SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

22. Chaos

1.8K 315 16
By Arabicca69

"Ada banyak sekali barang-barang milik wanita, Inspektur," beritahu Aryan sembari terus mengaduk-aduk dinding dengan tangan kirinya.

Setelah bersusah payah mengerahkan seluruh tenaga mencongkel lemari yang tertanam dalam dinding tersebut, satu per satu benda akhirnya berhasil dikeluarkan dari dalam. Aryan menyusunnya sedemikian rupa di lantai. Kebanyakan adalah benda-benda kecil, seperti dompet, sisir, jam tangan retak, cincin, jepit rambut, kalung, kancing baju, dan lain-lain. Tidak ada pakaian atau sebuah benda yang benar-benar menjurus pada barang-barang penting milik korban, seperti kartu tanda pengenal misalnya. Dugaan Dimas pun mustahil. Baju atau celana milik para korban sudah pasti tidak akan muat sekalipun dijejal paksa masuk ke dalam sana.

Aryan kembali bersuara saat tangannya berhasil mengambil sebuah gulungan kain di sudut terdalam. "Kain kafan hitam!"

Sanking kagetnya, Aryan sampai refleks melempar benda itu ke arah Dimas. Untungnya dengan sigap Dimas menangkap gulungan kain tersebut sebelum mengenainya. Dimas mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menyuruh Aryan diam barang semenit.

Tut ... tut ....

Kapten Depari tidak kunjung mengangkat panggilannya. Padahal saat ini Dimas memiliki hal yang sangat mendesak untuk dibicarakan dengan kapten itu. Dimas memutuskan untuk mengontak Joana, rekan Evan, yang saat ini kemungkinan sedang berada di kantor, namun sayang, hanya suara operator berisik di seberang yang menjawabnya, yang langsung menghubungkannya ke kotak suara.

Entah kemana perginya mereka semua. Dimas tidak mungkin menghubungi Evan saat ini, sebab Evan pasti sedang sibuk menunggui Rudi keluar dari tempat persembunyian. Sembari menimbang-nimbang ponsel, Dimas berusaha memutar otaknya. Sepertinya dia memang tidak punya pilihan lain selain menghubungi Agam.

Dimas menunggu cukup lama. Nada sambung masih menjerit-jerit di seberang hingga tak lama berselang suara Agam pun masuk ke telinganya.

"Ya?"

"Gam, apa semua kerangka itu sudah berhasil diidentifikasi?" serobot Dimas cepat begitu panggilan tersambung. Hening diselingi suara menderu-deru sempat merayapi beberapa saat kemudian. Tampaknya Agam masih berusaha mencerna pertanyaan yang Dimas lontarkan barusan.

"Sepertinya sudah. Apa kau belum menerima laporannya?"

"Baru tujuh orang saja yang kuterima berkasnya." Berikutnya Dimas menyebutkan nama-nama korban yang diingatnya sewaktu memeriksa berkas perkara dan laporan dari Dokter Zein .

Agam menggumamkan sesuatu di seberang sana. Suaranya terlalu pelan sampai-sampai Dimas tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"... kami sudah memeriksa banyak berkas orang hilang di pusat. Hasilnya ... em ... aku akan membacakan sisanya. Dengar. Ajeng Rahayu dua puluh tiga tahun, Hastuti Nirwana ..., Diah Ayu ..., terakhir Dewiana ...."

Dimas mendengarkan dengan saksama, sembari mencocokkan nama-nama tersebut dengan deretan nama dalam 'buku tamu' di tangan kirinya. Semua telah dia beri titik, kecuali satu nama.

Mendapatinya yang tak kunjung merespon, Agam lantas bertanya, apakah terjadi sesuatu yang sangat serius padanya di sana. Dimas tidak langsung menjawab. Dia sendiri masih bingung dengan semua ini.

"Apa tidak ada seseorang bernama Siti Sundari dalam laporan hasil otopsi?" tanyanya lagi, berusaha memastikan.

"Jangan bercanda. Apa kau ingin aku membacanya dua kali?" Meski suara Agam terdengar ogah-ogahan, tetap saja dia menuruti permintaan Dimas. Dia membacanya sekali lagi, dengan suara yang lebih kuat dan tegas.

