Been Through

By precious_unicorn91

1.2M 73.1K 8.8K

The couples that are meant to be, are the ones who go through everything that is meant to tear them apart, an... More

PROLOG
1. The Boss and The Lover
2. The Problem of Couples
3. Make Up Sex
4. Hotheaded Boy
5. Mother
6. Be Friend
7. 10 Years
8. When the Past Comes Back
9. Break Up
10. I Just Can't Stop Thinking About You
11. Shit!
12. Slow but Sure
13. Forgiveness
14. Happy Birthday to Me
16. It's Always Been You

15. Meet You Again

33.8K 4.2K 604
By precious_unicorn91

Waktu terasa berjalan cepat saat kita tidak menghitungnya. Itulah yang dirasakan oleh Kavin. Masih lekat di ingatan hari pertama dirinya menginjakkan kaki di kampus impiannya. Mengikuti orientasi mahasiswa baru bersama teman-teman seangkatannya. Berkenalan dengan orang-orang baru di lingkungan yang baru pula. Memulai rutinitas yang sangat berbeda dari masa SMA-nya. 

Dan, tiga tahun kemudian, Kavin resmi menyelesaikan pendidikan sarjananya dengan menyandang predikat sebagai salah satu lulusan terbaik di jurusan bahkan kampusnya.

Tidak perlu menunggu lama, hanya berselang satu bulan dari hari kelulusannya, Kavin diterima bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di industri penyuplai semen. Menjadi seorang staf di departemen Perencanaan Pengembangan Bisnis atau biasa disebut Business Development Plan.

Kenapa Kavin tidak berkerja di perusahaan kedua orang tuanya? Alasannya, kalau Kavin memilih bekerja di perusahaan ayahnya, maka ibunya pasti akan cemburu dan protes. Dan, apabila Kavin memilih ibunya, maka ayahnya pun akan merasakan hal yang sama. Jadi, jalan tengah yang terbaik untuk semuanya adalah dengan bekerja di perusahaan yang tidak terkait dengan kedua orang tuanya.

Lagi pula, Kavin ingin melepaskan diri dari bayang-bayang kedua orang tuanya. Kavin ingin hidup mandiri. Dia bahkan memutuskan untuk keluar dari rumah dan tinggal di sebuah apartemen sederhana bersama Tegar. Tegar memang belum lulus kuliah, tapi dia lebih memilih untuk tinggal bersama Kavin daripada berada di rumahnya yang selalu ramai akibat kelakuan adik-adiknya yang masih kecil.

Tiga bulan sudah Kavin menjalani hidup sebagai seorang karyawan. Dan, sejauh ini Kavin menikmati pekerjaannya. Dia memiliki rekan kerja yang siap membantu dan juga atasan yang selalu membimbingnya. Karena itu, meskipun baru bekerja, Kavin sudah dapat memberikan hasil kerja yang memuaskan. Membuatnya jadi bahan pembicaraan hangat di kantornya. Tampan, sopan, dan cerdas. Benar-benar lelaki hampir sempurna.

Hampir. 

Karena pada kenyataannya, Kavin tetap merasa ada yang kurang dalam hidupnya.

***

Di semester tujuh ini, kegiatan Khiya bukan main sibuknya. Selain kuliah dan mengerjakan tugas, Khiya juga disibukkan dengan unit kegiatan mahasiswa yang dia ikuti sejak tingkat dua. UKM tersebut memiliki kegiatan yang fokus pada pengabdian masyarakat. Seperti bantuan untuk korban bencana alam, rumah belajar untuk anak-anak kurang mampu, bakti sosial untuk masyarakat di daerah, dan kegiatan serupa lainnya.

Acara kali ini adalah kali terakhir Khiya memegang kepanitiaan dikarenakan dirinya yang sudah berada di tingkat akhir. Karena itu, dia melakukan yang terbaik untuk memastikan semua berjalan dengan lancar. Meskipun dia terpaksa mengorbankan waktu tidurnya untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya setelah rapat dengan teman-teman UKM. Namun, semua kesibukan itu dinikmati Khiya. 

Karena Khiya tahu, semua itu akan menjadi kenangan indah untuknya di masa depan nanti.

Hubungannya dengan Sigra pun bisa dibilang berjalan dengan sangat baik. Lelaki itu masih menyempatkan diri pulang ke Jakarta untuk menemuinya di akhir pekan, meskipun Sigra sedang sibuk mengerjakan Tugas Akhirnya. Sigra termasuk yang agak terlambat lulus di angkatannya karena terlalu sibuk bermain, ini kata Khiya. Meskipun Sigra beralasan, masa muda itu hanya sekali jadi untuk apa dihabiskan dengan belajar saja. Kalau sudah begini, Khiya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Meskipun status mereka saat ini berpacaran, tapi tidak ada perbedaan berarti dari hubungan keduanya. Mereka masih suka saling ledek atau adu mulut antara satu sama lainnya. Meskipun begitu, Sigra adalah orang pertama yang akan Khiya cari saat sesuatu menimpanya. Bagi Khiya, Sigra adalah pacar dan juga teman terbaiknya. 

Semua orang yang melihat mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Terlihat sangat manis dan juga lucu. Banyak teman Khiya yang iri dengannya karena memiliki kekasih yang tampan, baik hati, dan juga penyayang. Khiya pun merasa beruntung karena Sigra mencintainya dengan tulus.

Namun, kenapa dia tidak juga bisa membalas perasaan Sigra dengan sepenuh hatinya?

*** 

"Kavin, nanti ada anak magang di departemen kita. Coba kamu yang bimbing ya," ucap Pak Budi, Manager BDP di suatu pagi saat Kavin masuk ke ruangannya.

"Maksudnya mahasiswa magang, Pak?"

"Iya. Setiap tahun perusahaan kita memang selalu menerima anak magang dari berbagai universitas. Selain untuk membantu mereka, juga untuk mencari potensi yang nantinya bisa kita rekrut. Lagi pula, program ini juga bisa sebagai ajang promosi kita di kampus mereka," jelas Pak Budi yang ditanggapi Kavin dengan anggukan. "Dia akan magang selama tiga bulan. Nantinya dia akan membantu kita untuk membuat media-media promosi. Lengkapnya sudah saya email ke kamu."

"Baik, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk membimbingnya," jawab Kavin dengan yakin.

Pak Budi pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Sekarang dia masih orientasi awal dulu di HRD, mungkin sekitar pukul sepuluh ke departemen kita. Nanti orang HRD sendiri yang akan mengantarnya."

Selagi menunggu anak magang tersebut, Kavin berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia pikir, waktunya akan tersita untuk membimbing anak magang di hari pertamanya ini. Seperti anak magang pada umumnya, mereka pastinya butuh arahan mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Dan, itu adalah tugas Kavin sebagai mentornya.

Ini bukan kali pertama Kavin menerima tanggung jawab besar dari atasannya. Sudah beberapa kali, atasannya yang baik itu memberikannya pekerjaan yang cukup penting. Pak Budi terlihat sangat percaya dengan kemampuan Kavin dan hal itu membuatnya merasa sangat tersanjung. Meskipun akibat hal itu, ada teman sedepartemennya yang tampak tidak menyukainya. 

"Vin, lo udah kerjain yang gue bilang kemarin sore?" panggilan Johan dengan nada yang tidak enak di telinga itu membuat Kavin mendongakkan kepalanya untuk melihat lelaki yang duduk di hadapannya itu. "Gue butuh datanya sekarang."

"Sebentar lagi, Mas," jawab Kavin dengan tenang.

"Ahelah, lama lo. Katanya lo cekatan, masa olah data gitu aja lama," gerutu Johan. "Gimana sih kesayangan si Bos ini?"

Tidak menghiraukan sindiran Johan, Kavin berusaha menyelesaikan pekerjaannya. 

"Mas, sudah saya email."

Johan dengan cepat membuka emailnya, lalu memeriksa pekerjaan Kavin. Setelah puas, lelaki itu mengirimkan file tersebut ke Pak Budi dengan tentu saja mengatasnamakan dirinya sebagai si pembuat laporan. Dan, tidak berapa lama, Johan pun dipanggil ke ruangan Pak Budi untuk membahas pekerjaannya.

"Vin, lo jangan mau disuruh-suruh si Mas Johan. Dia itu cuma mau enaknya aja," ucap Gita, rekan kerjanya yang sudah bekerja di perusahaan itu selama tiga tahun, dengan pelan.

