SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

24. To Pieces

1.8K 323 54
By Arabicca69

Instrumental Credit:

Wonderland Original Piano Composition by. Jurrivh 🖤🖤🖤

Chapter ini mungkin akan sangat membosankan. Selamat membaca!

Saat Disza Anszani selesai diperiksa, Dimas menyempatkan diri untuk menemuinya sebelum dia kembali dibawa ke ruang interogasi Divisi Pembunuhan. Suara dehaman dari mulutnya agaknya mengejutkan gadis yang tengah duduk sembari menatap ke luar jendela itu. Tanpa tedeng alih-alih, Dimas langsung memutar kursi roda Disza menghadapnya. Kemudian, menyodorkan sebuah buku usang ke hadapan gadis itu. Disza Anszani serta-merta mendongak. Raut wajahnya masih tampak pucat. Dengan dahi terlipat dan raut tidak suka, dia meraih buku yang diberikan Dimas ke dalam pelukannya.

Dimas kembali berdeham untuk mengatasi rasa gugupnya. "Buku itu ...," katanya ragu-ragu. "... kenapa bisa ada padamu?" sambungnya lagi, tidak ingin berbasa-basi. Dimas sudah cukup lama menahan diri. Jawaban Disza akan sangat menentukan hatinya. Tentang siapa dan apa hubungan yang gadis itu miliki dengan Letnan Samsuri, Dimas rasa dia memang harus mencari tahu.

Sembari mengacungkan buku itu ke arah Dimas, Disza menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?" Dia kemudian menjeda sebentar. "Apa Bapak kenal polisi ini?"

Dimas memejamkan matanya sejenak. Rasanya sungguh tidak keruan. Dipanggil dengan sebutan semacam itu membuat Dimas merasa seakan tua. Dimas harusnya sadar diri dan tidak banyak menuntut. Sebab pastinya, bagi gadis itu, dia hanyalah orang asing yang numpang lewat.

"Iya," jawab Dimas kemudian. "Apa hubunganmu dengan polisi itu? Kenapa kau menyimpan jurnal penyelidikannya dalam tasmu?"

Sesaat Disza tersentak mendengar pertanyaan Dimas yang seperti menerornya. "Bagaimana Bapak bisa kenal dengan polisi ini?" Namun, yang Dimas dapati dia malah balik bertanya.

Dimas menggeram sebentar. Sepertinya Disza ini tipe orang yang suka membolak-balikkan pertanyaan. Justru Dimas yang merasa sedang dikuliti sekarang. Namun, Dimas tidak membiarkan dirinya mengalah sedikit pun. Dia terus memberondong pertanyaan, sampai Disza mau menjawabnya.

"Apa mungkin ... dia ayahmu?" tanyanya lagi dengan nada ragu, yang langsung ditanggapi gadis itu dengan tawa samar.

Gadis itu lantas menggeleng. "Bukan," Masih dengan sisa tawanya yang lama-kelamaan jadi senyum tipis. "Ayahku adalah seorang dokter forensik. Dia menghilang saat sedang membantu menangani kasus di Batam. Sudah lama sekali. Lalu tanpa sengaja aku menemukan jurnal ini di antara barang-barang milik Ayah."

Kalimat yang dia lontarkan menjawab semua peryataan Dimas. Sembari mengusap rambut, Dimas mendesah cukup panjang. Kalau Disza Anszani bukan putri Letnan itu berarti dia juga tidak tahu bagaimana Letnan Samsuri meninggal.

Sesaat kemudian Dimas justru dibuat tercenung oleh Disza Anszani. Cukup lama, dia mendengarkan cerita hidup gadis itu yang dengan suka rela diceritakannya pada Dimas. Sama sepertinya, Disza pun rupanya sering mencari berita lama dalam koran-koran di Pusat Arsip Nasional. Memeriksa setiap gulungan koran, dari masa orde lama sampai jaman milenial, baik itu milik kantor berita yang sudah gulung tikar dan yang masih berjaya, namun sayang berita tentang ayahnya—yang dia cari-cari selama ini—tidak ada di mana pun.

"Ibu tidak pernah mau menceritakannya, bahkan sampai akhir hayatnya." Disza menunduk, tangannnya meraba permukaan jurnal penyelidikan milik Letnan Samsuri. "Aku pikir bisa mendapat jawabannya jika bertemu dengan polisi ini, tapi ternyata ... dia pun sudah meninggal."

