Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.7K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

24th Floor

474 79 7
By Atikribo

HAL PERTAMA yang melekat di kepala Nova adalah Flint masih menyayangi ibunya. Setelah itu, lanjutan kisah kedua dokter itu tidak lagi penting. Tetap saja, orang itu telah meninggalkan keluarganya dan menghilang tanpa jejak. Nova tidak bisa berlapang dada.

Dee dan Kei memandang Nova yang pikirannya entah berada di mana. Seolah-olah baru menyadari sesuatu, gadis itu akhirnya mengangkat wajahnya, bertanya, "Siapa sebenarnya Dasbala dan Kiril?"

"Hal pertama yang kau tanyakan adalah itu?" pria botak di sampingnya terdengar tidak percaya, "Bukannya sudah jelas?"

Nova bolak-balik melihat ke arah tudingan Luke dan wajah kedua dokter yang duduk di depannya. Mengangguk perlahan, Dee membenarkan asumsinya. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali, baru menyadari.

"Bukankah nama kalian Dee dan Kei?" tanya Nova.

"Dee untuk Dasbala dan Kei untuk Kiril," Dee menjelaskan singkat.

"Flint meminta apakah kita bisa membunuh diri kita sendiri," ujar Kei sembari meraba bibirnya. Ia mendengus, "Dia benar-benar orang gila."

"Bukan 'membunuh', bunuh diri," Dee membenarkan, "Kami harus 'mati' karena banyak hal yang keluar dari jalur."

"Dan salah satu cara agar rencananya terus berjalan," Kei menimpali, "Dasbala dan Kiril harus enyah dari dunia ini."

Indhira turut memerhatikan, mengerutkan alisnya. Sepertinya ini juga informasi baru untuk perempuan itu, "Kenapa kalian mengubah identitas diri?" tanyanya.

Dee menarik napas, "Akan menjadi dongeng lagi kalau menceritakan hal itu. Singkatnya, tidak semua rencana Flint berjalan dengan semestinya. Seseorang yang dipanggil Leprechaun memiliki banyak mata. Seorang informan yang akan langsung turun tangan, tetapi tidak mau mengotori tangannya secara langsung."

"Dia itu orang yang sangat licik," ujar Kei, "lihai dan berbahaya. Dia mengumpulkan banyak informasi dan menjualnya. Dan, tebak siapa pihak yang paling membutuhkan informasi legal maupun ilegal untuk menjalankan bisnis yang katanya menyelamatkan umat manusia?"

"Orenda?" Nova menerka.

Kei mengangguk, "Dengan informasi yang dia miliki, Leprechaun menjadi orang di balik layar yang berpengaruh besar pada Orenda dan juga Floor. Pelintir sedikit fakta, seluruh uang bisa langsung masuk ke kantongnya. Lagi pula siapa orang yang takkan terlena dengan jumlah ori yang ia miliki? Tidak ada."

"Bayangkan juga jika ada seseorang yang mau menghancurkan taman bermainnya," Dee menambahkan, "Dia tidak akan bisa tinggal diam."

Luke memainkan pemantik api di jemarinya. Ia memastikan, "Jadi, rencana Flint bocor dan kalian terpaksa mengganti identitas diri?"

"Kurang lebih," jawab Dee, "Ingat ledakan yang terjadi di Orenda lima tahun yang lalu? Itu hari di mana kami berdua harus mati."

Meski sudah lama berlalu, berita itu cukup menggemparkan Floor. Surat kabar dan berita pariwara tak hentinya meliput kehancuran gedung hitam massif nan kokoh itu. Sebuah perusahaan yang membantu umat manusia meledak dan hancur berantakan; terlalu dilebih-lebihkan, terlalu sensasional. Di saat yang sama pula adalah waktu di mana ayahnya semakin sering meninggalkan keluarganya sendirian. Nova bahkan tak lagi ingat terakhir kali ibunya menyunggingkan senyum bahagia. Hari semakin pendek, definisi keluarga normal semakin jauh dari angan-angan.

"Liputan di media tidak pernah menjelaskan secara detil, 'kan?" ujar Luke, kini memutar rokok di jemarinya, "Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Burung-burung kecil Leprechaun nampaknya membocorkan hal-hal pada atasan kami —bukan Flint, tentu saja. Kecurigaannya semakin tinggi dan bagi Flint, lebih baik kami mati daripada membocorkan apa yang kami rencanakan," ujar Dee, "Jadi, ayahmu, Nova, dialah yang menyebabkan ledakan itu. Sedemikian rupa dianggap sebagai kecelakaan lab biasa."

