topingnya puding." 

"Laksanakan!" Nanang sudah ngacir lebih dulu sebelum aku sempat bicara. 

Aku melotot kesal. Ini anak mau menjajah Nanang yang terlahir kere apa gimana, sih?! Kupukul tangan Koko sebal. "Kayak perut lo bisa ngabisin semuanya!"  

"Bisa, dong! Kan buat stok nanti malam mau begadang nonton Champion," jawabnya enteng. 

Ergh! Kalau begini caranya aku jadi tergoda, kan? Baiklah, singkirkan dulu harga diri seorang kakak yang amat berharga ini. 

"Nih, sekalian punya gue juga," ucapku jual mahal. 

Koko tertawa lebar sampai ujung telinganya berwarna merah. Ya ampun, bahagia sekali dia melihatku begini. 

"Makanya nggak usah sok-sokan, lo!" Koko mengacak-acak rambutku. 

"Diam gak!" Kutepis kasar tangan Koko. 

"Kalau elo, bukan beliin makanan. Tapi rapihin kamar gue, oke?" 

"Lo pikir gue pembantu, lo?!" semprotku. 

"Kalau nggak mau ya yaudah. Gue kerjain punya Nanang aja." Koko berlagak konsentrasi melihat soal. "Wah, soalnya pakai algoritma Fuzzy. Cukup susah, ya. Hmm..." Dia geleng-geleng kepala. 

"Oke, fine! Puas, lo!" Segera kubangkit meninggalkan Koko yang tertawa-tawa puas karena untuk kesekian kalinya, aku harus mengandalkan dia. 

******

"Kenapa lo? Encok lo kambuh?" tanya Nanang begitu aku menghampirinya di depan Gedung Fakultas Seni. 

"Kemarin gue bersihin kamar Koko! Nggak tahu apa pegel banget begini!" keluhku memegang pinggang. 

Tapi serius, kamarku saja jarang aku bersihkan, kalau tidak demi nilai, untuk apa merelakan tenagaku terkuras dan rela jadi 'pembantu' yang menyebabkan otot pegal, kram, kesemutan, darah tinggi. Oke, itu berlebihan. 

"Semua butuh pengorbanan, coy. Kayak cinta," sahut Nanang usil menyenggol lenganku. 

"Makan tuh cinta!" Kusumpal saja mulut Nanang pakai bungkusan roti yang sudah tidak ada isinya. Karena isinya kini sudah di tanganku siap kulahap. Hehehe. 

"Lo yang namanya Army?" Seseorang menghampiriku ketika roti isi coklat belum masuk sempurna di mulut ini. 

"Iya, gue. Kenapa, ya?" tanyaku balik. Ah, aku kenal dia. Cowok ini salah satu koordinator di BEM Fakultas. Lupa koordinator apa. Nggak penting juga sih bagiku, jadi wajar aku lupa. 

"Gue boleh minta nomor telepon lo nggak?" 

"Hah?" Pasti mukaku jelek banget nih sekarang melongo seperti ini. 

"Iya, gue minta nomor telepon lo." Dia menyodorkan ponselnya. 

Kulirik dia, lalu ke ponselnya, lalu ke dia, lalu ke ponselnya. "Gila lo, ya!" Buru-buru aku pergi meninggalkan cowok aneh itu. 

"Ett, tunggu. Sumpah, lo harus kasih nomor lo ke gue." Dia berjalan menyusulku lalu menghadangku dengan tubuh tingginya. 

Kulirik dia sebentar lantas mengarahkan pandangan ke sekeliling. Ada Nanang di belakangku yang pura-pura tolol, ada beberapa anak yang duduk bergerombol. Nah, salah satu dari beberapa gerombolan itu tengah tersenyum usil ke arah kami sembari berbisik-bisik. 

Sebelum aku menemukan jawaban dari sikap cowok ini, dia menarikku menjauh sebelum aku sempat menepis tangan kurang ajarnya ini. "Buruan tulis nomor lo di sini." Paksanya setengah berbisik.

"Lo gila apa gimana ya? Pokoknya gue ogah!" bentakku galak. 

"Please, Army."

"Gue nggak kenal siapa lo, untuk apa gue kasih nomor gue. Jangan sok kenal." kataku segera berjalan melewatinya, mengunyah sebal roti yang sempat tertunda kumakan. 

Baru tiga langkah kakiku berjalan, dia menarik tanganku sampai tubuhku mundur sedikit ke belakang. Refleks aku lontarkan tinjuku tepat di mukanya. Bug. Cowok berkemeja itu jatuh. 

Oops! Sepertinya kepalan tanganku terlalu keras. 

Aku meringis. Mahasiswa lain di sekitar kami seketika menonton kegaduhan ini, beberapa ada yang mengaduh membayangkan sakitnya. Nanang menghampiri kami, buru-buru membantu cowok itu lantas mengutuk diriku.

"Lo cewek apa tukang pukul sih? Orang nanya baik-baik malah dapat tonjokan." Tangan Nanang cekatan membantu cowok itu bangkit. "Lo nggak apa-apa, kan, Bang?" tanya Nanang penuh rasa khawatir. Mirip seperti cowok yang nolongin ceweknya sehabis kena tonjok tukang pukul. 

"Nggak apa-apa, Bro. Thanks, ya," katanya sembari memegang pipi. 