Hati Dimas serasa mencelus, seakan dipaksa lepas dari rongganya. Bukan hanya Kapten Depari, Disza pun juga mengatakan hal yang sama tentang Letnan Samsuri. Sejak kemarin Dimas penasaran, bagaimana kronologi kematian Letnan itu, tapi dia sendiri pun tidak tahu harus pada siapa dia menanyakan.

"Siapa nama ayahmu? Aku mungkin bisa membantu mencarikan kasusnya di Asrip Kepolisian."

Dimas ingin tergelak mendengar ucapannya barusan. Soal Letnan Samsuri saja dia serahkan pada Aryan, sekarang dia justru menawarkan bantuan pada gadis ini.

"Haszni Yusuf." Disza menggumam sebentar sebelum berkata lagi. "Sebenarnya aku sudah minta bantuan sama Briptu Aryan."

"Oo?" Dimas hanya bisa mengangguk kaku sembari menggaruk belakang kepalanya.

"Sepertinya kau kenal dekat dengan Aryan." Dimas sedikit memutar topik pembicaraan. Membuat gadis itu senyaman mungkin saat Dimas mulai mendorong kursi rodanya ke ruang interogasi.

Ketika melihat senyum terbit di wajah gadis itu, Dimas sadar sepertinya dia memang tidak punya kesempatan. Disza bilang, Aryan adalah seniornya di sekolah dulu. "Tidak bisa dibilang senior juga, sih," ceritanya agak melantur. Karena sewaktu Disza duduk di bangku kelas dua SMP, Aryan sudah kelas tiga SMA. Mereka tidak begitu mengenal satu sama lain, hanya saja mereka pernah beberapa kali berpapasan di kantin sekolah.

Dimas lalu membuka pintu saat mereka sampai di depan ruang interogasi satu. Dia menuntun Disza Anszani masuk ke dalam. Evan ternyata sudah menunggu di sana. Sesaat kemudian Dimas pun keluar. Buru-buru berderap masuk ke ruang interogasi dua yang letaknya tidak jauh dari ruang interogasi satu, di mana Rudi Ardian dia tinggalkan di sana untuk menyantap makanan.

"Apa kau sudah kenyang?" sentak Dimas sembari menatap pria berkepala pelontos itu. Dia mengetuk-ngetuk meja interogasi dengan bolpen, meminta Rudi Ardian kembali berfokus padanya. Dimas sudah memberi waktu istirahat yang cukup untuk Rudi mengisi perut dengan nasi bungkus.

"Kau ingin ke toilet?" tawarnya, yang sama sekali tidak digubris Rudi.

Dimas melihat Rudi tampak lesu di kursinya. Pikirannya melayang-layang entah ke mana. Pada sesi interogasi sebelumnya, Dimas memang sempat menyentilnya dengan menanyakan, akan dia gunakan untuk apa uang milyaran hasil penjualan lahan tersebut. Dia bilang, dia ingin membahagiakan Rania dan Putri. Setelah menikah nanti, dia akan mengajak mereka tinggal di tempat yang layak. Tetapi rencana bahagia itu tampaknya harus Rudi kubur dalam-dalam. Betapa memalukannya semua ini. Para polisi menggelandangnya saat dia sedang menghabiskan waktu bersama Rania dan Putri dalam apartemen. Rudi Ardian hanya bisa mendesah-desah dengan wajah pasrah. Masa depan yang baru saja ingin dia rajut sepertinya terancam kandas di tengah jalan.

Ingatan Rudi tampaknya sudah siap dikorek. Namun, alih-ali bertanya soal kerangka-kerangka itu, Dimas justru menanyakan perihal Disza Anszani padanya.

"Rudi, kenapa saat berpapasan di koridor, kau berteriak pada Disza Anszani, kalau seharusnya dia sudah mati? Apa kau mengenalnya?"

Dimas menunggu. Setelah sebelumnya menjejali Rudi dengan remahan kue, sudah saatnya untuk memberi hidangan penutup.

"Apa yang kau lakukan pada tanggal 2 Januari mulai pukul sepuluh sampai dua belas malam?"

Bola mata pria itu berputrar-putar di atas langit-langit, berharap jawaban pamungkas untuk pertanyaan Dimas barusan akan dia dapati di sana.

"Disza Anszani di serang pada malam itu di rumah lamamu. Apakah secara kebetulan malam itu kau ada di sana?"

