Been Through

By precious_unicorn91

1.2M 73.1K 8.8K

The couples that are meant to be, are the ones who go through everything that is meant to tear them apart, an... More

PROLOG
1. The Boss and The Lover
2. The Problem of Couples
3. Make Up Sex
4. Hotheaded Boy
5. Mother
6. Be Friend
7. 10 Years
8. When the Past Comes Back
9. Break Up
10. I Just Can't Stop Thinking About You
11. Shit!
12. Slow but Sure
13. Forgiveness
14. Happy Birthday to Me
15. Meet You Again

16. It's Always Been You

36.4K 4.4K 847
By precious_unicorn91

Sejak kejadian di malam itu, hubungan Kavin dan Khiya pun menjadi canggung. Kecuali membahas mengenai pekerjaan, keduanya tidak lagi mengobrol seperti biasa. Khiya terlihat jelas menghindari Kavin dan Kavin terlihat pasrah dengan sikap Khiya tersebut. Kavin sadar dia sudah salah langkah malam itu.

Hanya Tuhan dan dirinya yang tahu bagaimana hebatnya pengendalian Kavin selama dua bulan terakhir ini. Kavin berusaha keras untuk bersikap biasa pada Khiya agar gadis itu tidak merasa sungkan apalagi sampai takut dengannya. Tujuan Kavin hanya ingin mendapatkan kepercayaan gadis itu lagi. Dan, hal itu bisa dilakukannya apabila dia bersikap layaknya seorang teman biasa.

Namun, semua berantakan saat dia mendengar Khiya menyuruhnya untuk menjalin kasih dengan wanita lain. Saat itu juga Kavin ingin Khiya tahu bahwa dirinya masih sangat mencintai gadis itu. Bahwa dirinya sedang berusaha untuk memperbaiki dirinya untuk gadis itu. Kavin ingin Khiya tahu, bahwa lelaki itu masih mengharapkan kesempatan kedua.

Dan, saat semua ucapan itu akhirnya keluar, yang kemudian Kavin rasakan hanyalah penyesalan. Seandainya dia tidak gegabah maka hubungan mereka pasti masih baik-baik saja saat ini. Khiya pasti masih menerimanya sebagai seorang teman baik. Sekarang, Kavin bahkan tidak yakin Khiya masih mau menjalin komunikasi dengannya setelah program magangnya selesai.

Gadis itu pasti akan kembali membuat benteng di antara keduanya.

Kalau sudah begitu, mau tidak mau Kavin harus berjuang lagi dari nol. Berat pasti, tapi Kavin selalu punya rasa optimis yang besar. Dia tidak akan menyerah akan Khiya. Dia akan berjuang untuk gadis itu hingga titik darah penghabisan. Sebelum janur kuning melengkung, apa pun masih bisa terjadi.

Karena Kavin percaya Khiya adalah takdirnya.

***

Malam itu, Khiya dan Sigra berbicara banyak hal, terutama mengenai kehadiran Kavin kembali dalam hidup Khiya. Khiya akhirnya jujur pada Sigra bahwa Kavin adalah mentor yang sering dia ceritakan selama ini. Dan, alasannya tidak mengatakannya pada Sigra adalah karena Khiya tidak ingin Sigra cemas pada dirinya.

Meskipun kecewa, Sigra pada akhirnya memaafkan Khiya. Sigra paham kekhawatiran Khiya. Lagi pula, sikap khiya terhadap Kavin membuatnya lega. Gadis itu memilihnya. Tidak ada yang lebih penting dari hal itu bagi Sigra.

Karena itu, meskipun masih ada rasa tidak rela membiarkan Khiya kerja bersama mantan kekasihnya, pada akhirnya Sigra mencoba untuk mempercayai gadisnya. Sigra yakin, Khiya tidak akan berpaling dari dirinya. Khiya pun meyakinkan Sigra bahwa dia akan menjaga jarak dengan Kavin. Agar hal seperti malam itu tidak akan lagi terjadi.

Dan, Khiya benar-benar menepati janjinya.

Khiya bersyukur masa magangnya hanya tinggal tiga minggu lagi. Setelah itu dia tidak akan lagi bertemu Kavin. Khiya akan kembali ke kampusnya dan menghabiskan harinya dengan tugas dan juga teman-temannya. Hanya Sigra lah yang akan menjadi satu-satunya lelaki yang berada di dalam pikirannya.

Seperti sebelumnya, Khiya pasti bisa melupakan Kavin.

***

Khiya sedang menyelesaikan desain baru untuk banner penjualan yang biasa dipasang di toko-toko bangunan, saat tiba-tiba saja tumpukan kertas dibantingkan di atas mejanya dengan kuat. Khiya bahkan sampai melompat dari bangku saking terkejutnya. Saat dia menoleh ke kanannya, di mana orang yang membantingkan kertas itu berdiri, jantungnya langsung berdebar cepat mendapati wajah Johan yang menatapnya tajam.

"Ini lo yang buat, kan?" bentak lelaki itu dengan suara kencang.

Rian dan Gita yang sedang mengetik pun langsung menghentikan kegiatan mereka untuk melihat apa yang sedang terjadi. Kavin sendiri sedang keluar ruangan, bertemu dengan Manajer Produksi.

Khiya mencoba melihat kertas-kertas yang dilemparkan tadi. Itu adalah beberapa desain website perusahaan yang dia kerjakan minggu lalu.

"Iya, Mas. Saya yang buat," jawab Khiya tenang, berusaha menutupi rasa gugupnya.

Sejak awal, lelaki itu selalu bersikap tidak ramah padanya. Meskipun belum pernah diomeli langsung seperti yang dialami Kavin hampir setiap harinya, tapi tetap saja Khiya merasa cemas. Karena siapa yang bisa menduga apa yang akan lelaki itu lakukan padanya. Kalau gilanya keluar, bisa saja Khiya yang terkena imbasnya.

"Sampah tahu nggak desain yang lo buat!" seru Johan dengan keras yang membuat Khiya tersentak.

"Mas Johan ...." Rian terlihat berusaha menenangkan, tetapi Mas Johan langsung mengacungkan telunjuknya pada lelaki itu sambil menatap tajam.

"Nggak usah ikut campur lo!" Johan kembali menatap Khiya bengis. "Gara-gara desain sampah lo gue jadi ditegur Pak Budi."

Johan mengambil kertas-kertas tadi dan melemparkannya ke wajah Khiya. Khiya pun langsung berajak dari kursinya, mengambil jarak dengan Johan. Tubuhnya bergetar menahan amarah. Wajahnya memerah menatap Johan. Belum pernah dia diperlakukan sekurang ajar ini oleh orang lain.

"Mas! Nggak perlu marah-marah, kan? Desainnya bisa direvisi sama Khiya." Kali ini Gita yang bersuara. Dia sudah beranjak dari bangkunya dan berdiri di sebelah Khiya. "Lagi pula, desain Khiya sudah sesuai dengan arahan yang Mas Johan e-mail. Jadi, salahnya di mana?"

"Sama aja gobloknya lo sama dia!" seru Johan semakin berapi-api karena Gita melawannya. "Kerjaan sampah begini lo bilang benar."

Tidak terima lagi diperlakukan seperti ini, Khiya pun bersuara dengan tegas. "Maaf, Mas. Seperti kata Mbak Gita, saya sudah mengikuti semua arahan dari Mas Johan. Mbak Gita pun sudah memeriksa hasil kerja saya dan tidak ada masalah. Kalau memang desain saya tidak sesuai keinginan Pak Budi, mungkin Mas Johan lah yang salah memberikan arahan ke saya."

"Lo jadi anak magang jangan sengak ya!" Johan mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Khiya sambil menatap geram. Khiya bergeming di tempatnya, tidak mau terlihat takut. "Gue udah ngasih lo instruksi yang benar. Lo aja yang tolol!"

