tiga dalam satu - wiro sableng

By monster_bodoh

6.5K 15 0

More

tiga dalam satu - wiro sableng

6.5K 15 0
By monster_bodoh

• WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN • ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU • KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA

BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 W W I I R R O O

S S A A B B L L E E N N G G

SERIBU HAWA KEMATIAN

PDF E-Book: kiageng80

WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN

KALUNG KEPALA SRIGALA 1

DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur. "Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia enak-enakan ngorok!" Wiro mengomel sendiri dalam hati. Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya. Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat dalam kegelapan. "Eyang, aku mendengar sesuatu..." Wiro berucap dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh tempo hari. "Eyang..." Karena tidak mendapat sahutan Wiro memanggil kembali. "Lekas bangun! Ada orang..." "Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau kukencingi tengkukmu?!" "Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di sekitar kita..." "Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!"

tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang kurus tipis. "Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencari saat yang tepat untuk melakukan sesuatu..." "Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka!" kata Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia meneruskan. "Mereka berempat. Mengenakan jubah hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung hitam..." "Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan Lima Laknat Malam Kliwon!" "Bukan," jawab si nenek. "Yang empat ini tidak mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!" "Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku terancam bahaya!" Pendekar 212 jadi jengkel. "Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti terdengar suara dengkurnya. Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebat mengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan membentak. "Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri! Jangan berani berlaku keji!" Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelah kiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin. Wiro memandang berkeliling. "Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut! Tidak berani unjukkan diri!" Pendekar 212 memaki. Dia

memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali. Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satu jengkal! Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanya dengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata merah mencorong. "Siapa kalian! Apa mau kalian?!" Wiro ajukan pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas dukungannya. "Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau menyerahkan kalung perak kepala srigala!" Salah seorang dari empat pengurung membuka suara. Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. "Eh, kau perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek seperti yang aku dukung ini?!" "Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalau memang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala srigala terbuat dari perak itu!" "Benda yang kau cari tidak ada padaku!" jawab Wiro. Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putih yang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di balik pakaiannya. "Seorang pendekar tidak layak berdusta!" Orang berkerudung di sebelah kiri membentak.

"Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini perempuan semua?!" tanya Wiro. "Seorang pendekar tidak layak berdusta!" Orang yang tadi berkata ulangi ucapannya. "Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangan nenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri!" kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak. "Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa tololnya!" Orang berkerudung di samping kanan berucap. Dia memberi isyarat pada tiga kawannya. Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. "Kami tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kami melihat sendiri kau memasukkannya ke balik pakaian. Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu?!" "Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian? Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian adalah bangsa penjahat malam. Kalau bukan rampok, pasti maling!" "Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi pemuda ini!" Orang di samping kiri hilang kesabarannya. Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di depan leher Pendekar 212 berkelebat ke depan. Breeeetttt! Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapi tenggorokannya yang jebol! Empat suitan keras menggelegar di malam dingin. Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat. Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan. Wuuuuutttt! Wutttt! Bukkk! Bukkk! Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan Wiro sebagai senjata penangkis menghantam pergelangan

mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri karena lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja duduk pejamkan mata di atas pundak muridnya! Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar menderu ganas. Breeeettt! Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan jurus Kincir Padi Berputar dia hantamkan tendangan ke arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis dan pahanya yang dipakai menendang telah berada dalam cengkeraman dua tangan berbentuk cakar! Sedikit saja dia bergerak dan kalau dua lawan mau, maka daging betis dan pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang membuat nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah menempel di batang lehernya! "Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum mau menyerahkan kalung perak kepala srigala itu?!" Orang berkerudung di depan Wiro membentak. Sepasang matanya berkilat-kilat. "Tenang... Sabar..." kata Wiro dengan suara bergetar dan tengkuk dingin. "Kau bunuh diriku tak ada gunanya. Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!" "Dusta besar! Bohong!" "Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi awas! Kalau kepala srigala itu tidak kalian temukan, jangan iseng mencari kepalaku yang lain! Ha... ha... ha!" Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Tidak satupun dari empat orang itu bertindak hendak menggeledah. "Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam?!" tanya Wiro. "Siapa sudi menggeledah tubuhmu!" teriak orang

berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu saja merasa jengah menggerayangi sosok Pendekar 212. "Panggil Ki Tawang Alu!" Salah satu dari empat orang berkerudung berkata. Lalu salah seorang dari mereka keluarkan suitan keras. Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk. Pandangan matanya tajam angker. "Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung kepala srigala ada padanya!" Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendeng yang ada di atas pundak Wiro. Kakek muka putih ini punya banyak pengalaman dan pandai menilai orang. Sesaat dia tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di samping kanan membentak. "Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!" Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan dua tangannya. Caranya menggeledah Wiro aneh dan cepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang berkerudung kecewa besar ketika si kakek kemudian berkata sambil mundur. "Kalung itu tidak ada padanya...!" "Mana bisa jadi!" "Tidak mungkin!" "Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di balik pakaiannya...!" Ki Tawang Alu menggeleng. "Aku sudah mencari. Tak mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini. Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari benda lain yang dapat menyembuhkan pimpinan kita dari sakitnya..." Empat orang berkerudung memandang tidak percaya pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk- garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi, empat orang berkerudung hitam mau tak mau akhirnya

tinggalkan pula tempat itu. Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perak kepala srigala itu?!" Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya. Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak berbentuk kepala srigala bermata merah. "Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka putih itu! Dari tampangnya kentara kulihat dia bangsa manusia yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan. Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih jauh dari sini! Belum lagi Teluk Akhirat!"

***

WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN

KAKEK SEGALA TAHU 2

BUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun. Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di salah satu puncak bukit di sebelah timur kelihatan berdiri sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang terbuat dari rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa menahan sinar matahari. Anehnya di dalam teratak atau gubuk itu tampak seorang kakek duduk di atas gundukan batu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tam- balan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya hawa yang keluar dari tanah bukit kapur itu seolah tidak terasa olehnya. Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping lebar terbuat dari bambu yang diputar-putar demikian rupa hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata si kakek jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih rata. Buta! Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng penyok-penyok tak karuan rupa. Dengan tangan kanannya kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya. Suara berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek tertawa mengekeh seolah bunyi kerontang kaleng rombeng itu lucu menyenangkan. Dia angkat lagi tangannya lebih tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan itu terasa sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang

tua ini jadi berubah. Dua matanya yang putih bergerak berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap saja tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam dan geleng-gelengkan kepala. "Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggu kesenanganku!" kakek itu berhenti memutar caping di tangan kiri. Caping bambu itu diletakkannya di atas kepala sementara tangan kanannya yang memegang kaleng masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk tak bergerak seperti merenung. Lalu dia mendongak sambil menghirup siliran angin yang lewat di bawah teratak. Di antara bau hawa kapur yang mengambang di udara dia membaui sesuatu. Kakek ini menyeringai. Sesaat kemu- dian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit kapur. Bersamaan dengan itu dirasakannya satu kekuatan yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya yang memegang kaleng rombeng lalu berkata. "Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamu geblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar berhenti aku jadi tua bangka! Ha... ha... ha...!" Lalu si kakek goyangkan tangannya. Suara kerontangan kaleng rombeng yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur itu. Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan. "Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka?!" Kakek mata putih terkesiap. "Astaga! Ternyata bukan dia! Celaka! Dugaanku meleset! Tapi..." Kakek ini kembali menghirup udara dalam-dalam. "Tapi bau pesing itu! Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang dengan orang lain. Tapi mengapa aku hanya mendengar langkah-langkah kaki satu orang saja? Aku rasa-rasa kenal suara orang yang barusan bicara!" Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. "Aneh, bagaimana mungkin ada makhluk yang namanya manusia setinggi itu!" Si kakek membatin. "Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa

yang tengah kau lakukan?!" Kakek mata putih berteriak. Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa cekikikan. Sesaat kemudian muncullah si nenek sakti dari Gunung Gede itu, didukung di atas pundak oleh muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau dua matanya buta namun kakek di dalam teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat lewat penciuman, perasaan dan pendengarannya. "Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa yang kau jadikan tunggangan untuk datang ke bukit kapur ini! Edan betul!" "Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama Wiro Sableng!" "Huaaaa... ha... ha...! Guru dan murid sama sintingnya! Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian hanya datang percuma mencari angin!" Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto Gendeng dan Wiro. Seperti dituturkan dalam serial terda- hulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kema- sukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya masih tertolong karena seorang kakek kekasihnya di masa muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiro mau tak mau terpaksa mendukungnya. "Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama ini baik-baik saja?!" Sinto Gendeng bertanya. Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk- kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek Segala Tahu. Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mata putihnya. "Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak bisa berjalan sendiri. Kau diturunkan dan didudukkan. Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau pesing, apa yang terjadi denganmu?"