Dimas merasa cukup percaya diri. Pertanyaan ini akan membawanya pada masa lalu Rudi. Masalahnya, semua tidak semudah itu. Rudi Ardian lagi-lagi menggunakan haknya untuk diam. Dimas yang merasa kesal, kali ini menggebrak meja dengan kuat, cukup membuat pria itu mengejang sejadi-jadinya.

"Diam hanya akan membuatmu kesulitan," kata Dimas dengan nada tinggi yang berangsur-angsur melunak. Dia memajukan tubuhnya mendekat pada Rudi. "Bersikaplah kooperatif. Kalau kau memang tidak bersalah, kau bisa kembali secepatnya pada Rania dan Putri."

Bersikap lembek memang bukan keahlian Dimas. Bagaimanapun, saat ini pihak kepolisian menginginkan ingatan Rudi sembilan belas tahun yang lalu, di mana pada masa itu dia hanyalah seorang anak kecil yang diabaikan oleh orang tuanya. Dimas tidak mau Rudi justru berteriak-teriak seperti orang gila dalam ruang interogasi.

Tanpa diduga-duga, pelan-pelan Rudi menganggukkan kepala, kemudian mulutnya pun mulai bercerita ....

Dimas menyimaknya dengan wajah tercengang-cengang, hingga dia tidak bisa lagi menghitung berapa banyak mulutnya dibuat terngaga. Berulang kali Dimas mengusap wajahnya gusar. Merasa tidak percaya dengan fakta ini; "Jadi kau tahu kalau ada seseorang yang dikubur di tanah warisan ayahmu?"

Rudi mengangguk meski tidak begitu kentara. "Malam itu aku pergi ke sana untuk memastikan. Firasatku sungguh tidak enak ...." Dia menjeda untuk meneguk air ludah gugup. "... setelah menerima uang milyaran itu."

Entah bagaimana Disza Anszani bisa melewati jalan itu—padahal lokasinya gelap gulita—dan memergokinya. Gadis itu meneriakinya 'maling, maling'. Membuat Rudi terpaksa menyerangnya sampai gadis itu tidak sadarkan diri.

"Bukannya membawa ke rumah sakit, kau malah membuangnya di jalur Kilometer 13?!"

Rudi mengangguk, menyesali perbuatannya. "Aku sangat panik. Kupikir dia sudah—"

"Ini namanya percobaan pembunuhan!" potong Dimas geram.

"Tidak! Tidak! Aku tidak berniat membunuhnya!" sesal Rudi dengan sangat. Dia menggeleng frustasi. Seandainya saja dia tidak pergi ke sana malam itu ....

Rudi menggeleng lagi. Penyesalan itu seharunya ditarik lebih jauh. Ya. Seharusnya dia memang tidak perlu menerima negosiasi itu. Seandainya saja dia tidak menjual rumah tersebut, maka semua tidak akan jadi seperti ini.

Rudi tidak pernah mengira kalau ternyata ada puluhan kerangka yang terkubur di sana. Kalau saja dia tahu, maka dia akan tetep kekeuh, apapun yang terjadi, mempertahankan lahan dan rumah reyot itu meski uang triliunan disodorkan padanya.

"Kupikir cuma satu orang, tapi rupanya ...."

"Jadi, kau datang ke sana malam itu untuk menggali sebuah makam?" Perlahan-lahan Dimas menuntunnya untuk mengingat.

Dilihatnya Rudi mengangguk. Dimas langsung memindai informasi tersebut ke dalam laptop. Sebelum dilakukan pembongkaran lahan, Rudi berniat memastikan terlebih dulu. Dalam ingatan masa kecilnya, Rudi pernah melihat ada sebuah tangan manusia yang menyembul di halaman rumahnya—terkubur di tanah warisan tersebut. Sampah yang menggunung di mana-mana membuatnya kesulitan mencari lokasi pasti di mana dia pernah melihat tangan itu. Dia menggali tanah di lahan itu dengan sekop. Namun, belum juga selesai, Disza Anszani keburu melihatnya. Pakaian serba hitam dan penutup kepala yang dikenakannya membuat Disza Anszani salah mengira dirinya pencuri. Merasa panik, dia pun menyerang Disza Anszani dengan sekopnya. Membawanya masuk ke dalam rumah saat Disza terus saja berteriak nyalang.

