[✔] 1. DEAR J

By tx421cph

48.1M 4.2M 4.2M

[Telah Dibukukan, Tidak tersedia di Gramedia] ❝Untukmu, Na Jaemin. Laki-laki tak sempurna Sang pengagum hujan... More

00
Attention
01. Something Bad
02. I Called You, Nana
03. Friends?
04. Keychain
05. I'll be Loving You (Forever)
06. The Rain
07. I Told You
08. Fallin' to You
09. I'm Not
10. Between Rain and Rhyme
11. Close to You
12. No Longer
13. Getting You
14. November Rain
15. Who Are You
16. Unfathomable
17. Talking To The Moon
18. The Reason Why
19. The Truth Untold
20. Stay With Me
21. Through The Night
22. Love Bomb
23. Hello Stu P I D
24. Our Moment
25. My One And Only
26. Revealed
27. Will You Hold On?
29. Dear God
30. End Of A Day
30.5 Dear J
How To Order?
What's Next?

28. Dear Mom

997K 99.1K 54.6K
By tx421cph

Saya ingatkan dulu dari sekarang
Hapus saja cerita ini jika kalian tidak mampu lagi membacanya

Song recommendation
BTS - The Truth Untold

Happy reading ♡

Aroma khas kamarku. Selimut yang hangat. Penerangan yang temaram. Sinar matahari yang berusaha untuk menerobos masuk melalui gorden jendelaku.

Tubuhku terdiam kaku di balik selimut, dengan mata yang setengah terbuka, sama sekali tak bersemangat untuk hanya sekedar bergerak. Hatiku masih sakit.

Aku sudah dua hari tidak sekolah, tidak keluar dari kamar. Makan hanya sedikit, yang di bawakan oleh bunda dan Kak Jaehyun, dan mereka masih perlu untuk membujukku.

Di kepalaku hanya ada satu nama.

Na Jaemin.

Dia keracunan. Vonis dari Om Siwon waktu lalu sempat membuatku pingsan kemudian. Rasanya sebagian nyawaku seolah hilang.

Katakanlah aku berlebihan, kalian mungkin tidak akan mengerti perasaanku.

Ginjal Jaemin yang hanya tinggal satu, rupanya sudah tak sehat sejak lama. Om Siwon menyembunyikan fakta itu dariku.

"Na..." aku terisak, menyembunyikan wajahku dalam helaian selimut tebal. Menyeka air mataku disana. Tubuhku bergetar, saking sakitnya dadaku kala itu.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain berdoa pada Tuhan, berharap Dia akan berbelas kasih menyelamatkan makhluk-Nya yang tak berdosa itu.

Sejak pingsan hingga sekarang, aku masih belum mengunjungi Jaemin di rumah sakit. Aku sama sekali tidak punya nyali untuk sekedar melihatnya terkapar diatas bangsal. Setakut itu.

Dan keluargaku masih belum mengabari bahwa Jaemin sudah sadar atau belum.

"Hhh..."

Sial, air mataku keluar lagi. Aku tidak mau menangis, aku benar-benar tidak mau menangis. Tapi kenapa...

Rasanya sesakit ini.

Tok tok tok

Aku diam saja ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku, kemudian semakin menggulung diri di dalam selimut. Meringkuk, seperti beruang hibernasi.

"Ayah masuk ya"

Tak menunggu jawaban dariku, seseorang yang ternyata ayah itu ku dengar membuka pintu kamar.

Pasti dia mau menyuruhku makan atau keluar dari kamar.

Kurasakan, ayah duduk di sisi ranjangku. Kemudian mengelus pelan kepalaku yang menyembul di balik selimut, sementara wajahku masih bersembunyi.

"Jangan begini terus ya, kamu ini mau ujian, kamu mau masuk Universitas"

Aku diam saja saat ayah mulai berbicara. Iya, aku tahu sebentar lagi Ujian Nasional tiba, sebentar lagi aku harus masuk Universitas. Tapi...

"Sebentar yah..." parauku.

Aku masih butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri dan mengembalikan perasaanku agar kembali membaik.

Tapi sepertinya begitu sulit.

"Kamu harus belajar, supaya nggak sulit masuk Perguruan Tinggi" katanya lagi.