"Ada apa sebenarnya, Dim?"

"Firasatku tidak bagus, Gam."

"Kenapa memangnya?"

Dimas menjawab ragu-ragu. "Sepertinya masih ada satu kerangka lagi yang belum kita temukan."

_____________

"Apa?" Agam yang merasa tidak percaya sempat membatu di tempat saat mendengarnya. Setelah semua ini, masih ada kerangka lain? Pembunuh gila macam apa sebenarnya yang sedang mereka hadapi? Agam langsung tersadar dari lamunan sesaat mendengar suara seseorang berteriak lewat sambungan telepon.

"Di mana kau sekarang, Dim?"

"TKP."

Agam mengangguk, kemudian mengatakan bahwa dia akan segera menyusul Dimas ke TKP bersama Fred. Panggilan itu pun ditutup olehnya.

Sembari menyambar jaket di kepala kursi, Agam bangkit berdiri. Dia mengambil langkah seribu. Berjalan cepat menuju ruang jaga malam untuk membangunkan Fred yang sedang tertidur di sana.

"Fred, bangun!" teriaknya begitu tiba di ambang pintu. Merasa kesal melihat rekannya yang tidak juga bagun, tanpa pikir panjang Agam langsung menendang kakinya kuat-kuat. "Freddy Budiman!" teriaknya lagi, dengan nada suara mirip sipir penjara yang sedang memanggil seorang tahanan.

Fred sontak terlonjak bangun dari tidurnya. "Siap!" katanya panik bukan main.

Mendapati wajah menyebalkan milik Agam terpampang di depan matanya, Fred lantas melempar telak bantal kesayangannya hingga mendarat tepat ke muka Agam. "Kau tau aku kan paling tidak suka dipanggil seperti itu!" dengusnya sebal. Sejak dulu Agam selalu saja meledeknya dengan trik murahan seperti itu. Sunggu menyebalkan. Inilah akibatnya kalau kau terlahir dengan nama yang sama persis dengan nama seorang terpidana mati.

"Berhenti mengeluhkan hal yang tidak berguna. Kita ke TKP sekarang."

Fred menggaruk kepalanya yang tak gatal. Matanya menatap jam di dinding ruangan. "Malam-malam begini?"

Agam mengangguk. Wajahnya tiba-tiba berubah sangat cemas. "Sepertinya Dimas menemukan kerangka manusia lagi di TKP."

Fred ternganga lebar tanpa bisa berkata-kata lagi.

_______________

Begitu Agam dan Fred tiba di lokasi, Dimas langsung menjelaskan situasinya pada mereka. Agam segera memeriksa begitu Dimas mengatakan bahwa mereka menemukan sebuah lemari—tanpa gagang pembuka—tertanam dalam dinding kamar. Barang-barang yang tergeletak di lantai pun juga ikut dia pilah bersama Aryan dengan sangat teliti.

"Kalau bukan milik para korban, untuk apa benda-benda seperti ini disimpan rapat-rapat dalam lemari tersembunyi."

Agam tampaknya setuju dengan pendapat Dimas. Sementara Fred yang terlihat sudah tidak sabar menyela sedari tadi terus menatapnya dengan wajah kesal.

"Jadi. Di mana. Kerangkanya?" tanya Fred dengan nada penuh penekanan.

Dimas mengernyit heran. "Aku tidak pernah bilang kalau kami menemukan kerangka."

Fred tergelak sarkas. Jari telunjuknya mengarah ke Agam yang saat ini sedang menampilkan wajah tak berdosa. "Sudah kuduga kalau ini hanya akal-akalanmu saja!" gerutu Fred kesal. Binatang malam terdengar semakin meribut di luar. Tak kunjung digubris oleh Agam, akhirnya Fred diam sendiri. Dia seperti sedang berbicara pada tembok.

"Lalu Siti Sundari yang kau maksud itu siapa?"

Dimas menggaruk tengkuk belakangnya. Yang serta-merta membuat senyum Agam bangkit mendadak. Dia selalu bisa membaca ekspresi wajah Dimas kalau sedang digeranyangi keragu-raguan.