"Dua kakiku lumpuh!" berkata Sinto Gendeng. Rahangnya menggembung. "Lumpuh? Kau kesambat setan di mana?!" Kakek Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. "Tunggu!" Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek Segala Tahu di bukit kapur itu. "Tua bangka geblek! Apa yang lucu!" membentak Sinto Gendeng. "Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau sampai lumpuh begini rupa! Ini akibat terlalu mengobar cinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan jadi lumpuh! Ha... ha... ha...!" "Tua bangka sinting!" maki Sinto Gendeng. "Enak saja kau bicara! Wiro! Ceritakan pada kakek gila ini apa yang telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menu- duh yang bukan-bukan!" Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sang guru dia lalu tuturkan malapetaka yang menimpa Sinto Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya dan tarik nafas panjang berulang kali. "Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek," kata Wiro memberi tahu. "Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh itu harus dibasmi..." Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang. "Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah menyingkirkan makhluk kelelawar itu selama dia mengua- sai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari atas ke bawah, sulit dihindari. Satu-satunya cara, kalian harus menghindari tempat terbuka..." "Bagaimana mungkin Kek!" kata Wiro pula. Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yang putih berputar-putar. Lalu orang tua ini bertanya. "Sinto, apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh?" Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro

langsung saja memberi tahu. "Eyang memang sudah memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan darinya. Tapi guru menyuruh aku menunggu sampai empat puluh sembilan tahun!" Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya. "Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa menghancurkan Kelelawar Pemancung Roh..." "Nah Nek, apa kataku!" Wiro menyeletuk. "Kalau saja kau telah mengajarkan padaku ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku sendiri bisa membereskannya!" "Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti ini hatiku jadi leleh dan mengajarkan ilmu itu padamu. Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi!" "Nasibku jelek!" kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempat dan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan Seribu Hawa Kematian itu..." "Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk minta petunjukmu..." kata Wiro mulai jengkel melihat tingkah si kakek. "Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan!" jawab Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng bututnya. Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan hitam membuat udara menjadi mendung. Petir menyambar beberapa kali dan guntur menggelegar menggetarkan bukit kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya dan goyangkan tangannya berulang kali. "Itu! Itu kelemahannya!" Si kakek berteriak. Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu lalu kedipkan matanya pada Wiro. "Apa yang dikatakan tua bangka sinting ini..." bisik Sinto Gendeng pada muridnya. "Kek, kalau kau memang sudah mengetahui

kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera memberi tahu pada kami?" ujar Wiro pula. "Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut, tidak bisa bergerak kalau ada hujan. Begitu juga Seribu Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatan membunuhnya pada saat hujan turun!" "Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah disekapnya dengan hawa maut itu!" Sinto Gendeng berkata setengah mengomel. Lalu dia berpaling pada muridnya. "Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja! Kau juga harus mencari akal!" "Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku lagi butek!" jawab Wiro. "Kalau sulit menghadapi makhluk kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian pada hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan kelumpuhan yang kau derita." "Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si Raja Obat sanggup menyembuhkannya?" "Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan. Juga tidak ada satu obat pun. Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil..." Kakek Segala Tahu memandang ke arah Wiro. Dia pegang tangan kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya. "Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisa menyembuhkan gurumu. Harap kau ceritakan padaku..." "Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa tahu hal itu!" membatin Wiro. "Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa tidak menjawab ucapanku!" Kakek Segala Tahu membentak. Bola matanya yang putih memandang berputar ke langit. "Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Eyang adalah sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap

matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami gerhana." "Weehhhhh!" Sinto Gendeng monyongkan mulutnya yang perot. "Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma satu urusan gila! Mencari bunga matahari mungkin gampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih mungkin. Tapi yang mekar pada saat gerhana matahari dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru akan terjadi seratus tahun lagi. Saat itu aku sudah jadi bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu buat apa aku pikirkan! Hik... hik... hik!" "Sinto," kata Kakek Segala Tahu setelah menggoyangkan kalengnya dua kali. "Yang berkata adalah Suro Ageng. Orang yang bisa dipercaya. Ucapannya mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu merupakan satu tamsil yang harus diselidik dan dikaji lebih dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan sekarat. Lalu apa kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernah ada satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga matahari?" "Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak ingat hal itu!" kata Sinto Gendeng pula. Sesaat wajahnya yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya memancarkan sinar penuh harapan. "Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhana matahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari sungguhan?" "Mungkin memang perlu diselidiki." kata Sinto Gendeng sambil manggut-manggut hingga lima tusuk konde perak yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang dan berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian berpaling pada muridnya. "Wiro, kau harus bawa aku ke puncak Pegunungan Dieng!" "Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa sembuh!" jawab Wiro namun dalam hati mengeluh, "Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan

aku musti mendukung nenek bau pesing ini! Remuk aku!" Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan berbisik. "Aku tahu omelan yang barusan kau ucapkan dalam hati..." "Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek itu mengomel kalang kabut!" kata Wiro balas berbisik. "Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini?!" Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. "Aku tahu Pegunungan Dieng jauh dari sini! Sedang Teluk Akhirat lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu apa yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuh sangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar Pemancung Roh itu lebih dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat lebih dulu! Kau dengar itu anak setan?!" "Aku dengar nenek set..." Wiro tertawa cekikikan dan cepat tutup mulutnya, "Maafkan aku Nek. Karena kau terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah ikut-ikutan memanggilmu nenek set... Ha... ha... ha!" Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar seperti mau melompat dari rongganya. Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah goyangkan kaleng rombengnya dia berkata, "Aku merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu Sinto. Anak muda, benda apakah itu? Coba keluarkan, mau kulihat!" Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis pikir bagaimana orang tua yang matanya buta ini mampu mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu menembus pandang dan mengetahui apa yang disimpannya di balik baju. Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di telapak kiri Kakek Segala Tahu lalu jari-jari si kakek ditekuknya hingga membentuk genggaman. "Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam

tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan?!" bertanya Kakek Segala Tahu. Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, "Waktu pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku. Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat dari perak putih. Memiliki sepasang mata merah." Lalu Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan benda itu. "Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang benda ini!" kata Kakek Segala Tahu seraya mendongak ke langit, "Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau sampai salah memberikan pada orang lain. Aku mencium bau penyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda banyak malapetaka mengelilingi kalung ini..." "Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus susah memikirkan!" kata Sinto Gendeng. Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, "Wiro, simpan benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selama kalung kepala srigala itu ada padamu, kau bakal menghadapi cobaan berat..." "Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu Kek," menyahuti Wiro. Kakek Segala Tahu tersenyum, "Bagaimana kau bisa tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam keadaan bugil rela menyerahkan kehormatannya asal kalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!" Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan, "Anak setan! Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku khawatir kau tidak sanggup menghadapi cobaan sekali ini. Hik... hik... hik..." Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ucapan dan kekehan sang guru.

