Gone-A Fanfiction of Harry Po...

By Wintervina

7.9K 266 30

Tentang sebuah perjalanan panjang di dalam Hogwarts Express, yang mana menempatkan Hermione Granger dan Draco... More

Gone-A Fanfiction of Harry Potter (Special Dramione)

7.9K 266 30
By Wintervina

Well, Mum, Dad…” ujar gadis berambut semak kecokelatan itu menatap lekat ke pada kedua wajah yang begitu ia sayangi, “… aku harus pergi sekarang. Jaga diri kalian baik-baik. Jangan terlalu sibuk dan perhatikan pola makan kalian.”

Usai menyelesaikan kalimatnya, gadis bernama lengkap Hermione Jean Granger itu pun meremas jemari ibunya untuk yang terakhir kali dan dengan berat hati di detik berikutnya ia melepaskan tautan jemarinya pada jemari sang ibu.

“Bukankah kami yang seharusnya mengatakan seperti itu, Mione Sayang?” ujar ibunya sembari mengusap penuh kasih pada rambut kecokelatan milik puteri semata wayangnya yang mengembang dan terlihat sedikit berantakan. “Jangan belajar hingga lupa diri. Ingat, kesehatanmu itulah yang utama,” ceramah ibunya kepada Hermione  seperti saat-saat di mana ia harus menceramahi pasien-pasiennya setiap hari, sambil menyentuh pelan ujung hidung anaknya.

Hermione berupaya menahan senyum yang hendak tercetak di wajahnya manakala mendengar ceramah ibunya. Oh, seharusnya ia tidak lupa bahwa ibu dan ayahnya berprofesi sebagai dokter gigi. Ya, mereka berdua. Tentu saja mereka akan lebih cerewet bila itu menyangkut kesehatan, bukan?

Ayah Hermione merangkul pundak sang istri perlahan sebelum akhirnya berujar, “Ibumu benar, Mione. Pokoknya kami hanya ingin melihat kau pulang dalam keadaan sehat saat libur Natal tahun depan."

Kini Hermione benar-benar tak bisa menahan senyum yang sejak tadi hendak mengembang di wajahnya. “Oh, Mum, Dad… berhentilah bercanda. Aku kan bukan pasien kalian,” kekeh Hermione dengan bola mata yang terasa berair. Oh, tidak, kenapa ia malah menangis, sih?

Ayah Hermione memegang kedua bahu anaknya dan menatap lekat ke dalam mata Hermione yang sewarna cokelat madu. “Kau memang bukan pasien kami. Tapi kau adalah gadis kami satu-satunya. Kami akan menyayangimu melebihi semua pasien kami, juga kami akan mempedulikan dan menyerewetimu melebihi mereka. Jadi apakah kau sudah mengerti sekarang bedanya kau dan pasien kami, Mione?” ujar ayahnya dengan tatapan penuh kasih. Seketika Hermione dapat melihat jelas bentuk wajahnya dalam kedua bola mata sang ayah yang berwarna sama dengan miliknya; cokelat madu.

“Oh, Dad!” Hermione kini tak sanggup lagi menahan rasa haru yang bersarang di hatinya sejak tadi. Ia menarik lelaki paruh baya yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat tua di hadapannya itu untuk masuk ke dalam pelukannya. “Aku begitu mencintaimu, Dad,” bisiknya lembut.

Setelah mengatakan hal itu, Hermione mengusap perlahan matanya yang sedikit basah dengan punggung tangannya dan kemudian melepaskan pelukan pada ayahnya. Ia melihat ke arah ibunya lagi. Berjalan ke arah wanita berusia sekitar empat puluh tahun itu, Hermione tampak begitu sedih. Sesampainya di hadapan wanita yang terlihat begitu cantik di usianya yang tidak muda lagi itu, Hermione memeluknya. Sangat erat.

Sang ibu yang mengenakan jaket rajut merah maroon  saat itu juga membalas pelukan anak tercintanya dengan tak kalah erat. Mereka terus begitu selama beberapa detik, sampai akhirnya Hermione mendorong dan melepaskan tubuhnya perlahan dari pelukan ibunya. “Aku juga sangat mencintaimu, Mum. Oh, kenapa aku jadi secengeng ini? Biasanya aku tak begini,” ujar Hermione sambil mengusap jejak air mata di wajah ovalnya.

Well, kuanggap itu pertanda kau mulai dewasa dan semakin menyayangi kami,” ujar ibu Hermione yang kemudian membantu mengeringkan jejak air mata di wajah anaknya dengan kedua ibu jari. “Nah, pergilah sekarang. Nanti kau bisa terlambat, Sayang.” Ibu Hermione sekali lagi membelai rambut semak anaknya yang kemudian dibalas oleh Hermione dengan sebuah anggukan kecil, tak lupa sebuah senyuman tergores di wajahnya. Senyuman yang memperlihatkan dua buah gigi depan Hermione, yang akan mengingatkan kita pada gigi kelinci.

Hermione melangkah dengan rasa berat sambil mendorong troli yang dipenuhi dengan koper-koper miliknya. Koper-koper itu hampir sebagian besar berisikan buku-buku pelajaran. Ya, benar-benar ciri khas seorang Hermione. Memangnya apa lagi yang bisa kita harapkan ada di dalam koper seorang kutu buku sepertinya?

Hermione terlihat memberi jeda pada langkahnya begitu berada di antara peron sembilan dan sepuluh. Setelah melempar pandangan sekilas ke sekelilingnya untuk memastikan tidak ada satu orang pun di Stasiun King’s Cross yang tengah mengamatinya saat itu, ia bergerak cepat mendorong troli berisi barang-barang bawaannya menembus tembok pembatas antara peron sembilan dan sepuluh.

Sebenarnya tembok di antara peron sembilan dan sepuluh itu bernama peron sembilan tiga per empat. Ya, memang benar, di dunia muggle tidak ada peron dengan nomor seperti itu. Peron sembilan tiga per empat hanyalah diperuntukkan bagi para penyihir seperti dirinya.

Kini pemandangan yang tersaji di hadapannya berubah dalam sekejap mata. Orang-orang baik tua maupun muda terlihat berseliweran di sekitarnya. Sebagian besar membawa barang-barang bawaan mereka yang luar biasa banyaknya. Belum lagi hewan-hewan peliharaan seperti anjing, kucing, dan… burung hantu. Ya, orang-orang itu membawa hewan-hewan peliharaan mereka dengan memasukkannya ke dalam sangkar yang mereka jinjing.

