[SINGTOxKRIST/PERAYA] My Evil...

By aqpearls__99

81.8K 7.9K 818

Genre : Romance, school life Rate : T-(M)ature Cast : Singto Prachaya, Krist Perawat Warning : Boys love, yao... More

PROLOG
1. The Beginning
3. Rooftop
4. Call Me "Phi"
5. Confused
6. Jealousy Singto
7. I Know, You Know
8. Dreaming
9. Dreaming 21+ (2)
10. What I Feel
11. They dont Know About Us
12. Your Scent
13. What's Wrong
14. Best Friend
15. Lovefool (1)
16. Lovefool (2)
17. Love Confession (1)

2. Boy Meet You

5.4K 521 30
By aqpearls__99

Krist telat bangun lagi. Hari ini, Krist juga tak diberi tumpangan oleh Chimon. Huh jahat sekali memang sahabatnya itu. Ingin menyelamatkan diri sendiri, egois sekali. Sahabat tampannya ini ditinggalkan. Jangan bertanya, kenapa Krist tidak berangkat bersama kakaknya saja? Jawabannya makhluk menyebalkan yang berpenghuni disebelah kamarnya itu tidak mengijinkannya. Kakak sialan, bukan? Krist hanya berharap tidak akan terlambat dan bertemu komite disiplin siswa. Astaga tiba-tiba saja dada Krist berdentam tak seperti biasanya.

Mulut kecil Krist tak henti-hentinya berkomat kamit, merapalkan doa-doa agar ia tidak bertemu gerombolan makhluk menyebalkan. Tubuh Krist sedikit terhuyung kedepan, ia berdiri dengan berpegangan tiang besi bus, Krist tidak mendapat tempat duduk. Firasatnya semakin tidak enak ketika melihat beberapa orang menghela napas pasrah. Kristpun sedikit berjinjit dan bergerak ke kanan-kiri, mengintip disela-sela celah yang tertutup orang-orang. Wah sial, macet!

Krist tidak suka ini. Bangun kesiangan, menaiki bus dan sekarang ia terjebak dalam kemacetan jalan ibu kota. Rasanya ia ingin berteriak keras dan memaki. Tapi, tidak. Krist harus bersabar.

Kaki ramping itu berlari cepat, ia tidak ingin terlambat dan dihukum. Melihat bapak satpam yang akan menutup gerbang, Krist pun setengah berteriak. "Pakkkkk, jangan ditutup duluu...!"

Krist selamat. Ia mengucapkan terimakasih dan memberi wai.

Nafasnya memburu, sepertinya tidak akan ada komite disiplin siswa yang sedang berpatroli. Krist bersyukur.

"Hei kau!"

Krist bergerak refleks, berbalik kebelakang. Siapa?, batinnya.

DEG!

Seorang Pria, sedikit berkulit gelap dengan hidung mancung dan bibir tipisnya kini sedang menatapnya dari atas sampai bawah. Krist menjadi salah tingkah. "Ya?"

"Apa kau terlambat?"

Astaga! Krist lupa jika pria didepannya ini juga termasuk anggota komite disiplin. Anak buahnya, Singto! Teringat nama Singto, Krist mengedarkan matanya, takut jika ada sosok Singto disekitarnya. Ternyata tidak! Krist menjawab dengan tergagap. "T-tidak!"

Pria itu tersenyum. Tiba-tiba dada Krist bergerumuh. Senyum itu sangat manis. Membuat Krist sejenak lupa akan permasalahannya.

Krist menatap pria didepannya dengan mata lebar dan bulatnya tanpa berkedip, mulutnya setengah membentuk hurup O. Pria itu tersenyum, betapa imutnya, pikirnya. Pria itu melangkahkan kakinya, mendekati Krist. Ia menepuk rambut hitam legam Krist yang sangat halus itu dengan pelan.

"Jangan takut. Aku tidak akan menghukummu. Cepat larilah ke kelas atau kau akan bertemu dengan Sing-"

Krist tahu, siapa orang yang pria itu maksud. Ia pun menunduk memberi wai dan mengucapkan, "Terimakasih Phi." Kaki jenjang dan ramping itu kembali berlari. Menyisahkan pria yang sejak tadi senyumnya tidak pernah luntur.

Krist memasuki kelasnya, belum ada guru yang datang. Krist teringat lagi dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Ia tersenyum, pipinya keluar semburat merah.

"Krist! Krist! Bagaimanaaaa?"