Aku menghela samar, "iya..."

Kudengar, ayahku menghembuskan napas yang begitu panjang. Lalu, kurasa dia mencium kepalaku, menyisir pelan helaian rambutku.

"Dia baik-baik aja, pasti. Nanti setelah dia sembuh ayah tunangin kalian berdua sekalian,"

Entah dia serius atau hanya sekedar membuatku senang.

"Ayah" sergahku lemah.

Lalu dia tertawa kecil, "Makanya sekarang kamu bangun, makan yang teratur, sekolah yang bener, lulus dari SMA dan masuk Perguruan Tinggi"

Benar apa yang dikatakan ayahku. Agaknya aku memang tidak ingin terus seperti ini. Ujianku juga sudah begitu dekat.

"Kamu harus tau bunda sama kakakmu juga khawatir. Terutama bunda, dia sampe nangis gara-gara kamu nggak mau bangun sama sekali"

Meneguk ludah dengan susah payah, menahan sesak, aku kembali meneteskan air mata. Cengeng sekali.

Kemudian, kubuka selimutku, menampakkan wajahku yang sudah tidak karuan kepada ayah. Mataku yang membengkak, hidung dan area sekitar alisku memerah bak terbakar.

"Astaga, heran ayah. Kenapa kamu habis nangis begini jadi makin cantik"

Aku mendengus pelan, lantas kembali teringat kata-kata seseorang yang begitu kuingat.

"Sudah, jangan menangis, kamu jadi terlihat lebih cantik"

Kupikir Jaemin hanya sekedar menghiburku waktu itu. 

"Aku mau ke rumah sakit" pelanku. Terduduk.

Ayah tersenyum, kemudian merapikan rambutku yang berantakan.

"Iya, nanti sama Kak Jaehyun"

Aku menggeleng segera, "Mau sendiri"

"Yakin?"

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Yaudah, kalo gitu sekarang kamu mandi terus turun, sarapan. Kamu tuh udah nggak mandi dua hari" dia tertawa renyah.

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Sampai akhirnya mengangguk kecil, ayah menghela lega, lalu dia berdiri dan segera keluar dari kamarku setelah mencium kepalaku.

Sampai ayah menghilang di balik pintu, aku masih diam saja tak bergerak. Benar-benar berat rasanya untuk turun dari kasur dan menapak lantai.

Aku menggigil, dadaku berdebar, dan napasku sedikit sesak. Syndrome traumatic-ku. Aku sering sekali mengalaminya ketika rasa ketakutanku sudah dalam tingkat yang tak wajar. Hingga sekarang.

Melawan rasa sakitku sendiri, aku segera bangun dan bergegas mandi, turun untuk menemui keluargaku, dan pergi ke rumah sakit.

