NATA [Selesai]✓

Від trajec70ries

904K 96.8K 6K

Versi novel tersedia di Shopee Firaz Media. *** Adinata Emery Orlando merupakan pemuda yang tidak bisa mengek... Більше

PROLOGUE
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
EPILOGUE
For you...
Sequel?
📌Skema Nestapa
°• Elegi & Tawa •°
MAU TANYA
INPO TERBIT MAZEHHH
VOTE COVER
PILIH BONUS NOVEL
OPEN PO

CHAPTER 10

22.6K 2.6K 73
Від trajec70ries

#10

Kradakkkk kradakkk

Gubrakkk

Jebrettt

"Ada berita sanap woi! Hareduang hareaudang panas ini mah!" teriak Zikri di ambang pintu sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya seperti cacing kepanasan.

Usai menabrak berbagai benda hingga membuat beberapa siswa yang lain berdecak heran-- Zikri pun akhirnya membuka suara sebagai pembuka per-ghibah-an pagi ini.

"Nata woi! Nata! Si human yang kakunya kayak stang motor bebeknya Pak Ucok. Dia... " kali ini Fikri yang bersuara dan sengaja menggantung ucapannya.

Mendengar namanya disebut, kepala Nata pun mendongak lalu sebelah alisnya terangkat-- menanti kelanjutan dari ucapan Fikri.

Zikri dan Fikri saling tatap, lalu terkikik sendiri-- sesekali mereka berdua pun menatap Nata lalu kembali tertawa geli. Sontak hal itu memanggil decakan dari yang lain. Sedangkan Nata, seolah sudah dapat membaca pikiran dua makhluk astral itu-- ia lebih memilih melabuhkan fokusnya pada secarik kertas yang berisi rumus-rumus ditangannya.

Diki mendengus, "pantat lo berdua mau gue tusuk pake pensil keramat gue?!" sebalnya sembari mengudarakan pensil seukuran kelingking bayi.

Tak terpengaruh, mereka justru semakin terkikik geli dan saling memukuli dada dengan gaya manja. Sangat dramatis.

"Najis!" umpat Regan yang memang geli dengan tingkah mereka.

"Ngomong atau gue santet?" ancam Daffa yang membuat kedua sejoli itu berdecak. Dasar tidak sabaran.

"Si Nata semalem kekunci di perpustakaan sama Elzi!" ucap Zikri.

"Hahhhh!"

Fikri mengangguk kuat, "pegang-pegangan tangan!" tambah lelaki itu ngawur.

"Haaahhhhhh!"

"Usap-usapan kepala!" timpal Zikri. Boong terosssss.

"Haaaaahhhhhhhhhhh!"

Fikri mengangguk antusias, "peyuk-peyukan manjah!"

"Haaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh!"

Bola mata Fikri merotasi jengah, "hah hah mulu lo pada-- bau!"

Diki berdiri lalu berkacak pinggang. "Eh, kagak usah suudzon lo!"

"Lo pikir Pak Jono yang berangkatnya adzan subuh dan human yang bukain pintu perpus lalu menjadi saksi bisu ke-uwu-an mereka berdua bakal boong sama kita?" jelas Zikri terlalu mendramatisir suasana.

Daffa berjalan menghampiri dua manusia kembar itu lalu menjitak mereka. "Lo pikir gue percaya?"

Decakan lolos dari bibir mereka berdua. "Gue tuh tadi lewat depan perpus, terus Pak Jono nitipin pulpen ini," Fikri mengudarakan pulpen merah muda. "Kata dia, tolong kasihin ke Nata atau Elzi, kayaknya ketinggalan. Soalnya semalem mereka ke kunci di perpustakaan. Gitu kata Pak Jono!"

Diki berkacak pinggang di depan Nata. "Pak, anda berhutang penjelasan kepada kita semua."

Nata tak menggubris, ia masih mengerahkan seluruh atensinya pada secarik kertas penuh rumus.

Fikri menghampiri Nata. "Udah pasti ini pulpen Elzi, iya 'kan?"

Nata masih bergeming. Baginya, menjelaskan panjang kali lebar pun akan percuma. Lebih baik diam saja-- toh dia tak melakukan hal macam-macam dengan Elzi.

Regan berdecak. "Heboh amat lo semua. Terus kalo Nata emang ke kunci sama Elzi kalian mau ngapain?" cowok yang tengah duduk disamping Nata akhirnya membuka suaranya.

"Ini tuh bukti adanya 8 keajaiban dunia! Elzi sama Nata udah kejebak poling in lop lop!" ujar Zikri.

Fikri menggeleng, "nggak nyangka gue. Si Kaku langsung tancap gas-- melepas predikat kejombloan."

"Emang lo. Jomblo karatan." Timpal Diki.

"Ngaca dulu goblok. Baru bacot!" sahut Fikri yang tak terima.

Diki menjepit hidungnya dengan tangan. "Iiihh... mulut lo bau azab neraka."

"Sombong lo udah masuk rongga pernapasan emang. Awet sampai akhirat!"

Diki justru membusungkan dada, lalu menepuk-nepuk-nya bangga. "Gue nih, bentar lagi kagak jomblo."

"Pede amat hidup lo. Nih sungkem dulu sama abangnya." Ucap Daffa.

Diki langsung menyalami tangan Daffa. "Minta restunya bang."

"Iya besok kalo gue udah punya cewek, baru gue restuin lo berdua."

"Buset. Berarti nggak mungkin dong. 'Kan nggak ada cewek yang mau sama lo."

"Nggak gue restuin. Titik! Nggak pake koma apalagi tanda tanya!" finalnya sembari berjalan keluar kelas.

Diki melotot kaget lalu ia berjalan membuntuti Daffa. "Gue bercanda elah. Baperan banget najis! Punya cicilan toples lebaran belum dibayar?

Fikri tersenyum miring melihat manusia yang sudah berjalan keluar itu. "Mamam noh jomblo karatan."

Zikri mendekat ke Nata. "Mumpung si Diki yang mulutnya licin kayak prosotan TK udah pergi, mendingan lo kasih tau ke kita bertiga Nat. Lo ada ngapa-ngapain 'kan sama Elzi?"

Pletakk

"Mulut tidak have akhlaq lo ye." Ucap Fikri.

"Bawel lo!"

Regan mendengus. "Heran gue sama lo berdua. Dunia perghibahan-nya mantep dunia akhirat."

"Alah ngaku aja, lo juga kepo 'kan?"

"Nggak. Emang lo berdua yang hidupnya cuma ngepoin urusan orang."

Fikri menjulurkan lidah. "Biarin. Ghibah adalah cara kita bertahan hidup." Ucapnya lalu ber-tos ria dengan Zikri.

"Emak gue nyidam apa sampai gue punya temen kosong adab kayak lo berdua."

"Gue tau, pasti emak lo nyidam buwong puyuh. Iya 'kan?"

Regan mendengus.

"Iya lo puyuhnya." Celetuk Fikri.

"Kalo gue puyuhnya. Lo tai-nya dong." Jawab Zikri.

Fikri menjitak kepala Zikri. "Human tanpa akhlaq."

"Nggak usah bacot, napas lo bau jigong."

"Gue tampar pake dolar kelar hidup lo!"

Nata memilih bangkit meninggalkan kelas. Biarkan saja mereka terus berdebat, karena memang seperti itu cara mereka bertahan hidup. Nata kadang heran, kenapa sampai sekarang ia betah berteman dengan manusia-manusia macam mereka. Mungkin sehari saja tidak bertingkah, bisa membuat mereka kejang-kejang sampai mulutnya berbusa.

Nggak papa teman-temannya gila, asal Nata jangan ikutan gila.

***


Untuk kesekian kalinya Elzi menguap, menahan kantuk mati-matian. Bola matanya terus bergerak, melirik jam yang masih terus berputar ke kanan.

Membosankan. Satu kata itulah yang tengah ia rasakan. Ia melirik Nelly yang tengah tidur dengan buku sebagai alat untuk menutupi wajahnya. Tanpa sadar Elzi mendengus.

Materi PPKn yang sedari tadi terus mengalir dari mulut sang guru semakin membuat Elzi dirundungi rasa jenuh. Percayalah, mapel ini adalah mapel yang paling ia benci.

Dia memang peringkat 3 pararel, tapi tak ada peraturan bahwa siswa berprestasi harus menyukai semua mapel bukan? Seperti itulah Elzi, ia benci materi ini. Jika disuruh memilih antara berhitung atau menghapal materi PPKn-- tentu saja berhitung yang menjadi pilihannya.

Lain halnya dengan sahabatnya yang tengah molor itu-- mungkin ia lebih memilih pingsan jika dihadapkan dengan kedua pilihan ini. Materi yang sahabatnya sukai hanyalah seni budaya. Biar bisa goyang-goyang katanya. Dasar Nelly.

Tepat pukul 2 siang, helaan lega pun terdengar dari Elzi. Dengan semangat yang membara, ia bangkit dan meminta izin kepada Bu Dwi-- selaku pengampu mapel PPKn agar mengizinkannya bertempur kembali dengan deretan angka-angka.

Usai mendapatkan izin, Elzi langsung bergegas keluar. Namun, langkahnya tak berjalan menuju perpustakaan. Ia pergi menuju kantin.

"Mending gue beli cemilan dulu. Persiapan ngadepin manusia macam Nata 'kan butuh banyak tenaga."

Gadis itu berjalan dengan sesekali bersenandung meskipun suaranya terbilang jauh dari kata merdu. Ia tetap bernyanyi untuk sekedar mengisi kesunyian yang menghinggapi area di sekitarnya. Mungkin karena masih jam kegiatan belajar mengajar, jadilah hanya satu atau dua siswa yang terlihat sedang berjalan, entah menuju toilet guna menuntaskan hajat. Ataupun perintah guru pengampu untuk mengambilkan sesuatu yang diperlukan. Hal yang memang lumrah di dunia putih abu ini.

Ekor matanya tak sengaja menangkap sosok pria-- yang tengah berjongkok membelakangi-nya di lapangan basket. Elzi memang perlu melewati lapangan basket indoor terlebih dahulu sebagai jalan pintas menuju kantin.

Ia sedikit mendekat guna memperjelas pandangannya.

Entah apa yang terjadi dengan dirinya, melihat Nata yang tersenyum untuk seekor kucing membuat darah Elzi berdesir. Sensasi aneh yang jarang Elzi rasakan.

Tanpa sadar, ia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya sendiri. Perasaan saat melihat Nata tertidur kini muncul kembali, merayap diam-diam hingga menimbulkan sebuah pacu-an yang cepat dalam dadanya.

Nata tampak asik dengan seekor kucing, lengkungan tipis sedari tadi pun terus muncul kala bercengkrama dengan kucing putih itu.

Sisi lain Nata, ia melihatnya.

Ternyata manusia sepertinya bisa bersikap hangat-- untuk seekor kucing pula. Mata yang selalu menampilkan sorotan tajam, kini terlihat teduh hanya karena seekor kucing. Bibir yang seolah kaku untuk sekedar membentuk garis horizontal, kini justru melengkung indah disana-- walaupun sedikit diragukan untuk menyebut itu adalah bentuk daripada senyuman. Tapi itu,

Sangat manis.

Tunggu? Apakah otak Elzi kini sudah tak waras? Menyebut rivalnya itu sangat manis ? Ck, ini benar-benar diluar kendalinya.

Elzi mengetuk kepalanya keras-keras, "pikiran lo El!" peringatnya untuk diri sendiri.

"Maksud lo kucingnya yang manis 'kan? Bukan manusia kaku itu?" lanjutnya. Mencoba membenarkan sesuatu yang terlihat salah dalam dirinya.

Gadis itu pun tergerak-- melangkah maju dengan lensa yang tak lepas untuk menyoroti objeknya-- Nata dan kucing manis itu.