***

WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN

EMPAT GADIS BUGIL 3

SEBENTAR lagi malam akan turun. Sebaiknya kau menyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada mata air. Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus sekali!" Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan pakaiannya basah oleh keringat. Namun dasar pemuda konyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan, "Eyang, sebenarnya kau lebih baik tidak terlalu banyak minum. Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus- terusan!" "Anak setan!" Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar meringis kesakitan. "Kau benar-benar murid tidak berbudi. Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek mempermainkanku!" "Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku sangat letih. Apa kita boleh berhenti barang sebentar?" Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. "Kita baru berhenti kalau sudah sampai di kaki bukit sana!" "Eyang..." "Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin yang kuajarkan padamu. Selama perjalanan kulihat kau

tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu?!" "Eyang, aku tak punya maksud memperlambat perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya sudah cukup cepat. Kalau kupergunakan ilmu lari Kaki Angin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap di atas pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu hilang keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau sampai begitu nanti aku lagi yang kena omelan..." "Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu!" kata Sinto Gendeng. "Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja," kata Wiro. Dalam hati dia berucap, "Nenek cerewet! Awas kau! Akan kukerjai kau agar tahu rasa!" Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat laksana anak panah lepas dari busur. Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlari membuat tubuhnya dan tubuh sang guru yang didukung laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak tenggelam itu. Wiro sengaja lari secepat yang bisa dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya berlari biasa tetapi sesekali melompat atau berjingkrak atau menikung tak karuan hingga tubuh si nenek yang didukungnya terlontar-lontar malang melintang di atas pundaknya. Kadang-kadang dia memperlambat larinya dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong muridnya niscaya akan terlempar jatuh! Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah pohon-pohon bercabang rendah. Kalau Sinto Gendeng tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh ke belakang atau ke samping niscaya kepala atau dadanya akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah cabang pohon besar Sinto Gendeng tidak keburu

rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya tinggal kulit membalut tulang dihantamkan ke depan. Braaaakkk! Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancur berantakan. "Anak setan! Kau mau membunuh aku?!" Si nenek menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak rambut Wiro. "Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang agar aku mempergunakan ilmu lari Kaki Angin. Aku mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku mau membunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil mendukungmu dengan ilmu lari itu bisa berbahaya!" "Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau mengerjai diriku!" kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala muridnya dua kali hingga Wiro terpekik kesakitan. "Sudah! Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki Angin!" Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, "Nah sekarang akhirnya kau menyerah juga! Rasakan..." Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya dikucuri cairan hangat. "Nek! Kau kencing ya?!" teriak Wiro sambil pencongkan mulut dan hidungnya. "Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangan kira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa! Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa cekikikan. Kalau saja yang ada di atas pundaknya itu bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro membantingkan orang itu ke tanah!

*** BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu sampai di tepi rimba belantara yang membentang

sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro melihat sebuah telaga kecil di antara pohon-pohon besar. Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera menurunkan si nenek lalu mandi membersihkan diri. Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bau oleh pesing kencingnya sang guru. Namun ketika sampai di tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap. "Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi menyejukkan diri..." "Wah, aku keduluan..." ucap Wiro dalam hati. "Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintip orang!" "Nek!" kata Wiro jadi kesal, "Perawan saja yang mandi belum tentu aku intip. Apalagi kau yang sudah tua renta begini! Apa untungnya?!" Sinto Gendeng tertawa panjang. "Mengintip anak gadis mandi sudah biasa! Tapi mengintip nenek-nenek bugil jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin tahu bagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik... hik... hik!" "Kalau aku amit-amit Nek!" jawab Wiro. Mereka sampai di tepi telaga. Wiro langsung menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro berkata, "Eyang, kau boleh mandi sampai pagi. Biar aku bisa istirahat yang lama..." "Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil kau harus segera datang!" Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu pohon besar dia duduk bersandar dan lunjurkan kaki. Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa kali. Sesaat ketika dia hendak memejamkan mata dari atas pohon besar tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat, melayang turun laksana empat burung raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling dia jadi terkejut lalu menyeringai. "Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat

apa lagi?! Mau membetot putus leherku atau menjebol jantungku dengan cakar srigala kalian?!" Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah masing-masing terpampang gambar kepala srigala berwarna putih perak dengan mata merah menyorot. Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh yang kemarin malam sebelumnya telah mencegat Pendekar 212. Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah lalu berkata, "Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala srigala itu ada padamu! Kau sembunyikan di satu tempat di balik pakaianmu!" Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah berubah seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Lalu dia menyambung ucapan temanya, "Kemarim malam kami masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!" "Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah sekujur tubuhku! Dia tidak menemukan kalung itu! Mana kakek muka mayat itu? Siapa namanya?!" "Dia tidak ada di sini!" jawab orang berkerudung di ujung kiri. "Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!" "Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak mempercayai dirinya!" "Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!" "Bagaimana aku harus menerangkan!" kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling. "Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangi sendiri menggeledah tubuhku! Silahkan saja!" Wiro lalu kembangkan dada pakaiannya. Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah

kanan yang sejak tadi diam saja maju mendekati Wiro. "Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu. Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu dicuri orang sepuluh hari lalu. Kami tidak tahu siapa pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon, mungkin juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami tidak perlu nyawa ataupun darahmu. Kami sangat memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai penukarnya akan kami penuhi!" "Apakah kalung itu memang milik kalian?" Wiro bertanya. "Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarang dia sedang terbaring sakit. Hanya kalung itu..." "Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!" tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong ucapan temannya. "Namamu Rembulan...?" ujar Wiro seraya menatap sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua lobang kecil di bagian depan kerudung hitam. Wiro garuk- garuk kepala. "Kalau saja aku bisa melihat wajahmu, pasti kau secantik bulan purnama empat belas hari..." Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari mulutnya. Dalam hati dia membatin. "Apa yang orang bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi ah... Mengapa aku merasa tertarik padanya?" Di balik kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah. Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan Wiro. "Namaku Mentari Pagi..." "Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak!" kata Wiro sambil tersenyum Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi lanjutkan ucapannya, "Kalung itu bagi kami sama nilainya dengan jiwa kami. Kami benar-benar membutuhkan. Kami tidak tahu mengapa kau punya niat jahat menyembunyikan kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!" "Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku. Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki

Tawang Alu menggeledah diriku. Selain itu bagaimana aku tahu pasti kalung itu memang milik kalian?" Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak di dada jubah hitamnya. "Kau saksikan sendiri. Gambar kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada padamu!" "Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh sekaligus! Lalu apa itu berarti kalung kepala srigala perak itu milikku!" Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata- kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, "Kalau kubunuh pemuda ini lalu ternyata kalung itu memang tidak ada padanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu tidak mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar. Tapi aku yakin kalung itu ada padanya!" Mentari Pagi memandang pada ketiga kawannya, memberi tanda dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung satu persatu anggukkan kepala. Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya pada Pendekar 212. "Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami menyirap kabar bahwa kau adalah seorang pemuda hidung belang..." "Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa menuduh aku hidung belang?!" kata Wiro dengan suara keras sambil usap-usap hidungnya. "Eh! Kalian dengar baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku yang akan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku? Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang? Aku atau kalian berempat!" Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan keluarkan suara-suara marah. "Kau enak saja bicara ngacok!" bentak Mentari Pagi. Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi kembali membuka mulut, "Kau mau mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu kami

bersedia menyerahkan diri kami padamu..." "Menyerahkan diri bagaimana?!" tanya Wiro setengah melongo. "Jangan berpura-pura!" jawab Mentari Pagi. "Kau boleh memiliki diri kami malam ini..." "Kalian... Empat-empatnya?!" Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke balik semak belukar setinggi dada. "Eh! Kau mau ke mana?!" tanya Pendekar 212. Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di balik semak-semak dia tanggalkan jubah hitamnya. Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar yang jadi penghalang tidak seberapa lebat lagi pula demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas sosok tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu. Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semak belukar yang sama. Seperti Mentari Pagi satu persatu mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua mata Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang mengalir dalam pembuluh di sekujur badannya menjadi panas. Jantungnya berdegup keras. "Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidak tahu wajah kalian, jangan-jangan kalian empat nenek yang punya kesaktian menipu pandangan mataku..." Ucapan itu keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh tiga kawannya tiba-tiba gerakkan tangan masing-masing, menarik lepas kerudung hitam yang selama ini menutupi kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihat wajah ke empat orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut dua langkah sambil garuk-garuk kepala!

***

WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN

SINTO GENDENG LENYAP 4

"YA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyata empat gadis berwajah cantik!" Wiro tegak terkesiap sambil garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan ternyata paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah cantik, namun ada bayangan sifat angkuh serta kehendak memaksakan wibawa. "Ini rupanya cobaan yang dikatakan Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah menghadapi cobaan ini? Gila! Mengapa urusan bisa jadi kapiran seperti ini?!" "Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh datang ke balik semak belukar ini!" Mentari Pagi berkata. "Aku... Tidak... tidak!" kata Wiro sambil goyangkan kepala. "Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak akan memenuhi janji, kalau begitu datanglah ke sini. Kau boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa saja pada kami..." Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain. "Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa menolong akan kulakukan! Aku bukan manusia yang menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi melakukan seperti apa yang kalian katakan...!" Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya. "Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!" Rembulan tiba-tiba berkata, "Mentari, lihat! Dia

mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu kalung kepala srigala perak yang kita cari!" Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke arah Wiro yang saat itu memang sudah mengeluarkan kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itu dia masih berdiri dengan kepala mengarah ke jurusan lain, tak berani memandang ke arah semak belukar. "Lekas kenakan jubah dan kerudung!" Mentari Pagi berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing. Lalu melangkah ke hadapan Wiro. Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah Mentari Pagi. "Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah memberikan barang ini pada kalian!" "Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalah milik pimpinan kami dan segera akan kami sampaikan kepadanya!" kata Mentari Pagi pula. "Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah, hatiku lega sekarang..." kata Wiro pula lalu tersenyum. "Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang sangat berharga ini!" Mentari Pagi cepat-cepat memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kain yang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya. "Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu yang hendak kau minta dari kami?" "Tidak... Aku tidak minta apa-apa..." jawab Wiro. "Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai imbalan?" tanya Mentari Pagi. "Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi..." Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali memandang pada Pendekar 212. "Jika kau tidak meminta apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa kami jawab?"