Gadis berambut pendek itu duduk di sebelah Kavin dan selalu memerhatikan apa yang dilakukan senior mereka terhadap Kavin.

"Di dalam dia pasti ngakunya itu kerjaan dia. Lihat aja!" cibir Gita sambil melihat ke arah ruangan Pak Budi dengan kesal. "Kalau ngerjain sendiri mana pernah benar sih kerjaan dia. Makanya suka diomelin Pak Budi."

"Gosip aja lo, Git!" sahut Rian yang duduk di depan Gita. Rian juga rekan satu departemen Kavin. Rian seumuran dengan Gita, tapi dia sudah bekerja lebih lama dari gadis itu. "Kavin aja kagak protes."

"Yee! Yang gue bilang kenyataan kali bukan gosip. Waktu belum ada Kavin, kan gue mulu yang disuruh-suruh," gerutunya sebal. 

"Lah, bagus dong sekarang targetnya jadi si Kavin. Lo kan bisa bebas," jawab Rian santai.

"Duh, lo diam aja deh. Emosi gue tiap ngomong sama lo, Yan!" ketus Gita makin jengkel. "Pokoknya ya, Vin, hati-hati sama si Mas Johan. Dia itu paling nggak suka lihat orang lain lebih sukses dari dia. Dia bakalan ngeluarin segala cara buat bikin lo nggak betah. Gue ngomong kayak gini karena pernah kejadian."

"Saya nggak apa-apa kok, Mbak Gita. Mas Johan belum pernah nyuruh saya yang aneh-aneh," jawab Kavin dengan tenang seperti biasanya. "Selama saya masih bantu, kenapa nggak? Toh, saya nggak rugi juga. Malah nambah ilmu."

"Tuh! Dengerin, Git! Kalau kerja itu mesti ikhlas. Jangan ngomel-ngomel mulu," sahut Rian.

"Udah ah! Males gue sama lo berdua!" seru Gita yang akhirnya memilih untuk mendengarkan musik melalui earphonenya sambil menyelesaikan pekerjaan.

Melihat Gita yang ngambek, Rian pun terkekeh senang. "Tapi, Gita benar, Vin. Lo hati-hati aja sama Mas Johan. Dia licik."

"Iya, Mas."

"Permisi!" sapaan dengan suara lembut itu mengalihkan perhatian Kavin dan Rian pada seorang wanita berhijab dengan senyum manisnya. Senyum Rian terkembang lebar, melihat wanita cantik yang sangat populer di kantor mereka.

"Eh, Putri, ada apa nih ke sini? Tumben," sapa Rian dengan senyum penuh artinya.

"Iya, Mas Rian, aku mau nganterin anak magang. Katanya Mas Kavin ya yang jadi mentornya?" tanya Putri sambil menatap Kavin masih dengan senyum manisnya. 

"Iya. Sudah selesai ya, orientasinya?"

"Udah kok." Putri menoleh ke belakang, mencari orang yang dimaksud. "Sini, biar aku kenalin ke mentor kamu."

Saat anak magang yang dimaksud Putri berjalan ke hadapan Kavin, lelaki itu hanya bisa melongo menatapnya.

"Khiya?" Kavin pun beranjak dari kursi kerjanya untuk melihat gadis itu dengan lebih jelas. Dia memang tidak salah lihat, karena itu memang mantan kekasihnya.

"Loh, udah kenal ya?" tanya Putri terkejut.

Khiya meringis kecil di saat Kavin masih menatapnya tanpa bersuara. 

"Kita satu SMA, Mbak," jawab Khiya pada akhirnya karena Kavin masih saja bungkam. "Pernah sekelas."

"Oalah, dunia sempit banget ya," seru Putri sambil menepuk tangannya.

Sangat sempit, batin keduanya.

"Kalau gitu udah nggak perlu sungkan lagi lah, ya. Udah saling kenal ini." Putri tersenyum lebar pada keduanya. "Tolong dibantu ya, Mas Kavin."

"Iya, Mbak."

Sepeninggalan Putri, Kavin dan Khiya hanya berdiri dengan canggung tanpa mengucapkan satu kata pun. Keduanya tampak belum bisa memroses apa yang sedang terjadi saat ini. Hingga teguran Rian akhirnya menyadarkan mereka.

"Disuruh duduk kali, Vin!"

Kavin tersentak dan melihat ke sekelilingnya dengan bingung. Tidak ada meja kosong untuk Khiya duduk. Pada akhirnya, Kavin hanya menarik bangku kosong yang ada di sudut ruangan. Khiya pun duduk dengan canggung di antara Gita dan Kavin. Saat itulah, Gita baru tersadar akan keberadaan Khiya.

"Anak magang ya?" tanya Gita setelah melepaskan earphonenya.

"Iya, Mbak."

"Aku Gita." Gita memperkenalkan dirinya sambil tersenyum ramah pada Khiya.

"Khiya, Mbak."

"Kamu jurusan apa?"

"DKV, Mbak."

"Oh, kamu yang bakal bantuin aku buat media promosi ya?" Khiya mengangguk. "Asik. Akhirnya ada yang beneran ngerti bikin desain. Gue nggak usah pusing-pusing lagi googling."

"Udah gue duga semua poster lo itu hasil plagiat," ledek Rian.

"Diam lo," sentak Gita. "Pokoknya, Khiya, di departemen ini yang kamu ajak ngobrol aku sama Kavin aja. Soalnya cuma kita berdua yang waras. Oke?"

Khiya pun tersenyum. Sedangkan Kavin masih memerhatikan gadis di sebelahnya itu dalam diam. Keduanya akan bekerja bersama untuk tiga bulan ke depan. Menghabiskan waktu dari pagi hingga sore bersama-sama. Membimbing gadis itu seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya.

Anugerah atau kutukan kah semua itu?

***

Khiya melirik diam-diam pada lelaki di hadapannya yang sedang menikmati nasi dengan ayam gorengnya. Mereka terpaksa makan siang berdua, karena Gita dan Rian keluar kantor untuk meeting. Khiya yang belum punya teman lain dan belum mengerti kondisi sekitar kantor, mau tidak mau mengiyakan ajakan Kavin untuk makan bersama. Dan, di sinilah dia, di saat lelaki itu bisa makan lahap, Khiya kehilangan nafsu makannya. Di saat lelaki itu bisa bersikap biasa saja, Khiya kehilangan ketenangannya.

Dari ribuan perusahaan di Jakarta, kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama?

Di akhir semester tujuh ini, Khiya memang diharuskan melakukan magang selama tiga bulan. Awalnya, dia ingin masuk ke perusahaan periklanan. Namun, dosen pembimbingnya membantu Khiya untuk magang di perusahaan penyuplai semen ini. Rupanya, dosen pembimbingnya berteman dengan direktur perusahaan dan mengatakan mereka sedang membutuhkan seorang desainer grafis.

Sedikitpun tidak pernah Khiya duga dia akan bertemu dengan Kavin. Khiya memang tahu mantan kekasihnya itu sudah lulus beberapa bulan lalu dan saat ini sudah bekerja. Tapi, Khiya tidak pernah tahu di mana lelaki itu bekerja, karena Kavin memang tidak pernah mengumbar kehidupan pribadinya di media sosial.

Sesekali mereka saling meninggalkan komen di postingan. Beberapa kali, mereka pun mengobrol di DM. Tapi, semua itu bisa dihitung dengan jari. Komunikasi di antara keduanya nyaris nihil. Apalagi sejak Kavin disibukkan dengan pekerjaannya.

Dan, sekarang, saat Khiya dihadapkan langsung dengan Kavin setelah sekian lama, dia benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jantungnya tidak berhenti berdebar sejak tadi. Khiya mendadak bodoh karena tidak tahu harus berkata apa. Padahal, Kavin terlihat sangat tenang di hadapannya. Bersikap seakan-akan tidak ada yang pernah terjadi di antara keduanya.

Sepertinya, lelaki itu sudah move on darinya.

"Kenapa nggak makan? Lo nggak suka?" Pertanyaan itu membuat Khiya sadar dari lamunannya. Dengan kikuk, Khiya menggelengkan kepalanya.

"Tadi pagi sarapan kebanyakan, jadi nggak terlalu lapar."

"Oh." Kavin kembali menyantap makan siangnya. "Tapi, hari ini rasa ayam gorengnya emang nggak seenak biasanya sih. Besok deh gue ajak lo makan sate ayam langganan gue. Mbak Gita aja kalau makan suka nambah." Kavin tersenyum simpul.

