Creepypasta (Mix & Original)

By vieSalim0310

7.9K 709 50

Suka baca bacaan ringan tapi bikin bulu kuduk bediri? Kamu menemukan bacaan yang tepat! Rasakan sensasi nger... More

Keluarga
Paranoid
Pesan Terakhir
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Resort
Selaksa Teror
Kejutan (Original)
Legenda (Ori)
Demi Cinta (Ori)
Temanku (Ori)
Surat Terakhir (Ori)
Cerita Hantu (Ori)
CCTV (Ori)
Balon (Ori)
Rekaman (Ori)
Pisau Tumpul (Ori)
Anne (Original)
Yeti (Original)
Listrik Mati (Original)
Monster (Original)
Kopi (Original)
Pandora
Pandora
Pandora
Pandora
Pandora
Pandora
Pandora
Hitch Hike
Hitch Hike
Hitch Hike
Hitch Hike
Real
Real
Real
Nikushiba
Jejak-Jejak Sang Kegelapan

Real

66 9 1
By vieSalim0310

Part 3

Episode yang lalu: Kondisi Tomohiko semakin memburuk dan Miss Akagi yang diharapkan, ternyata tak kunjung datang. Tomohiko terpaksa menerima bantuan Ogawa dengan mendatangkan seorang paranormal bernama Hayashi untuk mengusir hantu tersebut. Namun, Hayashi sendiri kewalahan dan hantu itu kembali menampakkan diri dengan wujud yang lebih mengerikan. Tomohiko kini putus asa.

Empat hari berlalu sejak upacara pengusiran setan yang gagal itu. Leherku mulai terlihat dan terasa lebih baik. Bekas itu masih ada, tapi secara fisik aku merasa lebih baik. Demam ini sudah turun dan aku tak punya banyak hal untuk kukeluhkan sejak rasa sakit ini mulai berkurang.

Namun, kelainannya kini tidak pada tubuhku. Mental menurun secara drastis. Entah apakah itu siang atau malam, aku selalu khawatir bahwa hantu itu akan menampakkan diri lagi. Aku tak bisa tidur saat malam dan bahkan tak berselera makan. Selalu memeriksa, apakah ada yang aneh di sekitar. Aku tak punya waktu untuk merasa lelah ataupun lapar.

Setelah sepuluh hari, aku memperhatikan bahwa wajah mulai terlihat berbeda. Aku bahkan hampir tak mengenali diri sendiri di cermin. Kondisi mental yang melorot sangat terpancar dari wajah dan penampilanku. Aku benar-benar tak tahan lagi.

Jelas, dalam kondisiku seperti saat ini, sudah tak ingin lagi berurusan dengan “dunia normal”. Orang tuaku menghubungi perusahaan di mana aku bekerja di Tokyo dan mengatakan pada mereka bahwa aku berhenti. Saat mereka menelepon, aku melihat mereka menatap dengan aneh. Entah, mungkin saja bos marah mendengarnya dan mulai mengatakan hal-hal yang tidak-tidak tentang kelakuanku di tempat kerja.

Aku merasa takut dengan apa pun, bahkan gerakan batang pohon persik yang ada di luar jendela, mengayun ke depan ke belakang, membuatku sangat ketakutan. Kapan pun aku melihat sesuatu di sudut mataku, selalu bertanya apakah gerakannya maju dan mundur? Masih dua minggu lagi sebelum Miss Akagi bisa menemuiku, dan aku mulai tak sabar. Itu sangat terlalu lama, apalagi dengan kondisi yang takut setengah mati ini.

Suatu hari, orang tuaku secara mengejutkan membawaku keluar dan memaksa masuk ke dalam mobil. Mereka hendak membawaku ke suatu tempat.

“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” kata ayah sepanjang perjalanan. Ibu, yang duduk di kursi belakang bersamaku, memijat bahu dengan lembut. Aku tak ingat kapan beliau terakhir melakukannya, pasti sudah bertahun-tahun yang lalu.