Melihat pemandangan di sekelilingnya, tiba-tiba saja membuat Hermione teringat akan Chroockshank, kucing kesayangan miliknya yang telah meninggal akibat ulah binatang peliharaan Kau-Tahu-Siapa, yakni Nagini si ular licik. Ah, tiba-tiba saja ia teringat bagaimana Chroockshank yang selalu mengeong dengan manja mendekatinya dan kemudian bergelung di pangkuannya. Oh, Chroockshank, tiba-tiba saja aku begitu rindu ingin membelaimu lagi, batin Hermione dengan kesedihan dan rasa kehilangan yang tiba-tiba saja menyergap hatinya.

Ia kemudian memutuskan untuk mendorong trolinya melewati orang-orang yang berdedai-dedai memasuki Hogwarts Express yang menderum sejak tadi, seakan menunggu penumpang untuk segera menaikinya. Akhirnya dengan susah payah Hermione berhasil menaikkan tiga koper berat miliknya ke dalam kereta berwarna merah itu, dengan lokomotif yang tak berhenti mengeluarkan uap layaknya kepulan asap dari seorang perokok berat.

Hermione menghembuskan napas lega begitu mendapati sebuah kompartemen yang masih kosong. Benar-benar sebuah keberuntungan, pikirnya. Ia memang tipikal orang yang sebenarnya merasa nyaman duduk sendirian dibandingkan harus bergabung dengan sekelompok orang asing. Dengan langkah bersemangat Hermione memasuki kompartemen kosong itu dan tanpa berpikir panjang segera mendudukkan dirinya di samping jendela kereta, sementara barang-barang yang ia bawa tadi telah lebih dulu ia taruh pada rak barang.

Oh ya, omong-omong soal barang, koper-koper Hermione itu layaknya bongkahan batu-batu besar. Wajar saja, sebab dua dari tiga koper miliknya itu penuh berisi buku yang ketebalannya bisa membuat seekor anjing mengalami patah tulang. Gara-gara terlalu capai membawa kopernya tadi, Hermione kini bermandi keringat. Ia benar-benar tidak suka merasakan basah di wajahnya. Untuk itulah ia segera mencari-cari tisu wajah yang biasanya ia selipkan di saku celananya. Ketika sedang sibuk mencari tisu sialan yang bersembunyi entah di mana itu, Hermione dikagetkan dengan suara pintu kompartemen yang bergeser terbuka.

Hermione secara spontan menyipitkan matanya begitu melihat sosok jangkung dengan rambut pirang platina tengah berdiri canggung di ambang pintu kompartemen.

“Ada perlu apa kau kemari, Malfoy? Kalau ingin bertengkar denganku, maka aku tidak akan meladenimu di sini,” ujar Hermione yang seketika berhenti dengan aktivitasnya mencari tisu wajah. Ia lantas segera bersikap sedingin mungkin dengan menyilangkan kedua lengan tangannya di depan dada. Matanya bersirobok dengan sepasang iris kelabu pucat di hadapannya, membuat dadanya mendadak sesak, namun ia pura-pura mengabaikannya.

“Tentu saja aku ingin duduk di sini, Granger. Memangnya ada aturan yang melarangku untuk duduk di sini, uh?” sahut Pangeran Slytherin yang notabene merupakan lelaki nomor satu dalam daftar orang-orang yang paling di benci Hermione se-Hogwarts, oh tidak, mungkin lebih tepatnya semuka bumi ini.

Kini pemuda bertubuh jangkung dengan wajah pucat yang hampir menyaingi rambut pirang platinanya itu melangkahkan kaki jenjangnya untuk semakin memasuki bagian dalam kompartemen. Namun begitu pemuda itu hendak mengempaskan tubuhnya di kursi yang ada di hadapan Hermione, seketika gadis berambut semak itu berteriak panik, “Berhenti! Kubilang berhenti! Kau tidak bisa duduk di sini, Malfoy!” ujar Hermione yang saat itu telah berdiri dan mencondongkan wajahnya ke arah Malfoy. Sulit sekali untuk menatap wajah Malfoy yang memang terlampau tinggi darinya. Untuk itu, ia mesti mendongak. Tak lupa dengan jari telunjuk mengacung tepat di ujung hidung lelaki yang selalu mengagungkan darah murninya itu.

Demi mendengar lolongan Hermione itu, Draco Malfoy melengos sambil mendecih perlahan sebelum kembali menatap wajah Hermione yang berang. Seringai menggoda kemudian bertengger di bibir Malfoy, seakan hal itu menambah daya tarik pada wajahnya yang terpahat sempurna. Dan, well, sayangnya itu semua benar...

Ya, Hermione diam-diam mengakui bahwa ia selalu berdebar manakala melihat pemuda di hadapannya itu menyengir seperti sekarang. Semenjak kapan sih sebuah seringai dapat terlihat begitu memukau seperti ini? Apakah hanya Draco Lucius  Malfoy yang bisa melakukan hal itu di dunia? Ah, ternyata benar kata Ron, lelaki ini punya tentakel-tentakel yang mematikan untuk menjerat wanita, bahkan tanpa harus berkata-kata, pikir Hermione saat menatap iris kelabu Malfoy yang menyiratkan keangkuhan dan aura dingin di saat yang bersamaan.

“Oh, Granger, mengertilah. Semua kompartemen telah terisi penuh. Dan hanya kompartemen ini satu-satunya yang masih kosong, oh maksudku hanya ada kau di kompartemen ini,” Malfoy buru-buru meralat perkataannya sembari menyisir rambut depan yang menjuntai menutupi dahinya dengan menggunakan jemari. Sesekali  ia melirik ke arah Hermione yang kini masih berdiri di hadapannya, benar-benar terlihat seperti singa yang siap menerkamnya kapan pun juga. “Oh, demi Merlin yang tua bangka, aku tak tahu apakah ini semacam keberuntungan ataukah kemalangan bagiku sekarang.” Malfoy mengakhiri perkataannya dengan nada dan ekspresi yang terlalu didramatisir, membuat Hermione berusaha sekuat tenaga untuk tidak melayangkan tinju ke wajah pucat di hadapannya sebagaimana yang terjadi di tahun ke tiga mereka dulu.

Dengan berjinjit, Hermione akhirnya berhasil meraih kerah kemeja Malfoy yang berwarna kelabu. Ketika itu ia dapat melihat wajah penuh amarahnya terpantul jelas di mata Malfoy yang dingin dan tak terselami.