"Pertanyaan...?" Wiro garuk-garuk kepala. "Kalau pertanyaan memang banyak!" "Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu persatu." kata Mentari Pagi pula. "Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakan pakaian dan kerudung serba hitam seperti ini? Lalu gambar kepala srigala itu? Aku juga melihat tangan kalian bisa berubah menjadi seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Kata kalian kalung perak itu adalah milik pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang menderita sakit apa?" "Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!" Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk menjawab. Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan sesaat jadi kikuk. Matanya menatap wajah Pendekar 212 sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya jadi gemetar. "Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebut Bumi Hitam. Kami bermukim di lereng bukit timur Gunung Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang konon hanya bisa disembuhkan dengan Kalung Perak Kepala Srigala. Selain itu kalung tersebut adalah pusaka Kelompok Bumi Hitam yang merupakan pertanda bahwa pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagai pimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan karena kami semua adalah perempuan yang rata-rata berusia muda..." "Dan cantik-cantik!" sambung Wiro lalu tertawa lebar. "Apakah kau masih ada pertanyaan lain?" ujar gadis bernama Mentari Pagi. Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara ringkas pada empat orang gadis lalu bertanya, "Apa kalian

pernah mendengar asap beracun yang disebut Seribu Hawa Kematian itu? Lalu apakah kalian tahu kelemahan serta cara menghadapinya? Menurut seorang sahabat dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus menghindari tempat terbuka dan pada saat hujan turun. Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan sahabatku itu?" Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung. Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. "Apa yang dikatakan sahabatmu itu memang betul. Tetapi ada satu cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat mematikan itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dari api. Api bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak selamanya. Api yang telah berubah menjadi asap atau hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api juga." Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. "Terima kasih Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau pimpinan kalian sedang sakit dan kalian sudah dapatkan kalung kepala srigala itu sebagai obatnya, sebaiknya kalian lekas-lekas menemuinya." "Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada orang ini. Jika kau mengizinkan..." Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap. "Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia tidak pernah jauh dari air. Konon dia bisa dilukai tapi tak bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada dalam jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup yang tidak diketahui apa dan di mana beradanya..." "Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam dirinya sendiri. Tapi dititipkan pada makhluk lain." Wiro geleng-geleng kepala. "Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan bernama Wiro Sableng?"

Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. "Apa artinya satu nama, apa pula artinya sebuah julukan? Aku ya manusia biasa, begini saja adanya seperti yang kalian lihat. Aku ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku Eyang Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan akibat Seribu Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat atau cara penyembuhannya?" "Kami tidak bisa memberikan jawaban," kata Mentari Pagi. "Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke tempat kami di lereng timur Gunung Merapi. Mungkin pimpinan kami bisa menolong..." "Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat kalian..." kata Wiro pula. "Satu lagi pertanyaan dariku," Rembulan kini yang berkata, "Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak? Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang bernama Anggini?" Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu dia tertawa gelak-gelak. "Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Rembulan, dari mana kabar itu kau dapatkan?" "Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah diundang datang ke lereng timur Gunung Merapi. Dalam satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut si kakek sudah lama sekali dia tidak bertemu denganmu dan tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang bernama Anggini itu..." Wiro garuk kepalanya habis-habisan. "Maksud kakek itu baik. Tapi..." "Tapi apa?" tanya Mentari Pagi. "Anggini tidak suka padamu, atau kau yang tidak tertarik padanya?" "Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas sana..." kata Wiro sambil menunjuk ke atas. "Siapa tahu Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku berjodoh

dengan salah satu dari kalian!" Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil. Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada kawan-kawannya lalu berkata, "Kami pergi sekarang! Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikan Kalung Kepala Srigala..." Keempat gadis itu lalu menjura. Wiro balas menghormat seraya berkata, "Aku juga berterima kasih. Kalian semua telah memberikan kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan kulupakan seumur hidup!" Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya, "Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan kuceritakan bagaimana hebatnya kesetiaan kalian padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya..." "Kami harap..." kata Mentari Pagi dengan suara agak gemetar, "Hal itu jangan kau ceritakan pada Pelangi Indah. Kami..." "Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidak akan menceritakan apapun pada pimpinan kalian," kata Wiro pula sambil tersenyum. "Terima kasih..." kata Mentari Pagi seraya menjura sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya. Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak meninggalkan tempat itu. "Ada apa...?" tanya Wiro agak heran. "Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada artinya kalau tidak disertai satu tindakan yang tulus..." "Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan, Mentari Pagi. Apakah..." Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu cepat sekali keempatnya berkelebat, dua dari kiri, dua dari kanan. Cup! Cup! Cup! Cup! "Hai!"

Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan yang barusan dicium oleh empat gadis itu. Pipi sang pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wiro hanya bisa bertegak diam. Di kejauhan, dalam gelapnya malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu.

*** DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat Mentari Pagi mendekati Rembulan dan berkata, "Sahabatku Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan keras..." "He, apa maksudmu Mentari Pagi?" tanya Rembulan. Mentari Pagi tersenyum. "Dari caramu menghadapi pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta dari pandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau suka padanya..." Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata- kata Mentari Pagi. "Kau menggodaku! Kalau dua teman yang lain sempat mendengar, kabar yang bukan-bukan pasti akan segera menebar..." Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulan yang untuk beberapa saat lamanya masih tegak tertegun. "Anggini..." katanya dalam hati. "Aku juga belum pernah melihatmu. Secantik apakah dirimu?"

*** TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis dari kelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di tempat itu. "Dewa Tuak... Bagaimana orang tua itu seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan muridnya?" Wiro garuk-garuk kepala. "Ah! Mengapa hal itu

harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku. Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu Seribu Hawa Kematian sudah kuketahui." Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang Sinto Gendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian. Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di sekitarnya. Eyang Sinto Gendeng tidak kelihatan. "Ke mana perginya orang tua itu?" pikir Wiro. "Kalau masih mandi mengapa tak ada dalam telaga. Pakaiannya tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai mandi mengapa tidak memanggil aku, memberi tahu? Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu..." Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut benda itu. Ketika diperhatikan berdebarlah dada Pendekar 212. "Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng..." katanya dengan suara bergetar. Wiro memandang berkeliling. Hanya kegelapan yang kelihatan. "Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana?!" Wiro berteriak memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. "Nek! Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak akan kudukung lagi kau!" Wiro terdiam sesaat. "Tidak mungkin nenek itu bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari dalam telaga! Setahuku sekitar kawasan ini tidak ada binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol macan! Lalu kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya menculik nenek tua bangka dan bau pesing begitu?" Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi, "Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang Sinto Gendeng. Jika sampai menancap di batu mungkin sekali telah dipergunakan untuk menyerang seseorang! Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di

tempat ini!" Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah belakang. Wiro cepat berpaling sambil hantamkan tangan kirinya. Bukkkk! Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa perih panas. Di depan sana seorang kakek muka putih berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan tadi namun dia masih bisa keluarkan ucapan. "Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata memang bukan nama kosong belaka!" Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia segera mengenali kakek muka putih itu. "Ki Tawang Alu!" teriak Wiro geram.