Aku tak tahu berapa lama waktu yang berlalu, tapi pada suatu titik matahari terbenam dan bulan mengambil alih tahtanya di langit, berpendar bersama bintang-bintang. Walaupun aku sudah berumur lebih dari 20 tahun, aku tertidur di pangkuan ibu. Ini pertama kalinya aku dapat tertidur nyentak setelah berhari-hari.

Ketika terbangun, matahari telah naik dan aku merasa segar. Orang tuaku mengatakan bahwa satu setengah hari telah berlalu sejak kami naik ke dalam mobil ini. Aku merasakan bahwa mungkin takkan pernah tertidur senyenyak seperti semalam. Aku menatap keluar dan tersadar, tempat ini sepertinya tempat ini tak asing bagiku.

Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingat tempat ini. Aku cukup yakin kami berada di Nagasaki setelah melihat sebuah kereta api melintas, pemandangan yang biasa kulihat saat kecil saat diajak berkunjung ke rumah kakek nenek. Aku cukup terkejut orang tuaku membawaku sejauh ini. Aku berasumsi bahwa tak mungkin naik kereta ataupun pesawat, sehingga mereka memilih dengan mobil. Mereka mengaku bahwa mereka berhenti beberapa kali sepanjang jalan untuk beristirahat, tapi tetap saja ayah tak mendapat tidur yang cukup. Ibu tak ingin khawatir, karena itu dia tetap memangkuku tidur untuk membuat tenang. Aku pikir aku mampu membalas semua yang telah mereka lakukan selama dua hari terakhir ini.

Kakek nenek tinggal di wilayah yang bernama Yanagawa. Ketika kami tiba, kami berhenti di kaki sebuah bukit dan orang tuaku keluar dari mobil untuk berbicara dengan kakek-nenek sebelum mereka membawaku. Mereka tinggal di atas bukit itu dan engkau perlu menapaki anak tangga dari batu untuk mencapai rumah mereka.

Orang tuaku hanya ingin menaruh beberapa barang bawaan kami dan menjemput kakek-nenek sebelum kami pergi menemui Miss Akagi. Aku tahu kondisi cukup buruk ketika orang tuaku menolah bantuan untuk membawa barang bawaan kami. Namun tetap saja, berada jauh dari Tokyo dan Saitama, di mana aku mengalami semua pengalaman mengerikan itu, membuatku merasa santai.

Ketika menunggu mereka di dalam mobil, aku hanya duduk menyilangkan kaki dan menatap keluar. Tiba-tiba saja leher kembali terasa sakit. Rasa sakitnya amat tajam di sepanjang lingkaran di leher. Intensitasnya yang luar biasa membuat rasa sakit yang dulu kurasakan seperti gelitikan. Tanpa berpikir, tanganku segera meraba luka di leherku tersebut dan merasa shock ketika menyadari bahwa luka itu basah.

Ketika menarik jari-jari, aku melihat lumuran darah.

Melihat darah itu mengalir turun dan menetes dari jemari membuatku tersadar bahwa kenyataan ini terjadi lagi. Tali yang seakan-akan mencekik leher ini semakin erat dan mungkin, tak lama lagi semuanya akan berakhir. Air mata mengalir di pipi ketika menyadari bahwa aku tak lagi sanggup menghadapinya.

Mungkin sulit bagi kalian untuk memahami apa yang kurasakan saat itu, tapi bayangkan jika semua hal buruk ini terus terjadi dan terjadi dalam hidupmu. Setiap kali aku merasa lebih baik, hal yang lebih buruk justru datang. Aku tersungkur dalam depresi karena tak mampu melihat ada jalan keluar dari semua ini. Fakta bahwa tiap kali mencoba memperbaiki keadaan, justru keadaan itu malah bertambah buruk, membuat jiwaku serasa remuk redam.