"Kami 'mati'; mengganti penampilan juga identitas, dan pergi meninggalkan Orenda."

"Dan lagi, kalian masih bisa hidup aman hingga sekarang," Luke menyelipkan rokok pada bibirnya, "Lima tahun waktu yang lama. Bagaimana bisa?"

Kei mendengus, "Saat kau mati, tidak akan ada orang yang mengingatmu lagi. Lagipula siapa yang mau datang berkunjung ke tempat pembuangan seperti ini? Siapa yang peduli?"

"Maksudku, orang-orang Orenda itu bisa saja datang ke sini hanya untuk sekadar melihat-lihat 'kan?"

"Buat apa?" Dee bertanya balik, "Dasbala dan Kiril sudah mati. Orang yang mereka temukan di sini hanyalah sepasang dokter gila yang mau tinggal di tempat pembuangan. Lagipula Orenda memiliki prioritas untuk mencari siapa terlebih dahulu. Kau bisa menebaknya sendiri."

Pandangan Kei mengarah pada Nova. Flint-lah yang memporakporandakan perusahaan itu. Meskipun dibuat sedemikian rupa agar tampak seperti kecelakaan, pria itu membawa semua data dan menghancurkan berkas penelitian yang pernah mereka kembangkan.

Lima tahun yang lalu, mereka berusaha memahami penyebab ledakan beserta kebakaran itu. Waktu itu Orenda tidak menyalahkan Flint. Akan tetapi, kedok yang ia miliki tak selamanya tertutupi. Ayahnya menjadi buron, meninggalkan orang terdekatnya dalam ancaman bahaya menyangkut hidup dan mati.

"Semua data itu," ujar Dee, "Semua yang telah terjadi dan formula untuk mengganti ruska maupun reptilium, Flint ubah menjadi gambar berkode rumit yang ia pindahkan ke punggungmu, Nova. Dia memakan banyak waktu untuk membuatnya dan sebagai risiko, dia terlihat meninggalkan dirimu dan juga Kirana."

"Tetap saja tidak menjawab pertanyaanku: kenapa dia melakukan itu pada mulanya? Kenapa harus Flint?" Nova berkata ketus.

"Kalau itu, tanyakan saja langsung ke ayahmu."

Nova mengerling. Mencari ayahnya sama dengan seperti menangkap angin. Menyebalkan. Semua gambar tato yang tertera pada punggungnya tidak menunjukkan posisi Flint sama sekali, alih-alih tulisan-tulisan itu merujuk pada nama-nama orang yang bahkan baru ia dengar untuk pertama kali. Apa yang ayahnya rencanakan sesungguhnya?

Gadis itu teringat sesuatu, "Kau bilang ayahku keluar dari sebuah pintu yang tiba-tiba muncul kan? Apa dia ditemani dengan seseorang bermata hitam seluruhnya atau gigi-gigi yang tidak rapi?"

Melihat kedua dokter yang saling pandang dengan alis berkerut, Nova menggelengkan kepalanya, "Aku benar-benar memiliki banyak sekali pertanyaan dan tidak tahu harus mulai dari mana."

"Coba ceritakan sudut pandangmu lalu kita bisa mulai mengisi jeda di antaranya?"

Mengulum bibir, gadis itu menceritakan kejadian serta segala kebingungan yang melanda. Bermula dari orang asing yang datang ke rumahnya untuk memberikan sebuah liontin milik Kirana, perjalanannya menuju Permukaan Atas, dan pertemuannya dengan Cyrus dan para raksaka. Orang-orang Orenda yang mengejar dirinya pun berhasil menemukannya di Permukaan Atas, tak luput pula saat mereka tengah mencari tahu mengenai tato di punggungnya di tempat persembunyian Ravi.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Nova dengan tatapan nanar. Dia benar-benar tidak tahu langkah apa yang harus ia ambil. Tujuan utamanya untuk mencari ibu nampaknya sudah jauh dari genggaman.

"Apa yang mau kau lakukan?" Dee malah bertanya balik.

Nova menggigit bibirnya, terdiam sejenak, "Aku ingin semuanya kembali normal," ujar Nova.