"Ma--maaf..." ucapku sepelan mungkin. "Gue niatnya mau ngedorong elo, tapi spontan malah nonjok." Sial, kenapa aku jadi susah ngomong sih?

"Iya, gue nggak bermaksud maksa lo buat kasih nomor telepon. Gue kalah main game, konsekuensinya gue harus dapetin nomor cewek tergalak se-Ilkom." 

"Hah? Cewek tergalah se-Ilkom?!" ulangku shock.

"Baru nyadar ya lo dapat predikat cewek tergalak se-Ilkom?" tanya Nanang berekspresi sumpah-lo?

Dan apa katanya tadi? Predikat cewek tergalak se-Ilkom? Apa-apaan itu! Lima semester aku kuliah di sini dan baru terkuak kalau predikat itu melekat dalam diriku dan aku sama sekali nggak tahu! Aku sakit hati sekali! Sialan kalian mahasiswa Ilkom seluruh angkatan! Main ngecap orang begitu saja. Ini sama saja bullying

"Kok lo bengong? Kaget ya dapat predikat itu?" Dia menyunggingkan senyum menyebalkan, tebakannya tepat. "Ya nggak heran sih, cewek secuek lo nggak akan peduli juga soal begituan." 

"Emang temen gue ini kepedulian, kecerdasan dan kewarasannya dibawah rata-rata, Bang," ujar mulut kurang ajarnya Nanang. 

Cowok itu malah tertawa. Apanya yang lucu coba?! Mataku melotot ke arah Nanang dan cowok ini. 

"Ya udah kalau nggak mau kasih nomor telepon lo. Maaf ya udah ganggu." 

Sembari mengusap-usap pipinya, dia berjalan meninggalkan kami. 

"Eh, tunggu!" teriakku. 

Dia menoleh. Aku menghampirinya lantas menarik ponsel yang dia pegang. Kuketikkan nomor telepon, lalu menyerahkan kembali ponsel itu. 

"Sebagai permintaan maaf gue," kataku. "Sebaiknya tuh muka diobati. Kayaknya biru. Soalnya, tonjokan gue bisa melumpuhkan urat syaraf." 

Mendengar ucapanku itu, raut wajahnya berubah pias. Aku tertawa menang dalam hati. Rasain! Siapa suruh datang-datang nyebelin!

"O--oke, makasih." Jakunnya naik turun, ketakutan. 

Lucu banget asli!  

"Bima." Dia mengulurkan tangannya, mengajak berjabat. 

"Oh iya, Nang. Waktu lo kenalan ama gue kayaknya lo harus dirawat di rumah sakit ya, kan?" Aku bertanya keras-keras ke Nanang dengan mimik wajah mengingat-ingat. 

Nanang bingung. 

"Oke. Oke. Gue pergi. Thanks." Ditariknya lagi tangan yang terulur itu lalu ia berbalik meninggalkan kami cepat-cepat. 

Aku dan Nanang melangkah pergi, bersembunyi di balik tembok, lalu aku menyemburkan tawa yang sudah dari tadi susah payah aku tahan. Nanang memandangku horor. Tapi aku nggak peduli, saat ini aku hanya ingin menertawakan cowok bernama Bima itu karena berhasil aku kerjain.

"Lo liat nggak sih tampang dia menciut gitu! Anjir, udah ketakutan banget!" Aku memegangi perut, geli. 

"Omongan lo tadi meyakinkan banget. Parah lo bohongin anak orang," kata Nanang. 

"Yahaha! Lagian mana ada nonjok pipi larinya ke urat syaraf! Kelewat bego apa gimana sih tuh cowok!" Aduh, aku sampai menangis dan memegangi perut.

"Eh, tapi lo beneran kasih nomor telepon lo ke dia?" tanya Nanang menghentikan tawaku. 

"Enggak."

"Terus?"

"Gue kasih nomor lo!" jawabku enteng lalu secepat kilat berlari karena Nanang sudah mengejar sambil berteriak marah-marah. 

*****

Halo halo! Gimana gimana part ini? Wkwkwk Langitnya aku sembunyikan terlebih dulu yaaaa hehehe...

Adakah yang masih mengikuti cerita ini?? Silakan jadi pembaca yang baik dengan vote, komen, dan masukin sarannya yaaahh ^^v

Kayaknya, aku akan sering publish di hari senin-jumat deh, soalnya di rumah gak ada wifi, jadi ngerjainnya di kantor :D 

Next chapter menunggu setelah 3k reader dan 1,5 vote. Bisa? :p

Continue Reading

You'll Also Like

378K 73.8K 63
(repost) TERSEDIA EBOOK DI PLAYBOOK, DAN BAB SATUAN SERTA PAKET DI KARYAKARSA. Odetta memang memiliki nama yang serupa dengan tokoh Barbie kesukaanny...
19.4M 871K 57
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
1.4K 291 8
「Boboiboy x Reader」 Seseorang menaruh kardus berisi kaset vidio game di depan pintu rumahku. Setelah kulihat, kasetnya cuma kaset jadul yang tulisan...
340K 41K 54
(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Karma is real. Itu pepatah yang cocok menggambarkan nasib Saka Rivano Thomas, sang dokter muda yang disibukkan mengejar cint...