"Sebenarnya kami juga menemukan ini di dalam lemari itu," jawab Dimas kemudian. Dia menyerahkan sebuah buku kecil dengan sampul berwarna hitam yang sepertinya terbuat dari kulit hewan.

Fred merebutnya sebelum sampai ke tangan Agam. Membuka lembar demi lembar halaman buku itu yang kebanyakan kosong melompong. Hanya dua lembar pertama saja yang dicoreti. Itu pun berupa nama-nama wanita saja yang ditulis dengan huruf tegak bersambung. Tidak ada keterangan lain di sana. "Ini lebih mirip buku tamu," gumam Fred sambil lalu. Sedetik kemudian Fred merasakan sebuah keanehan. "Tunggu. Sejak kapan orang pintar mencatat nama-nama pasiennya? Kurang kerjaan sekali."

Agam ikut memperhatikan. Seketika dia kembali menatap Dimas tidak percaya. "Mungkinkah pembunuh itu mencatatnya untuk mengingat berapa jumlah orang yang sudah dia bunuh?"

Nama-nama dalam buku tersebut memang cocok dengan identitas pemilik sepuluh kerangka sebelumnya yang telah berhasil diidentifikasi. Ada sebelas nama yang tercatat dalam buku itu. Dimas juga sudah memberi tanda di sana.

"Tapi nama Santini tidak tertulis di sini," kata Fred lagi, merasa tidak begitu yakin. Kenapa hanya nama waria itu saja yang tidak tertulis di sini? "Apa karena dia memang waria?" tanyanya sedikit ragu.

Agam pun segera menimpali. "Kalau memang dugaan Dimas benar, itu berarti memang ada satu kerangka lagi yang belum kita temukan."

"Gam, kita tidak bisa percaya begitu saja hanya karena daftar aneh ini." Fred berdecak kesal. Masih tidak habis pikir dengan ini semua. "Kita sudah menggali banyak lubang, dari mulai halaman depan sampai belakang. Dan nyatanya cuma ada sepuluh kerangka yang berhasil kita temukan, kan?"

Dimas memegangi kepalanya yang mulai berdenyut hebat. Fred mungkin benar. Sepertinya ini memang hanya firasat Dimas saja. Tidak ada fakta apapun yang mendukung. Benar. Pasti hanya firasat. Tidak lebih dari itu. Lagipula, halaman rumah ini sudah habis dilubangi. Di mana lagi pelaku akan menguburnya? Dimas menarik napas dalam-dalam. Berusaha keras memahami situasi yang terjadi, namun keragu-raguan itu justru makin melekat di hatinya. Wanita bernama Siti Sundari itu berada dalam daftar pertama di antara nama-nama korban yang tertulis di buku. Jika ini memang bukan sebuah kebetulan, bagaimana kalau ....

"Apa mungkin dia si korban pertama itu, Inspektur?" Aryan yang sedari tadi memilih bungkam akhirnya ikut masuk dalam pembicaraan.

Dimas sudah tidak bisa lagi berpikir. Mendadak tubuhnya termundur ke belakang. Aryan berhasil memeganginya saat dia masih berusaha menggapai-gapai dinding. Tiba-tiba dadanya terasa luar biasa sesak. Seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik jiwanya sekuat tenaga. Dimas sempat meringis hebat sebelum dia jatuh pingsan di lantai.

_______________

"Apa kamu sedang sakit, Dimas? Aryan bilang kamu pingsan kemarin."

Dimas tersenyum kikuk ke arah Kapten Depari. Dia tidak banyak membantah seperti biasa ketika kaptennya itu mengomelinya untuk lebih menjaga kesehatan dan minum minuman berenergi.

Pembicaraan kedua pria itu sesekali terusik oleh suara berat milik Kasat Reskrim yang keluar dari dalam televisi. Konferensi pers terkait kasus penemuan sebelas kerangka, berikut pengumuman indentitas para pemilik kerangka, saat ini tengah dilangsungkan di ruang Media Center.

Seingat Dimas kantor tidak pernah sesibuk ini. Para jurnalis berikut kameramen telah berlalu lalang sejak pagi tadi. Di ruangan Divisi Pembunuhan bahkan telah penuh oleh suara isak tangis keluarga korban yang datang untuk dimintai keterangan. Dimas sendiri tidak mengerti mengapa Kapten Depari malah menahannya berlama-lama di sini. Pria itu tidak mungkin kan memanggilnya ke ruangan hanya untuk membahas masalah kesehatan saja. Padahal masih banyak sekali pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan.