Aku rindu Jaemin.

~~~

Kondisi Jaemin masih sama seperti yang di katakan keluargaku. Dia tak bergerak. Masih terbaring diatas bangsal dengan berbagai alat yang membantunya untuk bertahan. Aku tidak tahu apa itu.

Berdiri dengan kaku tak jauh dari bangsalnya, lagi-lagi aku harus menahan rasa sesak di hati. Menahan air mataku agar tak jatuh, aku tidak mau menangis di depan Jaemin.

Bunyi monitor di samping bangsal itu membuatku merinding, bau khas rumah sakit yang tajam membuatku meremang. Aku tidak suka berada di rumah sakit lama-lama.

Kemudian, aku mendekat. Berdiri, enggan untuk duduk di kursi.

"Na..." panggilku pelan, "kangen"

Tak dapat lagi memungkiri, bahwa aku tidak bisa untuk tidak menangis. Pada akhirnya air mataku pun jatuh juga.

"Ayo bangun," suaraku bergetar, "kamu ikut ujian kan? Bentar lagi juga harus masuk Perguruan Tinggi" aku mulai terisak, "kamu nggak lupa kan? Kamu bilang mau menikah"

Aku terisak tanpa suara, rasanya sakit sekali ketika kau harus menahan agar suara tangisanmu tak terdengar. Aku tidak mau Jaemin mendengarku menangis.

Aku tidak tahu jelas bagaimana kondisinya. Aku hanya tahu kondisi ginjal dan hatinya tidak baik. Zat kimia dari cairan pembersih itu mulai merusak organ tubuhnya.

Hanya saja, kata Om Siwon beruntung dia dapat menetralisikan racun itu, jika terlambat sedikit, Jaemin bisa mati.

Aku langsung lemas saat mendengarnya.

Kuraih tangan Jaemin yang bebas dari selang dan infus, menggenggamnya dengan hati-hati. Merasakan tekstur kasar yang selalu ku rindukan.

Mendadak, aku teringat bagaimana dia menggenggam tanganku erat, tak mau melepaskannya. Melindungiku. Menaungiku dari hujan. Memelukku.

"Kamu harus sembuh..." aku masih terisak, "kalo nggak, aku blok line kamu" kemudian mengusap kasar air mataku dengan punggung tangan.

Tubuhku gemetaran. Sepertinya aku harus segera pergi dari sini. Sudah kubilang aku tidak sanggup melihat Jaemin yang seperti ini.

"Besok aku datang lagi ya, pulang sekolah" pelanku kemudian, mengusap punggung tangannya.

Aku tidak langsung pergi, masih diam memandangi wajahnya yang terlihat begitu tenang walaupun tengah terlelap. Dia memiliki banyak penderitaan, namun garis wajahnya sama sekali tak terlihat terbebani. Dia terlihat selalu bahagia setiap waktu.

Tanganku bergerak, mengelus surai hitamnya. Lalu aku mendekat, untuk mencium kening itu.

Lama, lama aku menempelkan bibirku disana. Merasakan betapa dinginnya kulit Jaemin.

"Aku tunggu kamu" ucapku kemudian.

Aku berbalik dengan berat hati, menuju kearah pintu untuk keluar dari ruangan Jaemin. Aku tidak mau meninggalkannya, tapi aku tidak sanggup melihatnya seperti itu.

Dasar labil kau.

Menghela napas pasrah, aku menutup pintu itu dengan perlahan. Kemudian mengangkat kepalaku.

Dan saat itu, aku ingin mengumpat karena di depanku berdiri sosok seseorang yang sangat tidak ingin kulihat demi apapun.

"Gue udah bilang janganㅡ"

"Gue tau gue salah, tapi plis gue sama sekali gak berniat nyelakain Jaemin"

Mendengar kata-kata Guanlin aku marah, sangat marah. Lantas meraih kerah pakaiannya, dan menariknya kasar.

"Lo harusnya tau gimana Na Jaemin, lo harusnya ngerti dia itu gimana!!"

Guanlin memandang tepat kearah dua mataku.

"DIA NYERAHIN DIRINYA BUAT LO DI DEPAN SEMUA ORANG! DIA NGELINDUNGIN LO! LO NGERTI ITU GAK SIH BRENGSEK!!!"

Aku yang saat itu tersulut emosi, tidak mempedulikan bahwa aku sedang di rumah sakit. Semua pengunjung memandangku dengan terheran-heran, memandangku yang baru saja berteriak histeris.

Guanlin membisu.

"Dia sekarang sekarat gara-gara lo..." rintihku, menangis lagi. Guanlin sialan, aku baru saja tenang, sekarang dia membuat emosiku campur aduk.

"Maaf..." dia menatapku sedih.

"Gue gak butuh maaf lo bangsat" suaraku gemetar, "kalo lo bisa gantiin Jaemin di dalem sana, semuanya impas. Lo yang harus ngerasain semua rasa sakit yang di alami Jaemin"

Anak laki-laki jangkung itu masih memandangiku, tak bersuara.

Aku mendecih, "Gak bisa kan lo? Jauh-jauh lo dari gue, jangan pernah datang kesini lagi"

Bukk!!

Kedua tanganku mendorong tubuh Guanlin kuat-kuat hingga ia mundur beberapa langkah. Anak itu masih tak berani bicara, dia hanya menatapku penuh penyesalan.

"Apalagi masuk ke ruangan Jaemin, lo gak pantes" lanjutku.

"Jangan begitu kamu"