“Berhentilah menyerocos yang tidak perlu bila kau benar-benar ingin duduk di sini, Malfoy,” desis Hermione sebelum pada akhirnya menarik kerah Malfoy dengan sekuat tenaga sehingga membuat pemuda jangkung itu terduduk dengan tidak hormat di kursi yang ada di hadapan Hermione.

Saat Hermione telah kembali duduk tenang di kursinya, Malfoy pun menarik napas lega. Pemuda pirang itu perlahan merapikan kerah kemejanya yang sedikit berantakan. Mendadak ia terdiam begitu melihat Hermione pura-pura sibuk menatap ke arah luar jendela kereta, seakan pemandangan wajah Malfoy benar-benar menjijikan bagi gadis itu. Menyadari hal itu, ada suatu bagian di dalam hati Malfoy yang terasa sakit. Baru kali ini ia benar-benar merasa ditolak oleh perempuan. Biasanya yang terjadi padanya, perempuanlah yang selalu datang merayu dan berlomba mencuri perhatiannya. Tapi ada apa dengan perempuan di hadapannya ini? Jangankan mengejar-ngejarnya, untuk berdekatan dengannya saja perempuan ini benar-benar tidak sudi. Ya, seperti sekarang...

Oh, baiklah, soal tadi Malfoy hanya berbohong. Ya… masalah seluruh kompartemen yang telah penuh, itu semua adalah mutlak kebohongannya. Sebenarnya masih ada begitu banyak kompartemen yang seharusnya bisa menampungnya. Tapi entah kenapa, ia sengaja memilih untuk berada di kompartemen ini. Berada di dekat Hermione dan menghirup udara yang sama dengannya. Kini ia menopangkan kepalanya pada telapak tangan kanan yang bagian sikunya ia sandarkan di sisi kaca jendela, sementara matanya sibuk mengamati wajah Hermione.

Malfoy melihat bagaimana peluh membasahi wajah gadis itu, membuat beberapa helai anak rambut menempel di tepian wajahnya. Apa yang membuat Hermione mengeluarkan keringat sebanyak itu? Apa dia bermarathon dari rumahnya menujuStasiun King’s Cross tadi? Malfoy sibuk menerka-nerka sumber kehadiran butir-butir peluh di tubuh Hermione saat itu. Sesekali ia menggores senyum di bibir tipisnya begitu membayangkan berbagai kemungkinan yang membuat Hermione bisa banjir keringat seperti sekarang, namun tentu saja hal itu ia lakukan tanpa sepengetahuan si Nona-Tahu-Segala.

Sementara Malfoy sibuk mengamati wajahnya, Hermione disibukkan dengan pikirannya sendiri. Bayangan ayah dan ibunya yang melambaikan tangan terakhir kali  di stasiun tadi seakan tak mau pergi dari benaknya. Dan entah kenapa wajah sahabat-sahabat karibnya di Hogwarts juga semakin menambah sesak benaknya. Ya, ia dapat melihat jelas wajah Harry, Ron dan Ginny.

Oh, ya, omong-omong soal Harry… kemarin malam saat ia sedang sibuk mengemas barang-barangnya ke dalam koper untuk dibawa kembali menuju Hogwarts, ia dikagetkan dengan suara beruhu seekor burung hantu berwarna putih. Tahu-tahu saja, burung yang ia kenali sebagai Hedwig, yakni burung hantu kesayangan Harry itu, telah bertengger di kusen jendela kamarnya dengan selembar kertas yang terselip di antara paruh mungilnya.

Seperti yang bisa ia tebak, itu adalah surat dari Harry. Sebenarnya isi surat itu tidaklah begitu panjang. Harry menanyakan bagaimana liburan Natalnya di London. Harry juga menceritakan bahwa ia sendiri sangat senang menghabiskan liburan Natalnya kali itu di The Burrow. Hal itu menurut Harry berkali-kali lipat lebih menyenangkan dibandingkan harus pulang dan merayakan Natal bersama keluarga Dursley. Dan Harry juga mengatakan bahwa ia benar-benar merindukan Hermione dan berharap dapat segera bertemu dengan gadis itu secepatnya.

Hermione tersenyum begitu mengingat isi surat Harry itu. Tentu saja ia tahu persis alasan kegembiraan Harry merayakan Natal di The Burrow bersama keluarga Weasley. Itu semua lantaran keberadaan Ginny.

Ya, sudah menjadi rahasia umum di Hogwarts bahwa Harry Potter berpacaran dengan Ginny Weasley. Dan tahun ini adalah tahun ke dua mereka menjalin kasih. Terkadang Hermione merasa iri kepada kedua sahabatnya itu. Kisah cinta mereka terbilang  mulus dan begitu mudah. Tak seperti kisah cintanya.

Hermione seketika mengalihkan pandangan ke arah pemuda pirang di hadapannya yang saat itu terlihat tengah bertopang dagu dengan siku sebelah kanan menekan kaca jendela. Iris kelabunya tampak menerawang jauh keluar jendela, entah memikirkan hal apa.

Kembali Hermione harus mengatakan bahwa kisah cintanya tidaklah mudah. Sebab ternyata ia menyukai begundal Slytherin di hadapannya itu. Ia tak tahu atas alasan apa ia menyukai si pirang Malfoy. Semakin ia berusaha mencari alasan, semakin ia tak menemukannya, walau hanya satu.

Padahal jelas sekali bahwa Malfoy tidak memenuhi satu pun dari daftar kriteria lelaki idamannya yang berstandar tinggi. Oh, kenapa? Kenapa ia harus jatuh cinta dengan orang berkelakuan bar-bar yang labil seperti Malfoy? Terlebih dunia mereka amat begitu berbeda. Ya, sangat-sangat berbeda. Seperti minyak dan air yang walaupun dicoba untuk bersama, tapi tetap sampai kapan pun tak akan pernah bisa menyatu.

Hermione hanyalah seorang darah lumpur yang hina di mata keluarga Malfoy yang berdarah murni dan merupakan aristokrat ternama di kalangan bangsa sihir. Jadi, bahkan di dunia khayalnya sekali pun tidak akan pernah ada tempat untuk kisah cintanya dan Malfoy.

Hermione tersentak begitu menyadari pandangan Malfoy yang tertuju ke arahnya. Ia tak tahu sudah sejak kapan lelaki berkulit pucat itu menjelajahi wajahnya dengan sepasang iris kelabunya yang membekukan.