Rudi berkata lagi, bahwa dia sama sekali tidak tahu siapa orang yang dikubur di sana. Dia pun tidak begitu yakin, apakah benar memang ada seseorang yang terkubur di sana. Sembilan belas tahun sudah berlalu, jasad itu pasti sudah tinggal tulang belulang.

"Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau ada manusia yang dikubur di sana?" Dimas terus menggali keterangan dari Rudi, sementara tangannya bekerja cepat mengetik di atas keyboard laptop.

"Anjing ...," lirih pria itu pelan, yang serta-merta membuat Dimas terenyak.

"Anjing?" ulangnya memastikan. Dimas kemudian berhenti mengetik. Ditatapnya Rudi lamat-lamat dengan hati mencelus.

Rudi mengangguk. "Iya, karena anjing itu." Dia terlihat berusaha mengingat. "Dulu, ada seekor anjing yang tiba-tiba mendatangi rumah kami," ceritanya kemudian. "Anjing itu ... entah kenapa ... selalu duduk di dekat pohon pisang. Menggonggong keras siang dan malam ... sampai-sampai warga sekitar tidak suka padanya. Anjing itu lalu dipukuli ... tapi dia tetap tidak mau pergi."

Sembari mendengarkan cerita Rudi yang tersendat ingatan, pikiran Dimas melayang Jauh. Mendadak dia teringat dongeng Santini tentang Hachiko. "Apa anjing itu mirip serigala?" tanyanya berusaha meyakinkan.

Rudi mengernyit bingung, terlihat tidak yakin. Ada sebagian ingatan yang tampaknya tumpang tindih dalam kepalanya. Bagaimanapun kejadian itu sudah lama sekali. Dimas berusaha memaklumi. Tiba-tiba dia tersenyum kecut. Anjing yang dilihat Rudi mungkin memang Hachiko. Dia tahu bagaimana ending dongeng itu sekarang. Pada akhirnya Hachiko dan tuannya dikubur di liang yang sama. Meski kesetiaannya pada Sang Tuan membawanya pada kematian, pada akhirnya mereka tetap bersama-sama. Keterangan Rudi telah menjawab mengapa bisa ada tulang-belulang hewan di makam Santini.

"Mungkin ... anjing yang kau lihat dulu itu ... juga dikubur di sana," ujar Dimas sebelum melanjutnya interogasinya.

"Sekarang, ceritakan padaku tentang kedua orang tuamu."

_______________

"Selain membunuh manusia, rupanya pelaku juga menghabisi seekor anjing," ujar Kapten Depari sembari menatap kaca linimasa.

Saat ini mereka semua sedang berkumpul untuk melakukan gelar perkara. Foto-foto Rudi dan kedua orang tuanya telah ditempel sedemikian rupa di kaca linimasa. Membentuk rangkaian-rangkaian rumit yang dikelilingi tulisan tangan juga anak panah. Akan tetapi, serumit apapun itu, benang merahnya tetap mengarah pada foto-foto keluarga Rudi. Dimas sudah menyerahkan laporan hasil interogasinya dengan Rudi, meski belum benar-benar rampung—pada Kapten Depari. Begitu pun Evan, serta Aryan dan Joana yang kebagian menginterogasi keluarga para korban.

Dimas sangat menyayangkan hal ini: "Rudi tidak tahu apa-apa tentang kerangka-kerangka itu, Kapten."

—kecuali soal makam Santini. Itu pun dia tidak sengaja mengetahuinya berkat Anjing Hachiko.

Evan kelihatan mulai resah di bangkunya. "Sepertinya dukun itu menganut ilmu hitam," tudingnya langsung, tanpa perlu menimbang lagi. Jari telunjuknya mengarah pada wajah Ayah Rudi dalam foto. "Mungkin dia membunuh wanita-wanita itu dengan motif ingin mendapat kekuatan."

Kapten Depari menatap wajah-wajah anak buahnya dengan gamang. Jika semua masih berdasarkan kata mungkin, maka fakta di balik kasus ini pun masih belum jelas. Kasus pembunuhan berantai memang selalu mendapat perhatian khusus. Sejatinya tidak pernah ada orang yang suka dengan kasus pembunuhan berantai. Hal ini dikarenakan, acap kali keluarga para korban merasa tidak puas dengan alasan mengapa orang-orang yang mereka kasihi harus direnggut dengan cara keji. Pelaku hanya membunuh karena ingin membunuh, atau demi menyelesaikan misi tertentu, yang jelas sekali tidak masuk akal dalam logika manusia. Seperti halnya pembunuh berantai terkenal berjuluk Jack The Ripper. Mengapa para korbannya mesti dia bunuh? Apa yang dianutnya? Apa yang menjadi motifnya? Sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang bisa menjawabnya—kecuali Jack The Ripper itu sendiri.