Chimon yang semula sedang mengobrol dengan Boom, pria tampan berkacamata, sampai akhirnya matanya menangkap sosok Krist yang sudah datang dan mendudukkan dirinya dibangku pun menghampiri Krist dan memberikan pertanyaan.

Mendengar setengah teriakan dari Chimon, Krist langsung megubah wajahnya dengan sedikit tidak bersahabat. "Bagaimana apanya!" Krist menatap dengan sinis.

"Chimon menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Maafkan aku ya,.. hehe tadi aku juga sedang terburu-buru..." Chimon memasang wajah tak berdosanya dan menggunakan segala macam keimutan yang ia punya.

"Hn" Krist hanya berdehem lirih.

"Jadi, apakah kali ini kau dikejar-kejar lagi?"

Krsit tersenyum kembali. Chimon sedikit tekejut dengan reaksi perubahan wajah Krist. Membuatnya semakin penasaran.

"Tidak.." Krist menoleh, tersenyum kepada Chimon yang kini sedang mengerjapkan matanya, tidak percaya. "Sungguh?"

"Iya. Tadi aku memang sempat bertemu dengan anggota komite disiplin, tapi pria itu membiarkanku pergi. Aneh kan?" Krist tersenyum, menunjukkan rentetan giginya.

"Apa pria itu Singto? Rasanya tidak mungkin jika-"

"Bukan!" dengan cepat Krist menyela ucapan Chimon. Yang benar saja, kenapa Chimon menyebutkan nama orang yang paling tak disukainya di sekolah itu?

"Ah ya, melihat reaksimu sepertinya memang bukan Singto." Chimon menganggukan kepalanya seolah mengerti, "Em, lalu siapa pria itu?"

"Nanti kau juga akan tahu, Mon!" Krist kembali tersenyum. Chimon merasa sahabatnya itu sedang dirasuki oleh arwah yang sedang jatuh cinta. Kenapa terlihat sekali? Siapa pria itu? Kenapa anggota komite disiplin siswa tidak menghukumnya? Itu aneh sekali. Jika memang iya, betapa baiknya pria itu.

"Ya.. yaa.. mungkin aku akan mencari tahu sendiri.." Chimon mengalah. Krsit sangat mudah sekali dibaca, jadi tidak akan sulit untuk Chimon memgetahuinya.

Sepertinya Krist tidak mendengarkan ucapannya, ia sibuk dengan dunianya sendiri.




***




Bel berbunyi.

Krist dan Chimon menghela napas legah. Bel istirahat berbunyi, hal itu membuat penyiksaannya telah usai. Bayangkan saja jika sejak tadi ia berkutat dengan soal matematika dengan rumus-rumusnya yang menyebalkan. Tidak hanya rumus-rumusnya saja! Tapi gurunya juga! Ups! Tidak ada yang benar bagi Krist jika menyangkut hal yang berbau angka. Berbeda lagi jika itu nominal mata uang.

"Ahh aku sudah lapar sekali.."

Krist berjalan sembari memegangi perutnya. Chimon yang berjalan disamping Krist hanya menggelengkan kepalanya dan berkata, "Pasti kau tidak sarapan lagi.. tsk!"

"Ya, kau benar Chimon. Akhir-akhir ini aku selalu melewatkan makan pagi dan malamku."

"Duduk di bangku itu terlebih dahulu. Aku akan membawakanmu makanan berkuah hangat supaya perutmu menjadi lebih baik."

Krist mengangguk. Chimon pun berjalan meninggalkan Krist sendirian. Krist mengedarkan matanya, memperhatikan sekeliling. Kenapa terasa sepi.. biasanya pada jam istirahat kantin akan ramai, bahkan sampai susah mencari tempat duduk.

Krist menggeliat, merenggangkan tubuhnya, matanya tiba-tiba melebar. Ia menangkap sosok pria menyebalkan sedang berjalan ke arah kantin. Mungkin karena itulah kantin menjadi sangat sepi. Krist menundukkan kepalanya, takut ketahuan oleh Singto.

Krist diam-diam melirik Singto. Pria itu berjalan menghampiri teman-temannya. Ah! Benar saja. Disana ada banyak anak anggota osis dan kedisiplinan sedang berkumpul. Krist mengabsen satu persatu teman-teman Singto. Em, kenapa ada yang kurang? Krist sedikit kecewa. Pria yang ia kagumi tidak ada disana. Pria baik hati yang meloloskan Krist dari jeratan hukuman Singto.