Melihat sepasang sepatu terpampang di hadapannya, Nata pun mendongak-- melihat siapa pemilik sepatu itu. Dilihatnya Elzi yang tengah tersenyum kepada kucing putih di hadapannya. Senyuman penuh binar, seolah tengah melepas rindu karena sempat terpisah oleh jarak yang jauh. Sangat jauh mungkin.

Elzi langsung saja meraih kucing putih itu. Tanpa memperdulikan sorotan dari pria yang masih menatap-nya-- sedikit memiringkan kepala seolah tengah menilai gelagat Elzi yang cukup berbeda. Bertemu Nata tanpa mengeluarkan suara dengan oktaf tinggi. Bukan gayanya sekali.

Elzi terus bercengkrama, sekalipun hanya respon mengeong, mendengkur ataupun kneading-- hal yang memang lumrah dilakukan seekor kucing  apabila merasa nyaman dan senang.

Seketika Elzi merindukan sosok Zimi-- kucing yang menemani Elzi kala umurnya baru menginjak 5 tahun. Sudah amat lama memang, namun kucing itu sangat bermakna bagi hidup Elzi. Dalam kucing itu ada satu kenangan yang tak akan pernah Elzi lupakan. Yeah, kucing itu merupakan pemberian sang ayah di hari ulang tahunnya.

Namun, Zimi telah pergi meninggalkannya juga. Membuat perasaan kosong semakin merayapi hatinya. Elzi sangat merindukan semuanya. Kenangan, kasih sayang dan cinta. Elzi rindu. Sangat.

Elzi membalikkan badannya.

Kerutan di kening menghiasi wajah Nata. Sedikit heran dengan sikap gadis mungil yang tengah mendekap kucing putih itu. "Kemana?" tanya Nata yang masih berdiri di belakang Elzi.

Elzi menatap Nata. Terlihat pria jangkung itu tengah menatapnya dengan mimik penuh tanda tanya-- entah karena sikap Elzi yang terbilang tengah santai ataupun memang penasaran kemana perginya Elzi dengan kucing tersebut.

"Ke kantin." Jawab Elzi.

Nata menatap kucing dan Elzi secara bergantian lalu sebelah alis tebalnya pun terangkat. Mengisyaratkan masih ada tanda tanya yang tertuju kepada Elzi.

Seolah paham-- Elzi menjawab, "sekalian cariin dia makanan."

Nata mengangguk-- puas dengan jawaban Elzi, lalu ia berjalan menghampiri gadis itu. "Ayok."

Usai mengatakan itu, langkah lebarnya pun mendahului Elzi-- membuat sebuah senyuman manis hadir di wajah cantik sang gadis. Bola mata Elzi terus menyoroti pria di depannya. Membuat debaran aneh kembali merasuki dadanya. Sangat aneh hingga Elzi tak mampu menjelaskan-- apa makna dari debaran ini.

Dingin-dingin manis ternyata.

***

Usai melakukan perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk belajar di kantin. Ini semua tentu keinginan dari si gadis rempong. Nata sempat menolak keras-- takut Pak Handoyo akan mencari mereka.

Namun, saat Elzi mengatasnamakan kucing yang tengah memakan ikan asin itu. Akhirnya Nata mengalah-- pria tampan itu tidak tega meninggalkan kucing imut itu sendirian di kantin. Dibawa ke perpustakaan pun tak akan diperbolehkan oleh sang penjaga. Jadi, tak ada pilihan lain selain mengalah dengan Elzi.

Elzi mengacak rambutnya frustasi. "Soal macam apa sih ini! Dah lah capek. Mau cari om-om kaya aja!"

Decakan kesal terbit dari bibir Nata, gadis di depannya itu tak berhenti mengeluh sedari tadi. Tentu suara cemprengnya itu membuyarkan fokus Nata. Diambilnya lembar soal Elzi, lalu Nata pun mengerjakannya hingga selesai. Kemudian Nata memberi soal yang serupa namun beda angka dan diberikan lagi kepada Elzi.

