Jangan Buang Aku, Ayah!

By Miss_N714

4.8M 448K 10.5K

Seperti halnya uang. Bahkan ketika lusuh sekalipun kau akan tetap berharga. Sekalipun dibuang oleh keluargany... More

BAGIAN 2 ✔️
BAGIAN 3 ✔️
BAGIAN 4✔️
BAGIAN 5✔️
BAGIAN 6✔️
BAGIAN 7✔️
BAGIAN 8✔️
BAGIAN 9✔️
BAGIAN 10✔️
BAGIAN 11✔️
BAGIAN 12✔️
BAGIAN 13✔️
BAGIAN 14✔️
BAGIAN 15✔️
BAGIAN 16✔️
BAGIAN 17✔️
BAGIAN 18✔️
BAGIAN 19✔️
BAGIAN 20✔️
BAGIAN 21✔️
BAGIAN 22✔️
BAGIAN 23✔️
BAGIAN 24✔️
BAGIAN 25✔️
BAGIAN 26✔️
BAGIAN 27✔️
BAGIAN 28✔️
BAGIAN 29✔️
BAGIAN 30✔️
BAGIAN 31✔️
BAGIAN 32✔️
BAGIAN 33✔️
BAGIAN 34✔️
BAGIAN 35✔️
Bagian 36✔️
BUKAN UPDATE
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41
BAGIAN 42
BAGIAN 43
BAGIAN 44
BAGIAN 45
BAGIAN 46
BAGIAN 47
BAGIAN 48
BAGIAN 49
BAGIAN 50
BAGIAN 51
BAGIAN 52
BAGIAN 53
BAGIAN 54
BAGIAN 55
BAGIAN 56
BAGIAN 57
Pengumuman SEQUEL

BAGIAN 1 ✔️

265K 12.9K 392
By Miss_N714

Terlahir dengan sebuah keterbatasan fisik tidak satupun orang menginginkannya, termasuk aku. Tapi aku bisa apa saat takdir mengatakan hal berbeda. Saat tuhan menciptakan satu perbedaan yang jauh dari kata sempurna untuk umat-Nya. Ah, kenapa aku jadi memprotes hal yang sudah Dia berikan?

Aku Serena Latifa. Lahir dari pasangan Wisnu Cakranegara dan Delia Zahra Cakranegara, Ayah berprofesi sebagai duta besar Indonesia di Baghdad, Irak. Sedangkan Ibu adalah seorang designer. Kakakku Refandiaz Cakranegara dan Adilia Farah Cakranegara. Tapi setahun setelah kelahiranku, masa jabatan Ayah telah habis sehingga kami pun harus pindah ke Jakarta. Kembali ke tanah kelahiran Ayah sedangkan Ibu, meski basic bisnisnya berada di Indonesia tetap saja mengikuti kemana Ayah dinas. Beberapa tahun setelah Ayah kembali ke Indonesia, Ayah mengajukan pensiun dini walau di acc dua tahun kemudian dari pengajuan. Jangan tanyakan kenapa karena aku tidak mengerti.

Ayah beralih profesi menjadi seorang pebisnis di bidang batu bara, meski beberapa kali mengalami pasang surut. Namun beberapa tahun setelahnya semuanya kembali stabil. Kami pun sempat mengikuti Ayah untuk tinggal di Kalimantan. Tapi itu hanya beberapa bulan. Kemudian hanya Ayah yang pulang pergi Kalimantan-Jakarta.

Tak ada yang berbeda dengan Ayah ataupun Ibu terhadapku, meski aku tidak sempurna secara fisik. Semuanya sama. Porsi kasih saying pun sama. Untuk Kak Refan, untuk Kak Farah, ataupun untukku. Bahagia, bukan? Tentu saja, sangat bahagia.

"Serena," Panggil Ibu ketika itu. Aku segera berbalik, menyunggingkan senyum manis untuknya.

"Ayah, Ibu, dan Kak Refan pergi sebentar, ya? Serena di sini sama Teh Uchi." Katanya pelan dengan gerakan tangan yang sangat aku mengerti. Teh Uchi adalah pengasuhku sejak aku dan keluarga pindah ke Jakarta. Tidak. Beberapa tahun setelah kami pindah ke Jakarta. Sedangkan dua kakakku di urus oleh Teh Ema.

Aku mengangguk. "Kak Farah ikut?" Tanyaku dengan gerakan tangan. Benar. Aku mengalami kesulitan berbicara, sehingga bahasa isyaratlah yang aku gunakan untuk bisa berkomunikasi secara langsung. Itulah sebabnya aku memiliki pengasuh yang berbeda dengan kedua kakakku. Karena Teh Uchi yang bisa mengerti dan bisa menggunakan bahasa isyarat.

