Pelangi Tengah Malam

By naiqueen

428K 59.6K 6.8K

Annamaraluna Tejakusuma tidak pernah ingin menjadi penerus Tejan Investama, namun perusahaan rokok keluarga y... More

1. Menjelang Ajal
2. Mimpi buruk
3. Pertemuan kembali
4. Saran
5. Sumber kebencian
6. Masa yang terlewati
7. Yang lebih baik
8. Serangan
9. Si Cantik
10. Presumption
11. Between Camouflage and Allegation
12. Miliknya
13. Confession
14. Hati ke hati
15. Bangga
16. Menyambut badai
17. Ice Cream Monsters
18. Wanita Ular
Duuuuuh!!!
19. Gosip
20. Ingin menyerah
21. Rahasia
23. The Deal
24. Kegemparan (1)
25. Kegemparan (2)
26. Confrontation
27. Past and Future

22. Sesederhana itu

16.5K 2.4K 471
By naiqueen

Sesebabang balik lagi doong 😊😊
Emak lagi males edit ya guys, jadi yaaah ...

“Daddy masih sibuk nggak!”

El tersenyum mendengar voice mail yang dikirimkan Valeraine lewat ponsel Risa. Gadis kecilnya belum bisa menulis pesannya sendiri dan mengirim pesan suara jadi opsi yang lebih mudah untuk dilakukan.

Tanpa berpikir El melakukan panggilan video call ke Risa. Begitu tersambung wajah Vale yang tersenyum menyambutnya.

“Baby,” sapa El sumringah, jelas-jelas tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya saat melihat wajah imut Valeraine. “Dad masih dikantor nih, Vale lagi apa?”

“Lagi nunggu Daddy sama Mommy pulang.”

Jawaban Valeraine membuat El mengernyit, “hmm … Mommy lagi pergi juga ya?” puteri kecilnya mengangguk dengan bibir tertekuk membentuk ekspresi cemberut yang menggemaskan.

“Vale sendirian, Dad masih lama nggak kesininya?”

El melirik sekilas jam tangannya, “mungkin sekitar satu jam lagi kerjaan Dad selesai, Daddy langsung ke sana.”

Vale mengangguk cepat.

“Vale mau dibawain apa sama Daddy?”

“Krispy Kreme boleh?”

El tersenyum lebar, “oke!”

“Yeaaaay!!” Valeraine berteriak senang, sepasang ayah dan anak tanpa ikatan darah itu bercakap-cakap sebentar sebelum El mengakhiri pembicaraan karena Tanta Parameswara muncul dari balik pintu kantornya yang terbuka separuh.

PA sekaligus sahabat seperjuangannya di masa high school itu mengacungkan selembar map padanya.

“Apa itu?” tanya El penasaran.

“Orang dari kantor hukum Affandi Dharmawan yang mengantar,” jelas Tanta yang tanpa dipersilahkan langsung duduk di kursi di depan meja kerja El. “Sah sudah lo punya anak Bro.”

El tersenyum saat membaca hasil putusan pengadilan. Tinggal satu langkah lagi untuk menyelesaikan semua yang dimulainya bersama Luna.

“Gue beneran nggak ngerti alasan lo sampe senekad ini untuk mengakui anak yang bahkan nggak ada hubungan darah sedikitpun dengan lo.”

“Kata siapa?” sahut El masih sambil meneliti isi putusan.

“Hah! Jadi beneran? Anaknya Luna memang anak lo!”

El mengangguk, “ini buktinya.”

“Aiiishh bangsat! Gue kira lo beneran buat bareng The Princess, soalnya adalah rada-rada mirip lo tampangnya.”

“Ya kan anak nya aku.”

Tanta memutar mata kesal, “serah lo deh! Oh ya tadi di depan ada yang nyariin lo, bapak-bapak tapi kayaknya bukan rekan bisnis kita, sama Tina sudah dikasih tau kalo nggak ada janji nggak bisa masuk tapi dia nekad nunggu.”

El mengernyit, “ada ngasih nama?”