Mendengar perkataan gadis itu, Luke mendengus, "Tidak akan ada 'normal' dalam hidupmu, Non. Bahkan sebelum kau lahir saja, ayah dan ibumu sudah terjebak dalam situasi membahayakan."

Nova memelototi Luke. Bukan berarti dia tidak tahu, tapi seseorang boleh bermimpi 'kan?

"Definisikan 'normal' kalau begitu," mata sayu Kei menatap Nova yang membisu.

Apakah duduk di meja makan dan menghabiskan waktu untuk makan malam dan berbincang bersama kedua orang tuanya adalah hal yang normal? Hal itulah yang Nova inginkan dan dambakan. Baginya normal duduk berdua dengan Kirana tanpa Flint, tanpa omongan pekerjaan yang Nova ketahui. Nova hanya mendambakan hal yang ideal baginya. Luke benar, tidak ada kata 'normal' dalam hidup yang telah ia jalani.

Indhira, sembari tersenyum, mengulurkan tangannya, menepuk tangan Nova yang memegangi cangkir kosong. "Tidak apa-apa. Aku yakin setiap orang mempunyai titik baliknya. Aku percaya kalian bisa berkumpul bersama lagi. Hal itu akan terjadi setelah apapun yang mereka lakukan selesai. Tapi, mungkin, kamu bisa mencoba untuk, entahlah, bergabung dalam operasi ini?"

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," Nova menanggapi dengan jujur.

Indhi mengedikkan kepalanya pada kedua dokter, "Kamu telah bertemu dengan mereka. Itu 'kan sebuah permulaan."

"Aku tahu keinginanku terdengar sederhana namun dengan kondisi seperti ini pasti jauh dari kata bisa. Mereka mempunyai agenda dan misinya masing-masing," melihat keempat orang dewasa yang mengelilinginya, Nova menghela napas. Ia menambahkan, "Kurasa mencari Mam bukanlah hal yang penting lagi sekarang. Aku tidak tahu dia di mana dan ke mana aku harus mencarinya. Tapi, jika semua hal yang ayah dan ibuku lakukan saling berkaitan, petunjuk terbesar yang kupunya adalah gambar di punggungku ini kan? Mungkin aku bisa melakukan sesuatu; menjalankan peranku...yang mana aku pun tidak tahu. Jadi, mohon bimbing aku."

Meletakkan sketsa-sketsa rajah di atas meja, Kei berpendapat, "Mungkin kau bisa membantu kami mencari Flint."

"Apa ayah juga menggambarkan hal itu di punggungku?" tanya Nova, "Karena, jika ya, seharusnya aku sudah bisa bertemunya sekarang."

"Dia menulisnya dengan kode. Mau kubeberkan isi kepalamu sekarang pun kau takkan bisa memecahkannya dalam waktu sekian menit," cibir Kei, "Pasti ada langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum menemukan harta karun di tempat antah berantah ini. Flint dari dulu memang menyebalkan. Begini ya, Nova. Gambar yang terpatri di tubuhmu itu sangat berharga. Jika kita sudah bisa memecahkan di mana keberadaan Flint, kau sudah seharusnya menjaga tubuhmu baik-baik dan menjauhi masalah. Jika kau tertangkap, itu percuma."

"Aku yang akan menjaga anak ini," Luke berkata, "Enggak perlu khawatir."

Mendengar hal itu, Nova mengulum bibirnya. Ada jeda cukup lama di antara mereka sebelum Nova bertanya, "Jika ibuku sedang bekerja dalam Raktah Sol dan mengurus para patcher, sementara Flint ingin menjungkirbalikkan Orenda, lalu apa korelasinya? Begitu pula ada Trevor dan Hacket yang terlibat juga 'kan? Belum lagi ayah bertemu dengan para raksaka entah berapa tahun lalu silam. Apa rencana besarnya? Kalian pasti tahu sesuatu."

Kei mengacungkan jari telunjuknya, "Flint membutuhkan banyak orang untuk membalikkan meja Orenda. Trevor salah satu orang yang ia percaya dari masyarakat kecil di Floor untuk menggaet massa. Sementara itu, para patcher yang berasal dari Permukaan Atas mungkin bertanya-tanya kenapa mereka masih hidup padahal sudah sukarela mengikuti permainan simulasi yang dibuat Orenda. Peran ibumu di sana,"

"Mereka tidak tahu kalau mereka dijadikan bahan baku utama untuk menjadi reptilium 'kan?" Luke memastikan.