Khiya pun semakin meradang mendengar hinaan Johan tersebut. Seandainya tidak ingat posisinya, Khiya pasti sudah meninju wajah Johan saat ini. "Kalau begitu, lebih baik kita menghadap Pak Budi, biar semua lebih jelas." Khiya menatap Johan tajam.

"Oh, mau sok jago ya lo sekarang. Jadi, maksud lo gue yang salah?!"

"Kalau memang Mas Johan merasa benar, seharusnya tidak perlu takut."

Melihat perlawanan Khiya itu, Johan pun semakin emosi. Selama ini, tidak ada yang pernah melawan ucapan dia. Rian, Gita, bahkan Kavin biasanya hanya diam mendengar ocehannya. Meskipun dirinya tahu, ketiganya kesal padanya. Namun, Khiya rupanya berbeda. Gadis itu tampak tidak takut dengannya.

Johan pun dengan cepat mencengkeram bahu kiri Khiya. Cengkeramannya begitu kuat, membuat Khiya meringis kesakitan.

"Lo kayaknya perlu gue kasih pelajaran ya! Biar nggak ngelawan senior lagi!" seru Johan, menatap Khiya penuh dengan amarah. Tangan kirinya terangkat, terlihat akan memukul Khiya yang sudah memejamkan matanya.

Namun, belum sempat Johan bergerak lebih lanjut, tangan kirinya sudah terpelintir ke belakang, membuatnya mengerang sakit. Tangannya yang mencengkram Khiya pun terlepas.

"Lepasin tangan gue, Anjing!" sembur Johan. Khiya pun mendapati keberadaan Kavin yang berdiri di belakang Johan sambil memelintir tangan lelaki itu.

"Lebih baik tangan ini saya patahin aja biar Anda nggak kasar lagi sama cewek," ucap Kavin terdengar begitu dingin.

"Bangsat!!" sungut Johan sambil menahan sakit di tangannya.

Perseteruan Johan dan Kavin pun menarik perhatian karyawan yang lain. Dengan penasaran, mereka pun mencuri lihat ke arah kubikel departemen BDP. Bahkan ada yang sampai menghampiri ke area kerja mereka, untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sadar menjadi bahan tontonan, wajah Johan pun semakin memerah karena malu dan marah. Semua orang yang melihat, pasti berpikir Johan terlalu lemah hingga bisa dalam posisi seperti saat ini.

"Lepasin!" teriak Johan lagi sambil berusaha melepaskan diri dari Kavin.

Namun, Kavin memegangnya begitu kuat. Tenaga Kavin jauh lebih besar daripada Johan yang bertubuh lebih kecil darinya.

"Vin, udah," lirih Khiya cemas saat melihat tatapan tajam Kavin di balik sikap tenangnya. Khiya tahu, lelaki itu sangat murka saat ini. Khiya tidak ingin Kavin terkena masalah karena membela dirinya. "Gue nggak apa-apa kok."

Kavin melirik Khiya sekilas, memperhatikan wajah gadis itu yang tampak cemas padanya. Pada akhirnya, Kavin pun melepaskan tangan Johan. Begitu terlepas, Kavin bermaksud menjauh dari Johan, tapi gerakan Johan lebih cepat saat dia berbalik badan dan langsung memberikan satu pukulan kuat ke wajah Kavin. Kavin pun terhuyung ke samping, nyaris terjatuh seandainya dia tidak bertumpu pada meja.

Orang-orang yang melihat semua itu pun langsung terkesiap kaget. Khiya menatap Kavin ngeri, saat melihat luka di bibir dan pipi lelaki itu. Johan kembali memberikannya satu pukulan, tapi kali ini Kavin mampu mengelak dengan cepat. Gerakan Johan semakin membabi buta saat menyerang Kavin. Meskipun begitu, Kavin sama sekali tidak membalas. Dia hanya terus menghindar hingga Johan kelelahan.

Johan nyaris menendang Kavin saat suara kencang terdengar membentak mereka.

"Apa yang kalian lakukan?!"

Semua orang menoleh pada Pak Budi yang rupanya baru saja kembali dari meeting dengan presiden direktur. Dia menatap Johan dan Kavin bergantian dengan terkejut. Wajahnya memerah, menahan amarah.

"Kalian berdua, ke ruangan saya. SEKARANG!" seru Pak Budi sebelum berbalik badan, berjalan menuju ruangannya.

Johan masih sempat mengumpat dan menatap Kavin tajam sebelum berjalan ke ruangan Pak Budi. Kavin akan melangkah untuk mengikuti Johan, saat Khiya menahan lengannya. Kavin pun menatap Khiya yang terlihat sangat cemas itu. Pandangan yang sama, yang diberikan oleh Rian dan juga Gita. Melihat ketiga temannya khawatir akan dirinya, Kavin pun mengulaskan senyuman simpulnya.

"It's okay," ucapnya sebelum melangkah pergi.

***

Sekitar satu jam kemudian, Kavin dan Johan keluar dari ruangan Pak Budi. Di saat wajah Johan terlihat begitu mengerikan karena dipenuhi kekesalan, Kavin terlihat baik-baik saja bahkan cenderung tenang. Entah apa yang diperintahkan Pak Budi, Johan tidak melanjutkan pekerjaannya melainkan mengambil tasnya, lalu pulang. Namun, sebelum dia pergi, Johan sempat memberikan kata-kata ancamannya lagi pada Kavin, yang ditanggapi lelaki itu dengan santai.

"Urusan kita belum selesai, Bangsat!" umpat Johan sebelum melangkah pergi.

Kavin yang tidak tampak terpengaruh dengan ucapan Johan, memilih untuk duduk di bangkunya, lalu melanjutkan bekerja. Tapi, tentu saja niatnya itu tidak terlaksana, karena Rian dan Gita langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang dijawab Kavin dengan satu kalimat yang sama, bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dicemaskan.

Penjelasan Kavin yang akhirnya membuat Rian dan Gita percaya. Namun, tidak dengan Khiya. Gadis itu masih merasa tidak tenang. Dia ingin bertanya pada Kavin, tapi tidak ingin melakukannya di depan kedua rekan kerjanya yang lain. Karena tahu Kavin akan memberikan jawaban yang sama. Khiya pun akhirnya menunggu hingga bisa berbicara berdua dengan Kavin.

"Loh, ngapain di sini?" tanya Kavin saat menemukan Khiya berdiri menunggu di lorong setelah dirinya keluar dari toilet.

Khiya yang bingung memulai percakapan dari mana, hanya menggigit bibir bawahnya. Kavin pun sadar bahwa Khiya masih cemas akan dirinya.

"Gue pengin beli kopi di bawah. Mau ikut?" tawar Kavin yang diangguki Khiya.

Setelah membeli kopi untuk dirinya dan Khiya, keduanya pun memilih untuk duduk di taman kecil yang berada di belakang gedung sambil menikmati semilir angin sore hari. Kebetulan cuaca tidak begitu panas, jadi keduanya bisa duduk dengan nyaman di sana.

Saat Kavin akan menyesap capuccino panasnya, dia mengeluarkan desisan pelan karena nyeri di sudut bibirnya. Pukulan Johan tadi, merobek sudut bibirnya. Meskipun tidak lagi mengeluarkan darah, tapi tetap saja masih terasa sakit. Khiya yang mendengar desis kesakitan itu pun, langsung menoleh menatap Kavin yang kembali meletakkan cangkir kopinya di atas bangku.

"Belum diobati ya?" tanya Khiya sambil menatap sudut bibir Kavin yang memerah dan bengkak. "Tunggu sebentar, ya."