Tanta mengangguk, “cuma gue lupa, bentar deh sini aku hubungin Tina,” kemudian tanpa permisi Tanta menggunakan line pribadi CEO untuk menghubungi sekretaris El itu, aksinya diabaikan oleh El yang kembali fokus pada berkas-berkas pribadi Valeraine. Salah satu yang cukup membuat El terkejut adalah kelahiran Vale ternyata bukan tercatat di catatan sipil negeri Belanda melainkan Belgia.

“Namanya Lukman Ganesha,” suara Tantra membuat pikiran El teralih. “Lo kenal?”

El berdiri kaget, “guru beladiriku.”

“Ah!”

“Masih di depan orangnya?” tanya El yang diangguki Tanta. Dan diluar kebiasaan, kali ini El tidak menyuruh orang lain untuk mempersilahkan tamunya masuk. CEO Halatara itu justru keluar untuk menjemput laki-laki yang sudah dianggapnya seperti ayah kandungnya sendiri.

--------

“Lama tidak ketemu Nak!” Lukman Ganesha tersenyum lebar sambil menerima cangkir kopi yang diserahkan El padanya. “Harusnya aku tidak perlu heran melihat sepak terjangmu, tapi tetap saja …,” Om Lukman mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar, “pencapaianmu ini luar biasa.”

El hanya tersenyum mendengar sanjungan itu. Dan mau tak mau ingatannya kembali memutar nasehat yang laki-laki tua ini beri saat dia dulu menjadi tawanan Luna.

‘Nona, dia tidak melihat siapa dirimu yang sekarang, melainkan … masa depanmu.’

Sekarang mereka semua sudah berada jauh dari masa itu, tapi hanya sedikit hal yang bisa El ubah jika menyangkut hubungannya dengan sang wanita tercinta.

“Om sudah bertemu Luna?” El mengalihkan pikirannnya dengan pertanyaan yang dijawab Lukman dengan gelengan.

“Hanya main sebentar, Nona tentu sangat sibuk sekarang …posisinya diperusahaan masih belum stabil, jadi Om lebih pilih menemui lebih dulu,” Lukman menyesap kopinya perlahan-lahan, menahan cangkirnya ditangan sebelum menatap El kembali.

“Derry bilang kalian sudah punya anak?” 

El mengangguk pelan. “Perempuan, namanya Valeraine,” El tersenyum seraya menundukkan kepala saat kembali mengingat wajah gadis kecilnya. “Anak yang sangat cantik sampai memilikinya terasa seperti mimpi.”

Dan tepukan dibahu dia terima dari pelatih beladirinya itu. “Om bangga sama kamu, untuk perjuangan dan kepercayaan kamu pada Nona, kalian dipisahkan dengan kejam tapi meski demikian masih bisa saling bertahan … itu mengagumkan.”

“Dipisahkan!" ulang El datar, meski demikian dia tidak berani mengatakan kebenaran kalau bertahun-tahun lalu Luna meninggalkannya begitu saja. Meski begitu dia dengan bodohnya mencintai Luna tanpa henti. Ketimbang rasa bangga seharusnya Om Lukman mengasihaninya, pikir El sinis.

Hembusan nafas panjang dan berat Om Lukman dan tatapannya yang menerawang seakan mampu menembus tembok kantor El, terasa janggal.

“Nona sudah banyak berkorban … bahkan sampai sekarang, tapi Om  bisa tenang karena sudah ada kamu bersamanya, kamu akan menjaganya bukan?”

“Tentu,” El menjawab mantap.

“Juga … jadilah Ayah yang baik untuk anak kalian. Jangan beri dia mimpi buruk hanya demi ambisi maupun rasa serakah pada harta yang tidak ada habisnya, jangan ulangi kesalahan Handoko Tejakusuma, sekaya apapun dirimu … tidak akan ada gunanya kalau nyawa keluarga yang dikorbankan.”

El mengernyit dalam, “Maksud Om apa?”

Lukman Ganesha menggelengkan kepalanya seakan apa yang ada didalam benaknya membuatnya merasa tak habis pikir. “Seumur hidup aku sudah menghadapi banyak penjahat kejam di jalanan, tapi …,” laki-laki paruh baya itu terawa miris. “Penjahat terkejam yang aku temukan justru lelaki yang tampak seperti malaikat dimata orang lain.”