“Ini pakailah, kau berkeringat terlalu banyak, Granger,” ujar Malfoy mengulurkan sebentuk saputangan berwarna kelabu ke depan wajah Hermione. Melihat tangan pucat yang terulur di depan wajahnya itu, Hermione segera menampiknya.

“Jangan sok peduli padaku, Malfoy. Aku bukanlah Parkinson dan gadis bodoh lainnya yang bisa dengan mudah terjerat rayuan busukmu. Simpan saja gombalan dan perhatianmu itu untuk gadis-gadis murahan mana saja, tapi jangan di depanku kalau kau tidak ingin merasakan tinjuku bersarang di wajahmu untuk yang kedua kalinya,” ancam Hermione sambil melengos menatap ke arah pintu kompartemen. Seolah-olah menanti keajaiban di mana pintu kompartemen akan menggeser terbuka dari luar oleh seseorang, sehingga dapat mencairkan suasana beku yang kian merambatinya dan Malfoy saat itu.

Ada perasaan terluka ketika Hermione dengan kasar menampik uluran tangannya. Namun bukankah ia mesti pandai bersandiwara, bukan? Malfoy pun akhirnya memasukkan saputangan kelabu miliknya itu kembali ke dalam saku celananya.

“Oh, kupikir akan menyenangkan jika kau meninju wajahku sekali lagi,” ujar Malfoy menatap Hermione dengan wajah menggoda sambil mengusap-usap pipi kanannya. “Sepertinya aku mulai kecanduan tinjumu, Granger,” kekeh Malfoy kemudian. Ada senyum yang dikulumnya begitu mengingat tahun ke tiganya di Hogwarts, tepatnya saat kepalan tangan Hermione dengan telak menumbuk wajah mulusnya dan meninggalkan lebam selama beberapa hari. Namun entahlah, ia malah merasa senang telah dipukuli sekeras itu oleh Hermione Jean Granger. Walau tentu saja di depan perempuan yang rambutnya mengingatkan kita akan surai singa itu Malfoy berlagak marah hanya demi menutupi perasaannya yang sebenarnya.

Demi menjaga agar Malfoy tak mengusiknya lebih jauh, Hermione akhirnya meraih satu di antara buku yang telah ia siapkan untuk menemani perjalanannya menuju Hogwarts. Gadis itu pun dengan sengaja menyembunyikan wajahnya dari Malfoy di balik buku yang dipegangnya. Ia merasa buku itu adalah tabir yang paling baik untuk melindungi jantungnya agar tak berdegup makin kencang lantaran menatap si pirang platina di hadapannya.

Malfoy menatap penuh rasa ingin tahu pada buku yang tengah dibaca Hermione. Pemuda pirang itu pun menyipitkan matanya hanya untuk membaca judul yang tertera pada sampul buku yang saat itu berhasil menyembunyikan wajah Hermione dari pandangannya. ‘The Murder of Roger Ackroyd’  karangan Agatha Christie. Malfoy mengerutkan dahinya sejenak dan mulai menerka-nerka buku jenis apakah itu? Apakah itu buku dari dunia muggle? Ya, jangan-jangan itu jenis buku khayalan yang sering dibaca oleh para muggle. Oh, ia tak menyangka bahwa Hermione sama seperti muggle lainnya yang gemar membaca khayalan orang. Dulunya ia mengira Hermione hanya akan membaca buku-buku tentang ‘Pertahanan terhadap Ilmu Hitam’‘Astronomi’ dan buku-buku ilmiah lainnya. Menyadari hal itu satu sudut bibir Malfoy terangkat.

Sudah beberapa jam Hermione mendiamkan Malfoy dan tenggelam dalam buku khayalannya. Malfoy bertanya-tanya dalam hatinya apakah Hermione benar-benar tak sudi untuk melihatnya dan mengajaknya berbincang sepanjang perjalanan? Oh, tidak, Malfoy kini mulai berpikir jangan-jangan sampah saja lebih berarti bagi si rambut semak di hadapannya itu dibandingkan dirinya sendiri.

Apakah Hermione serius membencinya? Padahal ia sama sekali tidak pernah membenci gadis itu. Mungkinkah Hermione membencinya lantaran ia selalu berperang mulut dengan gadis itu sambil melemparkan kata-kata hinaan? Ataukah karena ia selalu berhasil mengalahkan gadis yang notabene merupakan murid terpintar se-Hogwarts High School itu di kelas Ramuan yang diasuh oleh Profesor Snape? Hmm… atau barangkali Hermione membencinya lantaran ia mengencani banyak gadis sehingga menyandang predikat playboy nomor satu di Hogwarts?

Oh, demi rambut putih Merlin. Malfoy mendengus sambil menjambak bagian rambut depan yang menjuntai menutupi sebagian dahinya. Ada begitu banyak sekali kemungkinan yang membuat Hermione benar-benar dapat membencinya seumur hidup. Tapi percayalah… bahwa sebenarnya ia tak pernah menginginkan itu semua. Ia hanya tak tahu bagaimana caranya untuk mengalihkan perhatian Hermione yang selalu tampak serius dengan pelajaran dan buku-bukunya itu.

Kenapa ia selalu bertengkar dengan Hermione? Jawabannya tak lain karena ia menikmati saat-saat di mana mereka melempar kata-kata hinaan bernada sarkastik satu sama lain. Dan terlebih, wajah berang Hermione seakan dapat membuatnya melupakan seluruh kesedihan yang tengah ia rasakan begitu saja. Ajaib bukan?

Kenapa ia mengalahkan gadis itu di kelas Ramuan? Oh, tentang itu, sebenarnya ia berusaha keras untuk mengalahkan Hermione di kelas mana pun. Tapi sungguh sayang sekali, harus ia akui bahwa otak si Nona-Tahu-Segala itu memang diciptakan lebih canggih dari dirinya. Masih syukur Malfoy bisa mengungguli Hermione di kelas Ramuan.

Awalnya Malfoy berpikir dengan mengalahkan gadis itu di bidang akademik, Hermione perlahan akan memandangnya sebagai seorang lelaki yang patut diperhitungkan. Namun lagi-lagi semua terjadi tidak seperti yang ia harapkan. Hermione malah makin membencinya dan menganggap lelaki pirang itu telah  memanfaatkan kedekatannya dengan Profesor Snape sehingga bisa mengungguli Hermione di kelas Ramuan. Sayangnya semua itu tidaklah benar. Malfoy menghabiskan banyak waktu untuk belajar menempuh ujian hanya supaya dapat menyalip Hermione. Ia sama sekali tak menggunakan cara-cara licik khas Slytherin dalam bersaing dengan Hermione di bidang akademik.