"Oke."

Kavin mengangguk sambil mengunyah makanannya.

Sejak Khiya jadian dengan Sigra, Kavin memang tidak lagi memakai aku-kamu saat bicara dengannya. Lelaki itu otomatis mengganti kata ganti orang diantara mereka menjadi lo-gue. Bahkan, saat di kantor pun, lelaki itu masih menggunakan lo-gue padanya. Kavin bilang, mereka seumuran dan saling mengenal, jadi tidak perlu terlalu formal.

Tapi, tetap saja, panggilan itu terdengar begitu asing di telinga Khiya.

"Lo kerja di sini sejak lulus?" tanya Khiya berusaha membuka pembicaraan. Dia tidak mungkin terus menerus diam. Mereka akan menghabiskan waktu bekerja bersama selama tiga bulan, karena itu Khiya harus mulai bisa membiasakan dirinya dengan kehadiran Kavin.

"Iya. Sebenarnya, pada saat yang sama ada lima perusahaan yang nawarin pekerjaan ke gue, tapi perusahaan ini yang ngasih penawaran paling oke. Jadi, gue ambil." Kavin menyeringai tipis. "Maklumlah, orang pintar kayak gue banyak direbutin perusahaan."

Khiya otomatis memasang wajah jengahnya. "Sombong banget," desisnya.

Kavin tertawa kecil. "Kalau ada yang mau disombongin, kenapa nggak?"

"Tapi, kok lo bisa jadi mentor gue sih? Kan lo newbie di kantor."

"Udah gue bilang kan, gue cerdas, jadi orang-orang pun percaya buat kasih tanggung jawab besar ke gue." Kavin menjawab dengan jumawa.

Khiya memutar bola matanya malas. "Halah, paling juga tujuan lo buat cari dedek gemes. Iya, kan?" tuduh Khiya.

"Buat apa dicari, kalau tanpa nyari pun yang ngantri jadi dedek gemes gue banyak. Di kantor kita, gue itu populer loh. Banyak cewek yang naksir."

Khiya hampir muntah mendengar ucapan Kavin. Kenapa lelaki itu jadi narsis seperti ini? Padahal biasanya dia cool seperti kulkas. "Narsis lo!" sungut Khiya pada akhirnya.

Kavin tersenyum lebar, menahan tawa melihat Khiya yang dongkol. "Gitu dong. Jangan diam aja dari tadi. Gue lebih suka lihat lo ngomel begini." Khiya menatap Kavin bingung. "Jangan canggung sama gue. Bersikap kayak biasa aja. Lagi pula, kita teman, kan?" ucap Kavin sambil tersenyum simpul. 

Ya, mereka sudah sepakat untuk berteman, kan? Jadi, kenapa Khiya harus merasa canggung? Seharusnya, dia bisa bersikap biasa pada Kavin. Bersikap normal layaknya pada teman lainnya. Lagi pula, dulu pun mereka memulai semuanya dengan pertemanan kan? Jadi, harusnya hal itu tidaklah sulit.

Mereka harus melupakan masa lalu dan memulai semua lagi dari awal.

***

"Ini kenapa garisnya nggak lurus sih, Ky? Mata lo silindris apa gimana?" ucap Kavin sambil menunjuk desain poster untuk produk terbaru perusahaan yang terpampang di layar komputer.

Khiya mendekatkan dirinya ke layar komputer, berusaha melihat garis yang dimaksud Kavin.

"Lurus ah!"

"Ck, ke dokter mata gih! Fix lo silindris." Khiya sudah mau protes saat Kavin mengambil penggaris dan menyejajarkannya di samping garis bermasalah itu. "Lihat!"

Khiya memicingkan matanya, berusaha mengamati garis tersebut.

"Beda 1 centi," ucap Kavin yang membuat bola mata Khiya memutar.

"Cuma 1 centi doang!"

"Ini bukan doang, Ky. Lo harus menyelesaikan setiap pekerjaan lo dengan sempurna. Satu centi pun akan jadi penting kalau itu soal nilai estetika. Sebagai seorang desainer grafis harusnya lo paham."

"Iya." Khiya mengerucutkan bibirnya, merasa bersalah. "Maaf karena teledor."

Melihat wajah sedih Khiya, Kavin pun melunak. Meskipun Kavin sering mengomelinya, sebenarnya lelaki itu lemah dengan wajah memelas Khiya. Hanya saja, Kavin ingin Khiya bisa menjadi lebih baik lagi dengan masukan yang dia berikan. Lagi pula, semua omelan itu berisi semua perhatian Kavin untuk Khiya, meskipun Khiya tidak menyadarinya.

"Ya, udah. Lain kali kerja lebih hati-hati ya. Dan, pastikan selalu memeriksa hasil kerjaan lo sebelum dikasih ke atasan. Jadi, lo bisa meminimalisir kesalahan kayak gini." 

"Siyap, Bos!" Khiya mengangkat tangannya, memberikan gesture hormat pada Kavin.

Kavin mendengus geli. "Hasil kerja lo itu bagus, tapi akan jauh lebih bagus lagi kalau lo bisa lebih teliti," ucap Kavin sambil menatap Khiya dengan mata teduhnya.

"Iya. Makasih."

"Duh, manis banget adek-adekku ini. Kakak jadi pengin punya anak magang yang dimentorin. Mana tahu bisa digebet juga," celetukan Rian itu membuat Kavin menjauhkan dirinya dari Khiya.

Keduanya langsung salah tingkah saat Rian meledek mereka.

"Udah, lanjut aja. Anggap aja gue cuma upil yang nemplok di bawah meja." Rian terkekeh pelan. "By the way, lo kejam juga ya, jadi mentor. Kagak nyangka gue. Padahal biasanya lo selalu anteng, malah cenderung dingin. Rupanya bisa bawel juga."

Ya, Kavin memang selalu bersikap tenang di depan rekan kerjanya yang lain. Bahkan, saat Johan memarahinya, Kavin selalu bisa mengendalikan emosinya. Tapi, entah kenapa, kalau sudah berhadapan dengan Khiya, kebiasaan ngomelnya pun akan langsung keluar. 

"Vin!" panggil Johan yang berjalan menuju meja mereka. "Udah lo kirim belum presentasi yang gue minta? Lo gue telepon dari tadi kagak ngangkat-ngangkat. Gue tuh lagi meeting sama orang Marketing."

"Maaf, Mas. Hapenya saya silent. Tadi saya mau kirim presentasinya, tapi saya cek poster buatan Khiya dulu," ucap Kavin menjelaskan.

"Pentingan mana sih data buat meeting sama kerjaan anak magang? Lo nggak bisa nentuin prioritas apa?" gerutu Johan yang membuat Khiya merasa kesal. 

Sudah hampir seminggu Khiya magang, tidak sekali pun dirinya menyukai lelaki itu. Johan selalu marah-marah dan menghina rekan kerjanya yang lain, terutama Kavin. Ini bukan kali pertama Khiya melihat sendiri bagaimana semena-menanya lelaki itu memperlakukan Kavin. Sayang Khiya tidak punya kekuasaan untuk melawan lelaki itu. Kalau tidak, Khiya pasti sudah menghajarnya.  

"Iya, Mas. Maaf," jawab Kavin dengan wajah tanpa ekspresinya. 

Sebenarnya Kavin malu karena Khiya melihat bagaimana seniornya terus-terusan memarahinya selama ini. Harga diri Kavin rasanya seperti diinjak-injak karena sebelumnya dia tidak pernah berada di posisi ini. Tapi, Kavin berusaha mengendalikan dirinya karena sadar dia hanyalah seorang anak baru di departemen mereka.

"Kerja aja nggak becus sok-sokan jadi mentor lo. Di mana-mana, mentor itu yang paling senior. Bukan anak bawang kayak lo."

"Soal itu bukan saya yang mengatur, Mas. Tapi, Pak Budi," jawab Kavin tetap sopan. 

"Nantilah gue ngomong sama Pak Budi. Gue lebih bisa bagi waktu dari pada lo." Setelah bicara seperti itu, Johan pun melangkah pergi.

Rian mendecakkan lidahnya kesal, di saat Kavin melirik Khiya yang memucat di sebelahnya.

"Pak Budi nggak akan biarin dia jadi mentor lo. Nggak usah cemas gitu," ucap Kavin berusaha menenangkan Khiya yang terlihat jelas ketakutan.

"Yakin lo?"