“Maksud Om, Tuan Handoko?”  

Lukman mengangguk, “tidak ada ayah lain yang sanggup berkeras hati memaksakan kehendaknya selain Handoko Tejakusuma, dia tidak mengendurkan kehendaknya dan membiarkan Nona memilih sendiri jalan hidupnya bahkan disaat Nona koma.”

Koma.

Kata-kata itu berputar-putar dalam benak El. Dan saat mengulanginya suaranya terdengar mengambang. “Koma!”

“Masih ingat dengan janji Nona untuk menemanimu konferensi pers?”

El selalu mengingatnya. Hari saat Luna membuangnya.
  
“Nona tidak bisa datang karena Handoko mengurung Nona dengan penjagaan selusin bodyguardnya, aku sendiri dipisahkan dalam penjagaan ketat pengawal tak dikenal … aku nggak tahu seperti apa jalan ceritanya, tapi aku yakin Nona melakukan perlawanan, yang aku tahu … tengah malam itu Nona dilarikan ke rumah sakit karena percobaan bunuh diri yang nyaris berhasil …Nona koma selama tiga hari tapi begitu sadar yang kudengar Tuan besar mengirimnya keluar negeri tanpa sedikitpun memberinya kesempatan untuk menemui siapapun di Jakarta.”

Bunuh diri! Benak El terasa kosong. Dingin yang mengerikan melingkupi dirinya dengan cara yang sangat menakutkan.

“Lama setelahnya aku baru tahu kalau saat sadar Nona membuat pertukaran dengan Tuan. Nona akan menuruti apapun keinginan Tuan selama Tuan menjamin masa depanmu.”

Dan kenyataan itu cukup untuk mengguncang dan menghancurkan ego El hingga ketitik terkecil yang dia miliki.

*****

“Papimu sudah tahu hal ini sejak belasan tahun yang lalu.”

Suara Eloise menggema lagi dalam benak Luna saat dirinya melangkah melewati selasar dalam rumahnya.

“Karena itu dia memberikan beasiswa alih-alih melenyapkan El, padahal  lebih dari mampu untuk melakukannya,” Luna melihat tatapan mata Eloise yang muram, “seperti yang dilakukannya pada kekasihku.”

“Kupikir dia melakukannya karena El adalah kekasihmu, tapi aku salah  ... Papi tercintamu tidak akan pernah menyingkirkan El karena dalam diri mereka mengalir darah yang sama …tapi itu tidak menghentikannya memanfaatkan El untuk menyentuh titik lemahmu,” Eloise tertawa parau, meski demikian Luna tahu kalau mantan istri papinya itu sedang mengejeknya.

“Jangan terkejut, Papimu memang sekejam itu.”  

“Dari mana kamu tahu tentang El dan hubungannya dengan Om Tanoto?”

Eloise terkekeh, “Lukisan Zheng Li, tidakkah kau pernah memperhatikan sedikit lebih lama.”

Zheng Li adalah nama Kakek buyut Luna, imigran asal Kanton yang mendarat di Gresik pada Era penjajahan Belanda, bekerja untuk seorang janda priyayi kaya yang kemudian dinikahinya dan memulai kerjasama distribusi dengan pabrik rokok yang bangkrut dan kemudian dibelinya.

Zheng Li, yang kemudian mengubah namanya menjadi Linggar Tejakusuma.

“Kekasihmu mungkin memiliki warna kulit dan mata serupa milik Ariadne Belinda, tapi struktur wajahnya mencetak sempurna wajah kakek buyutmu, kurasa Papimu bahkan sudah menyadari itu sejak pertama bertemu dengannya.”

“Kurasa papi tidak akan senaif itu,” bela Luna datar. “Dia tidak akan langsung mencari tahu tanpa bukti yang konkrit,” dan kemiripan wajah bukanlah salah satu bukti.

“Memang tidak, tapi kurasa Handi sangat paham seperti apa karakter sepupunya bukan!”

Luna tidak bisa membantah, Papinya dan Papi Marshel dibesarkan dalam lingkup pergaulan yang sama. Mereka juga merupakan karib yang bahkan beruliah di jurusan yang sama. Papinya tahu karakter Om Tanoto, dan bahkan daftar panjang wanita-wanitanya.

