Canon

By ashwonders

1K 126 32

Canon adalah kumpulan cerita pendek bertema romansa ringan remaja, berasal dari dalam buku tulis bersampul ke... More

'Sup?
Keep On Cheering! (part 1)
Keep On Cheering! (part 2)
Keep On Cheering! (part 3)
Locker Girl (part 1)
Locker Girl (part 2)
Locker Girl (part 3)
Princess of Papaya (part 1)
Princess of Papaya (part 2)
Princess of Papaya (part 3)
Canon (part 1)
Canon (part 2)

Canon (part 3)

175 15 2
By ashwonders

Berlin, lima tahun kemudian


"MOM, I've told you I'm fine."

Hari itu sangat terik.

Kacamata bulat tipis yang dikenakan si pemuda sampai melorot di hidung mancungnya yang berkeringat. Dia bolak-balik membetulkannya sambil berbicara melalui ponsel yang dijepit di antara pundak dan telinga. Satu tangannya sibuk berkutat membuka kunci pintu sebuah toko, sementara tangannya yang lain memeluk kantung belanjaan.

Pemuda itu berbicara dalam bahasa Inggris berlogat Amerika, mengundang beberapa lirikan dari pejalan kaki yang melintas di depan tokonya. Walaupun bukanlah suatu kejanggalan mendapati orang Amerika di Berlin, tetap saja sesekali pemuda itu melihat penduduk lokal yang memandangnya dengan tatapan ingin tahu akibat suaranya yang agak keras karena sedikit jengkel.

Ketika akhirnya pintu toko sukses dibuka, pemuda itu menghela napas lega dan menyerbu masuk, menutup pintu di belakangnya, meletakkan kantung belanja dan melempar kunci ke atas meja terdekat, lalu melepaskan jaket. Dia tidak menyangka cuacanya akan jadi sepanas ini. Kausnya banjir keringat, dan cerocosan bernada khawatir dari ibunya di seberang telepon sama sekali tidak membantu memperbaiki suasana hati si pemuda.

"Ya, bisnis berjalan lancar..." kata si pemuda, masih berbahasa Inggris. Dia menyisiri rambut kecokelatannya sambil menyalakan pendingin ruangan. Tak butuh waktu lama hingga udara sejuk mengaliri seluruh lantai dasar toko buku kecil itu. Si pemuda memeluk kantong belanjaannya dan mulai menaiki tangga menuju apartemennya di lantai tiga, "...dan aku mohon jangan suruh aku buat janji dengan psikiater atau sejenisnya. Itu hanya satu audisi. Kali berikutnya mungkin peruntunganku bakal berubah."

Setelah beberapa lama berusaha meyakinkan ibunya bahwa kondisi mentalnya baik-baik saja, pemuda itu akhirnya memutuskan sambungan telepon. Kemudian dia mulai melakukan kalkulasi rencana kegiatan satu hari ini di dalam kepalanya.

Satu jam lagi adalah waktu toko buka, dia masih harus merapikan tumpukan buku baru di lantai dua dan mendata sisa daftar pinjaman ke dalam komputer. Lalu dia bisa menyantap sarapannya sembari duduk di balik konter jaga. Kemudian selama toko buka, dia akan melakukan riset internet untuk audisi penerimaan pianis baru di orkestra-orkestra terdekat. Lalu makan siang. Lalu lanjut bekerja. Kemudian jika pengunjung tidak terlalu banyak, dia bisa menutup toko buku lebih awal, naik untuk membereskan apartemennya dan mendekam di sudut favoritnya hingga makan malam untuk menyelesaikan aransemen baru.

Tetapi seluruh perencanaan itu buyar ketika ponselnya berdenting.

Pemuda itu membuka chatroom tempat pesan baru bermuara. Itu adalah sebuah pengumuman dari teman Indonesianya yang juga sama-sama tinggal di Berlin. Di pesan itu, tertulis sebuah alamat dan di bawahnya berbunyi:

Buruan ke sini 
Konduktor gw lagi cari pianis
SEKARANG
[shared a location]

Dia langsung menyurukkan seluruh belanjaannya ke dalam kulkas, menyambar jaket, menuruni tangga dengan grabak-grubuk dan keluar dari apartemennya.

Pemuda itu sukses menuju lokasi dengan bantuan GPS, dan mendapati bahwa alamat tersebut menuntunnya pada sebuah bangunan teater tua dan kecil. Pemandangan itu nyaris komikal, keberadaan teater lusuh yang diapit dua buah gedung besar dan modern, seolah disempilkan seseorang dari masa lalu tanpa memedulikan letak atau estetikanya.

Menelan ludah, pemuda itu membetulkan posisi kacamatanya yang lagi-lagi turun dan melangkah memasuki teater.