Krist pun menaruh kepalanya diatas meja. Memainkan jarinya tidak jelas. Tanpa ia sadari, mata tajam Singto melihatnya. Singto tahu, jika Krist sejak tadi memperhatikan gerombolannya. Tatapan Singto sangat datar. Tidak menyiratkan apapun.

"Nahh ini. Maaf agak lama Krist."

Chimon memberikan sepiring makanan untuk Krist dan mendudukkan dirinya didepan Krist, yang kini tengah mengangguk. "Tak apa, Chimon. Terimakasih. Kau sangat tahu, aku tak suka mengantri."

Chimon mengangguk. Mereka mulai menyantap makanan dengan diam.

"Boleh kah aku duduk disini?"

Chimon dan Krist mendongak. Melihat pria tinggi, tampan, hidung bangir, berkulit putih dan senyum hangat yang kini sedang melihatnya, meminta persetujuan. "Tentu saja, Boom." Chimon menepuk kursi kosong disampingnya. Krist hanya mengangguk menyetujuinya.

Krist melihat ke meja mencari minumnya. Ia hanya melihat dua gelas plastik minuman. Satu milik Chimon dan satunya milik Boom. Lalu, punyanya hilang kemana?

"Mon, minumanku.."

Belum sempat Krist menyelesaikan ucapannya. Chimon langsung menepuk keningnya yang tak bersalah. Ia memekik pelan. "Astaga Krist! Maaf. Aku lupa. Tadi aku sedikit kesusahan membawa nampan."

"Ah yasudah. Tak apa."

"Mau aku ambilkan sekarang?"

"Tidak usah Mon. Nanti aku akan membeli air mineral saja." Krist sedikit tahu diri. Ia tadi sudah meminta memesankan Chimon makanan, ia juga harus mengerti bukan.

Boom memperhatikan Krist. Ada butiran keringat yang beberapa jatuh turun melewati bagian sebelah pipinya.

"Apa makanannya pedas? Ini ambilah minumku."

"Tidak. Hanya saja kuah hangatnya yang membuatku berkeringat. Mulutku juga terasa tidak enak. Apa kau tidak apa memberikannya kepadaku?"

Boom mengangguk. "Minum saja. Tadi aku sudah meminum air."

"Terimakasih, Boom!"

Boom mengangguk. Krist langsung menyeruput air minumnya.

Krist beranjak dari tempat duduknya. Ia akan kembali ke kelas bersama Chimon dan Boom, namun tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Tubuhnya sedikit tersentak dan juga terkejut.

"Ikut aku."

Suara Singto bagai kilatan petir yang menyambar Krist. Ia menelan air liurnya, gugup. Sedikit takut. Kali ini apa lagi kesalahannya?

Tanpa menunggu persetujuan Krist, Singto secara paksa menarik pergelangan tangannya.

"T-tunggu! Singto lepas!"

Krist berhenti. Ia menarik tangannya yang telah ditarik paksa oleh Singto dengan kasar. "Apa aku melanggar peraturan lagi?" Krist setengah berteriak.

Singto melirik beberapa orang disekitarnya. Atensi semua orang mulai berpindah kepadanya dan Krist. Semua orang melihat dengan rasa penasaran tinggi, namun juga sedikit ketakutan. Siapa yang tak takut kepada Singto? Menatap matanya saja tak berani. Singto berjalan di koridor sekolah saja aurahnya sudah seperti malaikat pencabut nyawa.

Singto kembali menarik pergelangan tangan Krist, tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Krist. Pria bermata bulat bening itu hanya bisa pasrah mengikuti langkah Singto. Ia menoleh kebelakang, menatap Chimon dengan tatapan memohon, meminta pertolongan. Chimon hanya bisa menggeleng lemah.

Semua pasang mata di kantin hanya bisa menatapnya iba. Sejak dahulu, Krist memang selalu menjadi incaran Krist. Mereka sudah seperti kucing dan tikus, selalu bertengkar.

Ada beberapa yang merasa iri melihat Krist yang selalu bisa berdekatan dengan Singto. Setidaknya itulah yang ada dipikiran beberapa gadis dan pria cantik disana. Merekalah sang pemuja Singto Prachaya.

"S-singto! saak-it bodoh!"

Singto tak sadar, ia terlalu mengeratkan genggamannya pada tangan Krist. Ia pun menghentikan langkahnya dan berbalik, kemudian melihat kebawah, pergelangan Krist sedikit memerah, kulitnya yang putih membuat warna merah pada pergelangan tangannya menjadi terlihat lebih menyala. Ia memandangnya dengan datar. Telapak tangan besar itu kembali menggenggam pergelangan Krist, kali ini tanpa ada penekanan.