Motif yang masih belum jelas membuat kepolisian belum melakukan pers release sejak konferensi pers terakhir dilakukan. Ayah dan Ibu Rudi tidak bisa lagi ditanyai lantaran kedua orang itu kini sudah meninggal dunia. Sekali pun makam mereka dibongkar, pihak kepolisian pasti tidak akan bisa menemukan apa-apa di sana.

"Bukti yang telah kita pegang saat ini berupa buku tamu dan barang-barang milik korban yang tersimpan dalam lemari tersembunyi." Tanggapan Kapten Depari diakhiri sebuah desahan panjang.

"Barang bukti tersebut sudah cukup kuat, Kapten." Dimas segera menimpali. "Kalau dukun itu tidak membunuh mereka, dia tidak akan mungkin menyimpan barang-barang korban dalam rumahnya."

Kapten Depari menerawang sembari memegang dagu. Memang, oleh salah dua orang keluarga korban, jam tangan retak yang berhasil ditemukan dalam lemari tersebut telah dikonfirmasi milik Dewiana, tetapi Kapten Depari merasa dirinya perlu melihat baik-baik kasus ini. Sembilan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Dia tidak bisa sembarangan mengambil kesimpulan.

"Selain itu interogasi yang dilakukan Aryan dan Joana terhadap para keluarga korban, juga sudah cukup untuk mengarahkan kita pada pelaku," kata Evan, lalu lagi-lagi menunjuk kaca linimasa.

Aryan lantas mengangguk setuju saat Kapten Depari beralih menatapnya dan Joana secara bergantian. Semua sudah tertulis dalam laporan interogasi mereka. Beberapa korban, yakni SA, TB, dan JR, sebelum menghilang diketahui memang sedang dirundung masalah, baik itu dalam pekerjaan, kesehatan, dan kelancaran jodoh. Para korban memang sempat ingin menemui orang pintar untuk meminta nasihat, namun tidak tahu apakah orang pintar yang dimaksud adalah Ayah Rudi. Semua keterangan tersebut didapatkan dari keluarga para korban yang telah diinterogasi bergilir oleh Aryan dan Joana.

Sampai saat ini, hal yang masih membuat Dimas penasaran adalah, mengapa jasad Siti Sundari malah dibuang di Kilometer 13, sementara jasad-jasad wanita lainnya dikubur di halaman rumah itu? Melihat bagaimana jasad Siti Sundari diperlakukan, pihak kepolisiasn akhirnya menarik kesimpulan bahwa Siti Sundari merupakan korban pertama dalam kasus pembunuhan berantai ini.

Jika ucapan John Marcus benar soal dia yang sempat mendengar gonggongan anjing saat sedang membuang jasad Mariana Pane, itu berarti, malam itu Santini memang berada di tempat kejadian dan menyaksikan John Marcus membuang drum berisi jasad Mariana Pane—tanpa tahu bahwa ada orang lain yang diam-diam ikut memperhatikan mereka di sana.

Tapi ... apa alasan pelaku membunuh Santini?

Waria itu jelas tidak sesuai dengan kriteria kesebelas korban yang dibunuhnya—di mana keseluruhannya adalah wanita lajang bermasalah. Bahkan, cara pelaku memperlakukan Santini bisa dibilang sangat berbeda—jasadnya ditanam begitu saja, tanpa perlu melakukan ritual pembungkusan mayat dengan kain hitam seperti korban-korbannya yang lain.

Apa karena Santini sempat melihat wajahnya di sana? batinnya lagi.

Dimas memijat batang hidungnya kuat-kuat. Hubungan sebab-akibat ini sulit untuk ditarik kesimpulan lantaran tidak ada bukti langsung. Semua orang sudah meninggal; pelaku, saksi, bahkan penyidik yang menangani kasus ini. Jika ditilik dari pembununah pertama yang dilakukan pelaku, Dimas menduga, awalnya pelaku memang sengaja membuang jasad tersebut di ladang ilalang, yang jelas sangat beresiko. Lalu, saat kasus penemuan dua mayat wanita itu geger, dan ada pula saksi yang melihatnya, pelaku memilih mengubah modus operandinya—dengan mengubur mayat-mayat korban berikutnya di halaman rumahnya sendiri. Cara tersebut lebih efektif dan memunginkan orang-orang tidak mencurigainya. Sembilan belas tahun lamanya, tidak ada orang yang menyadari puluhan kerangka tersebut ternyata disimpan di halaman rumahnya. Kalau dugaan Dimas ini benar, maka jelas sekali motif pelaku membunuh Santini adalah memang untuk menghilangkan saksi.