TAMAT Episode Berikutnya: SRIGALA PERAK

BASTIAN TITO

PENDEKAR KERIS TUJUH A A R R I I O O

B B L L E E D D E E G G

PETIR DI MAHAMERU (BAGIAN 2)

PDF E-Book: kiageng80

ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU

PERTEMPURAN DI SENJA HARI 7

KI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalau nenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu diserang dengan satu gerakan cepat dia miringkan badan dan kepala ke kiri. Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang tua berjubah putih itu. Lalu craasss! Ujung lidah menancap dalam di batang pohon tempat di mana sebelumnya Ki Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu lobang besar mengepulkan asap di batang pohon! Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi hitam gosong seperti terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan kepala tertawa lantang. Lidahnya yang panjang basah keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan semburkan ludah berwarna merah ke tanah. Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada kakek di hadapannya. Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri. Tangan kirinya memegang Kitab "Hikayat Keraton Kuno" sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat bambu berwarna kuning. Sebelumnya Ki Suro memang telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya nenek yang ada di hadapannya itu. Namun dia tidak menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat

mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang begitu kokoh bisa dibuat berlubang dan hangus laksana dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau hatinya tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh ketenangan. Malah dengan suara lembut dia menegur, "Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain secara tidak sah merupakan satu perbuatan tidak terpuji. Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam kebaikan dan persahabatan antara sesama kita umat Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang." Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh. Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak hidup seperti tumbuhan laut. "Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini sungguh enak didengar!" kata Si Lidah Bangkai lalu tertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah. "Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing- masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan atau dalam berkah di jalan lurus yang telah disediakan Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yang benar dan keluar dari kesesatan." Si Lidah Bangkai mendengus. "Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan jalan hidupmu! Setiap manusia punya cara berpikir dan jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah merasa hidup dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri hingga pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidak terpuji! Tapi aku sendiri mengatakan perbuatanku itu justru sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak berada di tanganmu!"

"Pusaka keraton? Apa maksud sampeyan?" tanya Ki Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai. "Kitab di tangan kirimu itu!" kata Si Lidah Bangkai sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya, "Itu yang kumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan kitab itu padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!" Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh daun lontar di tangan kirinya lalu gelengkan kepala. "Aku tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka keraton. Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka dan membaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan. Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang titipan. Berarti harus kujaga baik-baik." "Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus mengambil kitab itu bersama nyawamu!" kata Si Lidah Bangkai pula. Begitu selesai berucap nenek jahat ini menerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang itu mematuk. Yang jadi sasaran kali ini adalah dada Ki Suro Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya. "Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku. Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hati sampeyan agaknya telah menjadi batu, hingga tak mau mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali. Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk pada sampeyan..." Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro dengan cepat gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya, menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk. Desss... desss! Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali berturut-turut. Ki Suro merasakan tangan kanannya bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya

Si Lidah Bangkai kelihatan mengernyit seperti menahan sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang luar biasa. Lidah si nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit tongkat bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan lidahnya maka tongkat itu tertarik keras. Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus amblas ke dalam perut! Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda. Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang yang kenyang habis menyantap makanan enak. Mulutnya yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi besar berwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah berlelehan ke dagunya. "Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer, hatimu dibuat leleh dan kau mau menyerahkan kitab itu padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan tongkatmu dalam perut besarku!" Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek. Dengan tenang dia menjawab, "Memohon pada Tuhan adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon untuk hal yang tidak baik dan bukan bersifat kebajikan. Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada tempatnya. Sampeyan keliru, bukan di dalam perut sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang Maha Kuasa. Jadi harap sampeyan suka mengembalikan tongkatku!" Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjuk diarahkan ke pusar Si Lidah Bangkai. Ketika jari itu digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang membuat si nenek berseru kaget. Breeettt!

Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari robekan itu perlahan-lahan menyembul keluar tongkat bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi ditelannya! Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Suro gerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti orang memanggil. Settt! Tongkat kuning melesat dan kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua itu. Dengan mata mendelik si nenek perhatikan dan pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari perutnya lewat pusar, jangan-jangan pusarnya telah bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidak cidera. Tapi tengkuknya telah terlanjur dingin karena kecut. Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan. Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di atas dada Ki Suro berkata, "Cukup sudah kita berlaku seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir. Saat bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyan suka pergi dengan tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang telah terjadi telah kulupakan." Ki Suro membungkuk memberi hormat pada si nenek. Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan. Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke tanah dia berkata, "Ki Suro, jangan bertingkah sombong, menyuruh aku pergi! Aku tidak angkat kaki dari tempat ini tanpa kitab itu!" Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah merah menyembur disusul dengan gulungan lidahnya yang menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan tangan kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali dibetot lidah itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar ludah merah bermuncratan membasahi wajah dan jubah putih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya. Taarrr! Taaarrr! Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk. Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah,

menghantam ke arah Ki Suro Gusti Bendoro! "Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran menghadapi manusia sesat lupa diri ini," kata Ki Suro. Lalu dia cepat menghindar. Bummmm! Kraaak! Satu letusan keras disusul suara patahnya batang pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk. "Luar biasa... Luar biasa!" kata Ki Suro dalam hati, "Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan sesat!" Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar suara seperti petir berkiblat. Cahaya merah bergulung- gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan diri Ki Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek ini digempur habis-habisan. Walau tidak sekalipun cambuk lidah di tangan lawan mengenai diri atau pakaiannya, namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu tidak dapat dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh noda-noda merah seperti diperciki darah. "Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu! Pergilah dari sini!" Ki Suro memberi ingat. Dia masih berharap agar si nenek sadar dari perbuatannya. "Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan tidak bisa dibuat sadar..." begitu kiai berhati tulus ini berpikir.

***

ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU

KALA SRENGGI 8

NENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitab "Hikayat Keraton Kuno" mana mau perdulikan teriakan Ki Suro Gusti Bendoro. Malah dia lancarkan serangan lebih gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba hitam lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya merah redup membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana curahan hujan mengurung si kakek. Karena mengambil sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang, lama-lama Ki Suro jadi terdesak dan jurus demi jurus keadaannya semakin berbahaya. "Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di tangan perempuan sesat ini bisa-bisa aku tidak akan tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika aku berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk menghadapinya." Setelah berucap di dalam hati seperti itu Ki Suro masih belum mau turun tangan. Dia memberi kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu pergi dari situ. Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt! Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat keluar dari gulungan serangan lawan. Untung senjata

lawan tidak sampai melukai kulitnya. "Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau menyudahi urusan dan pergi dari sini!" Ki Suro memberi ingat untuk kesekian kalinya. "Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur menentukan minta kitab dan juga nyawamu!" menjawab Si Lidah Bangkai lalu didahului tawa bergelak dia kiblatkan kembali cambuk lidahnya. Taaarrr! Taarrr! Taaarrr! Cambuk merah mendera udara senja yang semakin gelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu menghantam ke arah kepala Ki Suro. Satu lagi menyambar ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan kiri yang memegang kitab daun lontar. Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai memang luar biasa. Ki Suro tidak tahu mana dari tiga ujung lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya. Karenanya untuk membentengi diri dia putar tongkat bambu kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran. Wuutttt! Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas karena memang bukan ujung cambuk sebenarnya. Tapi ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telah menyambar pergelangan tangan kiri Ki Suro, langsung melilit naik ke arah kitab daun lontar yang dipegangnya! Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas orang. Begitu ujung cambuk lidah melesat ke arah kitab daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke udara. Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangan kirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti ada satu kekuatan raksasa menarik tangannya hingga dua kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh lawan melayang di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak

menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini melancarkan tendangan sekuat tenaga. Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mental sampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki Suro pergunakan kesempatan untuk menyambut dan menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke tanah dengan ujung tongkat bambu kuningnya. Dengan tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga melayang masuk ke dalam tangan kirinya! "Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!" teriak Si Lidah Bangkai. Dengan cepat dia melompat bangkit tapi agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya akibat 'tempelan' kaki Ki Suro tadi. "Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati sendiri. Sampeyan menjual, aku terpaksa membeli. Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi. Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap keras hati keras kepala..." "Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di depan mata!" teriak Si Lidah Bangkai. Laksana terbang tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya didorongkan ke depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyembur keluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat ganas dalam keadaan saling bergerak bersilangan satu sama lain seperti mata gunting. "Gunting Iblis!" seru Ki Suro yang mengenali ilmu kesaktian yang dipergunakan si nenek untuk menyerang. Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia pernah mendengar, selama malang melintang di kawasan timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi momok nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan yang tidak mampu menyelamatkan diri dari serangan ini. Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat

mengerikan seumur hidup! Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu Gunting Iblis-nya. Tetapi betapa terkejutnya si nenek ketika tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah putih itu lenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan saktinya menghantam tempat kosong lalu merambas serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar. Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan! "Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!" teriak Si Lidah Bangkai. "Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurang memasang mata!" tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di belakang. Si nenek cepat membalik sambil kembali hendak menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi sebelum dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia melihat satu benda panjang berwarna merah berkelebat ke arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini hingga Si Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu dua tangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya mulai dari pinggang sampai ke bahu telah terikat! "Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan dua tangan! Tidak mampu melepaskan diri!" Dalam gelap si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadari bahwa benda yang mengikat tubuhnya saat itu bukan lain adalah cambuk lidah miliknya sendiri! Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si nenek. "Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di hadapanmu, minta ampun minta dikasihani!" Ucapan si nenek masih keras lantang. Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. "Aku memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau kehilangan waktu sholat Magrib-ku. Aku bukan raja kepada

siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal ini baik-baik. Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan harus disembah! Semoga Tuhan memberi petunjuk padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut. Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka." Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. "Tak perlu kau mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan memperhinakan diriku! Tunggu saatnya. Aku akan kembali melakukan pembalasan! Aku akan kembali mengambil kitab dan nyawamu!" Ki Suro menarik nafas panjang. "Lidah Bangkai, tak ada yang kalah tak ada yang menang di antara kita. Terserah padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan wajib memberi ingat..." Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro. Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian atas masih terikat dia tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan, Ki Suro yang cukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju ke sebuah mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan pakaiannya dia mengambil wudhu lalu di satu tempat yang bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan berkelebat dari samping kiri.

*** WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari cepat. Di satu tempat dia hentikan larinya ketika tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat di hadapannya. Si nenek cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar. Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan lagi. Tapi Si Lidah Bangkai yakin siapapun adanya orang itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah

memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga muncul memperlihatkan diri, akhirnya si nenek lanjutkan perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari sepuluh tombak tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi di hadapannya. "Makhluk kurang ajar!" si nenek berteriak, "Jangan berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau berkelebat, kuputus nyawamu!" Lalu nenek ini buka mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat. Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan malam di depan sana terdengar orang berseru, "Lidah Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kau rupanya! Tadinya aku merasa ragu!" Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju kuning lengan panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di punggungnya ada satu bumbung bambu. Orang tua ini melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si Lidah Bangkai buka matanya lebar-lebar. Pada jarak empat langkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu. Maka diapun berseru, "Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya! Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil mempermainkanku!" Si nenek lalu tertawa mengikik. "Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut nama asliku! Dalam rimba belantara ini bisa ada belasan mata yang melihat dan belasan telinga yang mendengar!" Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir. "Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau lepaskan ikatan yang melilit tubuhku!" kata si nenek. Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu melangkah lebih dekat. "Astaga!" kejutnya, "Benda yang mengikatmu ini bukankah cambuk lidah milikmu sendiri? Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu membukanya sendiri! Apa yang terjadi?" "Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara

kau menolong aku akan ceritakan apa yang kualami! Aku berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!" "Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi bahan pembicaraan dan dicari orang sejak puluhan tahun itu?" Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. "Mulailah melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama samaran yang kau pergunakan sampai saat ini?" "Kala Srenggi," jawab orang tua baju kuning. Si nenek menyeringai. "Kala Srenggi! Nama edan! Hik... hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambu berisi binatang-binatang celaka itu!" Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh tubuh si nenek di sebelah atas. Sementara ditolong Si Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro. "Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat kerajaan bahkan diinginkan oleh Sultan ternyata memang ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian tinggi luar biasa. Ketika aku menelan tongkat bambunya dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat pusar tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendak menghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia malah pergunakan cambuk lidahku untuk meringkus diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti tubuhnya, mencincang daging dan tulang belulangnya!" "Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan! Mau kau apakan benda ini?" Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuk lidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah terlepas, dengan cepat si nenek mengambil cambuk lidah itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot. Wettt... weetttt!

Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai. "Ilmu gila!" kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala, "Sekarang apa yang akan kau lakukan?" "Menurutmu bagaimana?" si nenek balik bertanya. "Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu masih ada di tempat kau sebelumnya meninggalkannya. Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita datangi dia kembali!" "Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicara berpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu percaya padamu. Kita ke sana dan kau hanya sebagai sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab kuno itu adalah bagianku! Jangan ada pikiran kotor di benakmu untuk ingin memilikinya!" Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk. Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu dari beberapa penyamaran yang tengah dilakukannya. Siapakah adanya Kala Srenggi ini? Seperti yang disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi. Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto, putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikat dengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah menduduki jabatan sebagai seorang Tumenggung mau berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan jabatan yang jauh lebih tinggi. Namun kekacauan yang kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan pula semua rencana Pakubumi. Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah seorang menantu mendiang Pangeran Prawoto dan di masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan

sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih dikenal dengan nama Adiwijoyo menghimpun kekuatan untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil membangun satu kekuatan besar. Bersama orang- orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat dalam pembunuhan Pangeran Prawoto. Salah seorang di antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian menyembunyikan diri di satu tempat. Ketika dia muncul kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk dengan nama Kala Srenggi.

***

ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU

BENTENG TIGA RATUS ULAR 9

WALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu di dalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk dalam menunaikan sholat Magrib-nya. Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala Srenggi, "Kesempatan bagus! Selagi dia sembahyang begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis! Masakan tubuhnya tidak akan terkatung-katung!" "Tunggu dulu sahabatku Lidah Bangkai. Harap kau mau bersabar sedikit dan memberi kesempatan padaku..." "Apa maksudmu?!" tanya Si Lidah Bangkai. "Binatang peliharaanku! Sudah lama dia tidak diberi makan!" menjawab Kala Srenggi. "Kau! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan..." "Lidah Bangkai, aku hanya berjanji tidak akan berselingkuh mengambil kitab kuno itu. Tidak ada perjanjian siapa yang harus menghabisi Ki Suro. Bukankah kau telah mempercayakan diriku sebagai orang yang akan membantu menghadapi Kiai itu. Kau tenang-tenang saja. Biar aku yang mengurusi jiwanya." "Kalau begitu lakukan cepat!" kata Si Lidah Bangkai akhirnya menyetujui. Kala Srenggi tertawa lebar. Dia ambil bumbung bambu besar yang sejak tadi tergantung di punggungnya. Sambil mencangkung bumbung bambu itu diciumnya dua kali lalu selembar kain tebal yang menutupi ujung atas bumbung bambu dibukanya.

"Anak-anakku, makanan sudah menunggu kalian. Walau mungkin dagingnya agak alot karena sudah tua, tapi masih lebih baik daripada tidak ada makanan sama sekali!" Kala Srenggi menyeringai. Ujung bumbung bambu yang terbuka diturunkannya ke tanah. Begitu bambu menyentuh tanah maka pukulan kalajengking hitam dan besar laksana kucuran air berhamburan keluar. Binatang- binatang ini merayap cepat di tanah. Seperti sudah tahu apa yang diinginkan Kala Srenggi, puluhan kalajengking itu langsung mendatangi Ki Suro Gusti Bendoro. Sang Kiai sendiri saat itu masih khusuk melakukan sembahyang. Duduk tahajud terakhir di tanah beralaskan daun-daun besar tak jauh dari sebuah mata air. Dia mendengar kedatangan kedua orang itu. Sayup-sayup dia juga mendengar pembicaraan mereka. Lalu jelas sekali telinganya menangkap suara puluhan kalajengking yang merayap di tanah mendatanginya dengan cepat. Lebih dari itu dia tahu juga bahwa kalajengking-kalajengking yang dilepas Kala Srenggi itu merupakan binatang beracun. Sekali kena sengat atau dijepit, jangankan manusia, seekor kerbau pun akan menemui ajalnya hanya dalam beberapa ketika! Tetapi sang Kiai seolah tidak perduli. Seolah dia memang sudah pasrah kalau harus menemui ajal dalam keadaan menghadap Tuhan. Hanya beberapa langkah lagi puluhan kala itu akan mencapai sosok Ki Suro, tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat. Lalu menyusul terdengar suara mendesis riuh sekali. "Apa yang terjadi?!" tanya Si Lidah Bangkai sambil pentang mata lebar-lebar dan memandang berkeliling. "Tanah bergetar. Aku mendengar suara desisan aneh," menyahuti Kala Srenggi. Lalu Tumenggung dari Demak ini keluarkan seruan tertahan, "Lihat!" katanya seraya menunjuk ke depan. Saat itu entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul ratusan ular berbagai ukuran dan berbagai warna. Binatang-binatang ini meluncur di tanah mengeluarkan