Khiya lalu bergegas pergi. Sekitar sepuluh menit kemudian, Khiya kembali datang dengan membawa satu gelas kertas berisi es batu. Dia mengeluarkan sendok dari saku blazernya yang membuat Kavin mengernyit bingung.

"Mau ngapain?"

"Bentar," jawab Khiya singkat sambil memasukkan sendok tadi ke dalam gelas. Beberapa saat kemudian, Khiya mengeluarkan sendok tersebut dan menempelkannya ke sudut bibir Kavin yang membuat lelaki itu meringis karena rasa dingin dari sendok dan nyeri pada lukanya. "Biar nggak makin bengkak. Gue nggak nemu sapu tangan atau handuk soalnya," jelas Khiya kemudian.

Kavin pun membiarkan Khiya mengompres bibirnya dengan sendok dingin. Setelah beberapa saat, rasa sakit pun menghilang dari sudut bibirnya. Berganti dengan rasa kebas karena bibirnya kedinginan.

"Pipi lo ..." Khiya sudah akan menempelkan sendok itu lagi ke pipi Kavin, tapi lelaki itu langsung menghindar.

"Nggak usah. Nanti juga kempes sendiri bengkaknya." Kavin tersenyum simpul.

Khiya pun mengangguk, lalu meletakkan gelas dan sendok di lantai, dekat kaki bangku. Khiya kemudian kembali menatap Kavin dengan sendu. Melihat itu, Kavin pun mendengus pelan.

"Jangan ngeliatin gue melas gitu. Gue nggak apa-apa."

"Beneran nggak apa-apa? Lo sama sekali nggak dapat hukuman dari Pak Budi?" tanya Khiya terlihat tidak percaya. "Beneran Mas Johan doang yang dirumahkan?"

Kavin tadi bercerita bahwa kemungkinan besar Johan akan dirumahkan karena tindakannya sebelumnya. Kavin tidak tahu berapa lama hukuman itu berlangsung atau apa ada hukuman lain yang akan diterima Johan, karena departemen HRD masih memproses masalah tadi.

"Lo pengin gue juga dirumahkan ya? Segitunya nggak mau lihat gue?" Kavin menyeringai kecil.

Disindir seperti itu oleh Kavin, Khiya pun menundukkan wajahnya. "Bukan gitu." Kavin pun tertawa melihat Khiya yang merasa semakin tidak enak padanya. "Seharusnya lo biarin aja si Mas Johan tadi. Dia nggak akan mungkin mukul gue beneran kan? Lagian, gue tinggal dua minggu lagi di sini. Jadi, nggak masalah sama sekali mau dimaki dia sekalipun. Toh, gue nggak akan ketemu dia lagi."

"Buat lo mungkin nggak masalah. Tapi, buat gue iya," ucap Kavin dengan tegas. Khiya akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Kavin yang memberikannya tatapan tajam. "Gue nggak suka ngelihat cowok yang kasar bahkan sampai main tangan sama cewek. Cowok itu harusnya ngelindungi cewek, bukan sebaliknya."

"Tapi, lo jadi kena masalah, kan? Gimana kalau kontrak lo nggak diperpanjang?" Pikiran buruk memenuhi kepalanya. Khiya jadi semakin takut kejadian tadi akan berdampak buruk pada Kavin. Padahal lelaki itu hanya ingin melindungi dirinya.

"Gue nggak salah, jadi kenapa harus dapat hukuman?" Kavin tertawa kecil. "Mikirnya jangan kejauhan gitu. Lo tuh terlalu paranoid."

"Gimana gue nggak parno? Kalau gara-gara gue lo nggak bisa wujudin cita-cita lo, gue pasti akan merasa sangat bersalah."

"Cita-cita yang mana?" Senyum penuh arti tersungging di bibir Kavin.

"Yang lo pengin jadi manajer lah. Emang yang mana lagi?"

"Oh, gue kira cita-cita gue yang pengin balikan sama lo." Khiya pun langsung mengatup rapat bibirnya. Terlihat tidak nyaman dengan ucapan Kavin. Melihat itu Kavin pun tertawa geli. "Gue cuma bercanda. Astaga, lo serius banget sih, Ky," ucap Kavin sambil mengacak rambut Khiya sekilas.

Kavin refleks melakukan hal itu karena kebiasaan lamanya, tanpa sadar akibat dari sentuhannya pada Khiya. Tubuh gadis itu menegang dan jantungnya berdebar dengan kencang. Bibirnya mungkin lancar mengucapkan kata-kata penolakan pada Kavin, tapi tubuh dan hatinya sama sekali tidak bisa berbohong.

Lelaki itu masih memberikan efek yang hebat terhadap dirinya.

"Pokoknya lo nggak usah cemas. Gue baik-baik aja. Oke?"

Mencoba untuk mempercayai Kavin, Khiya pun menganggukkan kepalanya.

***

Saat Khiya berpikir semua akan baik-baik saja, tiga hari kemudian dia mendapatkan berita buruk dari Rian saat baru saja mendudukkan diri di kursi kerjanya. Dengan wajah panik, Rian mengatakan padanya bahwa Kavin mendapatkan punishment juga dari perusahaan. Meskipun dia tidak mendapatkan surat peringatan seperti Johan, tetapi Kavin juga dirumahkan, meskipun hanya seminggu. Berbeda dengan Johan, yang dirumahkan selama sebulan dengan gajinya yang dipotong 50%.

Rian menjelaskan bahwa alasan HRD karena meskipun awal mula pertikaian dimulai oleh Johan, tapi Kavin turut serta memperkeruh kondisi saat itu. Seandainya saja Kavin tidak menggunakan perlawanan fisik pada Johan, maka pertengkaran itu dapat dihindari. Lagi pula, HRD merasa lebih adil apabila keduanya diberikan sanksi. Dengan begitu, karyawan lain akan berpikir ulang apabila ingin membuat keributan di kantor.

Mendengar hal itu sontak rasa bersalah menyelimuti Khiya. Karena dirinya lah Kavin terkena masalah. Seandainya saja dia tidak melawan Johan, lelaki itu tidak akan marah padanya. Dengan begitu, Johan tidak akan berbuat kasar padanya yang membuat Kavin turun tangan. Seharusnya Khiya sadar akan posisinya saat itu.

Kavin saja selama ini selalu bersabar menghadapi Johan karena tidak ingin mencari masalah dengannya. Namun, malah Khiya yang membuat Kavin berada dalam posisi sulit.

Sepanjang hari Khiya berusaha menghubungi Kavin. Dia ingin meminta maaf. Namun, ponsel lelaki itu tidak aktif sejak pagi. Khiya pun semakin panik karenanya. Khiya pikir, Kavin pasti sedang merasa terpuruk saat ini, hingga mematikan ponselnya. Khiya pun tidak dapat bekerja dengan tenang. Sejak tadi, dia hanya terus menatapi layar ponselnya.

Saat istirahat makan siang, Khiya pun tidak lagi bisa menahan rasa tidak tenangnya. Setelah mendapatkan alamat apartemen Kavin dari Rian, gadis itu pun bergegas ke sana. Dia harus bertemu langsung dengan Kavin dan meminta maaf. Karena ini semua adalah salahnya.

Jarak dari kantor ke apartemen Kavin tidak begitu jauh. Dalam lima belas menit, gadis itu sudah sampai di sana. Khiya bersyukur apartemen Kavin tidak memiliki pengamanan yang ketat. Dia hanya menyebutkan nomor unit apartemen Kavin dan meninggalkan identitas agar bisa naik ke lantai yang ditujunya.

Dan, sekarang dia sudah berada di depan pintu apartemen Kavin dengan dada yang berdegup cepat. Setelah berhasil mengumpulkan tekad, Khiya pun menekan bel apartemen tersebut. Tidak perlu menunggu lama, karena beberapa saat kemudian pintu terbuka dan muncul wajah yang sangat dikenalnya. Menatapnya dengan ekspresi terkejut.