Ibu mengangguk. "Kak Farah ikut sekalian menjemputnya di tempat les." Jawab Ibu.

"Hati-hati." Jawabku sambil menyalami tangan Ibu.

Tak lama selepas kepergian Ibu dan Ayah, Teh Uchi muncul dengan susu coklat di tangannya. Ia tersenyum sangat manis. Umur kami hanya berbeda 12 tahun. Dia masih muda dan cantik dibalik hijab yang tak pernah lepas dari kepala. Dialah yang mengurusku dari ujung kaki sampai ujung rambut ketika Ibu hampir tak pernah menyentuhku barang sehelai rambut pun. Dia pengasuh rasa saudara.

"Nyonya sudah pergi?" Tanyanya. Dengan gerakan tangan yang sangat lincah. Jagan lupa bahwa dialah yang mengajaiku bahasa isyarat.

Aku hanya mengangguk sambil terus memainkan boneka Barbie sebagai oleh-oleh dari Teh Uchi yang sempat ke Singapura beberapa waktu lalu untuk menemani ibunya berobat. Teh Uchi bukan berasal dari keluarga yang mampu, tapi Ayah memaksanya untuk membawa ibunya untuk operasi saraf. Aku tidak tahu kenapa wajah Teh Uchi berubah sendu, seakan tatapan itu adalah tatapan iba. Oke. Aku masih terlalu kecil untuk mengartikan mimik wajah seseorang, jadi aku mengabaikan tatapan itu. Dan bukan hanya sekali ini saja. Tapi juga banyak kali aku menemukan mimik wajah itu. Dan bukan hanya dari Teh Uchi tapi juga Teh Ema. Ia mengelus kepalaku dengan hangat. Berbeda dengan Ibu dan Ayah yang justru terasa dingin.

"Serenaaaa!" Suara Teh Ema meneriakkan namaku saat masuk dengan sebuat toples di tangan. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi.

Aku dan Teh Uchi mendongak heran.

"Aku sudah membuat cookies coklat untukmu." Suara cemprengnya sungguh memekakan telinga. Teh Ema sungguh kebalikan dari Teh Uchi. Teh Uchi lebih kalem sedangkan Teh Ema lebih cerewet, tapi umur mereka tidak jauh hanya berbeda beberapa bulan.

Aku bertepuk tangan sambil loncat-loncat kegirangan menerima satu toples penuh cookies coklat. Sebagai balasannya aku mencium kedua pipi mereka. Teh Uchi memelukku penuh sayang. Sedangkan Teh Ema teriak kegirangan. Aku hanya tertawa melihat kedua orang yang berada di depanku, kemudian kembali focus dengan boneka Barbie yang beberapa saat yang lalu aku abaikan karena setoples cookies.

"Ditinggal lagi?" Tanya Teh Emma. Siapa yag di tinggalkan? Aku tidak terlalu paham dengan apa yang orang dewasa bicarakan. Bukan. Bukan aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi yang tak bisa ku mengerti adalah topik pembicaraan mereka.

"Iya. Lagi." Jawab Teh Uchi, lesu.

***

Aku melipat tangan di jendela kaca melihat bagaimana rintik hujan membasahi bumi. Membuat semua tanaman seakan tersenyum bahagia. Senyumku terbir saat pelangi membentuk setengah lingkaran di kejauhan sana,memberikan warna setelah mendung melanda. Aku berlari kecil membuka pintu dan hampir saja aku menabrak Teh Uchi yang akan masuk ke kamar. Aku menarik tangannya mendekat ke jendela, lalu menunjuk ke arah pelangi yang semakin jelas terlihat.

Kemudian suara mobil memasuki halaman rumah, kualihkan pandan ke ke bawah. Satu orang keluar yang aku tahu itu adalah sopir Ayah. Laki-laki itu membuka pintu bagian belakang, Ayah dan Ibu turun diikuti dua orang anak yang bersorak gembira. Ada topi berbentuk kerucut di kepala keduanya dan masing-masing membawa goodie bag berwarna biru langit.

Aku berlari, turun ke bawah sebelum mereka sampai pada pintu utama, tidak menghiraukan panggilan dari Teh Uchi. Aku selalu ingin jadi yang pertama yang menyambut mereka ketika mereka kembali ke rumah. Tubuhku tidak terlalu tinggi untuk bisa menggapai knop pintu. Hanya dengan sedikit berjinjit tanganku akhirnya bisa meraih knop itu dan menariknya dengan mudah berhasil memperlihatkan mereka, keluarga kecilku yang bahagia.

BRUGH!