Pria berambut perak itu melirik Indhira dan melanjutkan, "Tidak. Para patcher butuh tempat tinggal atau mungkin jalan untuk kembali pulang. Ibumu memperjuangkan hak mereka untuk hidup lagi. Bukan hal yang mudah, tapi setidaknya ia tengah mencoba."

"Raksaka," Dee menimpali, "sejujurnya selama ini kami tidak pernah berhubungan langsung dengan mereka. Percaya tidak percaya, pertemuan kami dengan mereka sebatas saat Flint keluar dari pintu antah berantah itu. Setelahnya nihil. Mengingat hal itu saja seperti sebuah kejadian mistis."

Nova mengangguk, paham. Apa yang ia alami dalam labirin-labirin yang dibuat oleh Cyrus itu memang sulit dinalar. Tetap saja rencana Flint bersama para raksaka masih menjadi misteri.

"Jadi apa langkah kita selanjutnya?"


Tanpa disadari matahari telah berada tepat di atas kepala. Lanskap di hadapan gadis itu tampak pucat dan kelabu. Obrolan yang mereka mulai untuk mengisi tenaga di pagi hari pun berlalu begitu saja. Untungnya, kepingan demi kepingan puzzle mulai tersusun. Tidak semua, tetapi setidaknya ada titik pencerahan yang bisa Nova gapai. Memandangi pohon-pohon tinggi nan ramping dari balkon, gadis itu menggenggam liontin milik ibunya. Pikirannya berkelana. Mau tak mau, Nova akan menjalani peran apapun itu yang ia dapatkan. Ini harus ia lakukan supaya angan-angannya yang sederhana itu cepat terkabul. Seharusnya.

Mendengar derit pintu terbuka, Luke keluar dengan rokok yang terselip di bibirnya. Pria botak itu mengedikkan dagu; Nova membalas dengan anggukan. Bau busuk yang berasal dari hutan tidak begitu tercium dari sini; Luke pun menghembuskan asap rokoknya dengan penuh kenikmatan. Dalam ketenangan ini, Nova sesungguhnya merasa cemas.

Kedua dokter itu meminta waktu untuk melihat sketsa tato. Dee mengatakan sekalinya mereka berhasil memecahkan kode-kode buatan Flint, lembaran sketsa itu akan dihanguskan. Nova segan. Dengan tak ada lagi salinan gambar-gambar itu, Nova akan semakin terancam bahaya. Bukan berarti ia tidak tahu konsekuensinya, namun jika ia tertangkap, apapun misi yang orang tuanya jalankan akan terhambat karena kesalahan yang ia buat.

"Gimana kondisimu?" Luke memecah kesunyian di tengah siang itu. Rokoknya berdesis ketika ia menghirupnya lagi untuk kesekian kali.

"Menunggu bukan hal yang menyenangkan," Nova menggerutu, "Aku khawatir."

"Enggak perlu khawatir. Ada aku."

Wajah Nova menghangat. Ia tahu alasan Luke menemani dan menjaganya karena Ravi yang meminta, tapi kenapa ia sangat loyal akan permintaan pamannya itu? Beberapa kali gadis itu bertanya, Luke selalu mengelak. Akan tetapi, kali ini berbeda.

"Ingat hal yang pernah kubicarakan semalam? Tentang banyaknya gadis hilang lalu ditemukan mati?"

Nova mengangguk.

Menghembuskan asap rokok, pria itu memandang hantaran hutan di hadapannya dan berkata, "Dia adikku."

Nova mengerjapkan mata. Hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya. Mendengus, pria botak itu menggelengkan kepala; mengatakan tak perlu untuk meminta maaf.

"Dia mungkin seusiamu waktu itu," lanjutnya lagi, "Meskipun pada akhirnya dia tidak memiliki akhir yang baik, setidaknya pelakunya takkan pernah menculik gadis-gadis lagi."

"Dia...mati?" Nova meyakinkan diri sendiri.

Luke mengangguk, menjelaskan bahwa Ravi yang telah menghabisi nyawa orang itu. Nova tahu pamannya adalah seorang pembunuh bayaran. Akan tetapi, mendengar bagaimana ia menjalankan tugasnya tak jarang membuat Nova bergidik ngeri. Karena bagi Nova, Ravi merupakan sosok ayah yang hilang.