Kepalaku langsung menoleh ke samping ketika ada seseorang yang menyela pertengkaran kecil kami.

Kulihat, Om Siwon datang dengan jubah dokternya. Dia memandang kami dari balik kacamatanya yang bening.

Pria itu menghela napas, menatapku dan Guanlin bergantian.

"Bukan sepenuhnya salah dia" ujarnya.

Aku menghela sarkas, "apa maksud om? Jelas-jelas dia yang ngebuat Jaemin dituding jadi maling"

"Saya mengerti maksud kamu, tapi ini juga bukan sepenuhnya salah dia, kamu tentu tau sendiri karena apa Jaemin bisa terbaring di dalam sana"

Kalimat Om Siwon membuatku terdiam, kemudian aku menghela frustasi.

"Jika bukan karena kecelakaan motor itu, jika bukan karena ayahnya sendiri, Jaemin tentu baik-baik saja. Dan tentang Donghae, saya akan mengurusnya, dia tidak bisa lagi dibiarkan"

Sekali lagi, aku merasa tertampar. Rasanya, kalimat itu ditujukan untukku. Hatiku sakit. Aku menunduk, kemudian menangis. Aku menangis lagi dalam diam.

"Aku..." rintihku, "aku yang salah, semuanya salahku..." bahuku naik turun, aku terisak hebat.

Benar, ini semua salahku. Jika saja waktu itu aku menghentikan Jaemin agar dia tidak perlu membeli obat ke apotik, jika saja aku ikut dengan Jaemin mengantarkan buku ke ruang guru... semuanya tidak akan seperti ini.

-----oOo-----

"...Jeha"

"Jung jeha"

"WOY!"

Aku terkejut. Tidak, aku terkejut biasa saja. Tidak terlonjak ataupun mengumpat seperti biasanya. Hanya berjengit kecil.

"Apa sih..."

"Yaelah lo tuh ya, jangan lemes gini dong ah!" Yuqi menyikut lenganku.

Aku hanya menghela napas, kemudian memasukkan buku-bukuku ke dalam laci. Baru sadar bel istirahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Sebagian murid kelasku segera berhamburan keluar.

"Ayo ke kantin, kamu perlu makan" suara Herin, aku menggeleng pelan.

Kedua anak itu menghela bersamaan, "Lo tuh batu banget sih!!" Yuqi menjitak kepalaku, membuatku mengaduh, "Ntar lo sakit gue ogah banget mau jenguk!"

"Iya iya" pasrahku.

Memang teman-temanku. Kadang aku merasa beruntung masih memiliki teman setulus mereka. Setidaknya memiliki penyemangat.

Saat kami bertiga akan keluar dari kelas, ketua kelasku mendadak mencegat langkah kami. Dia berhenti di depan kami, membuatku mengangkat alis.

"Njun gue udah bayar kas ya! Lo gak lupa kan!" seru Yuqi paranoid ketika melihat ekspresi serius Renjun.

Anak laki-laki itu hanya mendecak ketika mendengar seruan Yuqi, dia kemudian memandangku yang sejak tadi diam saja.

"Gue mau jenguk Jaemin ke rumah sakit" katanya tiba-tiba.

Aku diam sesaat, "ya... boleh aja" pelanku.

"Gue mau ikut juga dong! Kita rombongan aja gimana?!" saran Yuqi.

"Tapi Jaemin belum sadar" sahut Herin.

Seketika, aku terdiam. Rasanya kata-kata Herin menusuk ke ulu hatiku, membuatku sedih lagi.

"Emm... Nunggu dia sadar aja" ujarku kemudian.

Yah, kuharap Tuhan benar-benar berbaik hati. Kuharap Tuhan mendengarkanku.

"Yaudah, gapapa, gue doain dia cepet pulih" Renjun tersenyum, dan jujur saja aku jarang sekali melihat dia tersenyum. Mungkin bisa di hitung dengan jari.

Setelah kami sepakat, akhirnya aku, Yuqi, dan Herin berjalan menuju kantin. Dan sepanjang perjalanan, suasana sekolahku terasa berbeda. Murid-murid yang kami lewati, sama sekali tak melepaskan pandangannya dariku.

Tidak, mereka tidak memandangku dengan sarkas atau jijik. Itu seperti tatapan iba. Sebuah tatapan simpati yang malah membuatku terasa begitu menyedihkan.

Benar, Yuqi dan Herin baru saja bercerita. Bahwa ketika aku tidak masuk sekolah, semuanya terungkap. Guanlin menyerahkan dirinya, mengakui semuanya, kemudian pihak sekolah memeriksa cctv.

Dan Lai Guanlin di hukum skors selama 2 minggu.

Aku hanya menanggapinya dengan sarkas saat mendengarnya. Itu sama sekali tidak mengubah pendirianku untuk memaafkan Guanlin.

Tidak, tidak akan pernah. Si bodoh itu sudah terlambat. Apa yang dia lakukan sangat sia-sia. Toh apa yang berubah? Walaupun mungkin pandangan mereka terhadap Jaemin sudah tidak seperti dulu. Tapi aku sangat tidak peduli, semuanya sangat tidak berguna. Jaemin dan aku sama sekali tidak membutuhkan simpati itu.

Yang kami butuhkan adalah belas kasih Tuhan.

Saat aku duduk di salah satu bangku kantin bersama Herin ㅡ karena Yuqi sedang memesan makanan untuk kami ㅡ beberapa murid datang menghampiri. Mengerubungi bangkuku.