Dan tentang mengencani banyak gadis… err, sebenarnya ia tak pernah menginginkan hal itu. Gadis-gadis itu sendiri yang datang dan merayunya. Sebenarnya ia jijik dengan gadis-gadis murahan seperti itu, dan tak satu pun di antara mereka yang mampu menyaingi Hermione di hatinya. Namun akhirnya setelah berpikir panjang, ia mencoba untuk mengencani gadis-gadis yang datang padanya itu. Harapannya hanya satu, dapat melihat Hermione cemburu. Itu saja. Tapi yang terjadi malah Hermione semakin mengabaikannya, seolah-olah ia mahluk kasat mata. Menyedihkan, bukan?

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dunianya dan Hermione benar-benar berbeda. Hermione seorang darah lumpur, sedangkan dirinya adalah keturunan darah murni. Kalau pun Hermione mencintainya setengah mati, tetap saja kedua orangtuanya tak akan pernah menyetujui mereka. Ya, bahkan yang mengerikan pada libur Natal kali ini kedua orangtuanya sepakat melangsungkan pertunangannya dengan Astoria Greengrass. Oh, ternyata orangtuanya benar-benar berambisi menjaga kemurnian darah keturunan Malfoy dengan menjodohkan dirinya dengan Greengrass yang sama sekali tidak ia cintai itu.

Itulah kenapa Natal kali ini ia tak pulang ke Malfoy Mannor. Ia sengaja kabur dari pertunangan bodoh itu. Tak tahu entah sampai kapan ia dapat berlaku layaknya anak kecil seperti sekarang. Tapi ia hanya ingin bersama-sama dengan Hermione Granger. Itu saja. Namun ‘saja’  baginya itu terasa begitu mustahil.

Jadi selama libur Natal, Malfoy pergi ke dunia muggle. Ia begitu kaget melihat duniamuggle yakni tempat Hermione berasal ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan selama ini. Perlahan ia mulai menyukai dunia muggle beserta alat-alat yang mereka gunakan. Malfoy juga mulai menyukai pakaian muggle, seperti yang sekarang ia kenakan. Ia sengaja tak menggantinya dengan jubah sihir ketika hendak menaiki kereta tadi. Oh, kalau sampai orangtuanya tahu bahwa ia menganggap jubah sihirnya terlihat kolot dibandingkan pakaian muggle, apakah orangtuanya akan mendadak gila?

Tiba-tiba pikirannya melayang pada suatu siang ketika ia di dunia muggle. Waktu itu cuaca sedang dingin-dinginnya di bulan Desember. Ia mengenakan mantel kulit berwarna cokelat muda, dengan syal kelabu yang membebat leher. Susah payah ia menahan giginya agar tak bergemeletuk serta menjaga langkahnya sepelan mungkin ketika menjejakkan kaki di atas trotoar yang dipenuhi hamparan putih salju. Malfoy tak ingin tindakannya itu ketahuan oleh Hermione yang saat itu berjalan dengan kecepatan penuh di depannya.

Entah pikiran apa yang merasuki Malfoy sampai-sampai ia mesti menguntit Hermione hari itu. Ia hanya penasaran hendak ke manakah gadis yang saat itu menutupi rambut semaknya dengan sebuah topi rajut berwarna merah cerah di tengah cuaca dingin tak bersahabat yang membuat tulang-tulang terasa sengal?

Hermione masih terus memacu langkahnya dengan bersemangat. Seolah cuaca dingin tak benar-benar dirasakannya. Gadis itu mengenakan atribut yang didominasi dengan warna Gryffindor pada hari itu. Topi rajut, mantel kulit,  bahkan sepatu botnya pun berwarna merah. Malfoy tak tahu apakah gadis di depannya saat itu benar-benar mencintai Gryffindor ataukah hanya sekedar ingin ikut memeriahkan Natal yang selalu identik dengan warna merah.

Tak beberapa lama kemudian, Hermione tampak berbelok ke sebuah gedung yang letaknya di pinggir kanan jalan. Sepertinya itu sebuah perpustakaan kota. Malfoy baru saja ingin menyusul Hermione dengan setengah berlari manakala mendengar sebuah suara yang berasal dari belakang tubuhnya.

“Hei, Anak Muda. Ya, benar, kau yang bersyal kelabu,” ujar seorang perempuan gipsi dengan jemarinya yang bengkok serta gelang-gelang yang begitu banyak melingkari kedua pergelangan tangannya menunjuk ke arah Malfoy yang ketika itu baru saja membalikkan badan.

Dengan ragu, Malfoy melangkah mendekati perempuan gipsi itu. Dari jarak dekat, Malfoy dapat melihat dengan jelas nyala lain di mata perempuan renta itu yang seakan tahu segala rahasia dan apa yang tengah lelaki pirang itu pikirkan. Dagu perempuan itu begitu lancip dengan kulit di sekitar pipinya yang bergelambir termakan usia. Kulitnya sewarna cokelat terang, seakan telah begitu sering terpanggang sinar matahari. Si perempuan gipsi itu memegang tongkat kayu yang bercat hitam untuk menyangga tubuh rentanya.

Tanpa aba-aba, ia meraih tangan kanan Malfoy dengan jemari kirinya yang ringkih. Perlahan ia membuka telapak tangan Malfoy  dan mulai menelusuri jejak garis tangan yang terlukis di permukaan telapak pemuda itu sebelum pada akhirnya memelototkan matanya yang begitu mengerikan. Beberapa detik setelahnya ia melepaskan tangan kanan Malfoy itu dengan jemari bergetar.

“Ada apa?” tanya Malfoy yang begitu penasaran begitu menangkap ekspresi wajah perempuan gipsi yang berubah menakutkan.

“Oh, Anak Muda, ternyata memang benar apa yang kuduga…” sahutnya dengan nada ketakutan sambil mencengkeram kepala tongkatnya dengan kedua tangannya.

“Memangnya apa yang sudah kau duga?” tanya Malfoy yang mulai tak sabar menghadapi perempuan gipsi di hadapannya itu.

“Aku melihat aura gelap dalam dirimu tadi. Dan ternyata memang benar…”

“Aura gelap seperti apa, maksudmu?” Malfoy terus mengejar perempuan gipsi itu dengan pertanyaannya.