"Khiya?"

"Hai, Gar." Khiya menyengir kikuk. "Eng, sorry kalau ganggu. Kavin ada?"

Tegar terdiam beberapa saat sebelum menganggukkan kepalanya. "Ada kok. Masuk aja." Tegar membuka lebar pintu, mempersilakan Khiya untuk masuk.

Dengan langkah tidak yakin, gadis itu memasuki apartemen Kavin dan Tegar. Khiya melihat sekitar, memperhatikan dengan saksama kondisi sekitarnya. Apartemen itu bukanlah jenis apartemen yang mewah. Hanya ada ruang TV yang tersambung langsung dengan ruang makan dan dapur di sebelah kanannya. Lalu, di sebelah kiri, Khiya bisa melihat tiga pintu yang dia perkirakan adalah kamar tidur. Furniture yang mengisi apartemen itu pun tidak banyak. Mungkin sengaja agar tidak terlihat terlalu sempit. Meskipun begitu, apartemen tersebut tetap terasa nyaman.

"Duduk aja dulu, biar gue panggil si Kavin," ucap Tegar sambil menunjuk sofa yang berada di depan TV.

Khiya pun mengangguk dan mengambil duduk di sofa tersebut. Khiya melihat Tegar membuka pintu kamar yang berada di sudut kanan. Kondisi di dalamnya begitu gelap. Samar, Khiya mendengar suara Tegar yang berbicara dengan Kavin.

"Woy, itu ada tamu di luar! Bangun lo!"

Kavin berdeham kesal, sebelum kemudian bertanya. "Siapa?"

"Keluar aja biar lihat langsung. Gue buru-buru ini. Mau ke kampus."

"Iya," jawab Kavin dengan suara serak.

Setelah itu, Tegar keluar dari kamar Kavin sambil tersenyum pada Khiya. "Sorry ya, gue nggak bisa nemenin lo. Gue mau ketemu dospem." Tegar menyandang tas ranselnya di bahu kanan. "Jangan sungkan. Anggap aja rumah sendiri."

"Iya. Makasih, Gar."

"Duluan ya, Ky." Tegar pun pergi dengan terburu-buru.

Saat Khiya sedang memperhatikan pemandangan di luar sana melalui kaca balkon di depannya, suara langkah di sebelah kirinya menarik perhatian Khiya. Khiya menoleh dan langsung tersipu malu saat mendapati Kavin keluar dari kamarnya hanya memakai celana piyamanya saja tanpa baju. Kavin pun tidak kalah terkejut saat melihat Khiya sedang duduk di sofa apartemennya.

"Berengsek si Tegar!" umpat Kavin sambil kembali masuk ke dalam kamarnya untuk memakai baju.

Kavin pikir tamu yang dimaksud Tegar adalah teman mereka. Dia tidak menyangka tamu itu adalah Khiya. Makanya dengan santai dia keluar kamar tanpa memakai baju. Karena di rumah, dia memang lebih suka berkeliaran dengan celana saja.

Beberapa saat kemudian, Kavin pun keluar kamar, kali ini dengan baju yang lengkap. Dia tersenyum tidak enak pada Khiya. "Sorry ya. Gue nggak tahu tamunya lo."

"Iya. Nggak apa-apa," jawab Khiya berusaha tenang, meskipun wajahnya masih terasa panas.

Seharusnya Khiya tidak perlu merasa malu. Saat mereka berpacaran, Khiya sudah sering melihat Kavin tanpa baju, karena lelaki itu memang sering merasa gerah di kost-nya. Namun, karena mereka tidak lagi berpacaran, rasanya jadi berbeda.

"Mau minum apa?" tanya Kavin sambil berjalan ke dapur.

"Nggak usah repot-repot, Vin. Gue cuma sebentar kok."

"Nggak repot. Gue juga mau ambil minum soalnya." Kavin kemudian membuka pintu kulkasnya. "Ada jus jeruk, air mineral dingin, coke, susu. Mau apa?"

"Air dingin aja."

"Oke."

Kavin pun menuangkan air dingin ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja yang berada di depan Khiya. Kavin kemudian mengambil duduk di sofa yang berbeda dari Khiya sambil menyedot susu UHT dari kotaknya. Khiya menahan senyumnya, melihat Kavin yang terlihat menggemaskan saat ini.

Wajah sayu karena bangun tidur, rambut yang berantakan, lalu wajah imutnya saat menyedot susu. Kavin persis seperti anak kecil.

"Ada apa?" Kavin sebenarnya sudah bisa menebak alasan gadis itu berada di apartemennya saat ini. Khiya pasti ingin membahas mengenai punishment yang diterimanya dari perusahaan.

"Dari pagi gue coba nelepon lo, tapi hape lo mati."

Kavin meletakkan kotak susunya yang sudah habis isinya di atas meja sebelum menjawab pertanyaan Khiya. "Baterainya abis. Belum gue charge. Kenapa? Lo kangen?" goda Kavin sambil tersenyum miring.

Khiya menatap Kavin jengkel. "Emang dari tadi lo ngapain? Kok nggak di charge hapenya?"

"Tidur. Mumpung nggak perlu bangun pagi," jawab Kavin sambil mengedikkan bahunya.

"Lo kenapa tenang banget sih? Lo kan kena punishment dari kantor," ucap Khiya tidak percaya melihat sikap santai Kavin saat ini. "Kalau kontrak lo di terminate gimana?"

"Tinggal cari perusahaan lain."

"Kalau lo di blacklist?"

"Wirausaha kan bisa. Gue ada kepikiran mau jual lingerie aja."

"Kavin!" jerit Khiya sebal. "Gue serius!"

Kavin tertawa kecil. "Gue juga. Lingerie lagi hits loh sekarang."

Khiya mendecakkan lidahnya kesal, lalu membanting punggungnya ke sandaran sofa. Perasaannya benar-benar kacau balau saat ini.

"Gara-gara gue lo jadi kena masalah. Harusnya gue ..."

Tanpa sadar, air mata Khiya pun mengalir. Rasa bersalah yang dirasakannya begitu besar. Khiya takut masa depan Kavin hancur karena kesalahannya. Khiya tidak akan pernah memaafkan dirinya, kalau sampai hal itu terjadi.

Melihat Khiya yang mulai sesenggukan, Kavin pun tersenyum simpul. Dia berpindah duduk ke sebelah Khiya.

"Gue ngelakuin itu karena keinginan gue sendiri. Jadi, berhenti nyalahin diri lo. Lagi pula, meskipun itu bukan lo, gue akan melakukan hal yang sama. Gue nggak akan biarin seorang wanita dilukai di depan mata gue."

Meskipun Kavin mengatakan hal itu, tetap saja tangis Khiya tidak berhenti. Gadis itu malah semakin sesenggukkan. Kedua tangannya, menutup wajah. Air matanya tidak berhenti mengalir.

"Ky, udah dong nangisnya. Gue beneran nggak apa-apa," bujuk Kavin sambil mengusap kepala Khiya.

Tapi, Khiya malah semakin menangis kencang. Dengan terbata-bata, gadis itu berucap, "Maafin gue ...hiks...maaf ...."

Kavin pun menghela napasnya kasar. Dia benar-benar benci melihat Khiya menangis. Dadanya terasa perih setiap melihat gadis itu menitikkan air matanya. Baginya, Khiya tidak boleh merasa sedih. Gadis itu harus selalu bahagia.

Akhirnya, Kavin pun menarik Khiya ke dalam pelukannya. Khiya mungkin akan marah padanya setelah ini atau bahkan kembali menghindarinya. Tapi, Kavin tidak peduli. Dia tidak akan membiarkan Khiya menangis hingga seperti itu.