“Apa karena itu juga dulu kau memanfaatkannya untuk merusakku?”
Eloise tersenyum pahit, “yang ingin kurusak hanya Handoko Tejakusuma, menggunakanmu dan El adalah cara terbaik untuk itu. Siapa yang tahu anak itu bahkan rela menukar minumanmu yang sudah kuberi obat perangsang dengan miliknya … aku luar biasa iri denganmu karena pengorbanannya.”

Luna berdiri dari kursi yang dia duduki. “Dengan alasan itu juga kau menghancurkan masa depannya.”

“Aku tahu kamu pasti akan membelanya, tapi Handi sepertinya punya rencana lain, dia yang menghalangimu pergi untuk membela El, jadi marahlah padanya.”

Luna berdecak sinis, “yang tersisa dari Papi saat ini hanya tiga hal, mantan istri yang menyusahkan, perusahaan yang butuh diperjuangkan, dan aku yang harus menyelesaikan semua masalah itu.”

“Aku sudah mengatakan semuanya, jadi lepaskan aku,” Eloise memberontak dari ikatannya.

“Tentu,” Luna tersenyum tipis. “dengan satu syarat.”

“A-apa?”

“Bekerjalah untukku.”

Langkah Luna terhenti di ruang duduk yang ada di sayap kanan rumahnya. Pada salah satu bagian dinding tergantung lukisan seorang lelaki yang tengah duduk bersandar dengan gaya santai di sofa antik yang hingga kini masih ada di rumah keluarga mereka di Surabaya.

Luna tidak pernah benar-benar memperhatikan sebelumnya tapi seperti yang Eloise katakan, memang terdapat kemiripan antara El dan lelaki di dalam lukisan itu, tidak akan terlihat mencolok saat El masih remaja, tetapi dengan sedikit mengubah tatanan rambut, orang tentu saja akan percaya jika El mengakui lukisan Linggar Tejakusuma sebagai lukisan potret dirinya.

Luna memilih duduk di sofa tunggal yang menghadap kearah lukisan. Deretan belati koleksi mendiang kakeknya berjajar menghias meja disebelah kursi yang Luna duduki.

Tanpa sadar Luna menyentuh salah satu belati unik yang ada disana. Meski tangannya bergerak mempermainkan benda yang terbuat dari tulang burung kasuari itu, pikirannya justru tenggelam pada hal yang lain. 

Rasanya masih sulit untuk dipercaya menyadari jika El masih terhitung saudara jauhnya terlebih papinya tahu hal ini dan merahasiakannya sejak lama.  Apa yang sebenarnya direncanakan oleh Papinya? Saat ini pertanyaan itu yang menari-nari di benak Luna.

Dulu saat Marshel menolak saham Halatara Grup, sampai membuat Om Tanoto melakukan tindakan ekstrim dengan memblokir semua akses keuangan dan kesempatan bagi Mars untuk mendapat pekerjaan yang layak, Papinya memberi naungan dengan mempekerjakan Marshel di TIV meski harus memulai karir dari bawah sebagai sales supervisor di Sumatera.

Lalu El … apa yang Papinya rencanakan dengan menjauhkan El dari perlindungannya, tapi justru memberi beasiswa saat seluruh beasiswa yang telah diterima El sebelumnya ditarik lagi oleh sponsor.

Rasanya sulit dipercaya dimasa lalu papinya bisa memperdayanya dengan mudah, membuatnya tunduk dan berpikir bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan El hanyalah dengan menggadaikan kebebasannya tapi kini Luna yakin, bahkan tanpa pengorbanannya El tetap akan menerima pertolongan Handoko Tejakusuma.

Luna menghela nafas panjang dengan lelah, tetapi mata tajamnya menatap tak teralih sedikitpun dari lukisan yang tergantung diatas perapian artifisial.

Bodoh sekali, pikirannya menertawai, petunjuknya sangat jelas tapi sebelum ini dia tidak menyadarinya. 