suara menderu lalu mengelilingi sosok Ki Suro Gusti Bendoro. Kalau tadi mereka melata maka kini ratusan ular itu tegak berdiri diujung ekor masing-masing. Mereka bukan saja membentengi rapat sosok Ki Suro tapi dari mulut yang terbuka serta suara mendesis yang mereka keluarkan, jelas ratusan ular itu siap untuk menyerang puluhan kalajengking yang hendak mendatangi sang Kiai. "Ular... Banyak sekali!" kata Si Lidah Bangkai dengan tengkuk merinding. "Kurasa ada sekitar tiga ratusan..." berucap Kala Srenggi dengan suara perlahan tercekat. "Kiai satu ini memang sejak lama diketahui bersahabat dengan bangsa ular!" kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung. "Lihat, puluhan kalajengkingmu seperti dipantek ke tanah. Tidak berani maju lebih jauh mendekati orang tua itu! Binatang-binatang itu agaknya tak bisa menembus benteng tiga ratus ekor ular!" "Aku harus memberi semangat pada mereka!" kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung. Lalu telapak tangannya ditempelkan ke tanah. Saat itu juga menjalar getaran-getaran halus. Begitu getaran menyentuh puluhan kalajengking, ekor binatang-binatang ini langsung berjingkrak naik. Lalu laksana terbang puluhan kalajengking melesat, coba menembus barisan ular yang berdiri rapat membentengi Ki Suro. Saat itu Ki Suro baru saja selesai mengucapkan salam pertanda dia telah mengakhiri sholat Magrib-nya. Tapi lagi- lagi orang tua ini seperti tidak acuh. Begitu selesai sembahyang dia tidak langsung bangkit berdiri melainkan terus duduk bersila dan mulai berzikir. Puluhan ular di barisan terdepan yang mengelilingi Ki Suro, begitu melihat puluhan kalajengking datang menyerang segera keluarkan desisan keras lalu melesat ke depan, menyongsong datangnya serangan. Baik Kala Srenggi maupun Si Lidah Bangkai tidak pernah menyaksikan perkelahian antara binatang dengan binatang. Apalagi antara ular dengan kalajengking.

Keduanya sampai leletkan lidah melihat apa yang terjadi. "Celaka! Kalajengkingku musnah semua!" ujar Kala Srenggi dengan muka memucat. Bumbung bambu yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh ke tanah. "Ular-ular itu, tidak seekorpun yang cidera!" menjawab Si Lidah Bangkai, "Biar kuhantam mereka dengan pukulan Gunting Iblis!" "Aku akan membarengi dengan pukulan Jarum Tanpa Bayangan," kata Kala Srenggi pula. Lalu ketika si nenek angkat dua tangannya, Kala Srenggi segera pula mengangkat tangan kanannya. Ilmu Jarum Tanpa Bayangan adalah ilmu kesaktian yang bisa mengeluarkan lima siuran angin dari lima ujung jari. Angin tanpa cahaya atau sinar ini di dalamnya justru terkandung puluhan jarum beracun yang tidak bisa terlihat oleh pandangan mata biasa. Akibatnya banyak musuh yang tidak bisa menghindar dari serangan tersebut dan menemui ajal dengan tubuh penuh ditancapi jarum beracun. Kali ini Ki Suro Gusti Bendoro benar-benar menghadapi maut yang mungkin tidak dapat lagi dihindarinya. Namun, sementara orang tua itu tetap melakukan zikir, tiba-tiba sekitar dua ratus ekor ular goyangkan kepala dan keluarkan suara mendesis. Seratus meluncur cepat di tanah, seratus lagi melayang setinggi pinggang. Semua melesat ke arah Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai! Sementara itu sisa seratus ular masih tetap tegak di atas ekor masing-masing, mengelilingi melindungi Ki Suro. Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai sama-sama keluarkan seruan terkejut. Mereka berusaha melompat selamatkan diri tapi puluhan ular sudah membelit melingkari dan menggelayuti tubuh mereka. Saat itulah Ki Suro Gusti Bendoro menyudahi zikirnya, bergerak dari duduknya dan bangkit berdiri. "Sahabat-sahabatku, jangan celakai dua orang itu. Semua kembali ke sini!" Mendengar ucapan sang Kiai dua ratus ular yang ada di sekujur tubuh Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai dengan

patuh segera meluncur turun ke tanah lalu kembali berkumpul dengan seratus kawan-kawannya yang tegak mengelilingi Ki Suro. "Kalian berdua telah diselamatkan oleh Tuhan! Bersyukurlah padaNya. Tinggalkan tempat ini. Tinggalkan hidup dalam kesesatan!" Masih dalam keadaan ngeri atas apa yang barusan mereka alami, tanpa mampu berkata apa-apa lagi Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai segera tinggalkan tempat itu. Ki Suro memandang berkeliling pada ratusan ular yang ada di sekitarnya. "Sahabat-sahabatku, aku sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Karena hari sudah malam bukankah lebih baik bagi kalian kembali ke tempat masing-masing?" Tiga ratus ular mendesis panjang. Satu persatu mereka turunkan tubuh, melata di tanah. "Sekali lagi aku berterima kasih pada kalian," kata Ki Suro lalu membungkuk memberi penghormatan. Dia baru meluruskan tubuhnya kembali setelah semua binatang itu lenyap dari tempat tersebut. Ki Suro menghela nafas lega. Dia merasa gembira karena ratusan ular itu tidak sampai menciderai Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai. Sambil memandang ke arah lenyapnya ke dua orang itu si kakek usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut putih. Dia coba mengingat-ingat, "Orangtua berbaju kuning yang datang bersama Si Lidah Bangkai tadi, aku seperti mengenali suaranya. Tetapi mengapa sosok dan wajahnya berlainan? Aku menduga jangan-jangan dia adalah... Ah! Di usia tua renta begini mungkin saja dugaanku bisa keliru. Biar aku lupakan saja dirinya. Aku harus menyempatkan memeriksa dan membaca kitab yang diberikan pengemis di pedataran Tengger itu." Lalu orang tua ini naik ke satu bukit kecil. Dekat reruntuhan sebuah arca, Ki Suro duduk. Dikeluarkannya kitab daun lontar dari kempitan tangan kirinya dan membalik halaman pertama.

***

ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU

SUNAN AMPEL 10

DI BAWAH penerangan bulan setengah lingkaran dan taburan bintang-bintang, Ki Suro Gusti Bendoro duduk di puncak bukit. Halaman pertama kitab daun lontar telah dibukanya. Agak sulit juga baginya untuk membaca karena selain ada beberapa bagian yang rusak, tulisan di daun lontar itu banyak yang tidak jelas lagi. Sesungguhnya sebelum manusia dilahirkan ke dunia, nasib perjalanan dirinya telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, Gusti Allah Seru Sekalian Alam. Tiada beda antara insan satu... lainnya. Kecuali takwa dan kebajikan yang dibuatnya. Semua manusia dijadikan dari sumber dan bentuk yang sama. Karena itu mereka adalah bersaudara satu dengan lainnya. Tetapi di atas dunia mengapa mereka berbeda dalam pikiran, hati dan perbuatan. Mengapa tali persaudaraan mereka ubah menjadi api permusuhan. Mengapa insan lebih... bisikan setan daripada mendengarkan bisikan malaikat. Mereka saling berbunuhan dalam memperebutkan harta, tahta dan wanita. Padahal ajal manusia bukan di tangan manusia lainnya. Ajal manusia adalah kuasa Sang Pencipta. Sebelum ajal berpantang mati. Sekalipun insan berusaha mencari jalan kematiannya sendiri. Sampai di sini Ki Suro hentikan bacaannya. Dia memandang ke arah kejauhan yang diselimuti kegelapan malam. Diam-diam dia menyadari betapa usianya sudah sangat lanjut. Namun Tuhan masih memanjangkan