“Maafkan aku, Nak. Aku sungguh menyesal harus mengatakannya,” ujar perempuan gipsi dengan matanya yang bergerak-gerak liar menatap iris kelabu Malfoy saat itu. “Aku melihat kematian, Nak. Sebuah kematian yang akan datang dalam waktu dekat padamu,” desisnya dengan mimik ketakutan sebelum menepuk pelan lengan Malfoy yang masih bergeming di tempatnya. “Kuharap kau mempersiapkan diri sebaik mungkin.”

Setelah mengatakan kata-kata yang tak pernah Malfoy ingin dengarkan itu, si perempuan gipsi pun akhirnya berjalan pergi meninggalkan pemuda jangkung itu seorang diri. Suara ketukan tongkat perempuan gipsi itu seketika bagai irama pengantar kematian di telinga Malfoy. Ia bahkan tidak merasakan lagi dinginnya butiran salju yang jatuh dan mencair di atas rambut pirang platinanya. Seakan semua inderanya mati setelah mendengar apa yang dikatakan perempuan gipsi sialan itu.

Mati?

Malfoy terkekeh geli bercampur ngeri. Ia menatap nanar pada kendaraan dan pejalan kaki yang terus bergerak tanpa henti memadati jalan arteri kota London itu. Malfoy mulai bertanya dalam hati, pernahkah orang-orang di sekitarnya itu berhenti sejenak dari pergerakan mereka hanya untuk bertanya kepada diri mereka sendiri;kapan mereka akan mati?

Malfoy tak mengerti dengan dirinya saat itu. Kenapa ia mesti mempercayai perempuan gipsi yang datang entah dari mana itu? Padahal sebelumnya ia sama sekali tak pernah percaya dengan ramalan dan hal-hal sejenisnya. Bahkan di kelas Ramalan yang diajar oleh Profesor Trelawney , a seringkali tertidur alih-alih tertarik melihat Profesor Trelawney menerawang ke dalam bola kristal ajaibnya yang katanya dapat melihat masa depan itu.

Tapi perempuan gipsi itu bukanlah Profesor Trelawney. Entah kenapa Malfoy seakan telah tertulari oleh pancaran rasa takut dalam mata perempuan gipsi itu ketika menatapnya.

Pikiran Malfoy akan perempuan gipsi dan ramalan bodohnya seketika terhenti manakala mendengar teriakan berang Herimione yang disusul oleh tumbukan sebuah buku di kepalanya.

“Ada apa sih, Granger?” desis Malfoy sambil mengusap-usap puncak kepalanya yang baru saja terkena lemparan buku Hermione.

“Apa kau tuli sekarang, Malfoy? Aku sudah mengulang pertanyaanku sejak tadi,” sungut Hermione sambil merampas buku yang tadi ia gunakan untuk melempar dari genggaman Malfoy.

“Oh, ya? Mungkin aku memang sudah tuli. Kupikir kau benar. Memang kau ingin bertanya tentang apa Nona-Tahu-Segala?” canda Malfoy menatap wajah Hermione yang mengerut tak suka.

“Coba jelaskan padaku apa yang telah terjadi padamu, Malfoy? Kenapa kau mengenakan pakaian dan atribut muggle seperti itu, uh?” tunjuk Hermione pada pakaian yang dikenakan Malfoy dengan mata yang sengaja disipitkan untuk mengintimidasi lawannya.

Hermione menatap curiga begitu melihat penampilan Malfoy hari itu. Ia sama sekali menyesal karena tak menyadari hal itu sejak awal. Saat itu Malfoy mengenakan kemeja kelabu yang lengannya ia gulung sebatas siku sehingga memperlihatkan kulit lengannya yang begitu pucat. Lelaki pirang itu juga mengenakan bawahan berupa celana panjang hitam berbahan kain. Sepasang sepatu pantofel yang ia kenakan juga tampak mengilat. Oh ya, Hermione baru menyadari sebuah arloji berantai perak merekat manis di pergelangan kiri Malfoy saat itu. Ada apa sih dengannya, pikir Hermione mengerutkan dahinya dan tak bisa berkedip menatap Malfoy.

“Kenapa, Granger? Apakah aku terlihat jauh mempesona dengan pakaian seperti ini?” kekeh Malfoy sambil menyisir pelan rambut depannya dengan jemari tangannya. Hal yang sering ia lakukan bila ingin mencuri perhatian lawan jenisnya. “Jangan bilang kalau kau suka padaku lantaran melihatku berpakaian seperti ini, Granger?” Malfoy menaikkan sebelah alisnya dan menyeringai lebar begitu melihat Hermione mengatupkan bibirnya sekuat tenaga, seolah menahan amarah. Kini Malfoy dapat melihat dengan jelas bagaimana rahang Hermione yang mengeras. Dan entah kenapa hal itu membuat wajah gadis yang ia sukai itu bertambah lucu di matanya.

“Oh, aku menyesal telah berbicara dengan orang yang tak tahu adat sepertimu, Malfoy. Dan jika kau terus saja mengoceh tak penting, aku akan segera mengeluarkanmu dari kompartemen ini!”

Sungguh ciri khas Hermione Granger. Ia tak akan mampu menahan emosinya, terlebih bila berhadapan dengan Malfoy. Hermione baru saja mengempaskan buku yang tadi ia baca di atas meja pemisah antara dirinya dan Malfoy dan mencodongkan wajahnya ke arah lelaki itu. Sampai-sampai Malfoy dapat melihat dengan jelas iris cokelat madu milik Hermione berbinar mengerikan.

“Tak bisakah kau tidak meneriakiku, Granger?” tanya Malfoy sambil melengos menatap pintu kompartemen. Ia tak berani menatap Hermione dari jarak sedekat itu.

“Apa hakmu untuk mengaturku supaya tidak berteriak, memukul, dan bahkan mengusir dirimu dari sini Malfoy? Aku bukanlah peri rumahmu yang bisa kau atur dan kendalikan,” desis Hermione di dekat telinga Malfoy yang membuat wajah Pangeran Slytherin itu seketika memanas.

Beberapa detik kemudian, Malfoy akhirnya dapat menghela napas lega begitu menyadari Hermione mulai menjauh darinya. Perlahan ia melemparkan pandangan ke arah Hermione yang rupanya saat itu masih menatap murka padanya. “Jaga sikapmu, Malfoy, kalau kau tak ingin aku depak dari kompartemen ini,” ujar Hermione sebelum menutupi wajahnya kembali dengan buku yang tadi sempat ia baca.