"Aku berhutang sangat banyak padanya," rokok yang terus tersulut membuat bagian yang terbakar semakin panjang. Tatapannya menerawang, "Waktu itu mungkin sedikit beruntung karena mau tidak menjemput meskipun nyaris. Selama ini dia tidak pernah meminta imbalan apapun, baru saat inilah dia memintaku untuk menjaga Kirana dan juga dirimu."

"Kenapa kau membicarakan ini sekarang?"

"Agar kau bisa memercayaiku," melapas rokoknya, tatapan tajam Luke beralih pada Nova dan ia berkata, "Aku paham yang kau alami, Non. Kau pikir ini hanya persoalan sederhana yang bisa diselesaikan setelah duduk bersama di meja makan, tapi nyatanya tidak. Nyawamu juga dalam bahaya, tapi jika kau tidak berhati-hati—"

"Aku berhati-hati," Nova menekankan, merasa dinasihati. Memang ketidaktahuan Nova seringkali menyebabkan tindakan-tindakan gegabah. Akan tetapi, Luke menganggap ia tidak berhati-hati membuatnya sedikit kesal.

"Ya memang, tapi ingat kau akan berurusan dengan siapa nantinya. Bahkan sebelum kau lahir, mereka telah menggunakan manusia sebagai alat percobaan mereka. Tahu apa kau mengenai kapabilitas mereka sekarang? Satu langkah mereka lebih besar dari lima langkah yang telah kita ambil dan tahu-tahu kita yang masuk ke dalam lubang."

"Jangan mengomeliku," Nova merajuk.

"Aku enggak ngomel, Non. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang berharga dan aku enggak mau Ravi, ibumu atau siapapun mengalami itu. Aku berhutang sebesar itu padanya. Karenanya aku pun akan melakukan hal yang serupa seperti yang pernah dia lakukan terhadap adikku."

"Akan kucoba," Nova menghela napas, mengangguk. Gadis itu tidak tahu harus sepercaya apa ia pada Luke. Benar, pria itu selalu membantunya, tapi sampai kapan ia akan terus membantunya?

Nova menoleh ketika Indhira membuka pintu dan menyuruh mereka masuk. Lembaran kertas dijajarkan di atas meja makan. Kei menyuruh mereka untuk mendekat. Ia mengambil lembaran kertas yang menunjukkan sebagian tato Nova yang terbakar.

"Sepertinya aku tahu keberadaan Flint," mendengar ucapan itu, Nova melotot. Gadis itu hendak membuka mulut, tetapi Kei mengangkat tangan, "Jangan senang dulu, Nova. Aku masih butuh melihat punggungmu."

Melihat Nova mendelik, Kei mengerling, "Gambarnya tidak lengkap."

"Sudah kubilang aku membakar punggungku. Kau 'kan sudah lihat."

"Ada yang mau kupastikan lagi," ujar Kei, "Salahmu sendiri membakar hal penting seperti itu. Merepotkan semua orang 'kan jadinya."

Dee menggelengkan kepala, "Hei, tenanglah sedikit," tegurnya, "Aku tahu apa yang kau temukan ini bukan hal yang menyenangkan."

Kebingungan, gadis itu mengalihkan pandangannya pada Indhira dan jawab dengan mengangkat bahu. Menawarkan untuk mengganti bajunya di bawah, Kei cepat-cepat mengatakan bahwa itu tidak perlu. "Aku hanya perlu memastikan sesuatu. Tidak perlu repot-repot ganti baju."

"Setidaknya, tidak di depan kalian," Indhira mencoba menengahi Kei yang hampir habis kesabarannya.

Nova dan Luke heran dengan sikap Kei yang berubah angin-anginan. Hal apa yang mengganggunya? Indhira bahkan tidak bisa menjelaskan. Ketika gadis itu keluar ke ruangan dengan punggung terbuka, Kei menyuruhnya untuk duduk di kursi. Sentuhan jemari Kei terasa dingin. Rasanya aneh ketika ada seseorang yang meraba bekas lukanya; ingin cepat-cepat Nova memakai lagi pakaiannya. Akan tetapi, setelah Kei mengumpat, Nova menyimpan keinginannya tetap di kepala.

"Flint memang brengsek," umpatnya.

"Kekhawatiranmu itu benar?" tanya Dee, suaranya terdengar mendekat.

Nova menoleh, mendapati wajah Kei berubah pias. Hal jelek apa lagi yang Flint tinggalkan di punggungnya? Rasanya semua hal yang dia lakukan tak pernah menuai padi yang menguning.