Setibanya di dalam, seorang wanita Jerman yang nampak berjalan terburu-buru di lobi terhenti ketika melihatnya masuk.

"Wer bist du?" tanya wanita itu keheranan dalam bahasa Jerman. 

"Selamat siang." sapa si pemuda dalam bahasa Jerman, "Nama saya Vincent. Saya--"

Ekspresi keheranan si wanita sekejap digantikan oleh pemahaman dan kelegaan luar biasa, "Kau pasti pengganti bocah itu!"

"Um... saya dapat info dari Timothy--"

"Ja! Ja! Anak itu melarikan diri dari kewajibannya menjadi pianis di konser hari ini karena tangannya terbakar kompor induksi..."

Vincent membelalak syok,"Apa?"

Wanita itu mencengkeram kedua pundak Vincent, "Aku tahu dia nggak sebodoh itu untuk mencampakkan konserku di menit-menit terakhir. Monika Bohm, penanggung jawab konser hari ini."

Bohm? Monika Bohm sang music director yang tersohor itu?!

"E--uh... sebuah kehormatan bertemu dengan Anda, Frau Bohm..."

"Senang ketemu denganmu, Nak. Kau penyelamat kami." Monika menepuk-nepuk pundaknya dan menggiringnya menyusuri koridor.

 Vincent tergagap. "Anda bilang konsernya hari ini?"

"Ya, kurang lebih dua jam lagi." Monika membuka sebuah pintu menuju ruang latihan yang ramai.

Timothy, kau sialan.

"J-jadi saya akan jadi solois?"

"Piano concerto-mu dijadwalkan di tengah jadi kau masih punya waktu melakukan gladi resik dengan seluruh tim orkestra."

Timothy kau brengsek!

Monika menghadapi seluruh anggota orkestra yang sedang berlatih di hadapan mereka, "Semuanya! Kenalkan, ini Vincent, pengganti Timothy! Bocah itu rupanya masih punya akal sehat yang cukup untuk menebus dosa besarnya padaku..."

"Hallo, Vincent..." seluruh anggota menyerukan sapaan-sapaan yang berbeda secara bersamaan. Konduktornya bahkan menyalami Vincent dengan gaya resmi. Vincent semakin syok. Itu adalah Josef Scholz! Josef Demi-Tuhan-Apa-Yang-Orang-Jenius-Ini-Lakukan-Di-Sini Scholz!

"Sebentar." Vincent mengangkat kedua telapak tangannya dalam gestur menyerah, "Saya tidak tahu saya diseret dalam pertunjukkan ini. Kupikir Anda mengadakan audisi atau semacamnya!"

"Ja... ja... kau lulus audisi dan sekarang langsung duduk di belakang piano sana!" titah Monika.

"Kau akan memainkan dua piece ini..." Josef menunjukkan lembar notasi musik kepada Vincent, yang pada tahap ini hanya bisa pasrah menerima nasibnya yang mencengangkan sekaligus menyedihkan.

Vincent menelan ludah.

"Saya punya dua syarat."

Semua orang di ruang latihan membeku. Vincent meneruskan.

"Saya akan dibayar dengan harga yang pantas." Vincent mengemukakan syarat pertamanya kepada Monika, membuat atmosfer kembali mencair.

"Pffsh! Tentu saja!" Monika mengibas-ngibaskan tangannya seolah perkara itu sudah jelas.

"Kedua..." Vincent meneruskan, membuat suasana kembali tegang.

"Kedua?" tanya Josef was-was.

Vincent menggigit bibirnya seraya menatap lembaran musik di tangannya.

"Bolehkah saya menambahkan satu penampilan lagi?"

Lala tidak bisa mempercayai penglihatannya.

Itu adalah hari terik yang normal, tidak ada yang aneh. Dia pulang cukup awal dari kampusnya karena dia hanya perlu menghadiri sesi konsultasi tesis dengan dosen pembimbing sebelum pulang ke apartemen. Dia memasak makan siang sebentar, mengepaknya menjadi dua porsi untuk diantarkan ke ayahnya.

Tetapi mengapa, hal pertama yang tertangkap oleh matanya adalah pemandangan punggung seorang pemuda yang sudah amat sangat dia kenali?

Punggung itu merunduk di depan sebuah grand piano di atas panggung, mengayun penuh penghayatan mengikuti melodi yang dihasilkan tarian luwes jemari di atas tuts. Dilatarbelakangi orkestra yang dramatis, sang concert master menyuguhkan pementasan yang terdengar berbeda pada siang hari itu.

Karena belum pernah Lala mendengar orkestra itu membawakan Canon.

Lala tertegun di samping panggung, pandangannya terpaku pada sang concert master. 