"Interogasinya, biar Aryan dan Joana saja yang melakukan," kata kapten itu kemudian. Dia melempar sebuah map berkas perkara berwarna kuning ke atas meja. Dimas menerimanya dengan wajah bingung. Dokumen dengan label 'Case Closed' itu tampak sudah lusuh dan tua.

"Kasus apa ini, Kapten?" tanya Dimas dengan wajah penuh selidik.

Desahan panjang keluar dari mulut kapten itu. "Tim Inafis sudah memberitahu saya soal barang-barang yang kalian temukan di TKP, juga daftar nama di buku tamu itu. Begitu mendapat kabar, saya langsung menelusuri berkasnya di Pusat Orang Hilang."

Dimas menatap wajah Kapten Depari lekat-lekat. Pria itu tampak sedang dibebani banyak pikiran.

"Wanita yang bernama Siti Sundari itu, data-datanya memang pernah tercatat di ruang arsip milik Pusat Orang Hilang, tapi kasusnya sudah lama ditutup," lanjutnya sembari menunjuk dokumen di tangan Dimas.

Dimas yang merasa penasaran lantas membuka map berkas perkara tersebut. Foto-foto korban yang diapit oleh penjepit kertas pada halaman pertama kemudian diperiksanya dengan teliti.

Foto 1. Menunjukkan gambar seorang wanita bernama Siti Sundari (22) seorang pekerja kantoran. Ditemukan tewas di Kilometer 13 dengan keadaan terbungkus kain hitam dari atas kepala hingga kaki.

Foto 2. Mariana Pane (24) seorang pekerja di kelab malam. Saat ditemukan korban sudah dalam keadaan tewas. Jasadnya dimasukkan ke sebuah drum minyak yang dibuang di Kilometer 13. Pakaian yang dikenakan; hitam.

Hasil otopsi menunjukkan kedua korban tewas dicekik yang mengakibatkan tulang leher kedua korban mengalami patah dan akhirnya meninggal dunia.

Bekas luka cekik pada leher korban ditampilkan dalam foto. Selain itu, masih banyak lagi foto-foto korban yang diambil secara close up, tertera pada lembar terlampir laporan hasil otopsi.

Dimas membaca keterangan selanjutnya—mulai dari berkas milik kedua korban, keterangan saksi, alat bukti, hingga ke dokumen tersangka—sembari mendengar Kapten Depari kembali menjelaskan. "Kasusnya terjadi sudah lama sekali. Tahun 2002," katanya.

Dia bilang, dulunya kasus ini sempat ditangani oleh Polres Kepulauan Riau. Dugaan kesalahan penyelidikan memang sempat terendus pada waktu itu, hanya saja kasus ini tidak mendapat perhatian khusus dari kepolisian. Setelah terjadi pemekaran wilayah provinsi, Polres Kepulauan Riau akhirnya dinonaktifkan dan rencana pembentukan Polda Kepulauan Riau pun mulai dibahas. Lalu, pada tahun 2007 kasusnya dilimpahkan Ke Polresta Barelang. Pelaku yang sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup gencar mengajukan banding saat itu. Namun sayang, karena tidak adanya bukti tambahan, bandingnya ditolak di pengadilan.

Siti Sundari dan Mariana Pane. Foto kedua wanita itu Dimas tatap lamat-lamat. Berbeda dengan Mariana Pane yang dimasukkan ke dalam sebuah drum, Siti Sundari, jasad wanita malang itu dibiarkan tergeletak begitu saja di ladang ilalang. Kondisi jasadnya masih tampak segar saat dibungkus kain hitam.

Penyebab kematian kedua korba  sama-sama dicekik. Selain itu, jasad mereka pun ditemukan dilokasi yang sama dalam waktu yang bersamaan. Para penyidik yang bertanggung jawab menangani kasus ini sebelumnya mungkin mengira bahwa wanita-wanita itu tewas dibunuh oleh orang yang sama.