Suara langkah yang akhir-akhir ini terasa familiar dipendengarannya membuat Luna menoleh, El melangkah dengan senyum tersungging di bibir. Tampan luar biasa dengan kepercayaan diri yang tiada bandingan, tapi yang membuat Luna tidak mampu teralih adalah karena kehadiran El menimbulkan sensasi aneh seakan-akan melihat mendiang kakek buyutnya keluar dari lukisan.

Luna menyilangkan belati di depan tubuhnya, memegang ujung-ujung belati dengan kedua tangan layaknya sedang bermain-main tapi sebenarnya—sadar atau tidak—itu adalah bentuk paling samar dari mekanisme pertahanannya dalam menghadapi pesona El.

“Aku bawa kabar bagus,” lelaki itu berlutut di depan Luna dengan salah satu tangan bertumpu di lengan kursi sementara yang lainnya ditaruh dipangkuan wanita terkaya di Indonesia itu.

Melihat Luna yang hanya mengangkat sebelah alisnya El langsung menjelaskan. “Sidang proses pengakuan status Vale sebagai anakku sudah selesai, jadi kita bisa segera mengurus akta kelahiran Valeraine.”

Luna bingung harus mengatakan apa pada antusiasme yang El perlihatkan. Lagipula ini seperti berbagi kepemilikan atas ..., pikiran lurus Luna terhenti disitu, sementara plot lain bagai tergambar dalam praduganya, membuatnya hanya mampu menatap binar dimata El sambil berusaha mengingkari kemungkinan buruk yang lelaki itu rencanakan untuk mengunci gerak langkahnya.

“Sudah mendapatkan yang kamu inginkan?” pertanyaan Luna terasa ambigu, tapi tentu saja El tahu maksudnya.

“Ini baru awal, Luv.”

“Hmm … lalu?”

“Kediaman yang kupersiapkan sudah selesai direnovasi, kamu mau ikut aku pindah ke sana?”

Luna tersenyum tipis, “apa aku masih bisa keluar dengan selamat setelah masuk ke rumahmu?”

Pertanyaan itu terkesan sangat polos hingga mampu membuat El tertawa lepas. “Lucu,” katanya masih dengan mata yang berbinar, “aku yakin setelah masuk ke rumahku kamu nggak akan mau keluar lagi.”

Keyakinan itu dilandasi rasa percaya diri El akan ikatannya dengan Valeraine. Biar bagaimanapun Luna adalah ibu yang tidak ingin terpisah dari puterinya, sementara Vale memiliki kecenderungan lebih memilihnya dibanding Luna.

Luna menggunakan gagang belati di tangannya untuk membelai sisi kiri wajah El, “memanfaatkan Vale tidak akan menghentikanku untuk mengalahkanmu.”

El tersenyum, “itu yang sangat aku harapkan darimu, aku suka perempuan tangguh.”

“Bagaimana kalau perempuan tangguhnya mengalahkanmu?”

“Tidak akan terjadi,” sahut El mantap seraya berdiri dari posisinya yang berlutut di hadapan Luna. “Aku tidak akan memberimu jalan keluar.” 

“Aku selalu punya jalan keluar sendiri, jangan lupakan itu.”

El mendengus mengejek, tapi mata kelamnya berubah muram saat dengan satu gerakan cepat Luna membuka sarung belati dan mengarahkan bagian runcing dari benda berbahan tulang kaki kasuari itu ke lekuk lehernya seraya tersenyum dingin pada lelaki dihadapannya.

El benci perasaan tak berdaya yang membelitnya hanya dengan memahami tindakan tanpa kata dari wanita tercintanya.

Luna selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai jalan keluar dari tiap masalah yang dihadapi. Dan lewat belati itu El tahu kalau Luna memilih kematian sebagai jalan keluar yang terakhir.

Cerita Om Lukman membuatnya tahu kalau Handoko Tejakusuma bahkan dibuat tak berdaya oleh Luna dengan menjadikan dirinya sendiri tameng hidup hanya agar El tetap bisa meraih impiannya.

Jemari El melingkupi tangan Luna yang menggenggam gagang belati, mempererat genggamannya disana hingga nyaris untuk sepersekian detik Luna merasa lelaki itu justru akan memberi dorongan padanya untuk mengakhiri hidup.