Bae Jinyoung dan teman-temannya.

Dia menatapku dengan pandangan penuh penyesalan, dan reaksiku saat melihat itu hanyalah tersenyum sarkas.

"Maafin gue, gue minta maaf banget sama Jaemin karena udah asal nuduh. Tapi waktu itu Jaemin yang posisinya tersangka, jadi gue main nuduh. Dia juga malah benerin tuduhan itu"

"Ya, oke" singkatku tanpa memandangnya.

"Jung Jeha, sumpah gue minta maaf"

Aku mendecih, "apa untungnya buat gue maafin lo? Gue bukan Jaemin yang akan dengan gampangnya maafin kelakuan brengsek lo" desisku.

Benar, aku bukan Jaemin. Aku tidak perlu bertindak seperti dia yang begitu sabar dan pemaaf. Aku berbeda dengannya, aku sangat perhitungan.

"Pergi lo dari sini, jangan bikin gue makin benci sama lo"

"Tapi gue beneranㅡ"

"Lo tuh punya kuping gak sih?!!"

"Ett ettt! Jangan berantem kawan"

Entah datang darimana, anak laki-laki yang mendadak menyela dan menyerobot Jinyoung itu menghentikan perdebatan kami berdua.

Mark.

Bahkan kulihat ada Lucas dan Jeno tak jauh di belakangnya.

"Gaje banget sih lo" dengusku pada Mark.

"Calm down gurl, don't be angry please" katanya sok inggris, "Jin, lo pergi aja deh, udah jangan di pusingin si Jeha"

"Eh?! Anjing ya lo Mark!"

Aku berdiri, bangkit dari bangkuku ketika mendengar kata-kata Mark. Salahkan aku yang sangat sensitif akhir-akhir ini. Rasanya apa yang terjadi di depan mataku semuanya serba salah.

Mark melotot terkejut mendengar umpatanku, "God! omongan lo ya, Mark gak suka" dia mendecak, kemudian mendudukkanku lagi di bangku.

Aku menghela napas pendek. Sebal. Bersamaan dengan itu kemudian, Jinyoung dan teman-temannya pergi meninggalkan kami.

"Gajelas banget lo!" seruku.

Lucas dan Jeno memilih untuk duduk di bangku sebelah kami, begitu juga Mark, tapi dia duduk di paling ujung, bangku yang paling dekat denganku.

"Sensi mulu si neng" sahut Lucas.

"Emang dasarnya cowok gak pernah ngertiin cewek"

Itu bukan aku, itu Yuqi yang baru saja datang sambil membawa nampan yang berisi 3 mangkuk ramen.

"Eh sayangku" Lucas malah menyengir.

"Apasi lo?!

"Etdah ini cewek-cewek kenapa pada ngegas sih" Mark mendengus.

Aku memilih untuk tidak mendengarkan Mark dan Lucas yang berisik sejak tadi. Memilih untuk memakan ramen yang di pesankan Yuqi walaupun rasanya hambar.

Perasaanku yang membuat rasa makanannya hambar.

Ngomong-ngomong warga sekolah pun sudah tahu bahwa Jaemin sedang di rawat di rumah sakit, tapi apa penyebabnya, tidak ada yang tahu. Mereka hanya tahu Jaemin sakit parah, itu saja.

"Akhirnya masuk juga kamu"

Kali ini suara orang lain lagi-lagi membuat kepalaku terangkat. Dia yang baru saja datang, tampak tersenyum lebar membuat kami berenam menoleh.

"Udah baikan?" tanyanya padaku, "eh halo kalian" sapanya pada Mark dan yang lain ketika menyadari keberadaan mereka.

Aku hanya tersenyum sekedarnya, kemudian mengangguk.

"Boleh gabung gak nih?" tawarnya.

Lagi-lagi aku mengangguk. Kemudian dia duduk di sampingku.

"Eh eh ketos why are you sitting at there?" Mark protes, "Sini kan bisa bareng laki"

Xiaojun merotasikan bola matanya, "gue mau ngobrol, yakali ngobrolnya jauhan?"

"Banyak alesan"

Entah kenapa, Jeno menyahut. Aku hanya meliriknya, dan memang benar dia yang baru saja berbicara.

Aku pun tidak bodoh untuk menyadari bahwa Jeno sedikit berubah. Berbeda.

"Ngomong-ngomong, sebagai Ketua OSIS aku mau minta maaf atas kasus Jaemin" suara Xiaojun tiba-tiba.

"Ngapain?" aku mengerutkan kening heran.

"Sebagai ketos aku malah nggak bisa berbuat apa-apa, mau bertindak pun udah telat" dia tampak menyesal.

Mendengar itu, aku tersenyum kecil, "Kamu itu Ketua OSIS, bukan presiden. That's okay"

Yah, that's okay. Tapi semuanya sedang tidak baik.

"Aku gak nyangka Guanlin bakal ngelakuin itu" gumamnya.

"Bener, kenapa dah dia? Padahal udah mulai temenan sama dia" sahut Lucas. "Ya emang gitulah kalo dari awal udah brengsek"

"Luke" sela Yuqi, memperingatkan. Lucas langsung diam.

Mark diam saja, begitupun Jeno. Mereka tampak berpikir sendiri-sendiri.

"Ya walaupun aku tahu dia ngelakuin itu pasti ada alasan, tapi Jaemin... dia ngelindungin Jeno dan Guanlin sekaligus"

Ungkapan Xiaojun membuatku sesak lagi, aku meremat rok sekolahku, menatap pada semangkuk ramen yang hanya tersentuh sedikit dengan pandangan nanar.

Kemudian, Jeno diam-diam terlihat gemetar.