Mereka tak berbincang-bincang lagi setelah itu, sampai bunyi berkelontang di koridor kereta diikuti decitan roda yang menggesek lantai koridor memecah senyap yang merambati keduanya. Baik Malfoy maupun Hermione seketika melemparkan pandangan ke arah pintu kompartemen begitu mendengar pintu itu bergeser dan terbuka dari arah luar.

“Permisi, apa ada yang ingin membeli makanan?” Seorang perempuan paruh baya dengan gincu merah cabai tersenyum ke arah Hermione dan Malfoy sembari jemari lentiknya menunjuk ke arah troli penuh aneka makanan yang ia bawa.

“Oh, ya, tentu,” sahut Hermione merogoh saku celananya sambil berkata, “Pastel labunya. Satu saja.” Setelah berkata seperti itu, Hermione menyerahkan beberapa keping uang pada si gincu merah cabai.

Malfoy melihat Hermione menatap ke arahnya, seolah bertanya apakah ia ingin membeli makanan juga atau tidak. Malfoy yang dapat membaca bahasa tubuh Hermione saat itu akhirnya berkata, “Tidak, aku tidak ingin membeli apa pun.”

Akhirnya si gincu merah cabai pergi dan menutup kembali pintu kompartemen. Bunyi kelontang dan decit roda troli si perempuan itu lesap bergantikan keheningan yang kembali merayapi kompartemen tempat Malfoy dan Hermione berada.

Hermione menatap lapar pada sepotong pastel labu berlapis kertas kue yang tergeletak pasrah di atas meja. Begitu ia ingin meraih pastel itu, sebuah tangan pucat ternyata bergerak mendahuluinya.

Malfoy memberi seringai penuh kemenangan begitu melihat Hermione menatapnya dengan bola mata yang nyaris hendak keluar. Seakan tak mempedulikan reaksi Hermione, Malfoy menggigit bagian ujung potongan pastel labu yang ia pegang itu dengan penuh perasaan. “Hmm, sungguh pastel yang enak sekali, Granger,” ujar Malfoy yang sengaja memancing amarah Hermione sambil mengusap sudut-sudut bibirnya dengan ibu jarinya.

Setelah melakukan itu semua, Malfoy mengembalikan sisa potongan pastel labu milik Hermione yang telah ia gigit tadi di atas meja. Melihat hal itu, Hermione menatap Malfoy dengan sebal, seakan hendak menjambak rambut pirang platina yang tengah menyeringai puas ke arahnya itu sekuat tenaga.

Thanks, Granger untuk pastelnya. Aku hanya mencicipinya sedikit saja, kok. Makanlah…” ujar Malfoy sembari menyandarkan kepalanya pada kursi di belakangnya.

Entah karena suara mesin kereta yang sendu atau suara amukan Hermione yang begitu merdu di telinganya, Malfoy kini diserang kantuk. Ia mencoba untuk membuka matanya, tapi godaan untuk tidur terasa jauh lebih besar. Seakan ada begitu banyak beban yang menggantung di pelupuk matanya sekarang.

“Dengar, Malfoy, aku tak akan pernah memakan makanan sisa darimu sampai kapan pun. Tidak akan pernah!”

Hermione kembali menyilangkan kedua tangannya dan melengos menatap jendela kereta yang saat itu memperlihatkan kelokan sungai kecil yang tampak berkilau tertimpa cahaya matahari senja. 

“Aku tak ingin kau kelaparan, Mione. Makanlah itu…”

Malfoy bergumam dengan kedua matanya yang terpejam, seakan-akan bersiap hendak tidur. Dasar si pirang licik, maki Hermione saat itu.

“Sudah kubilang, Malfoy, aku tidak akan—Tunggu! Tadi barusan kau memanggilku dengan apa?”

Hermione seketika menatap tajam kepada wajah pucat Malfoy yang saat itu telah mengatupkan kedua matanya. Ah, sialan, kenapa dia harus tertidur sekarang, sih? Hermione benar-benar tidak dapat merasa tenang.

Jelas sekali tadi ia mendengar Malfoy memanggilnya dengan nama depannya. Dan kenyataan itu membuat jantung Hermione berdegup lebih kencang. Seakan ada begitu banyak darah yang mendadak mesti diedarkan dengan cepat ke seluruh tubuhnya saat itu juga.

Ah, tidak, apakah semua itu hanyalah candaan Malfoy saja? Apakah lelaki bodoh di hadapannya itu memang sengaja mempermainkan perasaannya seperti sekarang?

Hermione terus saja menunggu Malfoy terjaga dari tidurnya. Setiap beberapa menit sekali ia menatap wajah pucat yang terlelap di hadapannya itu. Tak ada tanda-tanda Malfoy akan segera terjaga. Sepertinya ia benar-benar kelelahan entah karena apa, pikir Hermione.

Perut Hermione menggeram beberapa kali sejak tadi seakan hendak menyaingi deru mesin kereta api saja. Ia sudah tak tertarik lagi pada buku yang ia baca. Ketika gadis berambut semak itu melirik arlojinya, ia terlonjak begitu mengetahui bahwa sudah pukul tujuh malam saat itu. Perlahan ia mulai menatap pada potongan pastel labu sisa gigitan Malfoy yang tergeletak di atas meja. Seakan-akan pastel itu menjerit meminta Hermione untuk segera memakannya.

Hermione memang begitu lapar. Pasalnya sejak pamit dari rumah tadi, ia tak ada makan apa pun. Hermione meneguk ludahnya beberapa kali tiap kali matanya tertumbuk pada pastel labu menggiurkan itu.

Oh, tidak, tidak. Pastel itu bekas gigitan Malfoy. Lagipula ia sudah mengatakan keras-keras pada Malfoy tadi bahwa ia tak akan pernah  memakan pastel itu. Ia akan sangat malu sekali jika Malfoy mengetahui bahwa ia menelan kata-katanya sendiri.

Di saat Hermione sibuk berpikir, perutnya kembali bergemuruh. Perut sialan, pikir Hermione. Ia pun akhirnya meraih pastel labu itu dan melahapnya hingga tandas. Kini perut Hermione mulai tenang dan berhenti meraung. Namun kenyang juga ternyata menimbulkan efek yang tidak baik baginya. Ia kini mulai mengantuk. Padahal ia masih ingin sekali melanjutkan aktivitasnya membaca buku-bukunya.

Oh, sungguh, ia benar-benar harus tidur sekarang…

***

“Jangan mendekat, menjauhlah dari anakku!” teriak Narcissa mengibaskan tangannya untuk mengusir Bellatrix Lestrange sejauh mungkin dari jangkauannya.