“Apa gunanya semua ini! Biarkan saja aku mati!” Aku mengigau di tengah tangisan. Keputusasaan kini justru bertambah semakin dalam, hanya beberapa detik setelah tadi aku merasa harapan terangkat oleh tindakan orang tuaku membawa ke sini. Ketika orang tuaku kembali ke mobil bersama kakek-nenek, aku mulai panik. Aku duduk di kursi belakang dengan darah menetes dari leher dan air mata mengalir di wajah.

“Apa yang terjadi?”

“Katakan sesuatu, Nak?”

“A ... aku sudah tak kuat lagi ....”

“Tomohiko, kumohon sadarlah!”

Semuanya berbicara bersamaan dan segalanya terasa terlalu berat bagiku. Aku mulai merasa marah dan akhirnya meledak.

“TUTUP MULUT KALIAN! DIAAAM!!!”

Apa yang harus aku katakan? Mereka tak bisa melakukan apa pun untuk menolong dan sudah jelas bahwa aku juga tak mampu menyelamatkan diri sendiri. Berteriak tak takkan mengatasi masalah dan justru membuat merasa lebih buruk. Aku tahu bahwa tak sepantasnya membentak orang-orang yang lebih tua dariku, tapi aku merasa sangat kacau saat itu. Aku berhenti kerja dan orang tuaku hampir kehilangan banyak uang.

Aku meringkuk di kursi dan mulai menyesal telah kehilangan kendali tadi. Aku telah menyebabkan banyak masalah bagi orang-orang yang kucintai, tapi mereka selalu saja berusaha sebaik mungkin untuk menolong. Memikirkannya sekarang membuatku merasa malu dan aku pantas untuk mendapatkan apa yang terjadi setelahnya.

Ayah tak pernah menaikkan tangannya ke arahku seumur hidupnya. Namun, di saat ia menampar pipiku, rasanya sangatlah sakit. Dan rasa sakit itu membuatku melupakan rasa perih yang menyayat leher. Aku sering bertengkar dengan ayah, tapi belum pernah sekalipun ia lepas kendali dan memukul.

“Minta maaf pada kakek dan nenekmu!” Ia berkata dengan dingin. Entah bagaimana, perbuatan dan perkataannya justru menenangkan. Rasa putus asa sejenak lenyap dan aku mulai bisa menenangkan diriku untuk meminta maaf pada keluargaku. Tekad untuk menyelesaikan semua masalah ini bangkit kembali. Aku kembali menangis ketika melihat kakek menangis dan mulai menyemangatiku ketika kami menuju ke kediaman Miss Akagi. Aku merasa sangat menyedihkan saat itu.

Ketika kami tiba di kuil di mana Miss Akagi tinggal, aku merasa seperti beban di pundak terangkat. Tak ada yang terjadi membuatku merasa seperti itu, tapi aku berasumsi bahwa semuanya akan baik-baik saja begitu kami tiba di sini. Ketika kami berjalan menuju gerbang kuil, kami disambut oleh seorang lelaki separuh baya. Aku mendapat kesan bahwa kediaman Miss Akagi sering mendapatkan pengunjung dan kakek sepertinya salah satu dari mereka.

Kami diantar menuju ke belakang rumah dan masuk lewat sana. Kami diantar ke sebuah altar Buddha berukuran besar dimana Miss Akagi sedang berdoa. Ia berlutut dengan bantal menyangga kakinya di depan altar. Dia memalingkan wajahnya dengan perlahan ke arah kami dan menunggu seseorang untuk mengatakan sesuatu.

“Tomohiko, tak apa. Miss Akagi akan merawatmu.” Nenekku mendorongku ke arah Miss Akagi.

“Sudah cukup lama, bukan? Kau sudah tumbuh sangat besar sejak terakhir kali kita berjumpa. Kau terlihat sangat tampan, Nak. Waktu benar-benar berlalu sangat cepat.” Ia tersenyum dengan ramah.