~~~

Sepulang sekolah, aku pulang sendirian. Aku naik bus, kemudian berjalan kaki. Aku pergi 'kesana'.

Tidak, bukan ke rumah sakit.

Aku pergi ke pemakaman kota. Untuk mengunjungi makam Bunda Yoona. Menemuinya, untuk merenung, untuk bicara padanya.

Hatiku sedang tidak tenang. Sangat tidak nyaman jika belum mengunjunginya. Lantas, dengan perasaan berkecamuk, aku memandang jajaran nisan yang tertata rapi di pemakaman kota tersebut.

Kemudian melangkah masuk. Air mataku bahkan sudah membendung hanya dengan melihat nisan Bunda Yoona disana.

Aku berdiri di sisi makam, menatapnya selama sesaat. Hatiku rasanya sakit lagi. Sungguh.

"Hai bunda" suaraku pelan. "Maaf aku datang sendiri..."

Aku berjongkok, masih berusaha menahan air mataku mati-matian. Menggigit bibir, bingung harus mulai bicara darimana.

Kalian tahu, rasanya seperti sedang bertemu muka dengan sosok Bunda Yoona yang sesungguhnya.

"Maaf bunda, aku nggak bisa jagain Jaemin dengan benar..." suaraku mulai gemetar, "Dia sedang tidak baik sekarang, maaf..."

Tak bisa ditahan lagi, air mataku mulai turun. Kemudian ku usap pelan nisannya.

"Bunda, tolong... Tolong sampaikan pada Tuhan jika Dia tidak mau mendengarkanmu, tolong katakan pada Tuhan untuk berbelas kasih menyelamatkan Jaemin..." aku terisak.