Mereka memasuki ruang perpustakaan. Mata bulat Krist tertuju pada pria di pojok ruangan, di dekat meja penjaga perpustakaan. Disana ada anggota komite kedisiplinan terlihat sedang membantu ibu setangah baya, si petugas perpustakaan. Pria itu berkulit putih pucat, memiliki tubuh tinggi tegap dengan lengan yang terbentuk. Mata lebarnya sibuk meneliti daftar nama siswa, bibir merahnya bergerak, menghitung tumpukan buku yang telah kembali di meja pengembalian buku di depannya.

Krist tahu siapa pria itu. Pria baik hati yang selalu berada di perpustakaan membantu petugas perpustakaan. Sebenarnya itu bukanlah tanggung jawabnya sebagai anggota osis dan komite kedisiplinan. Kenapa Krist tahu? Tentu saja, karena Singto selalu mengajaknya pergi bersama ke perpustakaan. Err, mungkin lebih tepatnya memaksa Krist.

Jika ia seorang gadis diajak pergi ke perpustakaan bersama oleh pria tampan, mungkin akan senang, hatinya meletup-letup. Tapi berbeda dengan Krist. Ia sama sekali tak sebahagia itu, tak seperti seperti bayangan orang-orang selama ini yang mereka baca melalui komik dan novel, atau bahkan yang dilihat dari drama.

Krist hanya akan menjadi budak seorang Singto Prachaya. Eh tunggu! Apakah tadi Krist berkata jika Singto, pria tampan? Tidak. Mungkin otaknya sedang tidak bersahabat.

"Hai New!"

Pria yang dipanggil namanya itu mendongak, kemudian tersenyum. "Hai Sing!" Newwie, nama pria yang selalu membantu petugas perpustakaan itu beralih melihat kesebelah Singto, kemudian ia tersenyum kepada Krist yang kini memberi salam dan wai kepadanya.

New melihat Singto yang berjalan menjauh, tenggelam dalam rak buku tinggi yang menutupinya. New tersenyum melihat Singto yang menggenggam pergelangan tangan Krist. Tidakkah temannya itu terlalu berlebihan?

Singto melepaskan genggaman tangannya pada Krist. Matanya menangkap buku yang menurutnya menarik, kemudian melemparkannya kebelakang, terdengar suara buk! Krist dengan sigap menangkapnya. Telapak tangan Krist sedikit panas ketika menangkap buku tebal bergambar anatomi tubuh manusia. Krist hanya bisa mengerucutkan bibirnya, sebal.

Krist dengan pasrah mengikuti langkah kaki Singto. Terkadang pria itu sesekali berhenti, menelisik beberapa buku kemudian membacanya. Jika ia tak berminat dengan buku itu, maka ia taruh kembali pada rak. Mengulangi gerakan itu berulang kali. Krist hanya mengamati tanpa minat, bosan. Melihat buku-buku berjejeran menjulang tinggi dengan nomer dan kode yang menempel pada setiap buku, semakin membuat Krist mual, ingin muntah.

Krist sudah membawa tiga tumpukan buku yang tebalnya tak setipis buku-buku miliknya. Terdengar suara bel berbunyi menyadarkan lamunan Krist, tubuhnya terlonjak, terkejut. Saat ia melihat kedepan, ada seorang siswa yang menabrak tubuhnya, hingga buku yang ia bawa terjatuh. Tubuh ramping Krist sedikit oleng, ia memejamkan matanya. Dalam bayangannya, rak besar dan tinggi itu akan menimpa tubuhnya, tapi ia salah menduga. Tangan kekar Singto dengan sigap merangkul pinggangnya.

"Sampai kapan kau akan menutup matamu, bodoh!"

Krist membuka matanya dengan ragu-ragu. Mata bulat Krist membuka sempurna, berhadapan langsung dengan mata tajam Singto. Mata tajam itu menyiratkan kekhawatiran. Krist mengerjap, ketika ia membuka kelopak matanya, mata tajam Singto sudah berubah menjadi datar. Tangan kekar yang melingkar pada pinggang Krist terlepas.

Mata tajam Singto beralih menatap siswa yang berlari hingga tak sengaja menabrak tubuh Krist. "Apa kau tak tahu, ini didalam perpustakaan?" Lirih, namun penuh penekanan.

"Maaf phi. Aku mendengar suara bel dan menjadi terburu-buru." Siswa itu membungkuk beberapa kali.

"Lain kali, lebihlah hati-hati!" Singto mengingatkannya.

Krist bisa merasakan aurah dingin Singto, tapi Krist tahu, Singto mempunyai maksud baik. Bukankah ia memang seorang panutan dan seorang ketua yang sangat dihormati. Krist menggeleng pelan, ia seolah mengerti tentang Singto.

"Kenapa kau menggeleng?"

"Huh?"

Krist merapikan buku yang telah dibantu siswa tadi untuk mengambilnya. Kembali berjalan mengikuti Singto. Bel kembali berbunyi untuk yang ketiga kalinya. Kaki Krist menghentak sebal, apa telinga Singto tersumpal batu, huh?

"Singto.."

Tidak ada reaksi sama sekali, pria itu berdiri di depan Krist, jemarinya membuka lembar-perlembar halaman buku.

"Singto!"

Kali ini Singto menoleh, Ia mendesis dan menggertakkan giginya.

"Bel sudah berbunyi. Aku ingin kembali ke kelas!"

"Tidak boleh!" Krist mendelik, tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Apa maksudmu! Aku harus melanjutkan pelajaran lagi!"

Tangan kekar Singto menarik lengan Krist. Dengan cepat kedua tangannya ia tumpukan pada rak buku dibelakang Krist. Krist tak bisa bergerak, ia melihat mata Singto dengan mata bulatnya tanpa berkedip. Mata tajam milik Singto dan Krist saling menatap dalam beberapa detik.

Dengan berani Krist bersuara, "Aku sudah menyelesaikan hukumanku yang kemarin! Sekarang biarkan aku pergi."

Singto tersenyum miring. "Apa kau lupa?"

"Sejak kau masuk ke sekolah ini setahun lalu, dan sejak itulah kau selalu melanggar peraturan! Kau suka terlambat, tidur saat jam pelajaran, suka bolos kelas olahraga, pergi pulang disaat kelas belum selesai, tidak memakai kaos kaki, tidur di ruang kesehatan-"

Krist memejamkan matanya, kemudian menghembuskan nafasnya. "Sudah berhentilah!" Singto berhenti menggerakkan jemarinya, yang membuat gerakan seolah menghitung apa saja peraturan yang telah dilanggar Krist.

Singto berkata seolah Krist siswa yang paling nakal, padahal itu wajar saja dilakukan. Krist hanya sedang bosan. Apa salahnya?

"Mulai tahun ini aku tidak akan melanggar peraturan.."

Singto mendekatkan wajahnya ke ceruk leher Krist, kemudian membisikkan sesuatu ke telinga merah Krist. Ia menghembuskan nafasnya disana. Tubuh Krist sedikit bergetar. "Benarkah? Lalu apa yang ku lihat kemarin, heum?" Singto mencium harum tubuh Krist, sedikit bermain tak apa bukan? Lehernya putih, tanpa cacat. Mungkinkah kulit Krist terasa lembut jika lidahnya sedikit bermain disana?

Singto tersenyum miring. Krist sejak tadi menahan nafasnya.

Singto menarik kepalanya, kembali menatap Krist, kedua tangannya kini beralih ke pundak Krist. Meremasnya pelan. "Bagiku, kau masih harus diberi hukuman!" Singto sedikit melebarkan matanya. Mendengar ucapan Singto yang penuh penekanan dan tatapan matanya, membuat Krist bergidik ngeri. Itu seperti sebuah ancaman.

"Ikut aku!"




***




"Masuk!"

Singto mengajak Krist masuk kedalam ruangan khusus ketua osis yang merangkap sebagai ketua komite disiplin itu. Ia mengedarkan pandangannya. Ada beberapa buku berjajar di rak buku kecil. Meja di pojok ruangan. Tirai cendela yang terbuka menampilkan halaman depan sekolah. Mata Krist mendelik, ada sofa besar di sebelah rak buku. Krist tergiur ingin tidur disana. Baru sekali masuk saja sudah membuatnya merasa nyaman di tempat itu.

"AKHH-"

Krist menjerit tertahan. Kedua alisnya bertautan. Ia mendesis pelan. Singto kurang ajar! Ia menendang pergelangan kaki Krist! Ingin rasanya Krist mengumpat didepan wajahnya!

"Ku kira sudah tak sakit. Kau bahkan bisa berlari!"

"Masih sakit bodoh! Sudah bisa berjalan, tapi akan terasa sakit jika kau menyentuhnya. Bengkaknya masih terasa!"

"Itu sudah beberapa hari yang lalu!"

"Jangan cengeng!" lanjut Singto.

Krist menatap Singto sinis. Jika saja kakaknya tidak memberikan obat dan ia yang rajin mengompres dengan air hangat. Rasa sakitnya masih akan terasa! Atau, bahkan ia masih sulit berjalan. Tapi kenapa Singto masih ingat, ia sempat jatuh tersandung kakinya sendiri beberapa hari lalu? Hah masa bodoh. Singto masih mengingatnya, karena memang sangat suka melihat Krist menderita kesakitan.

Buk! Suara buku jatuh mengenai paha Krist. Pahanya sedikit terasa panas. Bagaimana tidak? Krist mendelik, ada lima buku yang menumpuk diatas pahanya.

Krist mendongak menatap Singto yang berdiri dihadapannya. Matanya bergantian menatap buku dipangkuannya dan kembali melihat Singto. Seakan bertanya, untuk apa buku sebanyak itu.

"Terjemahkan semuanya untukku! Jika sudah selesai berikan padaku. Kerjakan dalam waktu seminggu. Jika sudah berikan kepadaku."

Krist membuka mulutnya ingin protes, tapi sudah dipotong oleh Singto.

"Cepat sana keluar! Aku lelah!"

Ia menarik Krist keluar dan menutup pintunya tepat dihadapan Krist.

"Dasar Singa gila!!!"

Krist berteriak tertahan. Tangannya ke udara, membuat gerakan akan memukul.

"Ehem."

Krist menoleh ke asal suara. Mata bulat Krist langsung dihadapkan dengan seorang pria berkulit sedikit gelap dengan mata menyipit ketika tersenyum.

"Kita bertemu kembali."

Krist mengangguk kemudian tersenyum. Pria yang ia kagumi, yang sejak tadi diam-diam ia cari sekarang berdiri dihadapannya. Bahkan Krist tak bisa mengeluarkan suaranya, ia hanya melakukan wai untuk menyapa seniornya itu.

"Apa Singto menghukummu?"

Krist mengangguk. Kenapa ia jadi hemat suara begini.

"Jadi, percuma saja jika tadi aku meloloskanmu."

"T-tidak Phi. Mungkin jika ia tahu, aku akan disuruh membersihkan toilet lagi." Krist mengerucutkan bibirnya.

Pria didepannya tertawa pelan. "Jadi, apa yang ingin ia suruh kali ini?" Pria itu melirik buku-buku yang sedang didekap didepan dada Krist.

"Aku disuruhnya menerjemahkan ini semua. Dia memang Singa gila! Sialan!"

Krist langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Ia sudah merusak citra dirinya sendiri dihadapan pira itu.

"Haha tak apa. Aku sudah biasa mendengar ratapan, cacian, bahkan umpatan untuk Singto."

"Benarkan Phi. Berarti aku tidak salah bukan?" Krist memuji dirinya dengan bangga.

"Iya. Mau ku bantu?"

"Tidak usah Phi. Em, aku pamit terlebih dahulu. Ada kelas yang akan dimulai."

Pria itu mengangguk, tangannya terulur memberikan sekotak susu warna coklat dihadapan Krist. Dengan senang hati Krist menerimanya.

Krist membungkuk, kaki rampingnya berjalan dua langkah, sampai kemudian ia berbalik dengan cepat memanggil pria tersebut.

Tangan Pria itu sudah menggenggam gagang pintu ruangan Singto, akan masuk kedalam sampai gerakan itu terhenti ketika mendengar suara Krist memanggil namanya.

"Phi Tay! Terimakasih ya!"

Ia melihat Krist setengah berlari. Ia tersenyum. Betapa manisnya tingkah pria bermata bulat itu. Pria itu mengetahui namanya, tapi ia tak tahu siapa nama pemilik mata bulat tersebut.






TBC

(A/N) chap 1 Krist kakinya dikompres make air dingin, sekarang chap 2 dia bilang make air hangat. Harus dikompres air dingin terlebih dahulu kalau bengkaknya belum 24jam :)

Gerak cepat nih, tanggal masuk kuliah sudah dekat soalnya.

Continue Reading

You'll Also Like

439K 44.6K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
219K 33.2K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
233K 25.4K 17
[Brothership] [Re-birth] [Not bl] Singkatnya tentang Ersya dan kehidupan keduanya. Terdengar mustahil tapi ini lah yang dialami oleh Ersya. Hidup kem...
36K 5.3K 34
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...