Tubuhku terdorong ke belakang hingga mendarat di kerasnya lantai marmer ke emasan. Aku membuka mata pelan-pelan dan mendapati Kak Farah berada tepat di atasku.

"Farah!" Aku melihat Kak Refan dan Ayah sedikit berlari dan mengangkat Kak Farah dari atasku.

"Mana yang sakit?" Tanya Ayah setelah Kak Farah berdiri. Sedangkan Kak Refan dan Ibu berlutut memeriksa tubuhnya.

Aku masih di posisiku, terlentang karena kepalaku sedikit terbentuk ke lantai, kemudian saat suara Kak Farah menangis aku segera bangkit mengabaikan rasa sakit yang mulai menyebar ke seluruh bagian kepala. Kak Farah menangis karena aku. Sungguh aku ingin meneriakkan maaf sekarang, namun yang kubisa hanya berdiri. Menggerakkan tangan untuk menyampaikan permintaan maafku,

Tangan Kak Farah mengusap-usap kedua matanya menghalau air mata yang terus turun. Aku mengambilnya, ia kemudian menatapku dengan wajah yang tak bisa ku artikan.

"Aku minta maaf. Sungguh aku menyesal." Menggerakkan tangan kemudian tertunduk tak berani untuk menatap.

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kuakui tangan Kak Farah tak akan sebesar itu sampai membuatku hampir limbung kalau saja kakiku tak kuat untuk bertahan. Semengeri inikah sebuah tamparan? Satu pertanyaan yang muncul kemudian setelah tamparan itu. Perlahan aku mengangkat kepala dan mendapati Kak Refan menatapku dengan emosi yang berapi-api.

"LAIN KALI JANGAN MAIN DI PINTU!" Bentaknya. Tak sengaja aku melemparkan pandangaku ke Ayah lalu Ibu yang juga emosi. Iya. Aku tidak sebodoh itu untuk tahu mereka marah atau tidak.

Jujur saja, Kak Refan tidak banyak bicara, terlebih kepadaku. Mungkin karena aku belum bisa bebicara, mungkin ia tak mengerti dengan apa yang aku ucapkan, tidak, dengan apa yang aku sampaikan dengan tangan. Karena aku berbeda, saat orang lain bisa berceloteh dengan mulut mereka, aku hanya bisa dengan tangan. Dalam sebulan saja bisa dihitung dengan jari. Tapi kepada Kak Farah, ia dengan mudah berbagi cerita, membelikannya es krim, mengikatkan tali sepatunya, mengajarinya PR, kadang menyuapinya, memegang tangannya ketika berjalan seperti sekarang.

Tapi aku tak pernah melihatnya semarah itu, aku tak pernah mendengarnya membentakku seperti itu. Ah, aku tak bisa menahan apa yang paling tidak aku suka. Iya, menangis. Aku benci menangis, tapi mataku sudah memanas dan detik selanjutnya air mataku sudah tidak bisa aku bendung lagi. Selamat Serena, kau berhasil mengubah senyum menjadi tangis. Kamu berhasil membuat kakakmu menangis. Aku mengejek diriku sendiri.

Tubuhku tiba-tiba serasa melayang, lantai tak lagi jadi pijakan. Pelukan hangat itu, aku tahu milik siapa.

"Hei, anak cantik tidak boleh menangis., hmm?" Aku merasakan kakiku berpijak pada kasur.

Teh Uchi mengusap rambutku dengan pelan, senyumnya tak pernah pudar. Aku menyukai senyumnya.

"Itu bukan salahmu." Ia mulai menggerakkan tangannya dengan lincah.

"Tapi aku sudah membuatnya menangis." Jawabku.

"Tifa, air mata seseorang itu tidak berarti menunjukkan Tifa bersalah." Teh Uchi tahu aku bisa mendengarkan.

Aku hanya menunduk, Teh Uchi memelukku sangat erat seperti biasa.

***
Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

8.9K 1.5K 29
Ketika kau harus membuat keputusan didalam keadaan sulit apa yang bakal kau pilih? Apa kau akan memilih tetap mencintainya atau menyerah pada keadaan...
138K 5.6K 48
[Best Rank 1 in Combat 4-3-2019] Menjaga setiap jengkap wilayah NKRI ibu pertiwi dengan sayap-sayap nusantara yang akan selalu bertaruh nyawa demi ke...
52.4K 882 6
"Ma, Pa, aku juga ingin disayang. Apa aku ini sebenarnya anak pungut?" -Jeffin - Tw // harshword , selfharm , little bit 🔞 BUKAN BXB, jangan salah l...
Segalanya💞 By xwayyyy

General Fiction

67.6K 10.2K 34
hanya fiksi! baca aja!