Tidak menolak sama sekali, Khiya malah menenggelamkan wajahnya di dada Kavin sambil memeluk pinggang lelaki itu. Air matanya masih terus mengalir. Khiya bahkan tidak yakin saat ini dirinya menangis karena apa yang terjadi pada Kavin. Khiya merasa semua air mata itu adalah akumulasi dari kesedihan yang dia rasakan belakangan ini.

Perasaan, yang dia pendam selama ini, yang akhirnya keluar di depan sumber kegelisahannya.

Khiya masih terus menangis selama beberapa menit dan Kavin dengan sabar mengusap lembut punggung ataupun rambutnya. Perlakuan Kavin membuat Khiya terbuai. Sudah lama dia tidak merasakan kenyamanan ini. Berada di dalam pelukan hangat yang terasa begitu melindungi dirinya. Bahkan, Sigra sekalipun tidak bisa membuatnya merasakan perasaan seperti ini.

Hanya Kavinlah satu-satunya lelaki yang bisa membuatnya merasa begitu nyaman.

Saat tangisannya akhirnya berhenti, Khiya perlahan menjauhkan dirinya dari Kavin. Dengan matanya yang merah dan sembab, gadis itu menatap Kavin yang tersenyum simpul padanya. Jari-jari Kavin menyingkirkan rambut yang menempel di wajah basahnya. Jempol Kavin mengusap perlahan air mata yang masih menempel di pipinya. Tatapan Kavin menunjukkan dengan jelas sebesar apa rasa sayang lelaki itu padanya.

Membuat Khiya ingin menangis kembali saat menyadarinya.

"Apa pun resikonya, semua nggak akan berarti selama gue bisa mastiin lo baik-baik aja. Gue nggak akan pernah menyesal karena bisa melindungi orang yang gue sayang. Karena cuma ini yang bisa gue lakukan setelah sakit yang pernah gue kasih ke lo," ucap Kavin dengan begitu lembut. "Jadi, jangan nangis lagi. Gue baik-baik aja."

Bukannya tenang, Khiya malah kembali terisak. Dadanya terasa begitu sesak saat ini. Perasaannya campur aduk akibat perlakuan dan ucapan Kavin padanya. Hatinya berulang kali menjeritkan kalimat sama yang dia coba ingkari selama ini.

Bahwa dirinya masih sangat mencintai mantan kekasihnya itu.

"Kok malah nangis lagi?" Kavin tertawa kecil. "Kalau masih nangis, gue cium nih ya!" goda Kavin, bercanda.

Dengan mata berkaca-kaca, Khiya menatap Kavin tanpa berkedip. Bibirnya terbuka sedikit, tapi kata-kata yang ingin Khiya ucapkan tertahan di ujung lidahnya. Akhirnya, Khiya hanya menatap Kavin dengan pandangan sendunya. Tatapan yang menunjukkan perasaan Khiya sebenarnya, yang membuat Kavin menelan ludahnya dengan susah payah.

"Jangan ngeliatin gue kayak gitu, Ky," ucap Kavin dengan suara parau.

Sebenarnya, Kavin bisa saja memalingkan wajahnya, lalu bergerak menjauh dari Khiya sebelum dia melakukan hal yang akan dia sesali nantinya. Namun, tatapan gadis itu begitu membiusnya. Kavin tidak dapat mengelak dari perasaan yang Khiya coba tunjukkan untuknya.

Bahwa, rasa cinta itu masih ada untuk dirinya.

Jemarinya pun bergerak mengusap pipi Khiya. Lalu, dengan perlahan jempolnya menyentuh bibir merah gadis itu yang terbuka sedikit. Jantung Kavin berdebar dengan begitu kencang saat kepalanya bergerak maju, mendekati Khiya. Hatinya sudah bersiap dengan reaksi apa pun yang akan Khiya berikan saat ini.

Namun, saat mata indah yang sejak tadi menatapnya penuh harap dan juga takut itu menutup, rasa ragu itu pun sirna begitu saja.

Dengan perlahan, Kavin memagut bibir Khiya. Mencecapi rasa manis bibir gadis yang sangat dicintainya. Rasa manis yang sangat dia rindukan dan selalu dia dambakan setiap melihat gadis itu. Dan, saat Khiya tidak menolaknya bahkan perlahan mulai membalas ciumannya, Kavin pun tidak lagi ragu untuk melanjutkan cumbuannya.

Jantung keduanya menggila di dalam rongga dada mereka. Perasaan keduanya begitu membuncah saat ini. Ciuman itu bahkan terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan ciuman pertama mereka dulu. Kebahagiaan yang keduanya rasakan saat ini, tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Tubuh tegang keduanya mulai rileks. Tangan Kavin menarik perlahan tengkuk Khiya untuk memperdalam ciuman mereka. Kedua tangan Khiya mencengkeram erat pinggang Kavin. Sesekali mengusap naik turun sisi tubuhnya.

Keduanya terbuai oleh ciuman mesra itu. Meskipun napas mereka mulai putus-putus, tapi tidak ada satu pun yang berusaha untuk mengakhiri. Mereka terlalu merindukan satu sama lainnya. Cinta yang selama ini mereka tutupi, tidak lagi dapat mereka kendalikan.

"I love you so much, Baby," bisik Kavin saat pagutan mereka akhirnya terlepas karena napas mereka yang sudah sesak. Kavin menangkup wajah Khiya dengan kedua tangannya dan memberikannya tatapan penuh harapnya.

Khiya baru akan membuka mulutnya saat ponsel di tasnya berdering kencang. Dering yang dia peruntukkan untuk Sigra. Kesadaran pun langsung menghantamnya dengan telak. Dengan cepat, Khiya menjauhkan dirinya dari Kavin. Melihat reaksi itu Kavin pun tersenyum pahit.

Khiya mengambil ponselnya di tas dan menjawab panggilan itu.

"Kamu lagi apa, Sweetheart? Aku chat nggak dibalas-balas," tanya Sigra dengan lembut seperti biasanya. "Aku udah otw ke Jakarta. Nanti aku jemput ya."

"Maaf, aku nggak lihat hape dari tadi," jawab Khiya dengan gugup. "Oke. Aku tunggu nanti sore."

Sambungan pun berakhir beberapa saat kemudian. Sambil menyimpan kembali ponselnya di dalam tas, Khiya mengembuskan napasnya dengan kasar. Khiya merasa begitu jahat saat ini. Khiya sudah berbohong pada kekasihnya. Apa yang dia lakukan saat ini sama saja dengan pengkhianatan bukan? Membiarkan mantan kekasihnya mencumbunya dengan begitu mesra. Bahkan, Khiya pun membalas cumbuan itu dengan penuh perasaan.

Apa bedanya dirinya sekarang dan Kavin dulu?

"Eng, gue boleh minjam kamar mandi?" Khiya butuh waktu untuk menenangkan dirinya. Sekaligus memastikan penampilannya rapi. Jangan sampai rekan kerjanya di kantor nanti melihat sisa air mata atau lipstiknya yang berantakan.

"Kamar mandi luar lagi rusak. Lo pakai aja kamar mandi di dalam kamar gue. Yang pintunya kebuka itu," ucap Kavin sambil menunjuk kamarnya.

Khiya tidak berkata apa pun lagi, apalagi menatap wajah Kavin. Gadis itu langsung melangkah masuk ke dalam kamar Kavin yang remang karena tirai jendelanya yang belum dibuka sempurna. Khiya masuk ke dalam kamar mandi dan langsung mengunci diri di dalamnya.

Sambil memperbaiki make up-nya, Khiya berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Khiya terdiam lama di depan cermin, menatap wajah cantiknya yang sudah terpoles make-up dengan sempurna. Sisa tangis sudah hilang meskipun matanya sedikit bengkak.