Dalam dokumen tersangka JM alias Joni alias John Marcus, Dimas mendapati foto seorang tahanan yang diambil dari berbagai sudut. Totalnya ada empat lembar. Masing-masing menampilkan wajah seorang pria yang dipenuhi berewok dengan kulit sawo matang. Tinggi badannya 175 CM. Pekerjaan; Sopir.

"John Marcus saat ini ada di Lapas Batu Aji," beber Kapten Depari lagi.

Dimas menggeleng samar sembari mengusap-usap wajahnya. Kapten Depari balas mengangguk cepat, tepat sebelum Dimas menyuarakan pikirannya. Dimas menggeleng lagi. Rasanya sangat sulit untuk mempercayai ini semua.

Pantas saja Tim Inafis tidak bisa menemukan kerangkanya sewaktu melakukan olah TKP lanjutan. Ternyata jasad Siti Sundari sudah lebih dulu ditemukan, bahkan penyelidikan kasusnya pun sudah selesai dilakukan.

Banyak hal yang memenuhi otak Dimas saat ini. Kepalanya terasa mulai berdenyut lagi. Jika benar kematian Siti Sundari merupakan awal dari kasus pembunuhan berantai ini, maka kemungkinan terburuknya, pihak kepolisian harus siap mengakui adanya kesalahan penyelidikan yang terjadi di masa lalu. Dimas lantas mengernyit bingung. Menyadari adanya keanehan dalam kasus ini. Dia menemukan miss di sini. Sembari menggigiti bibir bawahnya, Dimas mulai menduga-duga. Kenapa jasad Siti Sundari malah dibuang di Kilometer 13? Kenapa tidak dikubur di halaman rumah itu bersama kerangka-kerangka lainnya?

"Kapten, apa saya bisa menemui salah satu penyidik yang dulu menangani kasus ini?" Bersamaan dengan itu, dia membuka lembar selanjutnya, di mana pada halaman itu tertera daftar nama-nama penyidik yang bertanggung jawab menangani kasus kematian dua wanita malang tersebut.

Kapten Depari menggeleng. "Itu mustasil, Dimas." jawab kapten itu kemudian. "Mereka semua sudah meninggal."

Dimas terkesiap mendengarnya. Hatinya mencelus dan mendadak terasa sangat kosong. Letnan Samsuri. Kenapa .... Kenapa dia harus mendapati nama Letnan Samsuri tertulis di sana?

"Tidak! Ini tidak mungkin, Kapten!" Dimas berteriak keras, merasa tidak bisa menerima kenyataan itu.

Tidak mungkin. Letnan Samsuri? Kenapa dia ....

"Kenapa dia harus meninggal, Kapten?!"

"Apanya yang tidak mungkin, Dimas?!" sergah Kapten Depari tidak mengerti. "Semua orang akan meninggal pada waktunya. Lebih baik sekarang kamu temui John Marcus di lapas sebelum dia menggila dan berkoar-koar lagi soal bandingnya."

Dimas masih tidak bisa mempercayai ini. Dia berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa nama penyidik yang tertulis di sana bukanlah nama letnan itu. Benar. Bukan hanya letnan itu. Syahbana Samsuri. Di luar sana pasti banyak orang yang juga memiliki nama serupa.

________________

“Yan,” panggil Dimas sembari memutar kemudi mobil. Dia berbicara melalui handsfree bluetooh di telinganya. Di seberang telepon, Aryan hanya bergumam menanggapi, seolah mengatakan, 'ada apa, Inspektur?'

Dimas lalu menjawab, “Saya ingin minta tolong padamu.”

Aryan masih bergeming di ujung sana. Tidak biasanya Dimas seperti ini. Jika memang membutuhkan sesuatu dia pasti akan langsung mengatakannya. Tidak pernah sekali pun dia mengucapkan embel-embel minta tolong seperti tadi.

“Kenapa, Inspektur?”

“Bisakah kamu menyelidiki seseorang untuk saya?”

“Seseorang?”

Dimas mengangguk. Tidak seperti otaknya yang mencoba berpikiran positif, entah mengapa hatinya masih saja merasa resah sejak dia keluar dari ruangan Kapten Depari.