"Yakin. Kan, anak kesayangan Pak Budi itu gue," jelas Kavin sambil menyeringai.

Khiya sudah mau mengatai Kavin, tapi Rian mendahuluinya.

"Taiklah lo, Vin. Anak kesayangan kutu kupret."

***

"Seminggu magang gimana? Udah bisa adaptasi?" tanya Sigra saat menjemput Khiya ke kantor tempatnya magang. Seperti biasanya, setiap hari Jumat, Sigra akan pulang ke Jakarta untuk menemui Khiya. Dan, sore ini, lelaki itu tiba-tiba meneleponnya, lalu mengatakan bahwa dirinya sudah menunggu di parkiran gedung kantornya. 

Membuat Khiya terkejut dan entah kenapa merasa cemas.

"Bisa dong. Tapi, pusing juga. Kerjaannya banyak," jawab Khiya sambil meringis. "Kamu mau jemput kok nggak bilang dulu sih? Padahal tadinya aku mau pergi makan sama anak-anak HRD. Kan lumayan nambah teman di kantor." Khiya mengerucutkan bibirnya dengan lucu.

Sigra melirik Khiya sesaat, lalu mengacak rambutnya gemas. "Iya, maaf. Aku kan mau kasih kejutan sama kamu, Sweetheart." Sigra terkekeh pelan. "Akhirnya kamu punya teman di luar departemen kamu?"

"Iya. Anak HRD rata-rata masih muda gitu. Terus mereka juga ramah-ramah. Jadi, enak kalau ngobrol." Khiya tersenyum lebar, terlihat senang. Setiap malam Khiya memang bercerita mengenai kegiatan magangnya kepada Sigra. Karena itu, Sigra sangat tahu apa-apa saja yang terjadi pada kekasihnya itu. "Nggak ada yang iseng kayak di novel-novel atau film."

Sigra pun tertawa geli karena ucapan Khiya. "Namanya juga drama, Ky. Ceritanya pasti di dramatisasi kan? Di kehidupan nyata, belum tentu kayak gitu."

"Bener! Gara-gara itu, aku sempat nggak bisa tidur karena mikir bakalan dikerjain orang-orang kantor sebagai anak baru. Dasar sinetron sialan!" Khiya mengomel sendiri.

"Kamu lucu banget sih!" Sigra mencubit pipi Khiya dengan gemas. "Terus staf senior di departemen kamu gimana? Masih ngeselin?"

"Jangan bahas dia! Asli aku pengin jambak aja rambut klimisnya itu. Belagu banget jadi orang," ucap Khiya berapi-api. 

"Ngapain lagi dia? Dia gangguin kamu?" tanya Sigra cemas.

Saat tahu Khiya akan magang, sebenarnya Sigra merasa khawatir. Sebut saja dia posesif, tapi Sigra takut para lelaki di kantor Khiya akan mengganggu atau bahkan menggodanya. Melihat gadis muda cantik seperti Khiya, siapa yang tidak tertarik? Apalagi Khiya merupakan gadis yang supel dan baik kepada orang-orang. Bahkan, di kampus Khiya sendiri, banyak mahasiswa yang baper akan sikap ramah Khiya itu. 

Jadi, tidak salah kan, kalau Sigra sangat cemas membiarkan Khiya masuk ke lingkungan baru? Lelaki itu cuma takut kehilangan Khiya. Setelah mendapatkannya dengan susah payah, Sigra tidak akan rela melepaskan Khiya begitu saja. 

"Dia nggak ngapa-ngapain aku sih. Tapi, dia ngomel-ngomelin si Ka ...." ucapan Khiya terputus saat dia hampir saja menyebutkan nama itu.

Sigra menatap Khiya bingung saat gadis itu tiba-tiba terdiam. "Ngomelin siapa?"

"Itu ... mentorku."

"Oh, mentor kamu yang katanya masih muda itu ya? Tapi, udah jadi anak emas bos?"

Khiya meringis, lalu menganggukkan kepala. "Iya. Kelihatan banget si Mas Johan sirik sama mentorku. Makanya dia cari perkara mulu."

"Biasa itu di dunia kerja. Orang-orang yang iri dengan kesuksesan orang lain dan berusaha buat jatuhin. Tapi, mentor kamu kuat juga ya. Setiap hari diomelin, tapi tetap bertahan."

"Iya. Dia emang tahan banting."

Rasa bersalah lagi-lagi muncul di hati Khiya. Bukan maksudnya untuk berbohong pada Sigra mengenai keberadaan Kavin. Khiya hanya tidak ingin Sigra marah atau cemas padanya. Khiya sangat tahu bagaimana perasaan Sigra mengenai Kavin. Lelaki itu sangat tidak menyukai Kavin. Dan, kalau Sigra sampai tahu mentornya adalah Kavin, Khiya takut Sigra akan melakukan hal yang tidak Khiya inginkan.

Karena itu, lebih baik Sigra tidak tahu.

Lagi pula, hanya tiga bulan Khiya bekerja dengan Kavin. Setelah itu, mereka tidak akan lagi bertemu. Jadi, dia tidak akan berbohong kepada Sigra terus menerus. Hanya sementara waktu.

"Hei, bengong. Udah sampai nih. Kamu nggak mau turun?" Khiya menatap Sigra, lalu tersadar mereka sudah berada di depan rumahnya. 

Sigra langsung mengantar Khiya pulang karena dia ada janji makan malam dengan kedua orang tuanya. Sebenarnya Sigra mengajak Khiya tadi, tapi Khiya menolak karena ingin memberi kesempatan Sigra menghabiskan waktu bersama keluarganya malam ini. Lagi pula, Khiya lelah setelah kerja seharian dan ingin secepatnya tidur.

"Beneran kamu nggak ikut makan?" tanya Sigra memastikan sekali lagi.

"Iya. Aku capek banget. Pengin langsung tidur." Khiya memasang wajah memelasnya.

Sigra lagi-lagi mengacak rambut Khiya dengan gemas. "Ya, udah. Istirahat yang cukup. Besok kan kita mau jalan-jalan."

Khiya lalu membuat lingkaran dengan jari telunjuk dan jempolnya. "Oke!"

Sigra tersenyum lembut sambil menatap Khiya yang menyunggingkan senyuman lebar. Ibu jarinya kemudian mengusap pipi Khiya, sebelum kepalanya condong ke depan, mendekati Khiya. Dengan perlahan, Sigra mulai mencumbu bibir kekasihnya. Matanya terpejam, menikmati manis dari bibir merah Khiya. 

Cumbuan itu tidak berlangsung lama, karena seperti biasanya, Khiya tidak mampu membalasnya dengan sepenuh hati. Gadis itu terlihat ragu dan juga takut. Bahkan, setelah sekian bulan mereka melakukan hal ini. Dan, untuk kesekian kalinya, Sigra harus menahan dirinya. 

Bersabar hingga Khiya bisa menerima dirinya sepenuhnya.

***

"Pulang naik apa Ky?" tanya Gita setelah mereka menyelesaikan meeting malam ini. 

Ini kali pertama Khiya pulang melewati jam kerjanya dikarenakan adanya meeting penting di departemen mereka. Meskipun Khiya anak magang, tapi Pak Budi memintanya untuk ikut meeting yang diadakan setiap awal bulan itu karena pembahasan yang berhubungan dengan pekerjaan Khiya juga. Dan, sekitar pukul delapan malam, akhirnya meeting itu pun berakhir.

"Belum tahu, Mbak. Aku lagi nggak bawa motor," jawab Khiya sambil merapikan barang-barangnya di atas meja.

"Naik taksi aja, Ky. Jangan naik angkutan umum malam-malam gini. Bahaya," ujar Rian yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka. "Kalau searah gue anterin deh. Mana tahu bisa ketemu calon mertua."

"Modus lo!" seru Gita sambil mendelik sebal pada Rian. "Lagian lo kan udah janji mau nganterin gue pulang, Yan! Jangan macem-macem lo!" ancam Gita dengan galak.

"Iya, iya. Istri bukan, pacar bukan, tapi galaknya nggak setengah-setengah. Lo suka gue atau gimana sih, Git?" ledek Rian tersenyum miring.

"Najis gue naksir lo!" seru Gita terlihat jengah.

"Najis tapi kalau ada apa-apa nyarinya gue. Cih!" 

"Lo pulang sama gue aja, Ky," ucap Kavin yang sudah menyandang tasnya. "Tapi, gue naik motor. Nggak apa-apa, kan?"