“Maafkan aku, Narcissa. Aku hanya ingin melihat Drake untuk yang terakhir kalinya,” ujar Bellatrix menggerung dengan rambut yang tergerai acak-acakan. Ia berlutut di atas lantai Malfoy Mannor yang dingin dengan bersimbah air mata.

Beberapa meter di hadapan Bellatrix tergeletak peti berwarna putih yang dihias bunga di sekelilingnya. Tanpa melihatnya pun, Bellatrix tahu siapa yang terbaring tak bernyawa di dalam sana. Dia adalah Draco Malfoy, keponakan tercintanya.

“Aku tak akan pernah mengizinkanmu,” teriak Narcissa yang terlihat begitu frustasi sambil bergerak ke arah Bellatrix berada dan mendorong wanita itu sekuat tenaganya sehingga tubuh Bellatrix terjungkal ke belakang. “Pergi! Kubilang pergi dari sini! Aku tak sudi melihatmu lagi di rumah ini!” Narcissa menunjuk pintu ruang tamu dengan telunjuknya yang ramping, mengusir Bellatrix yang kini tercengang di hadapannya. “Kau, kau telah membunuh anakku, Bella. Sampai mati pun aku tak akan pernah bisa memaafkanmu.” Kini telunjuk Narcissa telah berpindah ke depan wajah saudara kandungnya sendiri. Bellatrix dapat melihat bagaimana telunjuk Narcissa bergetar tak berdaya. Lucius segera menghampiri Narcissa dan mencoba untuk menenangkannya dengan merangkul bahu sang istri yang begitu terguncang saat itu.

“Maafkan aku, Narcissa, Lucius… aku benar-benar tidak sengaja melakukan ini semua. Awalnya aku hanya ingin membunuh si Granger saja, tak kusangka bahwa aku juga malah mengakhiri nyawa keponakanku sendiri.” Bellatrix sekuat tenaga menahan getar tubuhnya dengan menautkan jemarinya satu sama lain sekuat mungkin. “Semula aku pikir dengan menyingkirkan Granger, Drake akan setuju untuk bertunangan dengan Astoria. Maka dari itu aku menggunakan ramuan Polijus untuk menyamar menjadi seorang wanita penjaja makanan di kereta. Sebelumnya, aku telah menabuhkan ramuan-ramuan mematikan pada makanan-makanan yang kubawa di dalam troliku. Aku sangat percaya diri bahwa usahaku itu akan berhasil. Sebab aku begitu hafal kebiasaan Drake yang tidak akan sudi memakan jajanan di kereta yang tidak jelas seperti itu.” Kini Bellatrix memberanikan diri untuk menatap Narcissa dan Lucius yang saat itu tepat berada di hadapannya. Ia ingin mereka melihat bahwa ia sama sekali tidak berbohong dengan apa yang dikatakannya. “Dan aku sangat ingat bahwa saat itu Drake tak membeli satu jajanan pun. Hal itu tepat seperti prediksiku. Sebaliknya si Darah Lumpur itu membeli sepotong pastel labu. Ya, hanya itu. Tapi aku benar-benar tak menyangka bahwa Drake—“

“Sudah cukup, Bella! Pergilah, kubilang pergi dari sini! Kau telah membunuh Drake-ku. Satu-satunya anak kami. Kenapa kau melakukan itu, Bella? Kenapa kau harus bertindak sejauh itu? Aku tak pernah menyuruhmu untuk melakukan itu semua, Bella,” Narcissa menekan erat bagian dadanya, seakan hal itu dapat mengurangi sesak yang kian berkembang di dalam tubuhnya. Kini Lucius menarik tubuh lemah istrinya untuk masuk ke dalam pelukannya. Tangisan Narcissa meledak seketika, bahkan bahu Lucius yang bidang tak cukup untuk meredam tangisannya.

“Pergilah, Bella. Jika kau masih terus di sini, aku tak akan segan-segan untuk menjebloskanmu ke Azkaban sekarang juga! Dan ingat, jangan pernah berani kau injakkan kaki kotormu itu kemari lagi. Mulai sekarang kita bukan lagi keluarga. Pergilah!”

Lucius yang sejak tadi tak bersuara akhirnya berteriak lantang dengan nada penuh kekuasaan untuk mengusir Bellatrix dari Malfoy Mannor. Mendengar perkataan Lucius, Bellatrix pun mau tak mau mencoba bangkit dari posisi bersimpuhnya. Lututnya luar biasa bergetar. Ia mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin untuk menyeret langkahnya agar mampu keluar dari Malfoy Mannor dengan diiringi tatapan murka dari Narcissa dan Lucius.

Setibanya di pelataran, Bellatrix membalikkan badannya, melihat Malfoy Mannor untuk yang terakhir kali. Kini ia tak tahan lagi untuk terus berpura-pura kuat. Bellatrix terisak menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan yang terasa dingin, sedingin hati dan perasaannya saat itu.

“Bibi Bella! Bibi Bella, tunggu! Jangan pergi, Bibi Bella!”

Bellatrix yang baru saja hendak melangkahkan kakinya menjauhi kawasan Malfoy Mannor seketika tersentak begitu mendengar suara yang begitu dikenalinya itu. Secepat kilat ia membalikkan badannya dan menggores sepotong senyum di bibirnya.

“Drake?”

Mata Bellatrix yang sembab mencari-cari ke segala penjuru, mana tahu ia dapat melihat sesosok pemuda jangkung dengan rambut pirang platina yang amat mencolok berada di sekelilingnya. Namun, setelah lama mencari, ia tetap saja tak menemukan Drake—keponakan tercintanya itu di mana pun juga.

Kini Bellatrix mengerti bahwa ternyata memang tidak ada siapa pun yang memanggil dan membuntutinya. Tidak juga Drake. Itu semua tak lebih dari bayangan rasa bersalah yang terus membuntutinya layaknya jejak kakinya sendiri.

Tak ada tempat yang dapat menyembunyikannya dari rasa bersalah itu. Tidak di mana pun juga.

“Drake Sayang, maafkan Bibi Bella, Nak…” ujar Bellatrix yang kini bersimpuh dan mencium tanah, seakan tanah itu menjelma menjadi Draco Malfoy keponakannya.

-Fin-

Continue Reading

You'll Also Like

151K 11.5K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
91.3K 11.7K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
YES, DADDY! By

Fanfiction

304K 1.8K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
725K 67.8K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...