“Dia adalah seorang polisi,” katanya lagi. “Saya ingin kamu periksa latar belakangnya, di mana dia ditugaskan, apa-apa saja kasus yang dia tangani, juga ... siapa keluarganya. Saya ingin kamu cari tahu semua hal tentangnya.”

“Tapi, Inspektur, Anda tau kan, hanya Divisi Internal yang bisa melakukannya. Kita tidak diizinkan menyelidiki rekan kita sendiri.”

Sejak awal sebenarnya Dimas tahu kalau permintaannya ini sangat sulit untuk dipenuhi. Dia hendak menutup sambungan telepon, ketika tiba-tiba Aryan berbicara lagi padanya.

“Memangnya siapa orang itu, Inspektur?”

“Letnan Syahbana Samsuri. Saya tidak tau apa pangkatnya setelah terjadi perubahan kepangkatan di kepolisian.”

“Polisi lama?”

Dimas mengangguk. “Iya," jawabnya dengan suara getir. Dia sebenarnya juga tidak mengerti, ada apa dengan hatinya ini. Dia merasa sangat khawatir. Letnan itu sudah lama tidak menghubunginya lewat HT. Sesuatu pasti terjadi padanya di masa lalu. Seperti yang Kapten Depari katakan, mungkin saja Letnan Samsuri memang benar-benar sudah meninggal. Dimas tidak tahu harus bagaimana. Semua pemikiran buruk itu benar-benar sangat menggangunya. Dia paling tidak bisa membiarkan hatinya diliputi banyak tanda tanya.

Dimas akhirnya tiba di Lapas Batu Aji. Tidak ada yang istimewa dari bangunan tua itu. Gerbang dan menara pengintainya tidak dicat, dibiarkan suram, sama seperti lapas-lapas yang pernah Dimas kunjungi selama ini. Dia menarik rem tangan kemudian keluar dari dalam mobil. Aryan masih bersamanya dalam sambungan.

“Hemmm ... baiklah akan saya usahakan, Inspektur.”

Dimas mengulas seyum tipis mendengar Aryan menyanggupi permintaannya. Meski memang terdengar mustahil untuk dilakukan, setidaknya sedikit saja, dia bisa merasa sangat-sangat lega. Kemudian buru-buru ditutupnya panggilan tersebut, begitu menyadari gerbang lapas telah berada sejengkal di depannya.

"Saya ingin menemui seorang narapidana bernama John Marcus," katanya kepada seorang petugas penjaga gerbang.

____________

John Marcus tertawa terbahak-bahak dari balik bilik pengunjung. Sungguh, seumur hidup dia belum pernah merasa sesenang ini. Air yang menggenangi sudut matanya bahkan nyaris keluar tak tertahankan. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa di depan polisi muda yang tengah mengunjunginya. Bertahun-tahun dia memperjuangkan keadilan, tetapi hanya berujung pada kesia-siaan. Kini giliran mereka, para polisi tidak tahu malu itulah, yang harus mengemis informasi darinya.

"Apa pangkatmu? Inspektur Polisi Satu?" kekehnya masam diselingi decihan benci dan tidak peduli. John Marcus meninju kaca dua arah yang memisahkannya dengan polisi muda itu. Kepalanya perlahan bergerak mendekati kaca, kemudian dia membisikkan sesuatu. "Jadi sekarang kalian percaya padaku?"

Dimas memilih diam. Pertanyaan itu tidak relevan dengan hal yang sebelumnya dia tanyakan pada John Marcus. Sembari melipat sebelah kaki, Dimas menjatuhkan punggungnya di kepala kursi. Mengulur sedikit jarak dari narapidana itu. Meski nyatanya mereka telah dipisahkan oleh kaca pembatas, tetap saja Dimas merasa tidak nyaman. Tatapan John Marcus begitu menusuknya, sampai-sampai Dimas mendapati dirinya sendiri bagai terpenjara di dalam manik mata narapidana itu. Namun, Dimas sama sekali tak berniat untuk mengalah. Dia datang kemari hanya untuk sebuah informasi, bukan beradu mulut.

John Marcus tersenyum miring. "Sepertinya saat ini kalian sedang sibuk menutupi lubang kotoran kalian. Hahah," tawanya kembali menyembur keluar.

Bermenit-menit setelah itu, tidak ada yang berbicara lagi. Waktu terbuang percuma. Jam kunjungan pun sudah hampir habis.