Sosok yang entah bagaimana, saat ini, berada di sini. Di hadapannya.

Sosok berkacamata yang sudah lama tak dijumpainya. 

Sosok yang dirindukannya.

Gadis itu harus menahan diri hingga penghujung konser, ketika pemuda berkacamata itu akhirnya bangkit dari depan piano, berjalan menghampiri konduktor dan bersalaman, kemudian keduanya menghadap penonton yang bertepuk tangan riuh.

Dia menunggu dengan gelisah di belakang panggung, detik berlalu bagai menit hingga akhirnya satu per satu anggota orkestra berjalan keluar dari panggung memasuki ruang belakang.

"Lala." 

Ayahnya muncul duluan. Pria itu menghampiri Lala, mengecup keningnya dan menerima bungkusan makanan yang diserahkan anak gadisnya itu sambil menggumamkan terima kasih pelan.

Namun fokus Lala tertuju pada pemuda berambut kecokelatan yang baru saja memasuki ruangan. Para anggota orkestra menyalaminya dan mengucapkan terima kasih dengan tatapan-tatapan hangat. Monika tampak antusias menyambutnya dan memberikan tepukan-punggung yang kelihatannya menyakitkan.

"Anak ini sudah menyelamatkan pertunjukkan hari ini!" wanita itu berseru sumringah sambil tertawa-tawa, "Danke schön, Vincent."

Vincent.

Lala mendengarkan nama itu disebut oleh Frau Bohm dengan tak percaya.

"Kak... Vincent...?"

Lala yakin dirinya hanya membisikkan nama itu, namun entah bagaimana, seolah pada saat yang bersamaan, Vincent memalingkan wajahnya dari kerumunan dan pandangannya jatuh pada Lala.

Mereka berdiri berhadap-hadapan, dari ujung-ujung ruangan.

Lala dapat melihat ekspresi Vincent tampak syok. Ketakjuban mewarnai sorot matanya, dan keraguan menyertai langkah-langkah cowok itu ketika dia menyeberangi ruangan yang ramai untuk menghampiri Lala.

Ketika Vincent tiba di hadapan Lala, Lala seolah tersadar dari keterkejutannya.

Gadis itu menarik napas.

"Hai, Kak."

Vincent memandangi Lala, berlama-lama menelusuri wajah gadis itu, seolah masih kesulitan mempercayai kebetulan luar biasa ini.

"It's been a while, Lala."

Keduanya saling berpandangan. 

"Piano concerto kamu..." Lala mendadak teringat, memori masa lalu menyeruak ke permukaan. Dia tak  mampu menutupi nada sesal pada suaranya, "Aku sampe lupa tepuk tangan setelah piano concerto kamu... aku baru inget... janji..."

Kemudian gadis itu terdiam. Apa iya Kak Vincent masih inget janji kacangan lima tahun yang lalu?

Akhirnya, ketegangan itu mencair. Sorot mata Vincent melembut, senyuman hangat tersungging di bibir tipisnya.

"You're here. That's what matters the most."

Lala merasakan sepasang matanya memanas. 

"I miss you."

"I miss you too. A lot." sahut Vincent nyaris detik itu juga, "Chat room didn't do us justice."

"Dan dua tahun lost contact..." Lala menimpali sambil tersenyum. Apalagi setelah ponsel Lala di-hack dan mati total, demi keamanan dia terpaksa mengganti nomor, berujung ke kehilangan kontak Vincent selama nyaris dua tahun. Cowok itu nggak punya akun media sosial sama sekali.

Keduanya mungkin sepikiran. Sukar membayangkan apapun hubungan yang keduanya miliki lima tahun lalu dapat berkembang ke manapun setelah cukup lama tak saling berhubungan.

Tetapi takdir mempertemukan keduanya saat ini dengan cara yang cukup tak terduga, seolah mengejek mereka karena sempat pesimis.

Lala tertawa. Dia lalu mengulurkan tangannya kepada Vincent dan nyengir cerah.

"Kak, mau ke luar jalan-jalan?"

Vincent menyambut uluran tangan itu dengan sumringah. Keduanya menyelinap keluar dari ruang tunggu panggung yang ramai untuk menelusuri koridor sepi menuju pintu exit belakang gedung.

Selama beberapa saat, keduanya berjalan menyusuri trotoar pertokoan di bawah sorot matahari yang terik sambil bergandengan tangan dalam diam. Lala dapat merasakan Vincent menikmati gestur itu, cowok itu menjalinkan jemarinya dengan jemari milik Lala, gerakannya lembut, berlama-lama.

"So... just to be safe, we're both single, right?" celetuk Vincent, walaupun Lala sedang dalam posisi tak dapat melihat ekspresinya, dia tahu cowok itu tengah mengulum senyum.