"Apa?" Luke tidak mengerti.

Kei menggerutu, ia mencari-cari sesuatu di lemari buku terdekat dan mengeluarkan selembar peta yang sudah sobek karena terlalu banyak lipatannya. Ia menggeser seluruh barang yang ada di meja dan menjajakan peta. Ragam kertas menempel di sana dengan tulisan tangan yang tintanya mulai tembus dan pudar. Jika Floor menjadi pusat dan dipenuhi oleh tempelan kertas, beberapa kertas kecil pun melekat di kota-kota yang cukup jauh di sana.

Pria berambut perak itu menunjuk satu titik. Sebuah tempat cukup jauh di selatan, tak berpenghuni, dan dikisahkan hanya ada tanah tandus. Nova tahu tempat itu takkan ada hal yang bisa ia lihat. Tak ada pula orang yang mau menghabiskan waktunya di sana. Malam akan terasa sangat panjang dan dingin, bahkan ketika musim dingin sekalipun. Siang yang seharusnya singkat terasa begitu terik, saking teriknya menguras tenaga dalam setiap langkah kaki. Sebuah daerah dengan anomali cuaca, seolah-olah mempunyai tuhannya sendiri: Ragni.

"Flint ada di sana? Apa yang dia lakukan?" Nova bertanya namun tak ada jawaban yang keluar dari lawan bicaranya.

Mengambil lagi sketsa tatonya, Kei mencatat angka-angka yang tertera pada secarik kertas. Matanya bergerak liar, memastikan berkali-kali dan mungkin berharap apa yang ia lihat pada secarik kertas itu salah. Mengabaikan Luke, Nova, dan Indhira yang masih kebingungan, Kei menyerahkan secarik kertas itu pada Dee.

"Cek sendiri," ucapnya sembari mengambil jarak ke kiri, mempersilakan partnernya untuk melihat peta.

Dee terdiam cukup lama lalu mengumpat.

"Apa seburuk itu?" tanya Nova, berharap kali ini seseorang menjawab pertanyaannya.

"Kurang lebih," Ucap Dee, memijit pangkal hidungnya, "Angka-angka yang tertera di bagian tengah tatomu adalah koordinat yang Flint tinggalkan. Kau pasti pernah mendengar Ragni Kan? Kau pasti tahu kalau tempati tidak layak huni, kecuali beberapa spesies tertentu. Tapi, Flint malah memutuskan untuk pergi ke sana."

"Biar gua tebak," ujar Luke, "dia mencari sesuatu di sana?"

"Ya, sebuah tanaman. Kami menemukannya beberapa tahun yang lalu di pasar malam dan membelinya dengan cukup mahal. Intinya, tanaman itu merupakan komponen penting untuk mengganti reptilium."

"Bagus 'kan kalau begitu? Apa yang membuatnya menjadi buruk?" Nova memiringkan kepala.

"Tempatnya, Nova," ucap Dee, "Pernah suatu kali kami ke sana dan nyaris tidak bisa kembali karena cuaca dan suhu yang tidak mendukung. Flint bisa jadi telah mempersiapkan banyak hal untuk pergi dan menetap di sana, tapi kau... adalah sebuah asset. Aku sejujurnya tidak ingin membuatmu mengambil risiko sebesar itu. Lagipula aku pun tidak tahu ketika kau tiba, kau akan bertemu ayahmu atau tidak."

Terdengar bel berbunyi. Dee dan Kei saling tatap kemudian mengisyaratkan Indhira untuk menyambut siapapun yang datang ke klinik mereka.

"Setidaknya kita akan mendapatkan petunjuk lebih," meskipun tampak kesal, Kei sedikit kukuh agar Nova pergi ke sana, "Lagipula Nova sudah bilang dia ingin berkontribusi atas hal ini 'kan? Jadi beginilah Nova, satu bagian dari tatomu yang terkuak sedikit. Kuharap kau mengerjakan bagianmu."

"Bagaimana cara pergi ke sana?" Luke bertanya.

"Pagna bukan pilihan yang baik. Pun aku tidak menganjurkan menggunakan kereta karena kau ini seorang buron, ingat?" Dee tampak berpikir, "Ke arah timur dari sini kau bisa keluar Floor. Bukan jalan yang menyenangkan, tapi setidaknya lebih aman daripada kau kembali ke pusat Kota. Banyak pengembara yang mungkin bisa memberikan kalian tumpangan. Masalah Orenda tidak ada hubungannya dengan mereka, jadi seharusnya kalian akan baik-baik saja."