"Apa kau sudah puas sekarang?" desis Dimas tajam, merasa sudah cukup menahan kesabaran.

John Marcus seketika terkesiap mendengarnya. Dia mendegus keras, sampai-sampai penjaga tahanan yang sedang mengawasi pembicaraan kedua orang itu bisa mendengarnya. Sampai kapan pun John Marcus tidak akan pernah merasa puas menghina kepolisian. Ketidakbecusan mereka mengakibat dirinya harus terkurung dalam lapas seumur hidup. John Marcus mengakui memang dialah yang membunuh Mariana Pane. Baginya pelacur itu pantas dibunuh. Namun, entah bagaimana tiba-tiba saja dia dituduh membunuh dua orang wanita sekaligus. Hidupnya memang sungguh sangat sial.

"Tidak ada ruginya kalau kau bekerja sama. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan membantumu. Kalau kau terbukti tidak membunuh wanita bernama Siti Sundari itu, maka kau akan bebas dari sini dan berhak mengajukan kompensasi."

John Marcus mengerjap heran. Bisa-bisanya polisi muda ini menawarkan kebebasan padanya.

"Akan kupastikan tidak akan ada orang yang menghalang-halangi penyelidikan ini."

"Sekalipun itu akan mencoreng nama baik institusimu?"

Dimas mengangguk cepat. Dia bahkan sanggup mempertaruhkan lencananya untuk narapidana itu.

Baginya polisi muda itu terlalu naif. John Marcus tidak tahu apakah dia bisa mempercayainya atau tidak. Tetapi dia masih berusaha menimbang-nimbang ketika melihat kegigihan terpancar di kedua mata polisi muda itu.

"Apa kau yakin?"

Sekali lagi Dimas mengangguk. "Kau hanya membunuh Mariana Pane. Ini pasti sangat tidak adil, ya kan?" Dia mulai memprovokasi John Marcus. "Kenapa kau harus dihukum seumur hidup? Kalau hanya satu lalat saja yang mati, seharusnya lima belas tahun penjara atau tujuh belas tahun sudah cukup untukmu."

John Marcus terkekeh geli. Tiba-tiba saja dia suka pola pikir polisi muda ini. Dia kembali meninju kaca pembatas, mengakibatkan adanya sedikit getaran walau tidak terlalu berarti. "Sudah kubilang berkali-kali bukan aku yang membunuhnya," desisnya pelan. Sepertinya dia mulai termakan kata-kata Dimas. "Hahaha. Kau tau apa yang dikatakan polisi-polisi sialan itu padaku?"

Dimas memajukan tubuhnya saat John Marcus memberi israyat padanya untuk mendekat lewat gerakan tangan.

"Mereka bilang, aku mungkin lupa membawa drum minyak satu lagi untuk wanita pocong itu. Mereka bahkan memaksaku mengatakannya saat melakukan reka ulang adegan pembunuhan."

Continue Reading

You'll Also Like

9.1K 1.1K 31
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, ADA BEBERAPA PART YG DIPRIVATE] *** π‘©π’Šπ’Žπ’‚π’π’•π’‚π’“π’‚ 𝑺𝒆𝒄𝒓𝒆𝒕 π‘¨π’ˆπ’†π’π’• (𝑩𝑺𝑨) merupakan organisasi rahasia se...
9K 8.8K 34
yang Selalu Dikhianati. ❗[POV 3] ‼️Hak cipta dilindungi keras oleh undang-undang, DILARANG mengcopy sebagian atau keseluruhan novel!! Menceritakan te...
89.5K 7.6K 51
【 On Going 】 GIRLS Series #1 - - - Blurb: Dia Alexiore, seorang gadis dengan kedinginan melebihi rata-rata tiba-tiba menghembuskan nafas terakhirnya...
NUJUM/ DUKUN By Darsono AD

Mystery / Thriller

125K 1.2K 16
KUMPULAN CERITA DEWASA. KISAH SEORANG PERAMAL MBAH REKSO YG MAMPU MERAMAL NASIB DAN MELAWAN GANGGUAN SETAN,SERTA MEROBAH NASIB MANUSIA. ANAK DIBAWAH...