Dimas hendak menyuarakan isi pikirannya pada Kapten Depari saat tiba-tiba derap puluhan langkah kaki terdengar dari koridor. Satu per satu orang masuk bergantian ke dalam ruangan. Mendapati wajah Kapolresta Barelang serta Kasat Reskrim di ambang pintu, serta-merta mereka pun bangkit berdiri dengan posisi tegak, kemudian serentak memberi hormat. Kapten Depari lalu menyambut dengan basa-basi dan tawa renyah. Dimas buru-buru merapikan kemeja putihnya yang berantakan, sementara di sebelahnya Evan masih terlihat mencari-cari di mana lencananya dia letakkan tadi. Menghadapi situasi yang terkesan sangat mendadak ini, Aryan dan Joana hanya bisa saling pandang.

Atmosfer tiba-tiba berubah tegang. Kedatangan para petinggi itu kemari, tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk mengeluhkan kasus pembunuhan berantai gila ini yang seolah-olah tak kunjung selesai. Awalnya Dimas pun berpikir demikian. Namun, ketika dia mendapati di antara kerumunan perwira polisi dengan pangkat tinggi itu terselip seorang warga sipil—yang tak disangka-sangka merupakan adik kandung Wahyam, Ayah Rudi, yang sudah lama putus hubungan—harapannya untuk segera menyelesaikan kasus ini meningkat berkali-kali lipat.

Seperti mendapat angin segar, Kapolresta Barelang tersenyum lebar sembari menuntun warga sipil itu ke hadapan mereka. "Selesaikan dengan benar. Jangan sampai kita jatuh ke lubang yang sama lagi," perintahnya yang langsung diangguki seluruh jajaran Divisi Pembunuhan.

____________

Notes :

Kapolresta Barelang - Kepala Kepolisian Resor Kota Barelang (indentitas tidak diketahui)

Kasat Reskrim - Kepala Satuan Reserse Kriminal (indentitas tidak diketahui)

.
.
.

Hmm saya pengen minta pendapat kalian nih gaeys. Apakah perpindahan sudut pandang antara Letnan Samsuri dan Dimas bikin kalian mabok alias bingung? Saya sadar sih di sini saya menceritakan dua kasus yang masing-masing terjadi di tahun Letnan Samsuri (masa lalu) dan Dimas (masa depan). Yang mana kalo gak dibaca baik-baik, kalian pasti pada bingung.

Sempet dapet komentar di cerita saya, kalau perpindahan sudut pandang yang berubah-ubah dan gak jelas siapa tokoh utamanya malah buat cerita tidak menarik dan pembaca pusing. Jadi, pada akhirnya saya revisi sedikit cerita ini dan saya buat batasan semacam tanggal kejadian di bagian Letnan Samsuri, sementara bagian Dimas nggak saya buat.

So please beri saya masukkan agar cerita ini jadi lebih ter... apa, ya, terkontrol, mungkin? 🤗🤗

Continue Reading

You'll Also Like

108K 6.6K 64
Berawal dari hobi membaca novel tentang Gus. Khalisa Syairah Khaulah memutuskan untuk pindah ke pesantren. Jika kebanyakan dalam cerita yang dia baca...
50.5K 6.7K 39
Nera adalah anak yang tumbuh di lingkungan kriminal pinggiran kota. Keputusannya menyelamatkan seorang pria tua yang terkena luka tembak membawanya m...
132K 9.5K 26
Disatukan dengan murid-murid ambisius bukanlah keinginan seorang Keyla Zeara. Entah keberuntungan apa yang membuat dia mendapatkan beasiswa hingga bi...
don't hurt Lia (end) By el

Mystery / Thriller

1.3M 97.2K 73
"lo itu cuma milik gue Lia, cuma gue, gak ada yang boleh ambil lo dari gue" tekan Farel "sakit kak" lirih Lia dengan mata berkaca kaca "bilang kalo...