Khiya menggigit bibir bawahnya, tampak bimbang. Bukan apa-apa, tapi selain di kantor, Khiya benar-benar menghindari interaksi dengan Kavin. Selain mengenai pekerjaan, mereka tidak pernah membicarakan hal lain melalui chat. Beberapa kali Kavin menawari Khiya untuk pulang bersama pun, selalu Khiya tolak dengan berbagai macam alasan. Karena dia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan lelaki itu.

Khiya mencoba untuk menjaga kepercayaan Sigra padanya. Dia sudah berbohong mengenai keberadaan Kavin, the least she can do is menjaga jarak dengan Kavin. Meskipun mereka sekarang berteman, tapi tetap saja Kavin adalah mantan kekasihnya. 

"Langsung pulang kok. Gue nggak akan ajak lo ke mana-mana." Kavin tersenyum simpul, tampak paham keraguan yang dirasakan Khiya. "Sigra pasti lebih mengutamakan keselamatan lo daripada rasa cemburunya. Dia nggak akan marah."

"Oke," jawab Khiya kemudian yang membuat Kavin tersenyum.

Keduanya berjalan ke parkiran motor yang terletak di basement gedung. Meskipun hari sudah malam, tapi masih banyak motor yang berada di sana. Memang tidak sedikit karyawan perusahaan yang bekerja hingga larut malam untuk menyelesaikan tugas mereka. Bahkan, ada juga yang sampai menginap.

Kavin menghentikan langkahnya di sebelah sebuah motor bebek. Saat Kavin memasukkan kunci ke stop kontak lalu membuka bagasinya, Khiya mengerutkan dahinya.

"Motor lo?" tanya Khiya heran. Karena setahu Khiya, dari jaman SMA, Kavin selalu menggunakan jenis sepeda motor sport. Itu juga yang dari tadi membuat jantung Khiya berdegup cepat. Karena apabila dia menaiki motor sport, posisi duduknya akan membuat Khiya menempel pada Kavin. 

"Jelek ya?" tanya Kavin sambil tertawa kecil. "Tapi, motor ini lebih nyaman daripada motor sebelumnya. Lagi pula, kalau ada yang mau nebeng, mereka juga lebih enak duduknya."

"Lo sering ditebengin?" tanya Khiya semakin heran. Karena Kavin yang dia kenal dulu, paling anti memberikan tebengan pada orang lain, kecuali kekasihnya sendiri.

"Kadang-kadang. Biasanya kalau nggak Rian ya Mbak Gita," jawab Kavin yang entah kenapa membuat Khiya merasa lega.

Kenapa juga dia harus merasa lega?

"Kenapa nggak bawa mobil? Dulu pas kuliah lo bawa mobil ke mana-mana," tanya Khiya yang masih penasaran.

"Daerah kantor ini kan macet banget. Males gue bawa mobil. Mending bawa motor bisa nyelip-nyelip. Lagian hemat bensin juga." Kavin lalu mengeluarkan jaket berbahan parasut dari bagasi motornya. "Lo nggak bawa jaket?" 

Khiya menggelengkan kepalanya. "Ketinggalan di rumah."

Kavin kemudian melepaskan jaket kulit yang digunakannya, lalu menyodorkan ke Khiya. "Pakai itu aja. Jaket motor gue bau asap soalnya."

"Nggak usah. Gue nggak apa-apa kok."

"Pakai aja. Kalau lo sakit, gue nggak enak sama Sigra." Kavin tersenyum simpul, lalu memakai jaket motornya. 

Lagi-lagi Kavin menyebutkan nama kekasihnya dengan begitu tenang. Apa lelaki itu benar-benar sudah tidak memiliki perasaan apa pun padanya? Kenapa juga Khiya harus memusingkan hal ini?

Khiya pun akhirnya memakai jaket milik Kavin. Aroma parfum Kavin yang menempel di jaket tersebut terhirup hidungnya. Aroma itu bukanlah aroma Kavin yang biasa disukainya. Sejak mereka bertemu lagi, Khiya menyadari Kavin mengganti parfumnya. Aroma parfum yang sekarang memang tidak kalah enaknya dengan sebelumnya. 

Namun, terasa asing baginya. 

"Kenapa ganti parfum?" tanya Khiya sambil memperhatikan Kavin yang memakai helmnya. 

Kavin menyodorkan helm lain berwarna putih pada Khiya, lalu menjawab. "Sebenarnya gue emang sering ganti parfum kok. Gampang bosan soalnya."

"Oh, ya? Tapi, waktu itu parfum lo nggak ganti-ganti tuh. Dari SMA sampai kuliah sama." Khiya memakai helmnya lalu menunggu Kavin yang memundurkan motornya. 

Saat motor sudah dalam posisi siap keluar, Kavin menatap Khiya dari balik helmnya sambil menjawab, "Soalnya lo suka sama parfum itu. Jadinya, gue nggak ganti-ganti lagi."

Khiya pun terdiam mendengar jawaban Kavin. 

"Yuk! Nanti kemalaman," teguran Kavin membuat Khiya tersadar dan dengan cepat naik ke boncengan motor Kavin.

Berada dalam posisi begitu dekat dengan Kavin berhasil membuat jantung Khiya berdegup lebih cepat dari normal. Padahal, Khiya sama sekali tidak bersentuhan dengan lelaki itu. Tapi, tetap saja, efeknya sangat hebat. Sebenarnya bukan kali ini saja dia merasa gugup. Setiap harinya, ada saja alasan jantung Khiya untuk berdebar kencang karena Kavin. Bahkan, terkadang alasannya sangat sepele sekali.

Seperti melihat Kavin mempresentasikan pekerjaannya dengan luwes di depan orang-orang, memperhatikan wajah seriusnya saat sedang menatap laptop, atau bahkan hanya melihat Kavin bertukar pikiran dengan Rian mengenai pekerjaan saja bisa membuat jantungnya berdebar.

Khiya sering mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa berhenti terpesona pada mantan kekasihnya itu. Salahkan jantungnya yang tidak bisa diajak bekerja sama.

Tapi, mau bagaimana lagi? Kavin yang dia lihat saat ini adalah Kavin yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Kavin yang sudah dewasa dan penuh tanggung jawab akan pekerjaan. Kavin yang selalu terlihat cerdas saat mengeluarkan isi kepalanya. Kavin yang berwibawa dan bisa membawa dirinya dengan baik di antara para senior meskipun dia masihlah newbie di departemennya. 

Memang sejak SMA pun Kavin bukanlah pemuda yang urakan. Dia selalu tenang dan berkharisma dibandingkan dengan teman-temannya. Tapi, tetap saja, di mata Khiya lelaki itu sudah berubah. Khiya menyukai perubahan itu, tapi juga membencinya. 

Karena melihat Kavin yang sekarang, membuat perasaannya amburadul.

Di tengah kemelut pikirannya, hape Khiya bergetar di dalam saku celananya. Khiya mengeluarkan hapenya dan membaca pesan dari ibunya. Bibir Khiya mengerucut saat selesai membaca pesan tersebut. Ibunya menyuruhnya membeli beberapa barang dulu sebelum pulang ke rumah.

Kalau sudah begini, mau tidak mau dia harus minta tolong Kavin kan?

***

"Deterjen," gumam Khiya sambil melihat ke kanan dan kirinya. Kavin mengikuti di belakang sambil mendorong troli. Beberapa barang sudah ada di dalam troli. Khiya hanya butuh tiga jenis barang lagi sebelum mengakhiri kegiatan belanja dadakannya. "Duh, yang mana ya?" gerutu Khiya depan rak yang berisi berbagai jenis deterjen.

"Tanya Mama aja," jawab Kavin yang ikut memperhatikan deretan deterjen.

"Mama bilang cari aja yang bagus. Hmmmmm."

"Kalau gue biasanya pakai merek A sih. Soalnya di tangan nggak terlalu panas. Kalau yang merek B, baru gue pakai beberapa hari aja tangan gue langsung kasar."

Khiya pun langsung menoleh mendengar penjelasan Kavin. "Lo nyuci baju sendiri?"

"Kalau bukan gue, siapa yang nyuci? Tegar?" Kavin mendengus geli. "Dia cuci baju aja sebulan sekali."

"Tegar?" Khiya menatap Kavin bingung.

"Gue sekarang kan, tinggal di apartemen sama Tegar. Udah nggak di rumah."