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar suara gebrakan pintu dari bawah. Meski kata-katanya tidak begitu jelas, Indhira terdengar panik. Raut wajah seluruh orang di meja makan langsung berubah dan Kei segera mengambil langkah menuruni tangga.

"Cepat berkemas," suruh Dee, "Ada tangga besi di dekat teras jika kalian terpaksa harus pergi sekarang juga."

Mereka tahu kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi. Nova mengambil tas selempangnya, melihat lembaran sketsa tatonya di atas meja.

"Ambil dan bakar semuanya," ucap Dee. Pandangannya sesekali beralih ke tangga dan suara Kei yang terdengar marah.

"Tapi—"

"Kita punya seorang jenius di sini. Dia bisa mengingat semuanya dengan sekali lihat," pria berambut ikal itu mengibaskan tangannya, "Cepat!"

Luke mengambil lembaran sketsa sebisanya sementara Nova meraih catatan-catatan yang kiranya bisa digunakan serta masker. Membuka pintu ke teras, gadis itu mencari letak tangga besi yang Dee ucapkan. Dee telah menuruni tangga. Wajahnya tetap tenang meskipun ada keributan di kliniknya.

"Kau mau menunggu di sini bahkan setelah terlambat atau bagaimana?" Luke terdengar tidak sabar. Pria itu telah menemukan tangga daruratnya.

"Bagaimana jika ini adalah salahku?"

"Kau mau bahas ini sekarang?" menghela napas panjang, Luke mencengkram bahu gadis itu dan memanggil namanya, "Dengar, Nova. Jika kita tertangkap karena gerak lambatmu, itu baru salah. Mereka pasti akan bertemu kita lagi. Kau harus melindungi segala informasi yang ada di punggungmu 'kan?"

Menarik napas, Nova sekali lagi melihat ke dalam. Tidak ada tanda-tanda Dee, Kei, maupun Indhira. Mereka menuruni tangga. Sembari terdengar suara keributan di dalam, matanya mengarah ke dalam jendela. Kali ini tiga orang yang mengenakan masker gas berada di sana, membawa Kres yang babak belur, lebam di sana-sini. Indhira memapah Kres, tampak marah. Kedua dokter yang baru ditemuinya pun berusaha untuk berkompromi dengan kepala dingin namun tampaknya hal itu percuma. Pria bermasker gas itu menodongkan senjata ke hadapan mereka begitu pula dengan Dee.

Meski enggan namun mata Nova terus terbuka. Ia tidak tahu berapa detik yang ia buang untuk terpaku dan membeku. Hingga Luke memanggil namanya dan tembakan terdengar nyaring.

Nova tidak mau melihat namun telinganya tak bisa untuk tidak mendengar. Indhira menjerit. Mengabaikan hal itu, Luke meraih tangan Nova dan menariknya berlari.

Hanya satu hal yang bersemayam di kepalanya: ini semua salahnya. Ini semua salahnya.

*





//Satu hal yang sulit dalam menulis adalah soal konsistensi. UGH! Anyway, terima kasih banyak bagi yang sudah baca dan setia menunggu. Buat pembaca baru yang kebetulan marathon dan sudah sampai ujung, harap bersabar yah. Mungkin 3-5 bab lagi mau (di)selesai(kan) ceritanya. Mungkin ga ya? Mungkin aja deh, saya juga pengen lanjutin cerita yang lain soalnya haha. Sekali lagi makasih banyak! Aku mah apa tanpa dukunganmu. Sanggupkah aku untuk update 2 minggu lagi, bukannya 4 minggu?? JENG JENG JENGGGG kita lihat saja ya. See youuu~//

Continue Reading

You'll Also Like

11.9K 915 17
[Pemenang The Wattys 2018 Kategori The Heroes] [MASUK DALAM DAFTAR PENDEK (SHORTLIST) WATTYS 2018 (15/08/18)] Highest Rank: #1 di Wiaindonesia (15/07...
49.2K 4.8K 13
Salah satu pemenang the wattys 2016 dalam kategori: cerita sosial. (Underground Bullet Case:05) Wilayah Jakarta pusat gempar karena penemuan sesosok...
208K 49.4K 80
[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tan...
16K 3.5K 46
Credit cover by noisa_art (Instagram) ⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperame...