Le Samedi [COMPLETE]

By ChanXa92

11.1K 1K 553

❌DON'T COPY OR REPOST WITHOUT PERMISSION!!!❌ Hari sabtu adalah hari dimana keputusan itu sampai ditelinganya ... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11

Bagian 7

733 96 49
By ChanXa92

Hari sudah beranjak malam saat Jiyeon menginjakan kakinya dipekarangan rumah. Kakinya melangkah pelan menuju pintu sedang maniknya mengamati keadaan rumah yang sepi dan nampak gelap.

Sehun benar. Pria itu akan pulang terlambat.

Sekarang baru pukul 7 dan Jiyeon yakin Sehun akan pulang di atas pukul 11 malam.

Tangan kanannya meletakan kresek belanja lalu merogoh kunci dan membuka pintu. Setelahnya dia masuk dan mulai menyalakan lampu satu persatu.

.

Usai mengisi kerongkongannya yang kering, Jiyeon mulai menyimpan dan menata apa yang dia beli tadi disupermarket.

Ada sayuran, buah-buahan, 6 kaleng soda, dua karton besar susu, telur, sosis, 6 bungkus ramyun, makanan kaleng dan beberapa camilan.

Helaan napas meluncur dari mulutnya saat keheningan yang menemaninya saat ini. Dia beranjak kemudian menyalakan televisi, bermaksud untuk membunuh keheningan itu.

Berita mengenai pembunuhan berencana yang masih belum diketahui dalangnya adalah apa yang dia lihat pertama kali.

Dia bergidik ngeri lalu memindah saluran dan kebetulan sekali setelah dipindah acara variety show tentang kuliner lah yang sedang tayang.

Jiyeon mengambil posisi duduk menyila lalu menontonnya dengan ditemani sebungkus keripik kentang dan sekaleng soda.

---

---

"Kau yakin tak akan pulang?" Kai berbisik pada Sehun yang duduk di sampingnya sembari memandangi meja dengan tatapan serius.

"Kau bisa pulang jika hal tadi membuat pikiranmu tidak tenang." Kai melanjutkan. Dia kemudian menoleh sekilas pada Suho yang sedang membicarakan sesuatu dengan Kyungsoo. "Jika ingin, aku akan meminta ijin pada Suho hyung."

Namun tak ada tanggapan sama sekali dari Sehun. Pria Oh itu lebih memilih diam dan larut dengan pikirannya.

Kai menghela napas lalu memanggil yang tertua diantara mereka.

"Hyung, sebenarnya apa yang sedang dia lakukan? Kenapa membuat kita menunggu lama seperti ini?"

Dia yang dimaksud adalah Dongwoo dan saat ini mereka berempat tengah berada dikediamannya.

Suho menoleh ke arah pintu dimana Dongwoo menghilang sekitar setengah jam lalu. Suho yakin itu pintu kamarnya, tapi dia tidak tahu apa yang dilakukan pria itu dikamarnya dan membuat mereka menunggu lama.

"Entahlah." Suho menjawab dengan gedikan bahu. "Ada apa? Kau ada janji atau urusan penting?" Lanjutnya dengan tanya.

Kai tidak menjawab dengan lisan. Dia memberikan kode pada Suho sebuah gedikan kepala yang terarah pada Sehun.

Suho yang mengerti menghela napasnya. Dia tahu apa yang terjadi pada rekan kerjanya itu. Pikirannya pasti sedang kacau gara-gara apa yang dilihatnya sore tadi.

"Sehun." Panggilnya namun yang dipanggil bergeming.

"Oi!" Panggilnya lagi namun pria Oh itu masih bergeming pada posisinya. Suho lantas menyuruh Kai untuk menyadarkan Sehun karena dia yakin rekannya itu tengah melamun.

Kai menyadarkannya dengan tepukan bahu dan saat Suho berniat bicara Dongwoo tahunya muncul dengan raut wajah gugup.

"Maaf sudah membuat kalian menunggu lama."

"Tak apa." Itu Sehun yang menyahut.

Suho dan Kai menyempatkan diri untuk melihat Sehun sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali fokus pada apa yang menjadi tujuan mereka datang ke tempat ini. Kyungsoo yang beberapa menit lalu larut dengan ponselnya pun kini fokus pada Dongwoo.

“Jadi apa yang ingin kau katakan pada kami?” tanya Suho memulai.

Dongwoo menatap mereka satu persatu, dan gurat kegugupan juga keraguan dapat ditangkap oleh keempat polisi itu.

“Katakan saja.” ucap Sehun dengan suara yang terdengar dingin. Suasana hatinya sedang dalam level buruk dan dia tidak suka jika apa yang sudah ditunggunya -juga rekannya sedari tadi tidak disampaikan dengan segera.

Menyadari bahwa keempat polisi ini -terutama polisi bertampang datar itu menginginkannya untuk segera bicara, maka meski ragu dia meletakan potongan foto di atas meja.

Sehun, Kai, Suho, dan Kyungsoo mengerenyitkan dahi mereka sembari memandang potongan foto itu.

“Apa itu?” tanya Kyungsoo.

“Itu foto dari Harry.” Jawaban Dongwoo masih membuat keempat polisi itu bingung.

“Hanya itu yang kupunya.” Lanjutnya.

Ya, sebenarnya yang membuat mereka bingung adalah potongan foto yang hanya memperlihatkan bagian mata saja.

Suho mengambil foto itu lalu diperhatikannya dengan intens. Sedang diseberang sana Sehun mengamati Suho dengan begitu serius.

Saat ini dia sedang mencoba untuk mencari siapa yang menjadi mata-mata diantara mereka. Karena apa yang terjadi pada mereka -juga pada Kris, tidak mungkin adalah sebuah kebetulan. Pasti ada mata-mata diantara mereka yang memberikan informasi pada .... Harry.

Foto berpindah tangan pada Kyungsoo dan Sehun pun ikut memindahkan pengamatannya pada Kyungsoo. Tak lama kemudian foto itu kembali berpindah tangan pada Kai, dan Sehun mulai mengamati Kai.

“Ini.” Kai memberikan foto itu padanya. Dia mengambilnya lalu menatap foto itu. Meskipun matanya tertuju pada foto tapi sebenarnya pikirannya tengah melayang memikirkan siapa mata-mata diantara ketiga rekannya itu.

Sebenarnya siapa?, -Sehun.

“Hanya ini yang ingin kau beritahu pada kami?” ujar Kai seolah tidak puas dengan info yang diberikan oleh Dongwoo.

Dongwoo menoleh pada Kai. “Aku memang pernah menjadi anak buah Harry bahkan menjadi anak buah yang dipercayainya tapi meski begitu tidak banyak informasi yang aku ketahui tentangnya. Dia adalah orang yang sangat tertutup, dan dia bukanlah tipe orang yang dengan mudahnya memberitahu siapa dia yang sebenarnya pada siapapun bahkan pada anak buah yang dipercayainya sekalipun.” Ucapnya.

“Tapi dulu aku pernah tidak sengaja mendengar percakapan antara dia dengan kakaknya. Dan kakaknya menyebutkan nama asli Harry.” Dongwoo memejamkan matanya mencoba mengingat kejadian dimana kakak dari Harry memanggil mantan bos-nya itu dengan nama aslinya.

“Yoo... Yoo... Ah aku tidak ingat.” Dongwoo menyerah untuk mengingatnya, wajar saja dia lupa karena kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu dan Dongwoo pun mendengarnya dengan samar.

Sehun, Kai, Kyungsoo dan Suho yang sedari tadi menunggu mendesah kecewa.

---

Le Samedi

---

Kai menatap Sehun yang duduk di kursi kedai tenda pinggir jalan lalu menghampiri dan bergabung dengannya.

"Tidak pulang?" Dia mengambil gelas kosong ditangan Sehun, mengisinya dengan soju lalu meneguknya.

Sehun menatapnya sekilas lalu meminta bibi kedai membawakan gelas baru ditambah sebotol soju.

"Kau?" Tanyanya balik.

"Tidak ada yang menungguku di rumah, jadi pulang terlambat tidak masalah untukku." Kai menjawab dengan nada ringan dan juga kekehan.

Sehun mendengus tawa pelan sembari mengisi gelasnya. "Jawabanku sama sepertimu."

Kai tahunya mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan Sehun. "Istrimu tidak pulang?"

Sehun menggedikan bahunya dan meneguk sojunya. "Entahlah. Mungkin saat ini dia sedang bersenang-senang dengan pria itu."

Kai memandangnya iba. "Kasihan sekali sahabatku ini. Jatuh cinta dan menikah dengan perempuan yang salah."

"Sialan kau!" Sehun kembali meneguk sojunya.

Kai meringis dan memasukan tangannya ke dalam saku jaket saat udara dingin menerpa tubuhnya. Bahkan hidungnya sempat mengeluarkan suara akan tarikan yang dibuatnya agar ingusnya tidak meluncur.

"Sudah hampir tengah malam." Ujarnya dan Sehun mengecek jam tangannya lalu mengangguk.

"Kau benar."

"Pulanglah. Dia pasti sudah di rumah dan menunggumu."

"Itu hal yang mustahil." Sehun menghentikan acara minumnya lalu memandang langit yang gelap. "Myung Hee, bagaimana kabarnya?"

Kini Kai yang meneguk sojunya. "Dia baik."

Sehun menatap Kai. "Maaf, aku sudah tidak pernah menjenguknya lagi."

Kai tersenyum lalu menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa. Tapi jika sempat jenguklah dia. Meski dia memahami bahwa kau tidak menjenguknya lagi karena kau sudah menikah, tapi__."

"Besok aku akan menjenguknya." Sela Sehun cepat. "Aku akan menjenguknya."

Kai mengangguk. "Hum.. Ah ya, Myung Hee sudah pindah dari rumah sakit yang dulu."

"Pindah? Kenapa?"

"Aku merasa di rumah sakit yang sekarang Myung Hee akan mendapat kesembuhannya."

Sehun mengangguk paham. Kai sangat mencintai Myung Hee dan dia memahami jika sahabatnya ini pasti menginginkan yang terbaik untuk kekasihnya.

"Myung Hee pasti akan segera sembuh."

Kai tersenyum. "Terima kasih."

---

Suara televisi masih menjadi pemecah keheningan di rumah meski si perempuan yang tadi terlihat antusias menonton tayangan kuliner kini sudah mengarungi alam mimpinya disofa dengan posisi meringkuk.

Suara berisik dari pintu membuatnya perlahan tertarik ke alam sadar dan membuka mata.

Pandangan yang awalnya tertuju pada layar televisi perlahan dia alihkan ke arah pintu karena suara berisik itu masih terdengar.

Dengan was-was dia beranjak dan berdiri di depan pintu.

Suara berisik itu masih ada dan suara itu terdengar seperti tengah berusaha membuka kunci pintu.

Jiyeon mengulum belahan bibirnya dengan rasa takut semakin tinggi. Dia melirik jam dan itu menunjukan pukul setengah dua dini hari.

Apa Sehun belum pulang?

Kaki gemetarnya dia bawa menuju kamar namun tak menemukan siapapun disana. Lantas dia kembali berdiri di depan pintu dan menatapnya lamat-lamat.

Apa mungkin itu Sehun?

Perlahan tangannya mulai menyentuh kenop dan memegangnya dengan napas tersengal takut.

"Se..Sehun?" Tanyanya dengan suara yang lumayan keras.

"....................."

"Apa itu kau, Sehun?" Kembali Jiyeon bertanya dan suara berisik itu berhenti.

Jiyeon menelan salivanya lalu dengan memberanikan diri memutar kunci...

KLIK!

... lalu menekan kenop dan membukanya dengan sangat hati-hati sembari menahan napas.

Napas tertahan itu terhembus lega saat mengetahui bahwa itu adalah Sehun. Lalu dia pun membuka pintu tanpa ragu.

"Syukurlah. Itu Kau. Aku kira__." Potongan kalimat itu terhenti saat Sehun masuk dan melewatinya begitu saja. Kepalanya lalu menoleh pada punggung tegap pria yang kini masuk ke dalam kamar tanpa patahan kata apapun.

Jiyeon menutup pintu dan menguncinya kembali. Kakinya dia langkahkan ke dalam kamar dan melihat Sehun bersiap untuk tidur.

"Kenapa kau baru pulang?" Pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan Jiyeon karena sesungguhnya dia tahu kenapa Sehun baru pulang. -Sehun bilang akan pulang terlambat bukan?

Jiyeon menggigit bibir bawahnya saat tidak mendapat jawaban apapun.

"Sehun."

"..................."

Kembali tak mendapat jawaban Jiyeon memutuskan untuk menghampiri dan berdiri tepat di hadapan Sehun yang sedang memejamkan matanya.

"Aku tahu kau belum tidur." Menjeda sejenak ucapannya. "Aku... aku__."

"Kita bicara nanti saja." Sehun tahunya menyahut namun dengan manik yang masih terpejam erat.

Jiyeon memainkan jemarinya. Rasanya tidak nyaman saat Sehun bersikap seperti ini padanya.

"Aku tahu kau marah padaku." Bukannya menuruti ucapan Sehun, Jiyeon malah meneruskan. "Ya, aku berbohong padamu. Tapi bukan tanpa alasan aku berbohong. Aku hanya tidak ingin__." Jiyeon menghentikan ucapannya. "Bagaimanapun aku bersalah dan aku minta maaf padamu." Jiyeon mengambil kartu yang diberikan Sehun tadi siang dan meletakannya dinakas tepat di samping ponsel Sehun yang kebetulan layar lockscreen-nya menunjukan sebuah potongan pesan masuk.

<<Oppaaa~ Ku dengar kau akan menemuiku .......>>

Jiyeon terpaku membaca potongan pesan itu.

Oppa?

Jiyeon melirik Sehun yang sepertinya sudah jatuh terlelap.

Dia berdiri tegak lalu melipat tangannya.

"'Oppa' huh? Tck..." Lalu setelahnya dia melangkah pergi keluar kamar. Dihempaskan bokongnya disofa lalu mendelik pada pintu kamar.

***

Le samedi

***

Sehun terbangun dengan rasa pusing menghantam kepalanya.

Pasti sisa minum-minum semalam, batinnya lalu beranjak. Tangannya meraih ponsel dan terdiam menemukan kartu debit yang kemarin dia berikan pada Jiyeon. Dia menoleh ke samping dan tidak menemukan sosok perempuan itu disana.

Kakinya dia bawa melangkah keluar kamar dan lagi, dia tidak menemukan siapapun.

Saat hendak mengecek dapur, ponselnya bergetar panjang dengan nama Myung Hee tercetak dilayarnya.

Sehun mengangkatnya.

"Hm, Myung Hee-ya."

["Oppa, kau jadi 'kan menjengukku?"]

"Hm, tentu. Aku akan datang siang ini."

["Kalau begitu bisakah oppa membawaku jalan-jalan?"]

"Jalan-jalan?" Sehun mendudukan diri disofa tanpa tahu bahwa Jiyeon baru keluar kamar mandi dan memperhatikannya di depan pintu kamar.

["Huung! Setelah masuk rumah sakit Kai oppa tidak pernah membawaku jalan-jalan dan aku bosan. Jadi tolong bawa aku jalan-jalan pleaseee~"]

"Jangan merengek seperti itu."

Jiyeon memutar bola matanya lalu masuk ke dalam kamar.

Mendengar suara pintu yang ditutup Sehun sempat menoleh ke belakang namun saat tidak menemukan siapapun dia membali fokus dengan Myung Hee yang merengek dan membujuknya.

...

..

.

Beberapa menit kemudian Jiyeon keluar kamar dan Sehun sudah tidak berteleponan lagi. Pria itu malah terlihat seperti tengah menunggunya.

"Kau mau pergi?" Sehun memandang pakaian yang dikenakan oleh Jiyeon dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas dan menatap wajah perempuan itu.

"Hmm.."

"Dengan pakaian seperti itu?"

Jiyeon memandang dirinya sendiri. Memangnya ada yang salah dengan pakaiannya sampai-sampai Sehun bertanya seperti itu?

Tidak ada yang salah dengan pakaiannya.

"Memangnya ada apa dengan pakaianku? Ada yang salah? Kurasa tidak ada yang salah dengan pakaianku."

Sehun menghela napasnya. "Tidak ada yang salah. Hanya saja itu terlalu terbuka. Lebih baik kau ganti dengan pakaian lain saja."

Jiyeon mendecih. Terlalu terbuka?

Hei dia tidak mengenakan bikini. Bagian mananya yang terlalu terbuka?

"Tidak. Aku nyaman dengan pakaianku."

Sehun kembali menghela napasnya.

"Semalam kau ingin mengatakan sesuatu bukan?"

"Bukan semalam kurasa. Tapi dini hari tadi jika kau tidak lupa. Ah tidak, kau pasti lupa karena kau mabuk."

"Aku tidak."

"Kau iya. Kau bau alkohol tuan. Dan aku menciumnya."

"Baiklah. Aku memang minum tapi tidak sampai mabuk... Jadi apa yang ingin kau katakan? Ah, aku menemukan kartu yang ku beri kemarin di nakas."

"Aku mengembalikannya."

"Kenapa? Apa karena isinya tidak sebanyak yang dimiliki orangtuamu?"

Jiyeon mengernyit tak suka dengan ucapan Sehun. Lantas dia mendudukan diri disisi kosong sofa.

"Apa yang ada dipikiranmu aku adalah perempuan penggila harta?"

"Kau menolak menikah denganku karena aku miskin dan kau menolak tinggal di sini karena rumah ini kecil."

Jiyeon menutup bibirnya rapat-rapat. Apa yang diucapkan Sehun memang benar adanya.

Tapi bukan itu alasan mengapa dia mengembalikan kartu. Melainkan karena merasa bersalah, sudah berbohong.

"Tapi pada akhirnya aku tetap menikah denganmu dan tinggal di rumah ini."

"Karena kau tidak punya pilihan lain."

Jiyeon berdecak lalu melepas tas dan sepatunya kemudian menggeletakannya dilantai dengan sedikit lemparan. Sehun yang melihat itu mengernyit bingung.

"Kau tidak akan pergi?"

"Aku ingin. Tapi kau membuat mood-ku hancur sampai ke dasar!"

"Aku?"

"Jika kau ingin pergi, pergi saja. Tidak perlu memperdulikan aku."

Sehun mengangkat sebelah alisnya. "Tanpa kau suruhpun, aku memang akan pergi."

Jiyeon tanpa sadar menajamkan pandangannya.

"Ya. Pergilah." Dia hendak pergi ke dalam kamar namun Sehun mencekal tangannya sehingga dia kembali terduduk.

"Sebelum aku mendengar apa yang ingin kau katakan padaku. Aku tidak akan pergi kemanapun."

Jiyeon terdiam sejenak. "Aku sudah mengatakannya dini hari tadi. Dan aku tidak mau mengulanginya."

"Aku tidak mengingatnya."

"Itu karena kau mabuk."

"Aku tidak."

"Jika tidak maka kau tidak akan lupa dengan apa yang sudah aku katakan!" Ujar Jiyeon cepat.

Sehun tahunya malah tersenyum dan itu berhasil membuat Jiyeon semakin kesal.

"Kenapa tersenyum? Apa aku terlihat sedang melucu hm?"

Sehun masih mempertahankan senyumannya. "Kepalaku pusing karena efek minum semalam tapi anehnya ocehan dan teriakanmu itu tidak menggangguku sama sekali." Tidak bermaksud menggombal atau apapun sejenisnya, hanya saja Sehun mengatakan hal yang sebenarnya dia rasakan tapi tahunya itu malah membuat wajah Jiyeon merona.

"Yak!" Jiyeon kembali berteriak dengan wajah meronanya.

Sementara itu...

Seung Ho terlihat cemas sembari memandang ponselnya. Sudah lebih dari tiga kali dia menghubungi Jiyeon namun perempuan itu tak kunjung menjawab panggilannya.

“Aish... sial!” Seung Ho meremat ponselnya. JB yang memperhatikannya dibalik pintu bergumam jika yang membuat Seung Ho seperti sekarang adalah perempuan itu.

“Hyung.” panggil JB sembari menghampirinya.

“Ada apa?” sahutan Seung Ho terselip nada kesal.

“Hyung, ada apa denganmu? Kau terlihat tidak seperti dirimu yang biasanya.” Ujar JB menyampaikan apa yang dia rasakan akhir-akhir ini . “Kau berubah hyung. Apa karena ‘perempuan itu' hyung jadi seperti ini?”

“Bukan ‘perempuan itu’ tapi Jiyeon.”

JB membuang nafas kasar “Hyung sadarlah. Jiyeon itu korbanmu selanjutnya, tidak seharusnya kau mencintai dia hyung. Ingat itu.” JB mengingatkan. Dan ya, meski tidak diingatkan pun dia masih mengingatnya dengan sangat jelas. Hanya saja rasa cinta yang dia miliki untuk perempuan itu membuat pikirannya kacau dan rasa sesal karena menerima permintaan kliennya menyeruak dihati.

Seung Ho atau Harry mengusap wajahnya kasar. “Aku tahu! Tidak perlu kau ingatkanpun aku tahu jika dia adalah korbanku selanjutnya. Tapi aku sudah terlanjur mencintainya.”

“Hyung...”

“Baru kali ini aku merasakan jatuh cinta pada seorang perempuan dengan begitu tulus.”

Lagi, JB lagi-lagi membuang nafasnya kasar. “Hyung tapi perempuan itu sudah menikah dan suaminya itu adalah Oh Sehun. Pria yang sudah menangkap Alex hyung.”

Seung Ho memejamkan matanya. “Oh Sehun. Ya, pria itu yang sudah menangkap Alex hyung, dan pria itu juga yang sudah menghalangiku memiliki Jiyeon.” Seung Ho membuka matanya dan seringaian terlukis diwajah tampannya. Siapapun yang melihatnya pasti merasa ketakutan termasuk JB.

“Akan ku bunuh dia sehingga Jiyeon bisa menjadi milikku.”

“Tapi hyung bagaimana dengan__.”

“Aku akan membatalkannya. Kembalikan semua uang yang dia berikan padaku. Aku tidak akan membunuh perempuan yang aku cintai.” Seung Ho beranjak dari duduknya. Dia melangkah kemudian menjedanya sejenak. "Ah ya, media sudah mulai memberitakan 'kegiatan' kita."

"Tapi kita masih aman. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pelakunya adalah kita."

"Tidak ada seorangpun yang tahu? Apa kau yakin tidak akan ada seorangpun yang menyelidiki setelah media memberitakan itu semua?"

JB mematung saat Seung Ho menaikan satu oktaf nada bicaranya.

"Apa kalian melakukannya dengan 'bersih'?"

JB hanya mampu terdiam.

"Dengar, temui si tua bangka dan berikan tambahan uang padanya. Katakan padanya untuk memastikan bahwa kita semua aman dan tidak ada yang menyelidiki."

JB mengangguk paham. "Baik hyung."

"Juga, katakan pada dia untuk bekerja sama agar pembebasan Alex hyung bisa berjalan lancar."

"Ya hyung!"

Kemudian Seung Ho kembali melanjutkan langkahnya.

---

---

"Kau tidak akan pergi?" Jiyeon memperhatikan Sehun yang seusai mandi tadi hanya diam di depan televisi dan entah menonton apa karena pria itu terus mengganti-ganti saluran.

"Sudah ku katakan aku tidak akan pergi sebelum mendengar apa yang ingin kau katakan."

Jiyeon berdecak keras dengan tangan terlipat. "Dan aku sudah katakan jika aku tidak akan mengulangi karena aku sudah mengatakannya!"

Sehun mengangguk-angguk kecil. "Kalau begitu aku tidak akan pergi." Ucapannya terdengar santai.

"Terserah. Bukan urusanku." Jiyeon melangkah keluar rumah dan beberapa detik kemudian dia kembali ke dalam sembari berlari.

"Ada apa?" Tanya Sehun, khawatir karena perempuan itu kembali dalam waktu sekejap dengan berlari seolah ada yang mengejar.

"Tidak ada. Hanya mengecek waktu berlariku saja. Ternyata cukup cepat."

Sehun memandang dengan dahi mengerut. "Kau sehat?"

"Sangat." Jiyeon tahu itu adalah pertanyaan sarkas makanya dia menjawab dengan nada sinis.

"Hhaaahhhh aku ingin memeluk__ uh? Aku tidak bisa memeluknya." Jiyeon bermonolog sembari berjalan menuju lemari es. "Seseorang membuang bonekaku jadi aku tidak bisa memeluknya." Lanjutnya dan Sehun yang mendengar hanya mendengus.

Sehun melirik ponselnya yang berdering.

Myung Hee kembali menghubunginya.

Sebenarnya dia merasa tidak enak hati karena tidak bisa menjenguk padahal sudah berjanji datang.

DING DONG!

Terdengar suara bel. Sehun beranjak dan membuka pintu.

Itu ketiga sahabat Jiyeon.

"Hai. Apa kami mengganggu?" Suzy yang bertanya.

"Tidak. Masuklah." Sehun mempersilahkan.

"Yak! Kalian datang!" Jiyeon berseru saat melihat ketiga sahabatnya. Dan teriakan itu berhasil membuat Sehun yang sedang menutup pintu menggelengkan kepala.

"Kau tidak datang dijam seharusnya kita bertemu dan kau juga tidak menjawab panggilan kami, jadi kami datang kesini."

"Uuu~h Suzy-ya, kalian sungguh mengerti aku. Kemarilah. Akan kuceritakan mengapa aku tidak bisa pergi." Jiyeon mengambil ponsel Sehun yang ada disofa dan membiarkan ketiga sahabatnya duduk.

"Seseorang membuat mood-ku hancur sampai ke dasar. Jadi aku tidak bisa pergi." Jiyeon bercerita sembari melirik Sehun dengan ekor matanya.

Suzy, Ji Eun, dan Eun Ji yang menyadari kemana arah lirikan itu tersenyum kaku. Di dalam hati mereka bergumam bahwa hubungan suami-istri itu sama sekali belum membaik atau mengalami perubahan menuju baik.

"Ponselku." Sehun tidak peduli dengan sindiran Jiyeon. Dia meminta ponselnya yang ada ditangan perempuan itu.

"Ah? Ponsel?"

Sehun menggedikan dagunya pada ponsel yang ada ditangan Jiyeon.

Jiyeon mengikuti dan mengernyitkan dahi dalam diam.

"Itu ponselku." Ucap Sehun lagi.

Jiyeon memandang Sehun sebentar, lalu beralih ke ponsel dan ah!

"Ini! Ku kira ponselku." Jiyeon segera memberikan ponsel ditangannya pada sang pemilik.

Sehun menggelengkan kepala lantas melenggang pergi menuju dapur mencari makanan.

"Lalu dimana ponselku?" Jiyeon mulai mencari-cari dan teringat jika ponselnya ada di dalam tas yang akan dia pakai pergi tadi. Lalu dimana tasnya?

"Mencari apa?" Tanya Eun Ji yang melihat Jiyeon celinguk sana celinguk sini.

"Tasku." Jawabnya masih mencari.

"Apa yang itu?" Ji Eun menunjuk tas selendang hitam yang ada didekat kaki meja.

"Ah ya benar. Bagaimana bisa ada disini?" Jiyeon mengambilnya lalu mengeluarkan ponselnya.

"Tapi pada akhirnya aku tetap menikah denganmu dan tinggal di rumah ini."

"Karena kau tidak punya pilihan lain."

Jiyeon berdecak lalu melepas tas dan sepatunya kemudian menggeletakannya dilantai dengan sedikit lemparan.

Dan tas itu berakhir didekat kaki meja.

"EOH?!!" Jiyeon berjengit kaget saat mendapati banyak panggilan tak terjawab dari Seung Ho.

"Ada apa?" Tanya Suzy.

"Seun Ho oppa meneleponku. Banyak sekali. Ahhh bagaimana ini?"

Suzy memutar bola matanya. "Kau masih..." Suzy menjeda ucapannya saat Eun Ji menyenggol lengannya dan memberi kode untuk menurunkan volume bicara karena ada Sehun didekat mereka. Perempuan Bae itu berdecak pelan lalu lanjut bicara dengan volume suara yang pelan dan hampir berbisik. "Kau masih berhubungan dengannya?"

Jiyeon menjawab dengan anggukan.

"Bagaimana bisa?"

"Dia menyatakan perasaannya padaku."

"Tapi bukan berarti harus diterima bodoh!" Suzy mendesis kesal. Eun Ji dan Ji Eun menggelengkan kepala mereka melihat tingkah Jiyeon.

"Tidak bisa!" Suzy tiba-tiba berdiri dari duduknya. "Sehun-ssi maafkan aku, tapi kami harus pergi dan menyelesaikan urusan kami."

Sehun yang baru menggigit apelnya menganggukkan kepala.

"Kami akan pulang sebelum pukul enam dan akan ku pastikan dia pulang dengan selamat karena kami yang akan mengantarnya kembali kesini."

Sehun menelan kunyahan apelnya. "Ah ya... Silahkan dan terima kasih."

Suzy mengangguk lalu dia menarik Jiyeon.

"Yak! Aku tidak mau pergi!" Jiyeon meronta saat Suzy menariknya keluar rumah.

"Sepatuku! Tasku! Yak Bae Suzy!!!" Jiyeon terus berteriak seiring diseret keluar rumah.

Di belakang sana Eun Ji dan Ji Eun tersenyum canggung pada Sehun.

"Maaf, Suzy memang seperti itu." Eun Ji terkekeh canggung. Dia lalu memungut tas dan sepatu Jiyeon.

"Kami pergi." Ji Eun berpamitan lalu segera pergi menyusul sahabatnya.

~ Le Samedi ~

Jiyeon mengerucutkan bibirnya, sebal karena penculikan paksa, -ah memangnya ada penculikan sukarela?- yang dilakukan oleh Suzy dan kedua lainnya.

Dia memandang Suzy tajam dengan kedua tangan terlipat dan bertopang kaki.

"Aku tidak suka dengan caramu membawaku pergi." Protesnya.

"Aku terpaksa karena kita tidak mungkin membicarakan hal ini sedangkan disana ada suamimu." Ujar Suzy.

Jiyeon mengehela napas kesal lalu menyeruput ice americano miliknya.

"Ku kira setelah pembicaraan kita tempo hari kau berpikir dan sadar dengan apa yang kau lakukan." Suzy kembali bicara. Eun Ji dan Ji Eun hanya berniat menjadi penonton atau penengah jika kedua sahabatnya ini mulai 'bermain' fisik.

"Aku sudah berpikir dan sadar dengan apa yang ku lakukan. Dengar, Seung Ho oppa mencintaiku dan aku mencintainya, jadi alasan apa yang membuatku tidak bisa memilihnya dan hidup dengannya?"

"Kau sudah menikah dengan Sehun."

"Aku meminta cerai darinya."

Sahutan cepat Jiyeon membuat ketiga temannya sontak membelalakan mata. Terlalu terkejut dengan apa yang baru saja menyapa indera pendengaran mereka.

"Kau meminta cerai darinya? Sungguh?" Tanya Eun Ji.

Jiyeon berdehem. "Maksudku akan. Sekarang belum meminta." Jiyeon menyeruput kembali kopinya. "Lagipula dia juga mempunyai perempuan lain."

Lagi. Ketiga sahabatnya kembali membelalakan mata.

"Pe...perempuan lain?" Itu Ji Eun yang berbicara.

Jiyeon mengangguk. Sejenak pikirannya melayang pada potongan pesan yang dibacanya dan juga saat Sehun berteleponan.

"Bahkan perempuan itu memanggilnya dengan 'oppa'. Tch, 'oppa'? Ha!"

Suzy memicingkan matanya lalu tersenyum miring penuh arti. "Kau... cemburu."

"Apa? Cemburu? What the... Yak, aku tidak dan tidak akan pernah."

"Tapi cara bicaramu terdengar seperti seorang istri dilanda cemburu."

Jiyeon melirik Ji Eun yang kembali bicara.

"Kau tidak perlu cemburu. Kau juga bisa memanggilnya dengan oppa." Sambung Eun Ji dan kini Jiyeon melirik padanya.

"Itu benar." Suzy menyahut santai usai meminum latte-nya. "Kau tinggal memanggil suamimu dengan 'oppa' tak perlu cemburu dan menuduh perempuan itu sebagai selingkuhannya."

Jiyeon memandang ketiga sahabatnya dengan tatapan tidak percaya. "Kalian membelanya?" Telunjuknya mengarah pada ketiga sahabatnya bergantian. "Ya Tuhan, aku tidak dapat mempercayai semua ini. Kalian sahabatku tapi kalian malah membelanya bukan membelaku."

"Karena kau yang salah disini." Ujar Suzy.

"Sahabat tidak akan membela kesalahan sahabatnya." -Eun Ji.

"Sahabat justru akan menegur dan memberitahumu bahwa kau sedang melakukan kesalahan." -Ji Eun.

"Sahabat tidak akan membiarkan sahabatnya terjerumus dalam kesalahan." Tambah Suzy yang diangguki oleh Eun Ji dan Ji Eun.

"Demi apapun itu, kalian sedang kerasukan arwah hm?"

Suzy menggedikan bahunya begitupun dengan kedua lainnya.

"Sudahlah aku tidak__." Jiyeon terdiam saat Ji Eun memberikan kartu debit yang dia kenal.

"Sebelum pergi tadi Sehun menitipkan ini padaku. Dia memintaku untuk memberikannya padamu."

Jiyeon masih terdiam sembari memandangi kartu yang baru saja diangsurkan padanya.

"Dia juga bilang kalau semua kartu pemberian ayahmu sudah diblokir. Jadi jika ingin membeli apapun gunakan itu."

Rahang Jiyeon terjatuh saat mendengar pernyataan yang terdengar mustahil ditelinganya.

"Itu tidak mungkin. Ayah tidak mungkin memblokir semua kartuku."

"Dia juga bilang jika kau bertanya atau terlihat bingung maka kau hubungi saja dia. Dia akan menjelaskannya." Ji Eun mengakhiri ucapannya dengan meminum jusnya.

"Habislah aku sekarang."

"Kau tidak Jiy. Ya Tuhan jangan berlebihan hanya karena semua kartu pemberian ayahmu diblokir. Kau masih mempunyai itu." Suzy menunjuk kartu pemberian Sehun.

Jiyeon mengambilnya dengan ragu-ragu. Dia memejamkan matanya dan berniat mematahkan kartu itu sebelum akhirnya mendengar celetukan Eun Ji yang membuatnya urung.

"Kau patahkan itu dan kau akan benar-benar habis Jiy."

Jiyeon melengkungkan bibirnya ke bawah, merengek layaknya anak kecil lalu menangis sembari menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan.

"Aku tidak mengira Sehun akan melakukan itu." Gumam Suzy entah pada siapa. Pasalnya dia juga terkejut akan tindakan yang diambil oleh suami sahabatnya itu.

---

Kyungsoo menatap khawatir Suho yang baru saja kembali dari ruangan atasan mereka. Pasalnya pria bernama asli Kim Junmyeon itu terlihat murung.

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

Suho mendudukan diri dikursi dan terdiam. Dia masih enggan untuk menjawab.

"Hyung__."

"Kita ketahuan."

"Apa?" Kyungsoo terkejut sekaligus bingung. "Ketahuan apa maksudmu hyung?"

Suho menatap Kyungsoo yang berdiri di hadapannya. "Sepertinya ada yang mengetahui soal apa yang kita lakukan sekarang."

"Maksudmu soal penyelidikan rahasia itu?"

Suho mengangguk. "Kita harus lebih berhati-hati karena jika tidak maka kita akan__."

"Dipindahkan ke kantor lain?"

"Itu lebih baik. Tapi sayangnya bukan itu. Melainkan kita akan diberhentikan secara paksa."

"Dipecat maksudmu hyung?"

Suho mengangguk. "Kita harus memberitahu Sehun dan Kai." Dia menoleh ke meja dan menemukan ponsel Kyungsoo yang menunjukan foto seorang perempuan.

"Yak, siapa dia?" Suho mengambil ponsel Kyungsoo dan diamatinya foto perempuan itu.

Kyungsoo sempat terkejut namun dia kembali mencoba untuk tenang.

"Oi, siapa dia?" Tanya Suho lagi.

"Tunanganku."

"Apa?" Suho melotot kaget. Dia lalu menatap Kyungsoo. "Tunanganmu?"

Kyungsoo mengangguk.

"Sejak... sejak kapan kau__."

Kyungsoo merebut ponselnya. "Sudah cukup lama."

"Lalu kenapa kau tidak memberitahu kami?"

"Karena aku tidak suka mengumbar masalah pribadiku."

Suho tahunya mendesah lelah. "Ya Tuhan, jadi hanya aku saja disini yang tak punya pasangan?"

Dan Kyungsoo menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah merasa iba dengan ratapan rekannya ini.

---

Sehun dalam perjalanan menuju rumah sakit saat ponselnya berdering. Dia menoleh pada ponselnya dan nomor tidak dikenal menghubunginya.

Siapa?, batinnya.

Dia berniat menjawab namun panggilan itu sudah terputus. Dia tidak ambil pusing dan kembali fokus dengan jalanan didepannya.

...

..

.

Nomor yang tidak dikenal kembali menghubunginya saat dirinya sedang berjalan dilobi rumah sakit. Kali ini dia berhasil menjawabnya.

"Halo."

["Sehun-ssi?"]

Dahi Sehun mengerut saat mendengar suara perempuan yang terdengar asing.

"Ya. Siapa ini?"

["Ji Eun. Aku Ji Eun sahabat istrimu."]

Ah, sahabat istrinya.

"Ya Ji Eun-ssi ada apa?"

["Maaf, tadinya aku bermaksud menghubungimu lewat ponsel Jiyeon tapi ponselnya kehabisan baterai. Jadi aku meminta nomormu dari paman Park."]

Sehun lagi-lagi mengerut bingung. Sahabat Jiyeon ini menghubunginya apa karena terjadi sesuatu atau sekedar berbasa-basi atau curhat darimana asal dia mendapat nomornya?

"Ah begitu." Hanya dua kata itulah yang dapat Sehun berikan sebagai respon.

["Huum... Ah ya, kau dimana sekarang Sehun-ssi? Apa kau bisa datang ke rumah sakit Hyeonseong?"]

Langkah Sehun terhenti tepat di depan pintu kamar Myung Hee.

"Apa terjadi sesuatu?"

["Sebenarnya tidak terlalu parah, hanya saja__ Yak Park Jiyeon! Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak bisa tenang?..'tapi ini sakit! Yak! Jauhkan tangan kalian!'.."]

Itu suara Jiyeon. "Kalian dimana sekarang?"

"UGD rumah sakit Hyeonseong." Sehun menutup panggilannya lalu dengan segera berlari menuju ruang UGD karena kebetulan rumah sakit yang disebutkan Ji Eun tadi adalah rumah sakit yang sama dengan Myung Hee.

...

..

.

Jiyeon menatap tajam pada dokter perempuan yang baru saja mengobati luka robek didahinya. Tidak terlalu dalam dan lebar sehingga dokter hanya memberikan penanganan dengan memberikan lem kulit khusus untuk menjaga pinggir luka menyatu hingga sembuh nanti.

Sehun datang dengan napas terengah. Dia menatap Jiyeon yang juga menatapnya dengan bingung.

"Kenapa kau disini?"

"Aku yang menghubunginya." Ji Eun mengangkat tangannya.

"Apa?"

"Kau tidak bisa tenang saat diobati tadi jadi aku menghubungi suamimu karena mungkin saja dia bisa membantu untuk membuatmu tenang. Tapi ternyata dia datang setelah kau selesai diobati."

"Kau baik-baik saja?" Tanya Sehun dengan napas yang terlihat normal.

"Aku baik dan sangat baik! Ah! Pelan-pelan!" Jiyeon meneriaki perawat yang tidak sengaja menekan lukanya saat menempelkan perekat pada kain.

"Maafkan saya. Saya tidak sengaja." Ujar perawat itu lengkap dengan bungkukan yang dibalas rengutan sebal oleh Jiyeon.

"Dia dari tadi terus seperti itu. Pada dokter yang menanganinya juga." Ucap Ji Eun pada Sehun dengan nada berbisik. Khawatir jika Jiyeon dapat mendengarnya.

"Apa sudah seles_ ah, kau disini Sehun-ssi?" Suzy terkejut akan sosok Sehun.

"Aku yang menghubunginya." Ji Eun kembali mengangkat tangannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Sehun.

Ji Eun menatap Suzy, memberu kode agar perempuan itu yang menjawab. "Tadi saat mengetahui semua kartu pemberian ayahnya diblokir, Jiyeon menangis dan..."

"Mengamuk." Sambung Ji Eun.

"Eh?"

"Dia sepertinya terkejut karena ayahnya melakukan hal itu. Kami juga terkejut karena setahu kami paman Park tidak akan tega melakukan hal yang dapat membuat putrinya marah atau kecewa. Tapi mungkin paman punya alasan lain__."

"Aku yang memintanya."

Suzy dan Ji Eun saling bertatapan lalu ber-ah panjang sambil mengangguk-angguk kecil.

"Kami sudah menikah dan dia adalah tanggung jawabku jadi aku tidak ingin dia menggunakan uang pemberian ayahnya."

Suzy mengangguk paham.

"Jadi luka itu?"

"Ah ya, luka itu Jiyeon dapat karena tersandung kakinya sendiri saat berniat pergi menemui paman Park dan tidak sengaja dahinya terbentur sudut meja. Dokter bilang lukanya tidak parah dan kami sengaja membawanya kemari karena terkejut melihat darah yang keluar dari lukanya." Jelas Suzy. "Maaf sudah membuatmu khawatir."

Sehun mengangguk kecil. "Tidak apa-apa. Terima kasih."

Suzy membalas anggukan itu. "Karena kau sudah disini kami pamit pulang."

"Ah ya silahkan."

"Jiyeon-ah, kami pulang dulu. Pai pai~"

"Yak mau pergi kemana kalian? Jangan tinggalkan aku!"

"Maaf nona, tolong jangan banyak bergerak."

"Aish!! Kenapa lama sekali hah?!"

"Maafkan saya."

Sehun hanya diam melihat Jiyeon yang emosi.

"Jiyeon bilang kau punya perempuan lain yang memanggilmu oppa. Jadi tolong jelaskan padanya jika itu tidak benar." Ji Eun berbisik pada Sehun sebelum melangkah pergi dari sana.

"Jiyeon pasti akan menyesal jika benar berpisah dengannya." Ucap Ji Eun pada Suzy yang berjalan disisinya.

Suzy mengangguk setuju.

Sementara itu...

Sehun mengucapkan terima kasih pada perawat yang sudah menyelesaikan penanganannya pada Jiyeon.

Ditatapnya Jiyeon yang memasang wajah masam.

"Kau ingin pulang sekarang?"

Jiyeon menoleh begitu mendengar pertanyaan Sehun.

"Jangan sok peduli padaku." Jiyeon kembali membuang wajahnya.

Sehun menghela napas lalu berdiri tepat di hadapan perempuan itu.

"Aku mempunyai perempuan lain?"

"Huh?"

"Darimana kau mendapatkan info itu?"

Jiyeon memandang Sehun dengan tatapan malas. "Dari seseorang yang dapat aku percaya."

"Siapa?"

"Ponselmu."

Sehun mengerutkan dahi. "Setahuku ponsel bukanlah manusia yang dapat disebut dengan seseorang."

"Terserah. Tapi yang pasti itu dapat aku perca__."

"Myung Hee."

"Huh?"

"Jika kau melihatnya dari ponselku, hanya ada dua kontak perempuan disana selain dirimu dan itu adalah Myung Hee."

"...................."

"Dia perempuanku yang lain. Tapi bukan perempuan lain dalam status yang negatif. Kau tahu maksudku."

Jiyeon membuang wajahnya. Merasa tertohok akan ucapan Sehun.

"Dulu dia adalah cinta pertamaku tapi sayang dia tidak mencintaiku. Jadi aku mundur dan sekarang hanya kuanggap sebagai adikku. Dan dia adalah kekasih Kai."

Jiyeon kembali menatap pada Sehun yang juga tengah menatapnya.

"Kai dan aku sudah berteman lama, dan saat bertemu dengan Myung Hee, perempuan itu langsung jatuh cinta padanya."

"Kau dicampakan."

"Tidak. Aku tidak pernah menjalin hubungan dengannya. Jadi aku tidak dicampakan. Karena yang namanya dicampakan itu adalah disaat kita menjalin hubungan, kekasih kita memilih pria lain."

"Kau sedang menyindirku?"

Sehun menggeleng. "Tidak. Aku hanya sedang menjelaskan definisi dari dicampakan."

Jiyeon kemudian mendengus.

"Myung Hee sedang sakit dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit ini. Mau menjenguknya?"

~ Le Samedi ~

Canggung, tidak nyaman dan merasa salah tingkah. Itulah yang sedang Jiyeon rasakan saat ini.

Dia mengulas senyuman canggungnya saat Myung Hee menatapnya dengan mata berbinar dan senyuman lebar.

"Eonni, kau sungguh cantik! Sehun oppa sangat beruntung mendapatkanmu. Sungguh!"

"Haha terima kasih Myung Hee-ssi."

"Tidak tidak! Jangan panggil aku begitu. Panggil Myung Hee saja."

Masih dengan senyuman canggungnya Jiyeon mengangguk.

Disofa sana, Sehun dan Kai hanya diam dan sesekali tersenyum melihat Myung Hee yang antusias sedang Jiyeon yang canggung.

"Aku tidak tahu kau datang bersamanya."

"Sebuah ketidaksengajaan." Sehun menjawab dengan manik yang tak terlepas dari wajah Jiyeon.

.

"Maaf aku tidak bisa datang ke pernikahan kalian." Myung Hee meraih tangan Jiyeon dan menggenggamnya.

"Tak apa." Jiyeon mencoba untuk melepas genggaman itu karena dia masih belum merasa nyaman namun perempuan yang tengah sakit itu menggenggamnya dengan erat.

"Aku janji setelah keluar dari rumah sakit nanti aku akan membelikan kalian hadiah! Ah atau aku akan meminta Kai oppa untuk membelikan kalian hadiah!" Menoleh pada Kai. "Iya 'kan oppa?"

Kai mengangguk dengan senyumannya.

"Eonni, hadiah apa yang kau inginkan?"

Jiyeon tidak bisa menjawab.

"Apa... uhm... apa eonni..."

"Ya?"

Myung Hee terlihat ragu tapi dia meneruskannya. "Apa eonni sudah mengandung? Jika sudah aku akan meminta Kai oppa membelikan pakaian atau perlengkapan bayi."

Wajah Jiyeon sontak merona parah saat mendengar pertanyaan polos keluar dari Myung Hee.

Begitupun dengan Sehun yang terlihat salah tingkah sedangkan Kai tertawa terbahak.

"Kenapa? Kai oppa kenapa kau tertawa?" Myung Hee terlihat bingung.

"Apa belum?" Menoleh pada Jiyeon lalu beralih menoleh pada Sehun karena tak mendapat jawaban.

"Belum ya? Ya Tuhan, maafkan aku. Aku tidak tahu sungguh. Eonni..." mengeratkan genggamannya pada tangan Jiyeon. "Jangan bersedih dan jangan menyerah. Jika masih belum teruslah berusaha. Aku yakin suatu saat nanti kalian akan mendapatkannya. Fighting! Oppa Fighting!" Semangatnya pada Sehun yang menutupi wajah dengan tangan kanannya.

Jiyeon menundukan kepalanya dalam. Wajahnya sudah sangat merah bahkan sampai ke telinga.

"Ahh~ aku tidak sabar melihat anak-anak kalian. Apakah cantik mirip eonni atau tampan seperti Sehun oppa atau perpaduan antara kalian!"

---

---

---

"Aku tidak mau menjenguknya lagi!" Jiyeon turun dari mobil Sehun lalu berjalan cepat menuju rumah. "Dia sangat cerewet!"

Sehun terkekeh melihat Jiyeon yang menggerutu sembari membuka pintu rumah.

"Aku ragu kalau dia sedang sakit. Dia terlihat sangat sehat dan semangat terlepas dari wajahnya yang pucat." Jiyeon menghempaskan bokongnya disofa.

"Dia seperti itu karena merasa senang dan nyaman berada didekatmu. Jika berada disekitar orang yang membuatnya tak nyaman dia akan menutup mulutnya rapat-rapat." Sehun memperhatikan Jiyeon yang membaringkan setengah badannya disofa.

"Kau lelah?"

Jiyeon terkejut saat Sehun tahunya berjongkok tepat di depan wajahnya. Dia hendak bangun namun elusan lembut pada kepalanya membuat tubuhnya terasa enggan untuk bangkit.

"Kau lapar? Ingin aku buatkan sesuatu?"

Jiyeon tak langsung menjawab. Dia hanya diam sembari memandangi wajah Sehun.

"Kau... tidak bekerja?"

Sehun menggelengkan kepalanya. "Pukul delapan nanti aku harus bertemu dengan teman-temanku. Jadi sebelum aku pergi kau ingin aku buatkan ses __."

"Jangan pergi."

"?"

- To Be Continued -
.
.
.
.
.
.
A/n:

Jangan lupa untuk vote dan komennya yaaa...
Maaf jika typo jalan-jalan...
Inget, jangan lupa vote dan komen.
Thank youuu ❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 94 12
its what you think it is, love 💋 I love iñaki, like I'm about to blow up my house if he's not under my Christmas tree this year 😡
945K 21.6K 49
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
1.4K 75 7
They were born from same womb. But were not the best thing to keep together. From the birth,or before birth,they made choices. One almost died feedin...
465K 31.5K 47
♮Idol au ♮"I don't think I can do it." "Of course you can, I believe in you. Don't worry, okay? I'll be right here backstage fo...