Khiya pun teringat akan ucapan Kavin saat di Bandung dulu. Lelaki itu memang bilang akan keluar rumah setelah menyelesaikan kuliah. Namun, Khiya tidak menyangka Kavin betul-betul melakukannya. 

"Sejak kapan?"

"Begitu dapat kerja, gue langsung pindah."

"Dibolehin sama Mama?"

Kavin tersenyum manis. "Kenapa nggak boleh? Harusnya Mama senang karena gue nggak lagi ngerepotin dia, kan?"

Khiya menatap Kavin sendu. "Lo nggak ngerepotin orang tua lo, Vin. Gimana pun, lo anak mereka. Lo adalah tanggung jawab mereka."

Kavin tidak merespons, hanya menatap Khiya teduh. "Gue mau buktiin ke mereka kalau gue bisa hidup dengan usaha gue sendiri. Gue bisa sukses tanpa campur tangan mereka. Jadi, nggak ada lagi orang yang akan bilang, gue cuma anak Mami yang ngandelin harta orang tuanya."

Khiya sangat tahu penderitaan Kavin selama ini. Tidak diacuhkan kedua orang tuanya, dipandang sebelah mata oleh keluarga besarnya, dan dianggap sebagai anak orang kaya yang manja oleh orang-orang di sekitarnya. Kavin menghadapi itu semua sejak dia masih kecil.

Karena itulah, Kavin selalu berusaha sekuat tenaga membuktikan pada semua orang bahwa dia jauh lebih baik dari apa yang mereka tuduhkan padanya selama ini.

"Gue sadar jalan menuju kesuksesan itu berliku dan panjang, tapi gue optimis, gue pasti bisa mencapai tujuan gue. Lima tahun dari sekarang, gue akan jadi seorang manajer. Kita lihat aja."

Melihat kepercayaan diri dalam diri Kavin, Khiya pun tersenyum. Lelaki itu benar-benar kebalikan dari dirinya. Dia selalu optimis, pantang menyerah, dan gigih. Apabila Kavin menginginkan sesuatu, dia akan memastikan keinginannya itu terwujud. Jadi, Khiya tidak akan terkejut kalau lima tahun dari sekarang, Kavin benar-benar akan menjadi seorang manajer.

"Kalau lo jadi manajer, jangan lupain gue ya! Bisalah gue jadi anak buah lo. Tapi, gajinya gedein. Kan kita friend," ucap Khiya sambil menyengir.

Satu alis Kavin terangkat. Menatap Khiya ragu. "Lo yakin mau jadi anak buah gue?"

"Eh, jangan deh. Lo kan, bawel. Yang ada gue diomelin mulu lagi," sindir Khiya. "Sekarang aja jadi mentor lo galak bener."

Kavin pun tertawa.

"By the way, ya, lo nyuci sendiri, emangnya, lo bisa nyetrika?" tanya Khiya sambil mengambil deterjen yang disebutkan Kavin sebelumnya, lalu meletakkannya ke dalam keranjang.

"Kalau baju biasa bisalah. Tapi, kalau kemeja kantor, kadang gue suka angkat tangan. Habis waktu sejam, tetap aja kemeja gue kusut. Tegar suka heran lihat gue yang marah-marah sambil nyetrika." Kavin tertawa renyah. "Tapi, lama-lama bisa juga sih. Setelah latihan sebulan penuh."

"Wuih, hebat! Gue aja nggak bisa nyetrika kemeja. Nggak licin-licin."

"Sebenarnya bisa, tapi lo keburu nyerah duluan. Lo kan selalu begitu. Pesimis," sindir Kavin, tersenyum miring.

Khiya memanyunkan bibirnya sebal. "Iya, deh. Gue orangnya gampang menyerah."

Kavin tertawa melihat wajah lucu Khiya. "Jangan manyun-manyun gitu, nanti gue khilaf terus cium lo, lo juga yang pusing."

Khiya terdiam dengan pipi memerah, sedangkan Kavin menyeringai kecil sambil berlalu mendorong troli. 

***

"Khiya, lo sama Kavin lagi pedekate atau gimana?" Pertanyaan dari Tika saat makan siang, membuat Khiya tersedak es jeruk yang sedang diminumnya.

Khiya terbatuk-batuk saat merasakan sengatan pedih di hidungnya. Dengan cepat, Putri yang duduk di sebelahnya mengambilkan tisu.

"Ditanya gitu aja langsung keselek dia," ledek Edo sambil terkekeh. "Pedekate beneran ya kalian?"

Setelah berhasil menghentikan batuknya, Khiya menggelengkan kepala. "Aku nggak pedekate kok. Kan kami memang teman SMA, Mas."

Khiya sedang makan siang bersama dengan staf HRD saat ini. Terkadang, Khiya memang menghabiskan waktunya dengan teman dari departemen lain. Agar pertemanannya di kantor tidak hanya berputar di departemen BDP. Dan, membahas orang-orang kantor, sudah menjadi makanan sehari-hari mereka.

"Mereka kan seumuran, wajarlah dekat." Satyo yang kali ini bersuara. "Lagian, lo udah punya pacar kan, Ky?"

Khiya mengangguk cepat. "Kan aku pernah cerita sama kalian."

"Oh, iya, yang ada di Instagram lo ya? Yang putih cakep itu," sahut Tika.

"Iya, Mbak."

"Ini bukan gue yang nanya sih. Tapi, anak akunting. Si Kavin kan famous di sana. Biasalah banyak perawan tua. Nggak bisa liat brondong cakep dikit."

"Hush, Tik, kalau ngomong jangan asal. Ada yang dengar, abis lo sama mereka," tegur Putri. "Lagian, setahu gue si Kavin belum pengin pacaran deh."

Semua mata pun menatap ke Putri. 

"Weleh, weleh, ada yang diam-diam udah pedekate nih," ledek Satyo sambil menyeringai. "Bisa patah hati jamaah fans kamu di kantor kita kalau kalian jadian, Put."

"Apaan sih lo?" gerutu Putri tidak suka, meskipun dengan pipi yang memerah.

"Udah gue duga sih si Putri naksir Kavin. Kalau anaknya lewat, suka senyum-senyum sendiri." Edo menimpali. 

"Nggak ih. Apaan sih kalian?"

"Halah, kalau demen bilang aja sih." Tika ikut memanaskan suasana.

Putri terlihat semakin salah tingkah, sedangkan Khiya merasakan dadanya berdenyut menyakitkan saat ini.

"Beneran ih. Lagian umur dia tiga tahun di bawah gue."

"Lah, emang kenapa? Nggak ada larangan kali pacaran sama brondong," seru Tika. "Yang beda sepuluh tahun aja bisa nikah."

"Kejauhan lo mikirnya!" protes Putri. "Waktu itu kan gue sama Kavin training bareng, terus kami satu kelompok. Nah, lagi ngobrol-ngobrol gitu gue tanya dong, dia udah punya cewek belum. Dia bilang nggak. Katanya dia mau fokus kerja dulu. Nanti kalau kerjaannya udah settle, baru mikirin pacaran."

"Oooooo." Edo, Tika, dan Rian berseru bersamaan.

"Kalau nggak tertarik, kenapa nanya udah punya pacar atau belum ya?" Edo mengusap dagunya, menatap Putri sambil menyengir lebar. "Modus, Anda!"

"Apaan sih? Itu pertanyaan biasa kali. Seenggaknya gue nggak nanya kapan kawin."

"Sama aja!!!" seru ketiga rekan kerjanya dengan heboh.

Khiya pun tertawa melihat interaksi keempat teman barunya.

"Terserah apa kata kalian. Gue cuma mau jelasin alasan kenapa dia selalu jaga jarak sama karyawan perempuan di kantor kita. Soalnya, dia nggak mau bikin orang salah paham. Atau lebih tepat dibilang, nggak mau bikin anak orang baper. Karena dia emang lagi nggak pengin pacaran," lanjut Putri. 

"Kasian Putri, belum ditembak tapi udah ditolak duluan," ledek Satyo sambil tertawa.

"Gue lempar mangkok ya, Sat!" ancam Putri sambil memelotot kepada Satyo.

"Ampun, Madam!" ucap Satyo yang masih diiringi tawa kedua temannya.

"Tapi ...." Tika kemudian melirik pada Khiya yang sejak tadi hanya diam menyimak, lalu tersenyum penuh arti. "Kalau sama Khiya sih beda, ya."

Edo, Satyo, dan Putri pun ikut tersenyum sambil menatap Khiya. Membuat Khiya jengah akan tatapan aneh keempatnya.