“Anda bisa merawat dia, bukan?” tanya nenekku. “Ia akan baik-baik saja?”

“Tentu saja dia akan baik-baik saja." Kakek berkata pada nenek, “Kita baru saja tiba di sini. Berilah waktu bagi Miss Akagi, beliau belum tahu apa yang terjadi padanya.”

“Sayang, diamlah,” balas nenek. “Aku tak bisa berhenti khawatir pada Tomohiko, kau tahu itu.”

Aku tak mengerti mengapa, tapi hanya dengan berdiri di depan Miss Akagi membuatku merasa aman. Aku merasa semua energi negatif yang ada dalam diri seakan terusir keluar tiap kali aku menghela napas di hadapannya. Dan orang tuaku juga tampaknya merasakan hal yang sama, walaupun rasa lelah masih jelas tergambar di wajah mereka.

“Kalian berdua pasti sudah sangat capek setelah bekendara ke sini selama semalaman.” Kakek pasti juga menyadari raut lelah di wajah orang tuaku. “Biarkan Miss Akagi melakukan keahliannya. Kalian berdua beristirahatlah di ruangan sebelah.”

Orang tuaku hanya mengangguk dan menuruti nasehat beliau.

“Nah,” Miss Akagi memanggilku dengan lambaian tangannya, “Tomohiko, ke sinilah!”

Aku berlutut di depannya, mencoba sebaik mungkin meniru posisinya. Beliau kemudian menoleh ke arah kakek dan nenek. “Aku akan meminta kalian untuk pergi ke ruangan sebelah. Tak apa-apa, bukan? Aku harus berbicara empat mata dengan cucu kalian. Jangan khawatir, aku akan menjaganya. Dan jangan kembali ke sini kecuali jika aku memanggil cucu kalian, mengerti?”

“Tolong jagalah dia.” Kakekku membungkuk.

“Tomohiko, jangan khawatir!” Nenek masih berusaha memberi semangat ketika ia berjalan meninggalkan ruangan. “Miss Akagi tahu apa yang beliau lakukan. Lakukan saja semua yang beliau katakan!”

Ketika mereka menutup pintu di belakang mereka, aku bisa melihat mereka berurai air mata.

Begitu mereka tak terlihat lagi, Miss Akagi mendekat ke arahku hingga kedua lutut kami bersentuhan. Ia mengenggam tanganku dan dengan hening menatap wajah. Untuk suatu alasan, aku merasa bahwa ia hampir seperti orang tua bagiku. Aku merasa seperti kembali menjadi anak kecil dan aku tak bisa berhenti mengusir perasaan bahwa ia sedang menatap dengan matanya yang bijaksana. Walaupun tubuhnya lebih mungil, aku merasa sangat kecil di hadapan kekuatannya yang sangat besar.

“Apa yang harus kulakukan denganmu ...?”

Tak punya jawaban atas pertanyaan itu, jadi aku hanya terdiam. Dia terus menatap dan berkata kembali, “Tomohiko, apa kau takut?”

“ ... ya ....”

“Aku sudah menduganya ... kau tahu, keadaan tak bisa terus-terusan seperti ini .... “ Ia menatapku dengan sungguh-sungguh.

“Apa?”

“Oh, jangan khawatirkan itu .... aku hanya bicara pada diriku sendiri.”

Apa maksudnya? Jangan khawatirkan ini, jangan khawatirkan itu ... aku mulai ketakutan lagi dan aku tak sanggup lagi menahan emosi.

“Uh, apa yang harus saya lakukan? Saya harap Anda dapat menolong saya,” begitu aku mulai mengucapkannya, kata-kata itu terus meluncur, “ ... dan saya ingin tahu makhluk apakah ini? Mengapa ia menempel pada saya? Saya ingin ini segera diakhiri. Bisakah anda melakukannya?”

“Tomohiko ....”

“Aku tak melakukan kesalahan apapun!”

Rasa iba yang terpancar di mata beliau sama sekali tak membuat tenang dan keputus-asaan kembali terbit.

“Maksudku, aku memang pergi ke tempat berhantu itu, tapi bukan hanya satu. Ada orang lain di sana! Mengapa hanya aku yang harus mengalami semua ini? Apa karena aku melakukan hal tolol di depan cermin itu? Apa itu sebabnya? Aku sama sekali tak mengerti! Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa???"

“Keeeahhh ... paaah ..... keaaah ... yaaah ... paaah ....”

Suara itu membuatku hampir melompat ketakutan. Aku tak tahu apa yang terjadi dan tak tahu apa yang coba dikatakannya, sebab suara itu sangatlah ganjil dan aneh.

“Keeeeeeeeeaaaaaaah .... paaaaaaaaah
... “ Suaranya hampir seperti parkit, naik dan turun dengan intonasi yang benar-benar membuatku telingaku hampir tuli. Suara itu terus-menerus terulang dan akhirnya aku mengerti apa yang coba dikatakannya.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Aku menatap Miss Akagi dan melihat bahwa ekspresi ramahnya sudah menghilang dari wajah beliau. Seakan-akan jiwanya sudah keluar dari tubuhnya dan tak berada lagi di sana. Dari sudut pelupuk mata, aku dapat mengatakan ada sesuatu yang berada di ruangan ini selain kami.

Ketika aku bergerak, darah kembali menetes dari leherku.

Makhluk itu ada di sana. Ia merangkak sambil menatap wajah. Aku tak punya bayangan apa yang sedang terjadi atau apa yang Miss Akagi sedang lakukan. Aku berada di dalam kuil, di hadapan seorang bikusini, tapi entah bagaimana caranya, monster itu berada hanya beberapa jengkal jaraknya dariku.

Ia melakukan apa yang ia lakukan di apartemen malam itu. Matanya sejajar dengan mataku dan kepalanya berputar seperti burung hantu. Ia tampak kebingungan.

“Kena-pa? Kena-pa? Kena-pa?” Suaranya yang seperti jeritan burung liar itu seakan mengiris telingaku, terus menayakan hal yang berulang kali.

Aku berani bertaruh inilah suara yang didengar Hayashi ketika ia mencoba mengusirnya. Mungkin makhluk itu tak mengatakan hal yang sama dengannya, tapi ia pasti mendengar suara yang sama mengerikannya dengan ini. Tenggelam dalam ketakutan, aku serasa berhenti bernapas. Mata melebar dan mulut membuka. Paru-paruku seakan mengais-ais udara, tapi aku tak mampu bernapas dalam-dalam. Leherku terasa dicekik.

Ketika aku melihat gerakan tubuhn yang patah-patah, aku menyadari tangannya bergerak mendekati wajah. Jari-jarinya mencoba mencabik kertas-kertas mantera yang menempel di sanq. Aku tahu jika kertas-kertas mantera itu terlepas, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. Detak jantung makin kencang ketika aku melihat ujung rahangnya.

Aku mencoba berteriak agar ia menghentikannya, tapi tak mampu bersuara sedikit pun. Napas tersengal-sengal, bayangan tentang apa yang akan terjadi apabila ia melepas kertas-kertas manteraku itu dengan liar berkecamuk di kepala. Jantung berdegup teramat kencang sehingga aku bisa mendengarnya di telingaku dan tiba-tiba ....

BANG!

Secara harfiah, aku terlempar ke udara ketika mendengar suara itu. Aku mengira jantung telah melompat keluar. Karena caraku duduk, hampir terjatuh, tapi yang terjadi aku akhirnya mampu menyeimbangkan diri dan berusaha kabur dari ruangan itu. Walaupun aku sekeras mungkin mencoba untuk berlari, tapi tubuh terjerembab dan aku pun terjebak di sana. Kaki menolak untuk bergerak. Aku terus mencoba merangkak dan menoleh untuk melihat apakah ia mengejar. Namun kemudian ....

DUK!!!

Kepala menghantam dinding, sangat keras. Rasa takut menelan semua rasa sakit sehingga aku tak merasakan apa pun. Yang kutahu berikutnya, darah mengalir dari pelipis dan menetes di alis mata. Namun, yang lebih kupedulikan adalah segera kabur dari makhluk itu ketimbang apapun.

Darah yang mengalir ke mata perlahan membutakanku. Aku mulai bisa bergerak dan mengulurkan tangan, mencoba mencari pintu. Namun, sekeras apa pun mencoba, aku tetap tak bisa menemukan jalan keluar.

“Kau tak bisa pergi sekarang!” teriak Miss Akagi. Suara itu cukup menghentikanku untuk melarikan diri dari ruangan itu. Aku membeku di sana dan mencoba untuk menguasai keadaan. Aku pun mencoba untuk mengikuti perintah Miss Akagi, apa pun itu. Sebab mungkin satu-satunya jalan keluar.

Ketika mengusap darah dari mata, aku melihat bahwa orang tuaku mencoba mendobrak masuk ke ruangan. Mungkin saja perintah Miss Akagi tadi ditujukan pada kedua orang tuaku yang meninggalkan ruangan mereka dan mencoba masuk ke sini. Miss Akagi menunggu sejenak hingga aku siap mendengarkan apa pun perkataannya.

“Maaf, Tomohiko. Pasti tadi sangat menakutkan bagimu, ya? Sekarang sudah baik-baik saja. Kembalilah ke sini.” Beliau kemudian berpaling ke arah orang tuaku yang kini berdiri di depan pintu. “Sekarang sudah tak apa-apa. Kembalilah dan biarlah saya menyelesaikan ini semua.”

Aku bisa mendengar mereka berbicara di balik pintu, walaupun tak bisa menerka apa yang mereka katakan. Kembali menuju ke tempat Miss Akagi duduk dan beliau mengulurkan sebuah sapu tangan untuk mengusap darah dari wajah. Sapu tangan itu terasa harum saat kugunakan. Aku duduk bersila kembali dan menyadari bahwa suara “Bang!” yang kudengar tadi bukan berasal dari iblis itu, melainkan dari Miss Akagi yang memukulkan tangannya ke tatami.

“Tomohiko, apa kau mendengarnya? Apa kau melihatnya?”

“Aku melihatnya.” Aku menelan ludah. “Ia menanyakan kepadaku, ‘Kenapa, kenapa ... ‘ terus menerus.”

Wajah Miss Akagi menjadi teduh. Aku terus mencoba untuk tetap tenang di depan Miss Akagi, meskipun baru saja mengalami pertemuan yang mengerikan dengan makhluk itu. Kini aku harus melakukan apa pun yang harus kulakukan untuk mempermudah mengusir iblis itu dari hidup.

“Benar katamu,” beliau mengangguk, “ia terus bertanya ‘Mengapa?’. Mengapa menurutmu ia bertanya seperti itu?”

“Uh ... saya tak tahu. Apa seharusnya saya tahu?” Aku tak memiliki ide sama sekali.

“Tomohiko, apa kau takut?”

“Ya, saya masih takut sekarang.” Aku mengalihkan wajah dari beliau karena merasa malu.

“Kenapa?”

“Well ... semua ini sangatlah aneh bagiku. Hantu dan semuanya, maksud saya ....” Aku tak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Aku merasa Miss Akagi mencoba membuat mengerti sesuatu, tapi aku hanya tak memahaminya.

“Apa dia melakukan sesuatu kepadamu?”

“Yah, kurasa ....” Aku dulu yakin dia mencoba menyakitiku, tapi kini tak yakin. Kepala yang berdarah juga bukan karena perbuatan hantu. Itu karena kecerobohan akibat kepanikanku sendiri. “Leherku berdarah dan sepertinya tadi ia mencoba melepas jimat dari wajahnya.”