"Kenapa lo bisa bego banget sih, Ky?" bisik Khiya sambil menatap nanar pantulan dirinya di cermin. "Lo tau sendiri kan sakitnya dikhianati? Jadi, jangan lakuin itu ke Sigra. Lupain masa lalu lo, Ky. Lupain Kavin. Gue mohon."

Khiya menarik napasnya dalam-dalam. Berusaha mengendalikan emosinya. Saat dirinya sudah tenang, Khiya pun keluar dari kamar mandi. Khiya sudah akan melangkah keluar kamar Kavin, saat foto di dinding dalam ukuran besar menarik perhatiannya. Meskipun remang, Khiya bisa melihat jelas foto yang dipasang di atas tempat tidur Kavin itu.

Foto yang membuat Khiya tersenyum pahit.

Tidak mau lagi berlama-lama di sana, Khiya segera keluar dari kamar Kavin. Kavin sedang berada di dapur, terlihat mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam kulkasnya. Melihat Khiya datang, lelaki itu tersenyum padanya.

"Lo udah makan siang? Gue mau masak nasi goreng."

Khiya menggelengkan kepalanya. "Belum. Tapi, gue emang nggak lapar."

"Oh, oke."

Khiya menggigit bibir bawahnya sambil menatap Kavin ragu. "Soal tadi .... Lupain aja! Gue lagi kalut sampai nggak sadar ngelakuin apa."

Kavin terlihat kaget, lalu tersenyum tipis. "Jadi, lo nyesal karena udah balas ciuman gue?"

"Kavin ..."

"Bukannya kita punya perasaan yang sama? Gue bisa merasakan cinta lo dari ciuman tadi. Apa gue salah mengartikan semuanya?"

Tatapan sendu Kavin pun membuat dada Khiya terasa sesak. Salahnya lah hingga Kavin jadi berharap seperti ini. Seharusnya dia bisa mengendalikan dirinya tadi. Sehingga hal itu tidak perlu terjadi.

Sekarang, bukan Sigra saja yang dia sakiti, tapi juga Kavin karena ketidaktegasannya.

"Maafin gue. Gue cuma terbawa suasana tadi."

Kavin mendengus pelan. "Jadi, maksud lo, lo bayangin Sigra saat kita ciuman tadi?"

"Bukan gitu."

"Jadi apa Khiya? Jelasin ke gue apa yang lo rasakan biar gue paham. Biar gue tahu apa yang harus gue lakukan setelah ini," desak Kavin, menatapnya tajam.

Khiya menggigit bibir bawahnya, menatap Kavin nanar. "Maafin gue."

Kavin mengembuskan napasnya kasar. "Berhenti meminta maaf. Bukan maaf yang gue mau dengar dari lo. Tapi, satu kesempatan buat gue bisa bersama lo. Cuma itu, Ky."

Kavin menatap Khiya penuh harap. Tatapan yang membuat dada Khiya semakin terasa sesak. Karena Khiya tahu, dia tidak bisa mewujudkan keinginan Kavin itu.

"Gue nggak bisa. Maaf," ucap Khiya pada akhirnya sebelum melangkah pergi meninggalkan Kavin yang terpaku di tempatnya.

***

"Sweetheart! Khiya!" panggilan itu menyadarkan Khiya dari lamunannya. Khiya menatap Sigra yang duduk di depannya sambil tersenyum geli. "Kamu lamunin apa sih, Cantik?"

Khiya pun tersenyum kikuk, merasa malu karena tertangkap melamun di tengah kencan mereka saat ini. Padahal lelaki itu sudah membawanya ke sebuah restoran mewah di sebuah hotel bintang lima. Tapi, dibandingkan mendengarkan Sigra bercerita atau pun menikmati sajian yang menggiurkan, Khiya malah sibuk memikirkan hal lain.

Lebih tepatnya, memikirkan lelaki lain.

"Lagi banyak kerjaan ya di kantor? Kamu dari dua hari lalu kelihatan banyak pikiran." Sigra menangkup tangan Khiya yang berada di atas meja, lalu mengusap lembut. "Ada masalah?"

"Nggak. Lagi mikirin Tugas Akhir aja kok. Aku masih bingung nentuin judulnya," bohong Khiya tentu saja.

"Ngomong-ngomong tugas akhir, dua minggu lagi aku kan mau sidang. Kamu bisa datang?" tanya Sigra penuh harap. "Kehadiran kamu berarti banget buat aku."

Khiya pun tersenyum manis pada kekasihnya. "Bukannya kamu malah jadi grogi kalau ada aku?"

"Nggak dong. Yang ada malah semangat karena ingat kamu nungguin aku di luar ruangan. Jadi, kalau aku lulus sidang, aku bisa langsung dapat hadiah dari kamu."

"Hadiah apa?" tanya Khiya curiga.

"Ciuman selamat dong. Sama pelukan hangat."

"Nggak malu kamu dilihatin dosen?"

"Pacarku cantik begini, kenapa harus malu? Lagi pula, ada yang mau aku sampein ke kamu nanti." Sigra tersenyum penuh kebahagiaan.

"Apa?" tanya Khiya penasaran.

"Nanti aja. Itu bakalan jadi surprise dariku."

Khiya mengerucutkan bibirnya dengan lucu. "Apa sih pakai surprise segala? Kan yang sidang kamu."

"Pokoknya tunggu aja tanggal mainnya." Sigra mengedipkan mata kanannya. "Jadi, kamu bisa datang, kan? Kan, magang kamu udah kelar dua minggu lagi."

Khiya pun akhirnya mengangguk. "Aku janji akan datang. Tapi, kamu harus dapat A ya!"

"Pasti! Kamu tenang aja. Aku mungkin slengekan, tapi aku sebenarnya pintar."

"Iya, deh. Aku percaya," kata Khiya sambil tersenyum mengejek. Sigra pun mendengus geli melihat wajah lucu Khiya.

"Kamu di kantor baik-baik aja kan? Kavin nggak gangguin kamu lagi?" tanya Sigra yang mendadak terlihat serius. "Kalau dia macam-macam, please,bilang sama aku. Sebenarnya aku nggak tenang biarin kamu kerja sama dia. Tapi, karena ini demi masa depan kamu, aku nggak mungkin ngelarang. Karena itu, aku mohon sama kamu buat jaga diri kamu."

Rasa bersalah langsung memenuhi dadanya. Khiya benar-benar merasa jahat saat ini karena sudah membohongi Sigra. Namun, apabila dia jujur, Khiya akan lebih menyakiti lelaki baik hati itu. Karena itu, sebaiknya Sigra tidak perlu tahu apa yang terjadi padanya dan Kavin beberapa hari lalu. Biarkan itu menjadi rahasia mereka berdua.

"Semua baik-baik aja kok. Kamu nggak perlu cemas."

Mendengar jawaban itu, Sigra pun tersenyum lega.

Maafin aku, Sig.

***

Setelah seminggu dirumahkan, Kavin akhirnya kembali bekerja. Seakan-akan dia tidak pernah mendapatkan punishment, Kavin bersikap seperti biasanya di kantor. Tidak terlihat rasa dendam atau kecewanya pada Pak Budi atau pun orang-orang departemen HRD. Kavin terlihat ikhlas menerima sanksi yang diberikan padanya, meskipun sebenarnya dia tidak salah.

Di hari Kavin kembali kerja, Khiya merasa cemas apabila Kavin bersikap aneh padanya. Mengingat terakhir mereka bertemu tidak berakhir dengan baik. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti karena Kavin bersikap sangat profesional dengannya. Kavin tetap menjadi mentornya yang tegas dan cerewet. Tidak sekalipun Kavin mengungkit kejadian di apartemennya saat itu.

Dan, hal itu bertahan hingga Khiya menyelesaikan program magangnya.