"Still not taken." sahut Lala, dalam hati bangga akan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang meningkat drastis semenjak kepindahannya ke Berlin.

Genggaman tangan Vincent mengerat, "Glad to know."

Lala menunduk, sebisa mungkin menyembunyikan senyumannya.

"Kak, kenapa kamu bisa di Berlin?" tanya Lala, memecah keheningan.

"A bunch of oportunities." Vincent terkekeh, "Best city for a poor musician, to be honest." 

"Bukan karena kepingin nyusulin aku?" Lala menaikkan alisnya, berpura-pura sombong.

Vincent menoleh menatap wajah Lala yang terlihat tersenyum jahil. Dia kemudian menyahut, "Tuh, kamu tau."

Tidak menyangka akan balasan Vincent yang tanpa basa-basi, Lala merasakan pipinya menghangat.

"What about you? Kenapa bisa di sini?" tanya Vincent.

"Ayah sama ibuku gabung orkestra Frau Bohm." jawab Lala.

"What a lucky encounter." Vincent nyengir. Cowok itu menggedikkan kepalanya ke arah gedung teater di belakang mereka, "Bahkan harusnya hari ini bukan aku yang jadi pianis. Temenku mendadak cedera karena tangannya kena kompor induksi."

"Hah?!" Lala terkekeh tak percaya, "Temen kamu nggak papa?"

"He'll be alright." Vincent berkata, "Ngomong-ngomong... kamu masih tinggal sama orangtua kamu?"

"Iya, ortu ngganggep masih wajar karena kami orang Indonesia." kata Lala. 

"Can I visit sometimes?"

Lala agak terkesiap dengan pertanyaan itu, "Boleh aja, Kak... tapi--"

"Mau kenalan sama ayah dan ibu kamu." Vincent menyunggingkan cengirannya, yang membuat sepasang mata cokelatnya menyipit dan gurat-gurat tipis terlihat pada sudut-sudut matanya. Dia terlihat begitu menggemaskan, dengan helaian rambut cokelatnya yang tertiup semilir angin dan freckles yang semakin nyata di bawah guyuran mentari, "I live above the small bookstore few blocks from here, you know. You can also visit anytime."

"Pamali anak cewek main-main ke rumah cowok sendirian, Kak."

"Then should we get married first?"

Jantung Lala seolah melonjak ke tenggorokan mendengar perkataan sekonyong-konyong dari Vincent itu. Sementara cowok itu hanya terkekeh-kekeh menyaksikan kepanikan di wajah Lala.

"Udah berapa cewek yang kamu bilangin begitu?" tuduh Lala berusaha menyembunyikan salah tingkahnya.

"Satu. Kamu."

Lala semakin kebakaran sementara Vincent cengar-cengir puas.

"Kalo kamu belum siap buat marriage, how about dating?"

Kali ini, ketika Lala menatap wajah kakak kelasnya itu, tak ada tanda-tanda canda. Vincent tampak serius, walaupun tatapannya agak goyah, seolah gugup.

"Lala, I like you, a lot. You know that I do."

Menyadari Vincent menantikan tanggapannya, Lala menelan ludah susah payah. 

"Satu syarat." katanya, "Aku perlu dengerin permainan Canon kamu secara langsung, sekali lagi. Baru aku bakal mutusin."

Keduanya tersenyum lebar. Guyuran mentari senja mewarnai trotoar Berlin, menimpa profil Lala dan Vincent dan menyatukan bayangan mereka. 

Vincent menjawab, sepenuh hati.

"As you wish."


♪ THE END ♪


TMI:

- Vincent betulan mendatangi rumah Lala tak lama setelah mereka jadian dan betulan meminta restu dari ayah dan ibu Lala untuk menikahi Lala setelah gadis itu lulus dari kuliahnya.

- Keduanya menikah sekitar empat bulan setelah kelulusan Lala. Tahun pertama pernikahan mereka tak melulu diwarnai dengan kebahagiaan. Itu adalah masa-masa tersulit bagi Vincent, karena mencari pekerjaan sebagai pianis tidaklah semudah itu. Pada akhirnya, Vincent menemukan posisi tetap di teater milik rekan Monika Bohm dan dipercayakan sebagai music director pertunjukkan mingguannya, sementara Lala mengambil alih manajemen toko buku kecil di bawah apartemen mereka.

- Sesekali, Vincent masih memainkan Canon demi Lala yang tengah mengandung anak pertama mereka di rumah. Untuk saat ini, keduanya memilih untuk menetap di Berlin.










Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 5.9K 2
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.3M 96.4K 56
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...
769K 93K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
248K 15.1K 34
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...