“Ya, aku ingat. Aku juga melihatnya. Tapi apa ada sesuatu yang lain terjadi?”

Aku sama sekali tak bisa menjawabnya. Aku tak yakin harus menjawab apa.

“Aku tahu Nak, situasi ini amat berat untuk dijalani ....”

“Maaf, saya benar-benar tidak tahu ....”

“Tak apa-apa.” Beliau mulai menjelaskan agar segalanya terdengar masuk akal bagiku. Mungkin mengatakan bahwa beliau sedang “menguliahiku” adalah istilah yang tepat.

Pertama dan yang paling penting, makhluk yang baru saja menampakkan diri tadi adalah semacam roh atau lebih tepatnya monster. Aku bertanya apa ia jahat, tapi beliau tampaknya tidak memiliki jawaban yang jelas atas pertanyaan itu. Beliau mendapat kesan bahwa makhluk itu semacam roh yang “gelap”, tapi tak merasakan hal-hal yang “kejam” dari makhluk itu.

“Bahkan jika suatu roh tidak bermaksud jahat, hal-hal seperti ini bisa terjadi jika mereka terlalu kuat.” Beliau menjawab, “Wanita itu ... roh itu ... sudah sendirian sejak waktu yang sangat lama. Ia melewati waktu bertahun-tahun, ingin agar seseorang berbicara dengannya, menyentuhnya, melihatnya, atau hanya sekedar menyadarinya. Roh itu melihatnya dalam dirimu dan ketika kau memperhatikannya, ia menjadi sangat senang. Nah sekarang, jangan salah paham akan apa yang akan kukatakan, tapi dibandingkan wanita itu, kau lebih lemah. Karena itulah kau merasa takut dan karena itu pulalah tubuhmu bereaksi sangat kuat jika ia hadir.” Cara beliau berbicara sangatlah tenang dan perlahan, seakan ia berbicara dengan seorang anak kecil.

Aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku dulu berpikir roh itu jahat, tapi kini setelah mendengar penjelasan Miss Akagi ... ah, tak tahu apakah yang dikatakan Miss Akagi itu benar ataukah ia hanya mencoba membuatku tak merasa takut lagi.

“Nah, sekarang mari kita lakukan sesuatu untukmu. Ini akan memakan waktu, tapi yakinlah ... aku pasti menolongmu!” Kata-kata itu membuatku merasa lebih baik. Aku merasakan kelegaan ketika mendengar ada harapan untuk lepas dari ini semua. Aku akan menulis di sini apa yang beliau katakan kepadaku. Aku takkan melupakan kata-kata ini.

“Jika sesuatu terlalu menakutkan untuk dilihat, atau kau tak mengerti apa itu, ingatlah bahwa ia merasakan rasa sakit, sama seperti yang bisa kau rasakan. Raihlah dan cobalah tolong dia. Mungkin itulah yang ia tunggu-tunggu selama ini.”

Miss Akagi mulai membaca kitab suci. Tak seperti apa yang kuduga, ternyata beliau tidak sedang mengusir roh itu, melainkan untuk membuatnya tenang.

Malam itu, kepala teramat sakit dan leher terasa seperti terbakar, tapi aku tertidur sangat nyenyak. Miss Akagi membiarkanku menginap di sana karena yah, menurut beliau aku masih bertingkah sangat aneh.

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

36K 3.1K 33
Semalam yang membekas di ingatan😋 #POOHPAVEL ONLY OKE💋
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.7M 553K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
don't hurt Lia (end) By el

Mystery / Thriller

1.3M 97.2K 73
"lo itu cuma milik gue Lia, cuma gue, gak ada yang boleh ambil lo dari gue" tekan Farel "sakit kak" lirih Lia dengan mata berkaca kaca "bilang kalo...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

331K 17.5K 33
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...