Tapi kemudian dalam sekejab saja ujung tajam belati berubah arah dari menempel di leher Luna menjadi rapat di dada kiri El tepat di atas bagian yang melapisi detak kehidupannya.

“Prinsip dasar permainan denganku Luv, selalu arahkan belatimu ke dada lawan bukan ke lehermu.”

Luna terkesiap saat El menambahkan dorongan hingga tekanan itu menghasilkan jejak noda kemerahan yang mulai melebar membasahi kemeja biru yang El kenakan.

Luna terkesiap dan berusaha merenggangkan genggamannya namun El menguasai genggamannya tanpa sedikitpun niat untuk mengendurkan pegangan.

“Bahkan kematian tidak akan bisa membuatmu lolos dariku.”

“El!!” mata Luna mengedar panik pada noda darah yang kian melebar dipakaian El. “Hentikan.”

“Kamu yang harus menghentikan ini semua,” tegas El dingin. “Berhenti memperalat diri sendiri, berhenti bersikap seolah-olah kamu nggak butuh kebahagiaan … seolah-olah kamu bisa melakukan apapun, hentikan semuanya!”

Luna menahan nafasnya tapi pelan-pelan mengendurkan pegangannya dan belati tulang itu jatuh keatas pangkuannya dengan sisa jejak darah El diujung bilahnya.

El masih mencengkram erat lengan Luna yang terasa dingin. Tatapan Luna tanpa ekspresi tapi El tahu apa yang Luna sembunyikan dalam pikiran dan hatinya tidak sesederhana yang mampu dia tampakkan.

“Ingat! Kita memang mempertaruhkan banyak hal Luv, tapi nyawa tidak masuk dalam pertaruhan.”

Bibir Luna gemetar, jemarinya menyentuh noda merah yang terus melebar di dada El. “Biar kuobati,” lirihnya sambil berusaha berdiri meski goyah.

-------

Luka di dada El tidak dalam tapi terus mengeluarkan darah, hingga Luna berinisiatif untuk mengobatinya sendiri. El berbaring di kamar pribadi Luna—bertelanjang dada—sementara wanita tercintanya dengan telaten berusaha menghentikan pendarahan dan mengobati luka El.

“Apa sesulit itu untuk percaya sama aku?” El nyaris berbisik saat mengatakannya.

Luna yang sedang menutup luka yang sudah dibersihkan dan diberi obat itu menghentikan sejenak pekerjaannya hanya untuk menatap El.

“Lebih sulit untuk percaya pada diriku sendiri,” jawab Luna sama pelan. Tangannya dengan cekatan menempelkan kasa berperekat ke luka El.

“Aku … pada awalnya ingin jadikan kamu jaminan kebebasanku.” Dengan semua kegemilangan El dalam prestasi akademik maupun non akademik, Luna membayangkan betapa masa depan TIV akan terjamin jika orang seperti El  bekerja untuknya.

Tapi Luna salah, El tidak semudah itu dibuat tunduk. El selalu ingin sejajar dengannya, karenanya lelaki itu selalu menempatkan diri sebagai kompetitornya.
Disaat yang sama lelaki itu justru melindunginya dari Eloise, apa yang membuat sang papi merasa kecewa karena puteri tunggal yang selama ini selalu membanggakan mulai menunjukkan kelemahan.

Yang paling fatal bagi Handoko adalah penolakan Luna untuk kuliah dijurusan yang sesuai dengan perannya sebagai pewaris masa depan TIV, itu dinilai Handoko sebagai pembangkangan luar biasa yang pernah Luna lakukan seumur hidup. 

“Tapi malah berakhir mengorbankan diri untukku, iyakan?”  Luna menatap El kaget, sementara yang ditatap hanya tersenyum tipis seraya berusaha bangun dari posisinya semula.

“Tadi siang aku bicara dengan Om Lukman, awalnya kami cuma saling bertanya kabar tapi kemudian kami terlibat obrolan yang menarik tentang masa lalu.”

El menghentikan gerakan tangan Luna yang sedang memberesi perlengkapannya ke dalam kotak obat. Cekalannya kuat tapi tidak menyakiti, dan Luna tidak berdaya saat mata El menelusuri gurat bekas luka yang memanjang dari pergelangan tangan hampir ke siku.