"Gue udah kasih contohnya. Kerjain." Ucap Nata datar.

Elzi mendengus kesal, ia mengambil soal itu lalu mencoba mengerjakannya kembali.

Lensa Elzi tak sengaja melihat pergerakan Nata. Pria itu tengah menuangkan air mineral ke dalam piring lalu meletakkannya di depan kucing-- untuk minum kucing tersebut. Tangannya berlabuh di puncak kepala kucing yang tengah menjilati air itu. Lengkungan setipis rambut pun kembali Elzi lihat dari bibir Nata.

"Lo suka kucing juga, ya?" tanya Elzi.

Mendengar penuturan Elzi, pria itu langsung menghilangkan lengkungan dari bibirnya. Ia berdehem sebagai jawaban lalu kembali mengalihkan atensinya pada lembar buku.

Elzi masih terus menatap pergerakan Nata. "Lo mau rawat kucing ini?"

Nata memandang Elzi, ada sedikit jeda sebelum ia menjawab, "kalo lo mau, rawat aja."

Gadis itu tersenyum senang. "Gue mau rawat dia!" jawabnya antusias.

Nata sedikit menarik bibirnya, lalu memfokuskan kembali pada lembar soal yang disandingnya.

"Tadinya lo mau ngerawat dia?" tanya Elzi.

Deheman kembali terdengar sebagai jawaban.

"Kenapa ngebolehin gue rawat kucing ini?" lanjutnya bertanya.

"Lo suka 'kan?"

Elzi mengangguk, "suka."

"Ya udah."

Entah mengapa, jawaban Nata yang masuk ke panca indra-nya membuat perut Elzi tergelitik geli. Gadis itu tertawa seolah memang ada hal lucu yang sangat patut untuk ditertawakan.

Lalu Nata-- pria itu tak menunjukan raut keheranan sekalipun untuk mendengus ataupun merotasikan netranya. Raut wajah datar serta bibir yang terus bungkam, seolah tak ada yang perlu di pertanyakan atas tingkah aneh Elzi. Walau sorot mata tajamnya masih terus terpancar-- mengikuti tiap lekuk wajah Elzi. Sang gadis yang memang memiliki beribu tingkah aneh serta tempramental.

Elzi meredam tawanya, "jadi, ini ceritanya lo lagi simulasi jadi manusia yang budiman? Berakhlaq, baik hati dan tidak sombong?"

Pria itu masih berekspresi tenang, sama sekali tidak berniat menimpali Elzi. Percuma memang jika berbicara dengan orang yang tidak pernah suka pada diri kita. Apapun akan terlihat salah di matanya. Jikalau berteriak sekalipun untuk membela diri, mereka justru akan bebal dan mulai mencari celah lebih dalam. Contoh langsung sedang Nata alami sekarang. Tak perlu ditanyakan kembali.

Tangan Nata meraih ponsel di meja, kemudian ia terlihat mengetikkan sesuatu di sana. Tak berselang lama ia memberikan benda 6 inci tersebut kepada Elzi.

"Lo butuh." Ucap Nata sembari menyodorkan ponsel.

Elzi menerima ponsel tersebut dengan kerutan di keningnya. Kemudian, bola matanya mulai menelisik isi ponsel tersebut.

"1001 cara menjadi manusia yang beradab." Eja Elzi.

Elzi meniup poninya, kemudian ia menatap pria yang selalu tampak apatis itu. Rupanya makhluk kaku ini tengah menyindir Elzi secara halus.

"Iya-iya makasih. Gue 'kan tadi bercanda. Dasar manusia kaku, nggak bisa diajak bercanda." Ucap Elzi.

Sejurus kemudian tatapan gadis itu menerawang ke atas, bibirnya mengerucut tanda ia tengah memikirkan sesuatu,

"Kenapa kita nggak gantian aja ngerawatnya?"

Nata mendongak menatap sang lawan bicara, "Nggak bisa."

"Kenapa?" heran Elzi.