"Kalau sama Khiya, Kavin ramah dan baik banget. Kayak ke pacar," goda Tika yang membuat pipi Khiya memerah.

"Nggak kok. Kavin tahu aku udah pacar," ucap Khiya membela dirinya. Sungguh, dia merasa risih dengan ledekan-ledekan keempatnya soal Kavin.

"Udah, dinikmatin aja perhatian dari cowok ganteng mah. Mumpung belum married ini." Tika terkekeh, tapi langsung ditoyor Satyo.

"Ngajarin yang nggak benar lo!" seru Satyo. 

"Tapi, benar kan? Dinikmatin aja, dengan catatan jangan sampai baper," jelas Tika sambil menyeringai. 

"Masalahnya, emang bisa cewek nggak baper dibaikin cowok?" lanjut Satyo.

"Kalau soal itu, kita kembalikan lagi ke Khiya. Karena yang punya hati kan dia," jawab Edo sambil tersenyum penuh arti pada Khiya.

Khiya pun cuma bisa tersenyum kikuk pada keempatnya.

***

Saat ini Khiya dan Kavin sedang berada di dalam mobil menuju kantor setelah kunjungan dari pabrik semen mereka. Sesekali departemen mereka memang melakukan kunjungan untuk memeriksa kesesuaian implementasi program mereka di lapangan. Namun, ini adalah kali pertama Khiya melihat langsung seperti apa pabrik semen itu. Meskipun lelah karena harus mengelilingi pabrik yang sangat luas itu, tapi Khiya merasa senang. Karena sekali lagi ilmunya bertambah.

Sepanjang perjalanan, Kavin dan Khiya mengobrol mengenai banyak hal. Sebagian besar mengenai apa yang mereka lakukan selama mereka tidak bertemu selama ini. Obrolan itu tampak begitu normal. Layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak bertemu. Meskipun ada satu topik yang keduanya tanpa sadar hindari, yaitu mengenai kisah percintaan masing-masing.

Kavin tidak membahas mengenai hubungan Khiya dan Sigra. Dan, Khiya tidak berusaha bertanya mengenai wanita yang mungkin saja sedang atau pernah disukai Kavin setelah keduanya putus. Gimanapun, topik pembicaraan itu masih sangat tabu untuk keduanya.

Sesampainya di Jakarta, jam menunjukkan pukul sembilan. Rencana semula mereka yang akan ke kantor dulu sebelum pulang ke rumah masing-masing pun berubah. Kavin memutuskan untuk mengantar Khiya pulang. Dan, gadis itu pun tidak menolak sama sekali.

Kavin memarkirkan mobilnya di sebuah tanah lapang yang berada dekat dari rumah Khiya. Jalanan depan rumah Khiya memang tidak bisa dilalui mobil. Oleh karena itu, Kavin akan mengantarnya dengan berjalan kaki. Kenapa perlu diantar? Karena gang rumah Khiya sangat gelap dan sepi. Kavin hanya ingin memastikan Khiya selamat sampai di rumahnya.

"Lo nggak usah nganter gue, Vin," ucap Khiya saat mereka berjalan bersisian di gang yang sepi dan gelap itu. "Gue kan bisa sprint dari sini ke rumah."

"Sprint sekalipun kalau ketemunya Mbak Keti mana bisa kabur sih." Kavin terkekeh pelan.

Khiya pun memukul lengan Kavin sambil memelototinya. "Ish, udah dibilang berapa kali kalau ngomong jangan sembarangan."

Kavin pun tertawa. "Iya, gue bercanda." Khiya bersungut kesal menatap Kavin. "Mana tahu ketemu mama lo. Gue udah lama nggak ketemu beliau. Terakhir nganterin lo, mama lo kan lagi ke luar rumah."

"Hm, sebenarnya Mama kadang suka nanyain lo," ucap Khiya kemudian dengan suara lirih, tanpa berani menatap Kavin. "Dia pikir kita masih berkomunikasi."

"Lo nggak cerita yang sebenarnya?" 

Khiya menggeleng pelan. "Gue nggak pengin Mama sedih."

Kavin menghela napas panjang. "Maaf ...."

"Lo nggak perlu minta maaf lagi. Kita udah bicarain masalah ini kan?" Kavin tersenyum kecil. "Gue udah lupain semua itu. Sekarang kita teman. Jadi, nggak usah lagi ingat-ingat yang lalu."

Kavin pun tersenyum kecil.

Saat Kavin diam menatap depan, Khiya melirik lelaki itu diam-diam. "Dua bulan magang, gue sering banget ditanyain cewek-cewek kantor soal lo. Lo beneran famous ya." Khiya tertawa. "Mbak Putri juga keliatannya naksir lo, Vin."

"Lo mau comblangin gue gitu?" Kavin tersenyum kecil.

"Kalau ceweknya baik, kenapa nggak?"

"Sekarang gue cuma mau fokus kerja aja, Ky. Nggak mau dipusingin soal cewek dulu." Kavin lalu melirik Khiya yang sedari tadi menatapnya, lalu tersenyum. "Lagi pula ...."

"Lagi pula apa?" tanya Khiya saat Kavin tidak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Nggak apa-apa."

"Ih, apaan sih lo? Gue paling sebel deh sama orang yang ngomong setengah-setengah," gerutu Khiya. "Lagi pula apa?"

"Kenapa pengin tahu banget? Nggak penting juga buat lo, kan?"

"Kenapa nggak penting? Kan, lo teman gue. Artinya lo penting buat gue," ucap Khiya dengan berapi-api.

Kavin mendengus, lalu tersenyum kecil. "Jangan ngomong gitu. Nanti gue jadi berharap sama lo."

Khiya terdiam menatap wajah Kavin yang berubah serius. "Vin ..."

"Sampai detik ini pun aku masih sayang kamu, Ky. Aku masih cinta kamu." Kavin tersenyum sedih.

Langkah keduanya berhenti tepat di depan rumah Khiya. Khiya berdiri membelakangi pagar rumahnya dan Kavin berdiri di hadapannya. Kavin menatap Khiya lembut, di saat gadis itu hanya bisa terperangah saat balas menatap Kavin. Khiya tidak percaya dengan pengakuan Kavin itu.

Selama ini Kavin memang selalu bersikap baik dan perhatian padanya. Tapi, Khiya pikir itu semua dilakukannya karena mereka berteman. Kavin tidak tampak seperti lelaki yang memendam perasaannya ke Khiya. Karena meskipun dekat, Khiya sadar Kavin menjaga jarak dengannya. 

Kavin tidak pernah menyentuhnya sembarangan. Bahkan, sekedar mengusap kepala atau mengacak rambut yang dulu sering dia lakukan saat keduanya masih berteman pun, tidak Kavin lakukan. Kavin pun sering menyinggung soal Sigra dengan sangat santainya. Tidak terlihat kecemburuan sama sekali darinya. Kavin juga tidak pernah menggodanya seperti yang dulu sering dia lakukan untuk membuat Khiya malu. Lelaki itu benar-benar bersikap normal layaknya ke seorang teman baik.

Sehebat apa Kavin menahan perasaannya kepada Khiya selama ini? Bagaimana bisa lelaki itu bersandiwara sehebat itu?

"Meskipun aku tahu kemungkinanku buat bisa sama kamu itu sangat kecil, tapi aku tetap berusaha untuk optimis. Aku pikir, saat aku bisa nunjukin ke kamu kalau aku udah berubah jadi lelaki yang lebih pantas buat kamu, mungkin kesempatan itu akan ada buatku. Mungkin ... aku bisa memiliki kamu lagi."

Khiya menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gejolak perasaannya saat mendengarkan ucapan Kavin.

"Maaf karena aku bohong sebelumnya. Tapi, tujuan utama hidupku saat ini, bukan buat buktiin ke Mama dan Papa kalau aku bisa sukses tanpa bantuan mereka. Tapi, buktiin ke kamu kalau aku bisa jadi Kavin yang lebih baik. Kavin yang bisa membahagiakan kamu. Kavin yang nggak akan pernah nyakitin kamu lagi. Kavin yang pantas bersanding dengan kamu."

Khiya semakin tidak bisa berkata-kata mendengar semua kejujuran Kavin itu. Jantungnya berdebar begitu kencang. Tapi, untuk kali ini, tidak lagi terasa menyakitkan seperti sebelumnya. Melainkan terasa membahagiakan untuknya. 