“Maaf!” lirih El dengan suara serak. “Maaf karena tidak pernah tahu kalau kamu juga berjuang untukku.”

Gumpalan besar seakan menyumbat tenggorokan Luna, membuatnya tersekat hingga tak mampu mengatakan apapun. Dia hanya mampu menatap dalam diam saat El mencium bekas lukanya dengan kelembutan yang nyaris seperti ritual pemujaan.

“Berjanjilah,” pinta El sambil menatap Luna, mata keduanya sama berkaca-kaca. “Jangan pernah melakukannya tanpa sepengetahuanku … jangan buat aku memelihara benci hanya untuk mengetahui kalau dalam satu kali kehidupan aku berhutang begitu banyak sama kamu. Jangan pernah lakukan itu lagi, kalau tidak,”

“Apa?” potong Luna seraya menghapus jejak air matanya kasar. “Mau mengancam ku lagi? Maaf El, tapi aku tidak selalu punya pilihan untuk bertindak sesuai dengan cara yang kau suka,” sahut Luna sarkas.

Untuk beberapa lama El tidak mengatakan apapun, hanya menatap Luna dalam-dalam. “Aku tahu dan aku tidak akan menentang atau keberatan dengan tujuanmu Luv.”

“Pembohong!” Luna tersenyum sinis, jelas dia tidak nyaman saat sisi emosionalnya ditelanjangi oleh El. “

“Aku hanya tidak menyukai caramu melakukannya,” El mengulurkan tangan untuk mengurung wajah Luna dengan tangannya. “Jangan lagi berpura-pura kuat, kau hanya tinggal memintanya kapanpun kau butuh bantuan.”

Tatapan Luna meredup, tapi kepalanya menggeleng menyuarakan kekeraskepalaannya, “aku sudah memintanya beberapa bulan yang lalu, dan kau menolak.”

“Pinta lagi,” desak El mantap.   

Luna menggeleng. “Aku tidak ingin berharap.”

“Just say it, and I will let you have it.”

Luna mengangkat tatapannya untuk menatap lurus ke dalam mata El. “Permintaanku hanya akan membuatmu jadi pengkhianat bagi APT.”

El tersenyum, “aku bisa mengkhianati apapun, Luv—bahkan diriku sendiri—tapi mengkhianatimu … adalah hal yang tidak pernah terpikirkan olehku.”

“K-kenapa?”

“Cinta,” El mendekatkan wajah dan menempelkan dahinya ke dahi kecintaannya

“….”

“Sesederhana itu.”

tbc

Cieeeee ... Yang  akhirnya ngaku.

🤣🤣🤣😋😋😋😍😍😍

Cerita dikit ya,
inspirasi bagian ini adalah instrumental nya Richard Clayderman yg judulnya L For Love.

Jadi entah kenapa pas awal2 ngeplot PTM aku lagi doyan2nya dengerin musik instrumentalia. Dan dari listnya Mbah Richard  yg paling suka L For Love sama Second Waltz rasa2nya pas denger dua musik itu sama kayak nemuin jalan hidup n karakter tokoh Ciel Alfero, dan Second Waltz adalah alur cerita cinta keduanya yg terbangun secara bertahap.

Sepanjang ngeplot aku jadi fokus sama dua lagu itu. Tapi di tiap part kadang aku pakai musik lain utk ngebangun suasana.

Aku nulis PTM ini  hampir bareng sama JMO loh tapi beda suasana pemicunya kalo pas nulis PTM aku lebih berisik karena sambil dengerin list lagu yg cocok pas nulis JMO aku cekikikan oleh beragam meme n banyolan yg lagi viral. Lagu2nya yg didengerin di JMO juga lebih bernuansa Batanghari sembilan (musik khas Sumsel) nanti di ceritain juga deh disana yah.

Selamat menikmati guys, semoga gak bosen yaaa 😚😚😚

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 88.1K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.3M 114K 26
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
557K 39.2K 61
Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya kekasih kemudian besok ia menikah dengan yang lain. Set...
5M 271K 54
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...