Pancaran keseriusan terbit dari manik hitam Nata, "apa yang udah dalam genggaman gue. Itu berarti milik gue sepenuhnya,"

"Dan gue... nggak suka berbagi apa yang udah jadi milik gue."

Elzi menelan salivanya bulat-bulat. Kenapa ucapan pria itu terdengar sangat mengusik gendang telinga Elzi. Huft, sedikit menyeramkan.

"Omongan lo serem amat."

Nata hanya mengedikan bahunya tak peduli.

"Kalo gitu lo yang ngasih nama kucing ini. Biar agak adil aja gitu. Kan lo yang pertama nemu."

"Nggak."

Elzi mengusap dadanya sabar. "Dasar manusia kaku."

Pria itu sontak mengintimidasi Elzi dengan tatapan elangnya. Mau tak mau Elzi harus menampilkan deretan giginya. "Kaku tapi baik kok." Jawabnya masih dengan senyum yang dipaksakan.

"Berhubung nemunya di lapangan basket. Gue kasih nama dia Babas aja. Gimana?"

"Jelek." Jawab Nata dengan atensinya yang belum berpindah dari lembar soal.

Elzi mengusap dadanya. Sabar El.

"Sisi?"

"Lebih jelek."

"Miti?"

Nata menggeleng.

"Jeje?"

"Pipo?"

"Juminten?"

"Jubaedah?"

"Marpuah?"

"Maimunah?"

Nata menggelengkan kepalanya terus menerus sebagai jawaban.

Elzi menarik nafasnya panjang, dan untuk kesekian kalinya ia mengusap dadanya penuh sabar. Nata memang selalu menjungkirbalikkan persepsi Elzi dalam sekejap. Belum lama ia dibuat kagum oleh sisi hangatnya, Elzi harus kembali berhadapan dengan realita-- yaitu sifat tengil Nata yang memang sudah mengalir di sel darah merah-nya.

"Gue gantung di pohon kencur, mati nggak lo?"geram Elzi.

Nata masih terlihat apatis, walau sejujurnya indranya itu masih mendengar jelas ocehan serta umpatan lirih Elzi.

"Ini ide terakhir gue. Lily, gimana?" tanya Elzi penuh harap. Bola matanya berbinar menantikan jawaban dari Nata.

Pria itu mengedikan bahunya lalu berdiri. "Gue nggak peduli." Ucapnya lalu mulai melangkah meninggalkan area kantin.

"Ribut yuk!" emosi Elzi

Mendengar itu pun membuat lengkungan tipis kembali hadir menghiasi wajah Nata. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Elzi tak dapat melihat lengkungan langka itu.

Bermain dengan Elzi memang cukup menyenangkan. Dan ingatkan Nata, sudah berapa kali gadis itu kalah?

__________________________________________
TBC..
KALO KALIAN SUKA BAB INI SILAHKAN TINGGALKAN VOTE DAN KOMEN YAH..
TERIMAKASIH ❤️

MAAF TYPO BERTEBARAN.

SEE YOU❤️

Продовжити читання

Вам також сподобається

Hello, Aksara! Від Falistiyana

Підліткова література

412K 51.1K 35
Ini cerita tentang dua remaja yang saling berbeda perasaan. Yang satu menjatuhkan hatinya kepada sosok laki-laki pujaannya dan yang satu menutup hati...
Astrafobia [SUDAH TERBIT] Від Daa

Підліткова література

20.1K 2.9K 49
[SUDAH TERBIT] Untuk pemesanan buku hubungi WA : 081774845134 Dear Pembaca ... kisah ini bukan kisah edukasi yang bisa membuat wawasan kali...
Anvaller [END] Від IG : JOURNALASTT

Підліткова література

301K 18.7K 73
[ Sebelum baca follow dulu ya] #1 wattpad (13/06/21) #2 basket ball (31/03/21) #1 Arista (16/02/21) #1 Fikar (23/01/21) Arista Kenzie alexis. Gadis...
ALZELVIN Від Diazepam

Підліткова література

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...