Di hari terakhir Khiya magang, mereka mengadakan makan malam perpisahan. Pak Budi bahkan ikut bersama merayakan perpisahan mereka. Tanpa Khiya ketahui, semua rekan kerjanya mengumpulkan uang untuk membelikannya sebuah kado yang istimewa. Sebuah lukisan karikatur Khiya bersama ketiga rekan kerjanya dan juga atasannya yang baik. Menerima kado itu, Khiya pun sempat menangis karena rasa haru. Dia tidak percaya bisa bekerja dan mendapat bimbingan dari orang-orang yang sangat baik seperti Rian, Gita, Pak Budi, bahkan Kavin. Padahal Khiya hanyalah seorang mahasiswa magang.

Makan malam yang dibayari Pak Budi itu diisi dengan canda tawa. Seperti Rian dan Gita, Pak Budi pun berharap Khiya bisa bergabung dengan perusahaan mereka saat dia lulus kuliah nanti. Pak Budi bahkan memuji Khiya sebagai karyawan magang terbaik yang pernah dia bawahi. Dan, Kavin berperan besar akan hal itu, ini juga kata Pak Budi.

Makan malam mereka berakhir pukul sembilan malam. Seperti biasa, Gita pulang dengan Rian. Dan, Khiya pun pulang bersama Kavin yang malam itu membawa mobil Tegar, karena motornya dipakai sahabatnya itu untuk ke kampus.

Canggung karena sudah lama tidak berduaan saja dengan Kavin, Khiya pun lebih banyak diam. Meskipun Kavin tidak mengatakan apa pun atau melakukan sesuatu, tapi jantungnya berdebar begitu cepat. Kilasan kejadian di apartemen Kavin berputar di kepalanya. Membuatnya cemas setengah mati saat ini.

"Gue dengar dari Ravi, Sigra mau sidang minggu depan," tanya Kavin membuka pembicaraan saat mobilnya terjebak kemacetan di daerah Sudirman.

Kaget karena ditanya masalah pribadi oleh Kavin setelah selama seminggu ini hanya berbicara mengenai pekerjaan, Khiya pun menjawab dengan terbata-bata, "I-iya."

"Lo ke Bandung?"

"Iya. Sigra minta gue buat nemenin dia sidang."

"Teman-teman di kampus gue juga gitu. Pasti ditungguin pacarnya di luar ruangan."

"Lo juga kan? Lo pasti punya cewek waktu itu," celetuk Khiya yang membuatnya memukul bibir lancangnya dengan gemas. Bagaimana bisa Khiya bertanya seperti itu ada Kavin.

Kavin tertawa kecil, melirik Khiya yang panik sendiri. "Nggak ada yang nunggu gue pas sidang. Gue cuma sendirian."

Terkejut, Khiya pun menoleh menatap Kavin. "Kenapa?"

Sudah jadi tradisi di kampusnya atau bahkan di semua kampus untuk menunggui teman yang sedang sidang. Selain untuk menunjukkan solidaritas, hal itu juga berguna untuk memberikan dukungan moril pada teman yang akan menjalani sidang. Meskipun Khiya belum merasakannya, tapi Khiya tahu betapa menegangkannya sidang itu.

Khiya tidak bisa membayangkan dia harus menghadapi semua itu sendirian.

"Karena gue tahu, orang yang paling gue harapkan datang nggak akan pernah muncul." Kavin tersenyum tipis. "Karena itu, gue nggak ngasih tahu siapa-siapa jadwal sidang gue. Jadi, gue nggak akan berharap banyak."

Nada sedih di dalam ucapan Kavin itu membuat dadanya terasa nyeri. Apa orang yang ditunggu Kavin adalah dirinya? Atau bisa jadi orang tuanya?

"Sidang Ravi juga di hari dan tempat yang sama. Mungkin kita akan ketemu di sana."

"Lo ke Bandung juga?"

Khiya tidak bisa membayangkan melihat Sigra dan Kavin di tempat yang sama. Mereka tidak akan bertengkar kan? Mendadak Khiya mulas membayangkannya.

"Lo nggak usah panik gitu. Gue di sana buat dukung sohib gue, bukan nyari ribut." Kavin tertawa kecil melihat wajah pucat Khiya.

"Gue nggak bilang gitu."

"Muka lo nunjukin semuanya, Ky." Kavin tertawa renyah.

Khiya pun merengut sebal.

"Sebesar apa pun keinginan gue buat ngerebut lo dari dia, gue tetap tahu waktu dan tempat. Gue nggak akan ngehancurin hari penting Sigra dengan melakukan hal bodoh. Bagaimana pun, dia pernah jadi teman baik gue."

Khiya mendesah lelah mendengar ucapan Kavin itu. "Vin, gue udah bilang kan, gue—"

"Masa depan nggak ada yang tahu. Sampai lo benar-benar jadi milik dia, apa pun bisa terjadi. Karena itu, gue akan terus berharap dan berusaha. Gue nggak akan berhenti sampai keadaan yang memaksa gue."

"Apa pun yang gue bilang, nggak akan ngubah pendirian lo ya, Vin?" tanya Khiya yang terdengar sudah pasrah.

Kavin menatap Khiya, lalu tersenyum. "Nggak akan. Sampai akhir, gue akan perjuangin lo."

Khiya pun menghela napasnya panjang dan memilih untuk tidak lagi bersuara sepanjang sisa perjalanan mereka.

***

Di hari sidang Sigra, Khiya bersama beberapa teman laki-laki dan perempuan Sigra menunggu di luar ruangan. Meskipun Khiya berusaha untuk tidak cemas dengan mengobrol bersama teman-teman Sigra itu, tetap saja dia berulang kali memeriksa jam tangannya. Rasanya sudah begitu lama Sigra di dalam sana. Kenapa dia tidak juga keluar?

Khiya tidak bisa membayangkan dirinya yang akan menjalani sidang nanti. Kalau saat ini saja, dia sudah begitu gugup apalagi nanti? Dia pasti akan pingsan di dalam sana.

Khiya sedang melamun, saat sapaan terdengar di telinganya. Saat Khiya menoleh, dia menemukan Ravi yang rapih dengan setelan jas, kemeja dan celana pentolannya, berdiri tidak jauh di depan Khiya. Kavin terlihat berada di belakang laki-laki itu, menatapnya sambil tersenyum.

Melihat senyum Kavin, entah kenapa Khiya mendadak sebal.

"Kavin nggak usah senyum-senyum deh. Bikin gue makin kesal aja," seru Khiya yang membuat dahi Kavin mengerut, sebelum akhirnya lelaki itu tertawa.

"Ya, ampun. Gue aja baru sampai udah kena omel Nyai. Say hello juga belum." Kavin menggelengkan kepalanya. "Lagian lo kesal kenapa? Karena Sigra nggak keluar-keluar?"

"Emangnya lo pas sidang selama ini, ya?"

"Tergantung materi sidang dan penguji sih. Ada yang lama, ada yang cepat. Gue dulu nggak terlalu lama soalnya menguasai materi TA gue. Jadi, penguji gue sama sekali nggak bisa bantai gue."

"Tai ledig! Songong banget lu, Anjeng!" umpat Ravi jengkel. Sesungguhnya dia pun sedang gugup saat ini. Karena setelah Sigra, giliran dia yang akan disidang. Dan, mendengar ucapan sombong Kavin, membuatnya semakin cemas.

"Yaelah, Bro. Udah gue bilang tarik napas dalam aja banyak-banyak. Jangan panik duluan," ucap Kavin sambil mencengkeram bahu Ravi. "Kalau lo tegang, yang ada jadi nge-blank nanti."

"Gampang buat lo ngomong, lo pintar dari orok," seru Ravi.