"Sekarang, aku memang belum bisa buktiin itu semua ke kamu. Aku sadar, aku belum layak buat kamu. Tapi, aku berjanji, suatu hari nanti, aku yang sudah lebih pantas untuk kamu akan kembali memperjuangkan cinta kamu lagi. Memperjuangkan cinta kita," ucap Kavin dengan senyum simpulnya.

Di mata Kavin, Khiya bisa melihat ketulusan itu. Khiya bisa melihat kesungguhan Kavin dari setiap kata yang dia ucapkan. Dan, melihat semua itu, hati Khiya pun dipenuhi kebimbangan.

"Tapi, gue dan Sigra ... "

"Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku akan tetap optimis bahwa kesempatan itu akan ada."

"Kenapa? Kenapa lo tetap bertahan?" lirih Khiya dengan matanya yang mulai memanas.

"Karena cuma kamu yang pantas untuk aku perjuangkan, Ky," jawab Kavin dengan lembut. "Karena cuma kamu yang aku cintai."

Sebelum Kavin melihat air mata yang akan mengalir dari kedua matanya, Khiya memutar tubuhnya menghadap pagar. Saat butiran bening itu membasahi pipinya, Khiya dengan cepat menghapusnya. Khiya mencoba mengendalikan emosinya meskipun sangat sulit. Khiya benar-benar dilanda dilema saat ini. 

Khiya merasa senang, tapi juga merasa bersalah. Karena dia sadar kebahagiaan yang dia rasakan saat ini akibat ucapan Kavin adalah salah. Dia sudah memiliki kekasih. Kekasih yang sangat mencintai dan menyayanginya. Khiya yakin, dia pun memiliki perasaan yang sama dengan Sigra. Namun, saat tahu Kavin masih mencintainya dan akan berjuang kembali untuknya, Khiya tidak bisa menahan rasa haru dan bahagianya.

Kalau dia benar-benar mencintai Sigra, seharusnya dia tidak sebahagia ini. 

Cintanya untuk Kavin yang masih tersisalah yang membuatnya merasakan ini semua. Jauh di lubuk hatinya, Khiya masih mencintai Kavin. Dan, kebersamaan mereka selama dua bulan ini membuat cinta itu kembali muncul ke permukaan.

Tanpa Khiya sadari, gadis itu kembali jatuh ke perangkap cinta seorang Kavin Januar. 

Tidak! Ini tidak boleh terjadi.

Khiya tiba-tiba menggelengkan kepalanya dengan kuat. Batinnya berteriak bahwa ini semua salah. Setelah apa yang dilakukan Sigra selama ini untuknya, tidak seharusnya Khiya membalasnya dengan pengkhianatan seperti ini. Khiya sudah bertekad untuk mencintai lelaki itu. Maka, itulah yang akan dia lakukan. Hanya Sigra yang seharusnya dia cintai. 

Kavin adalah masa lalunya. Dan, tidak akan pernah menjadi masa depannya.

"Maaf, tapi gue nggak yakin kesempatan itu ada," lirih Khiya tanpa membalikkan badannya. "Saat ini, bagi gue, lo nggak lebih dari seorang teman. Cuma Sigra yang gue cintai."

Meskipun sudah meyakinkan dirinya mengenai hal itu, kenapa dada Khiya tetap terasa sesak saat mengatakannya?

"Aku tahu. Tapi aku akan tetap menunggu."

"Nggak! Gue nggak mau lo berharap apa-apa ke gue. Karena sampai kapan pun, gue nggak akan bisa kembali sama lo, Vin. Selamanya."

Denyut itu semakin menyakitkan, tapi Khiya menghiraukan semuanya.

"Khiya. Aku ...."

"Lo udah dengar sendiri, kan? Jadi, menyingkir dan jangan ganggu cewek gue lagi!" seruan keras itu membuat Kavin dan Khiya menoleh ke sumber suara.

Sigra berdiri tidak jauh dari mereka, dengan tatapannya yang penuh kemarahan. Tatapan yang ditujukan pada Kavin.

"Kalau lo memang seorang gentleman, lo akan sadar kapan waktunya harus menyerah. Khiya kekasih gue dan nggak seharusnya lo mencoba untuk merebut dia. Dia udah bahagia sama gue." Sigra berjalan mendekati Kavin dengan tatapan menusuknya.

Kavin membalas tatapan itu dengan tidak kalah tajam. "Yakin Khiya bahagia sama lo?"

Sigra menyeringai sinis. "Seenggaknya gue nggak bikin dia nangis kayak lo."

"Mungkin dia nggak nangis, tapi yang gue lihat, Khiya nggak sebahagia saat bersama gue." Kavin mengatakannya dengan penuh ketenangan.

Sigra mengatupkan mulutnya, rahangnya tampak mengeras. "Lo punya banyak kesempatan sebelumnya untuk tetap mempertahankan Khiya, tapi lo membuang semuanya demi memuaskan ego lo. Sekarang, kesempatan itu udah nggak ada lagi. Jadi, cobalah untuk move on dan cari wanita lain."

"Maaf, tapi gue nggak bisa."

Sigra mengembuskan napasnya kasar. Meskipun ingin menghajar lelaki di hadapannya saat ini, Sigra berusaha keras untuk mengendalikan dirinya. Bagaimanapun, Kavin pernah menjadi teman baiknya. Lagi pula, Sigra tidak ingin membuat keributan di depan rumah Khiya. Nanti Khiya juga yang akan kesulitan.

"Kavin, gue minta lo buat pergi." Itu suara Khiya. Gadis itu sudah berdiri di sebelah Sigra, menatap Kavin dengan tajam. 

Melihat Khiya yang berada di sisinya, Sigra pun tersenyum bahagia. Meskipun ada satu hal yang perlu Khiya jelaskan padanya setelah ini, yaitu mengenai kehadiran Kavin kembali di hidup Khiya tanpa Sigra ketahui.

"Oke." Kavin tersenyum kecil menatap Khiya. "Malam, Ky." Sadar Khiya tidak akan menjawab, Kavin langsung melangkah pergi dari hadapan keduanya.

Saat Kavin sudah menghilang dari pandangan mereka, Khiya pun menatap Sigra dengan penuh rasa bersalah.

"Maaf, karena nggak jujur sama kamu. Aku ..."

Khiya tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Sigra langsung memeluknya. Lelaki itu mengembuskan napas leganya saat menumpukan dagunya di puncak kepala Khiya.

"Makasih," lirih Sigra dengan suara pelan. Khiya sudah akan bertanya, tapi Sigra kembali berkata, "Makasih karena kamu tetap memilih aku." 

Khiya terdiam beberapa saat, sebelum membalas pelukan Sigra. Sigra lalu menghujani puncak kepalanya dengan kecupan-kecupan kecil. Lelaki itu mengetatkan pelukannya, lalu menyurukan kepalanya di ceruk leher Khiya. Sigra tampak begitu lega dan bahagia saat ini.

Di saat hati dan pikiran Khiya dipenuhi berbagai macam keraguan.


TBC


7500 kata tapi masih belum jelas kapan ini balikannya. wkwkwkkwk. Ternyata ga bisa jadi 1 bab yang terakhir. Harus dibagi 2. Tapi, janji deh, bab berikutnya udah selesai konfliknya. Aku tuh emang ga bakat nulis cerita per babnya pendek-pendek. Suka bingung. 

Sesuai judul, cerita ini mengenai konflik-konflik yang dihadapi sama Kavin dan Khiya selama pacaran. Jadi, ya banyak. Tapi, yang berat cuma yang ini sama yang terakhir kok. Nggak terus-terusan bikin sakit kepala.

Janjiku waktu itu mau bikin nangis Kavin kan ya? Nah, hal itu akan terlaksana di bab berikutnya. #ketawasetan

Loh, kan si anu udah putus sama si inu, kok masih disiksa aja Kavinnya? Yah, udah alur dari awal begitu. Mereka belum pacaran pun emang aku udah mau nyiksa si Kavin. Mungkin ini semua feeling hahahaha.

Lucu ya, saat diceritaku Kavin dan Khiya putus, si anu jadian ma cewek lain. Saat Kavin dan Khiya mau balikan lagi. Si anu putus ma ceweknya. Apakah aku punya bakat jadi paranormal? Hmmmmm. Atau mereka baca ceritaku #HALUUUUUUU

Happy Weekend!!!

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 171K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
646K 31.9K 44
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.7M 258K 52
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
213K 8.5K 36
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...