Ku peluk kedua kakiku, dan badanku gemetar. Aku sangat ketakutan. Berbagai kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, menghantui kepalaku.

"Kumohon jangan bawa dia, jangan bawa dia dulu bunda... Aku tidak mau sendirian, aku tidak mau kehilangan dia..."

Memikirkan bagaimana jika Bunda Yoona marah padaku, kecewa padaku, lalu dia akan membawa Jaemin bersamanya, semua itu membuatku ketakutan setengah mati.

Ketakutan terbesar yang pernah ku alami.

Kedua tanganku terkepal, kemudian bergerak, berada di kedua sisi kepalaku. Berusaha untuk menepis semua bayangan mengerikan tersebut agar tak menghantui otakku lagi.

"Kumohon selamatkan dia..." aku terisak hebat, dan tubuhku gemetar.

Benar-benar sangat berharap Tuhan maupun Bunda Yoona mendengarkan kesakitanku, mendengarkan ketakutanku, merasakan rasa sakit hatiku kala itu.

Demi Tuhan, aku takut setengah mati.

Saat aku menangis disana, hujan kemudian mulai turun. Namun hal itu tidak membuatku untuk bergerak dari tempatku. Aku masih berjongkok dan gemetaran di samping makam itu.

Langit sudah mendung sejak aku berangkat, jadi aku sudah menduga hujan akan turun.

Bahkan, kini langit pun ikut menangis.

Kuharap, itu adalah sebuah tanda bahwa Tuhan tengah mendengarkanku. Bahwa Dia memahami penderitaanku.

"Selamatkan dia... selamatkan dia..."

Hanya kalimat itu yang terus ku gumamkan berulang kali sambil meringkuk gemetaran. Tidak tahu lagi harus berkata apa, karena hanya itulah yang kuinginkan saat ini.

Jaemin selamat. Jaemin dapat melalui semuanya.

Saat hujan ku dengar mulai turun dengan deras, dan aku yang seharusnya basah kuyup karenanya, kepalaku terangkat perlahan saat kurasakan bahwa tetesan air hujan tidak mengguyurku di sore itu.

Aku menengadah, melihat sebuah jaket kulit berwarna hitam yang membentang diatas seseorang yang berdiri tegak di belakangku. Menaunginya, menaungiku yang meringkuk di bawahnya.

Laki-laki yang tak pernah kuduga akan datang itu menatapku dengan mata hitam, tatapannya terlihat kacau.

"Please, don't be sad" ujarnya, aku hanya diam, kemudian kembali memalingkan pandanganku dan menangis.

Dia menghela napas, "Everything's gonna be okay, you should believe in God" anak laki-laki itu bersuara, "Dia pasti baik-baik aja"

Mendengar kalimat itu, aku semakin menangis kencang. Tentu saja, tentu saja aku sangat ingin percaya pada Tuhan bahwa dia pasti memastikan untuk menyelamatkan Jaemin.

Saat aku menangis, anak laki-laki itu ikut berjongkok. Dia berjongkok di sampingku, posisinya lebih tinggi dariku.

Kemudian, Mark menyelimutkan jaketnya di atas kepalaku, lalu anak itu mendekapku.

"You never walk alone, remember"




To be continued...

.
.
.


Anyway, say hi to our daddy and mommy

Ayah yunho, om donghae, om siwon

Mama tiff, Bunda Yoona, Bunda Taeyeon

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 72.5K 14
PART TIDAK LENGKAP. [Sudah dibukukan - Tersedia di Gramedia] Peristiwa yang menghancurkan seluruh kota dalam waktu singkat. 7 raga paling menyedihkan...
Fantasia By neela

Fanfiction

1.5M 4.6K 9
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ALL ABOUT YOUR FANTASIES Every universe has their own story.
79.5K 7.6K 11
Askara Mahendra, seorang remaja yatim piatu yang mati akibat ditusuk pisau oleh pencopet. Bukannya terbangun di alam kubur, ia malah terbangun di tub...
1.7M 221K 29
[Sudah dibukukan, part lengkap] versi novel bisa dipesan melalui shopee : penerbit.lovrinz01 Bagi Wisnu, hal yang paling menyakitkan adalah ketika d...