"Iya, bener. Si Kavin emang sukanya ngegampangin aja nih. Ngeselin," sahut Khiya kemudian.

"Kenapa gue jadi diserang kalian berdua, ya?" Kavin pun menatap keduanya heran.

"By the way, sejak kapan kalian jadi ngobrol biasa lagi? Kayaknya gue ketinggalan berita nih," ucap Ravi sambil melihat ke Kavin dan Khiya bergantian.

"Daripada lo nanya hal nggak penting, mending lo banyak-banyak doa dari sekarang. Biar nanti nggak mengacau di dalam sana," jawab Kavin.

"Tai lo!" umpat Ravi pada akhirnya.

"Lo sekali aja nggak ngumpat, mati kali ya, Vi," cibir Kavin yang jengah mendengar ucapan kasar Ravi. "Baik-baik itu mulut kalau udah kerja nanti. Itu juga kalau lo dapat kerjaan."

"Bangsat lo! Daripada ngehina gue mulu, mending lo balik ke Jakarta sana! Nggak butuh gue sohib kayak lo."

Kavin pun tertawa geli melihat Ravi yang mengamuk. Lelaki itu betul-betul grogi saat ini. Karena biasanya, mau dihina seperti apa pun Ravi tidak akan pernah marah padanya.

"Udah ah, Vin. Kasihan Ravi. Lo iseng banget sih," tegur Khiya yang kasihan saat melihat wajah pucat Ravi.

"Gue kan cuma pengin dia bisa rileks, Ky. Biar nggak terlalu tegang," jawab Kavin sambil tersenyum menatap Ravi yang bersungut-sungut padanya. "Gue begini karena sayang lo, Vi. Gue pengin sidang lo lancar."

"Anjing lah lo, Vin. Bikin gue makin mulas aja. Udah ah! Mending gue ngerokok dulu."

Setelah itu Ravi pun pergi meninggalkan Kavin dan Khiya. Kavin yang tidak pernah suka menghirup asap rokok, memilih untuk duduk di sebelah Khiya yang kosong.

"Tadi ke sini naik apa?" tanya Kavin.

"Travel biar cepat. Kalau kereta kan bisa 3-4 jaman."

"Oh. Nanti pulang gimana?"

"Belum tahu. Katanya Sigra mau anterin gue, tapi itu juga kalau dia nggak ada revisian."

"Oh, gitu."

Khiya pun menatap Kavin bingung. "Kenapa sih nanya-nanya gitu?"

"Nggak apa-apa. Tadinya mau nawarin balik bareng. Kebetulan gue bawa mobil."

Mata Khiya memicing menatap Kavin.

"Jangan curigaan gitu. Gue nawarin balik bareng biar lo hemat juga kan. Lagian cewek balik sendirian malam-malam itu bahaya. Mending gue anterin sampai depan rumah."

"Baik lo itu mengandung modus tahu, nggak?" cibir Khiya.

Kavin pun tertawa. "Pokoknya lo kabarin gue aja kalau Sigra nggak jadi nganterin."

"Iya, Pak."

Beberapa saat kemudian, Sigra pun keluar dari ruangan. Dia tampak cemas karena masih menunggu nilai sidangnya yang sedang didiskusikan oleh para penguji. Selagi menunggu, Khiya berusaha menyemangati kekasihnya itu.

Sebenarnya Kavin ingin pergi dari sana, karena tidak ingin melihat lebih lama lagi interaksi manis antara Khiya dan Sigra. Tapi, Ravi yang sudah kembali memaksanya untuk tinggal. Karena sebentar lagi Ravi akan memulai sidangnya. Alhasil, Kavin harus bersabar diri melihat Sigra yang merangkul bahkan sesekali mengecup wajah Khiya.

"Berengsek!" Dan, untuk kali sekian, Kavin mengumpat pelan saat melihat Sigra yang mencium pipi Khiya dengan gemas. Hatinya benar-benar panas melihat gadis yang dia cintai disentuh oleh lelaki lain.

"Sabar, Bro. Kapan lagi dapat pertunjukkan yang menyayat hati begini?" ledek Ravi.

Keduanya duduk agak jauh dari Sigra dan Khiya. Namun, tetap bisa melihat dengan jelas apa yang keduanya lakukan.

"Diam lo!"

"Haha, sakit ya? Ya, lo pikir aja sendiri pas Khiya lihat lo ciuman sama cewek lain saat posisinya masih jadi cewek lo. Apa yang lo rasain sekarang, nggak ada apa-apanya dibandingkan dia."

Kavin pun menatap Ravi tajam. "Lo nggak bisa ya berhenti mengungkit ketololan gue dulu? Udah dua tahun berlalu dan lo masih bahas itu juga."

Ravi tertawa lalu menepuk bahu Kavin. "Gue lakuin itu semua biar di masa depan nanti, lo mikir berkali-kali buat nyakitin cewek yang lo sayang. Kalau lo terus teringat akan hal itu, gue yakin lo nggak akan ngulangi kesalahan yang sama. Entah itu dengan Khiya atau pun cewek lainnya."

Kavin tidak merespons ucapan itu. Dia lebih memilih untuk memperhatikan Sigra yang kembali masuk ke dalam ruangan setelah dipanggil dosen pembimbingnya. Dengan cemas, Khiya terlihat menunggu Sigra keluar kembali. Dari ekspresi Khiya, Kavin sadar gadis itu benar-benar menyayangi Sigra. Kavin tidak tahu sebesar apa cinta Khiya untuk Sigra. Namun, rasa itu memang ada. Kavin bisa melihatnya.

Apa dirinya memang sudah terlambat?

Beberapa saat kemudian, Sigra keluar ruangan dengan wajah sumringah. Dia langsung menyongsong Khiya, lalu memeluk gadis itu dengan erat.

"Aku lulus, Sayang. Aku lulus!" ucap Sigra dengan penuh kebahagiaan.

Wajah cemas Khiya pun langsung berubah dipenuhi kebahagiaan. Dia memeluk erat Sigra sambil memberikan ucapan selamat. Sigra melepaskan pelukannya dan menghujani wajah Khiya dengan kecupan-kecupan kecil. Sebelum akhirnya memagut bibir gadis itu dengan lembut.

Melihat itu, Kavin pun beranjak dari bangkunya. Dia tidak bisa melihat semua itu lebih lama lagi. Kavin butuh udara segar saat ini sebelum kepalanya meledak oleh rasa cemburu.

"Vin?" panggil Ravi.

"Sorry, gue mau ke toilet sebentar."

Namun, belum juga Kavin melangkah, tindakan Sigra berikutnya membuat Kavin terdiam. Bukan hanya Kavin, tapi juga Khiya, Ravi dan teman-teman mereka di sana pun mengalami hal yang sama. Mereka terpaku pada Sigra yang berlutut dengan satu kakinya.

"Aku tahu ini sama sekali nggak romantis. Seharusnya aku melakukannya di tempat yang lebih proper lagi. Tapi, saat ini adalah saat-saat terbahagiaku dan aku ingin kamu pun ngerasain hal yang sama."

Sigra merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beledu berwarna merah, lalu memperlihatkannya kepada Khiya.

Mata Khiya pun langsung melebar. Begitu juga dengan Kavin.

"What the hell?" desis Ravi yang sama tidak percayanya.

Sigra kemudian meraih tangan kiri Khiya, lalu menatap kekasihnya dengan lembut.

"Jihan Sakhiya Fakhri, would you marry me?"


TBC


----


Continue Reading

You'll Also Like

198K 29.4K 39
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
2.1M 160K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
379K 4.9K 10
"Because man and desire can't be separated." 🔞Mature content, harap bijak. Buku ini berisi banyak cerita. Setiap ceritanya terdiri dari 2-4 bab. Hap...
431K 17.5K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...