umurnya. Entah sampai kapan. Dia lalu teringat pada mimpi yang pernah dialaminya sampai tiga kali. Ki Suro melanjutkan bacaannya kembali. Sifat dengki, iri, fitnah dan ingin berkuasa terlahir bersama lahirnya manusia. Janganlah heran kalau kemudian kutuk dan bala diturunkan Allah. Bukan hanya untuk menghu... ummat, tetapi agar mereka juga ingat, segera meninggalkan kesesatan dan kembali ke jalan yang lurus dan benar, jalan yang diredhoiNya. Sayangnya manusia bersikap pura-pura. Terkadang malah bersikap pongah dan menantang. Ketika mereka berpijak di atas harta dan duduk di atas tahta kekuasaan mereka mengira diri merekalah yang menguasai apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Mereka ingkar pada hati nurani sendiri. Terlebih dari itu mereka ingkar pada Tuhan yang menciptakan mereka. Konon malapetaka akan... menimpa negeri indah dan subur yang disebut Jawadwipa. Air mata lebih deras dari curahan hujan. Darah akan tumpah menganak sungai. Di dalam kekacauan yang berpusat dari keraton itu di mana tidak lagi diketahui mana kawan, mana lawan, mana anak mana saudara, maka ada seorang anak manusia yang akan diselamatkan oleh tangan Tuhan ke satu puncak tertinggi. Kepadanyalah segala harapan akan ditumpahkan. Kepadanyalah keraton akan banyak menggantungkan nasib. Di puncak tertinggi ini pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa seorang insan panutan akan menemui hari terakhirnya. Sementara rohnya kembali ke alam barzah, Kuasa Tuhan akan merubah jazadnya menjadi sebilah... berluk tujuh yang diciptakan Tuhan dari raga suci dan petir sakti. Kelak senjata itu akan dikenal dengan nama "Ki Ageng Pitu Bledeg". Kelak senjata itu akan menjadi salah satu pusaka Keraton. Namun selama negeri dilanda kekacauan, anak yang mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa itu akan menjadi pemiliknya. Dengan berkah dan perlindungan Gusti Allah kelak di kemudian

hari anak itu berhak menyandang gelar "Pendekar Keris Tujuh Petir". Barang siapa yang melangkah di jalan lurus maka Allah akan memberkatinya. Barang siapa yang menerima wasiat hikayat ini dan melakukan sesuatu yang diridhoi Allah maka kepadanya Gusti Allah menjanjikan tempat yang sebaik-baiknya di Negeri Akhirat. Tak ada ganjaran yang paling besar dan nyata selain mengerjakan perintahNya dan menjauhkan laranganNya. Selesai membaca kitab daun lontar yang hanya terdiri dari dua halaman itu ditambah sampul depan dan sampul belakang, lama Ki Suro Gusti Bendoro merenung. Dia seolah bicara dengan dirinya sendiri. "Kitab ini diberikan seorang pengemis aneh padaku di tengah gurun pasir Tengger. Dia lenyap begitu saja seolah dirinya adalah seorang malaikat Allah. Jika kuhubungkan tiga mimpi yang kualami dengan semua kejadian serta kitab daun lontar ini agaknya aku telah menerima satu amanat, satu wasiat. Di dalam kitab disebutkan satu tempat tertinggi di tanah Jawa. Jika aku hubungkan dengan kekacauan dan peristiwa berdarah yang terjadi di Demak, apalagi yang dimaksudkan dengan tempat tertinggi itu kalau bukan puncak Gunung Mahameru?" Ki Suro merasakan dadanya berdebar ketika dia ingat pada bacaan yang berbunyi "Di puncak tertinggi itu pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa seorang insan akan menemui hari terakhirnya..." "Suara hatiku membisikkan aku harus pergi ke puncak Mahameru. Aku mempunyai firasat di tempat itulah agaknya hari terakhirku di dunia ini... Pendekar Keris Tujuh Petir... Apakah aku akan menemuinya di sana? Ini bukan perkara kecil. Aku butuh petunjuk." Ki Suro memandang ke langit. Cahaya bulan setengah lingkaran kelihatan begitu indah dan terasa sejuk. Dada sang Kiai yang tadi berdebar kini menjadi tenteram kembali. Ki Suro lalu pandangi kitab daun lontar yang ada di pangkuannya. "Kitab berharga ini harus kusimpan baik-baik. Mungkin tidak akan kubawa ke puncak Mahameru. Tetapi kepada siapa kitab sangat

berharga ini akan kuserahkan? Ya Allah, aku benar-benar perlu petunjukMu." Ki Suro lalu pejamkan mata dan tampungkan dua tangannya ke atas, berdoa memohon petunjuk. Namun sampai lewat tengah malam orang tua ini masih belum menemukan apa-apa. Ki Suro lalu menghadap kiblat dan bersujud sambil kembali memanjatkan doa. Tiba-tiba Ki Suro merasakan ada getaran-getaran di keningnya yang menempel di tanah. Lalu sayup-sayup di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda. Derapnya perlahan saja tapi tak selang berapa lama kemudian binatang itu telah berada di atas puncak bukit di hadapan Ki Suro. Perlahan-lahan Ki Suro bangkit dari sujudnya. Beberapa langkah di depannya berdiri gagah seekor kuda putih yang ekornya selalu digerak-gerakkan kian kemari. Di atas punggung binatang ini duduklah seorang berjubah dan bersorban putih. Sepasang alis matanya hitam tebal. Kumis dan janggutnya tampak rapi. Di tempat itu keadaan cukup gelap tapi anehnya Ki Suro bisa melihat keseluruhan wajah penunggang kuda ini dengan jelas. Satu wajah tua yang bersih dan tenang. Dan begitu mengenali wajah ini terkejutlah Ki Suro. Cepat-cepat dia bangkit berdiri, membungkuk dalam-dalam. Ketika dia hendak memberi salam, si penunggang kuda telah mendahului. "Salam sejahtera bagimu wahai saudaraku seiman." "Salam sejahtera juga bagi sampeyan saudaraku seiman," balas Ki Suro. "Maafkan saya. Jika saya boleh bertanya bukankah sampeyan ini Wali Allah yang dipanggil dengan nama Sunan Ampel? Yang saya ketahui adalah juga merupakan saudara sepupu mendiang Sultan Demak Raden Patah?" Orang di atas kuda tersenyum. "Malam begini gelap. Aku gembira kau masih bisa mengenali diriku." "Allah Maha Besar. Sungguh satu kebahagiaan dan kehormatan dapat bertemu dengan salah seorang dari Sembilan Wali terkenal. Maafkan kelancangan saya kalau

saya bertanya bagaimana Wali bisa muncul di tempat ini dan tanpa pengiring atau pengawal sama sekali?" Sunan Ampel tersenyum kembali lalu turun dari kudanya. Ki Suro cepat menghampiri Wali ini, lalu menyalaminya dengan penuh khidmat "Allah Maha Besar yang menuntun diriku ke puncak bukit ini. Allah Maha Besar pula yang menjadi pelindung diriku dan kita semua. Hingga perlu apa aku membawa pengiring dan pengawal segala? Saudaraku, melihat begitu lama sujudmu tadi, aku menduga pastilah ada satu hal teramat penting yang tengah kau mohonkan padaNya." "Terima kasih Wali mau memperhatikan diri saya. Wali benar adanya," kata Ki Suro. Lalu meneruskan, "Saat ini saya tengah menghadapi satu perkara besar. Menyangkut mimpi saya yang ada hubungannya dengan kitab daun lontar ini." "Kitab apakah itu adanya saudaraku?" tanya Sunan Ampel. "Kitab ini tidak berjudul. Tapi jika membaca hikayat yang ada di dalamnya, ada sangkut pautnya dengan Keraton Demak serta masa depan tanah Jawa." Lalu Ki Suro menceritakan isi kitab yang baru saja dibacanya. "Berbahagialah engkau saudaraku. Tuhan telah mempercayakan kitab itu padamu..." "Tapi Wali, saya rasa... Saya rasa kitab ini sebaiknya saya serahkan saja pada Wali." Sunan Ampel tersenyum. "Pengemis aneh di gurun Tengger itu sudah mengatakan. Kitab itu berjodoh padamu. Mengapa harus kau serahkan padaku? Bawalah kitab itu ke mana kau pergi. Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan. Tetapi jika kau ingin kejelasan yang lebih baik, mengapa kau tidak melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Dilanjutkan dengan membaca doa petunjuk, doa Istikharah?" "Terima kasih Wali. Saya akan lakukan apa yang Wali katakan." kata Ki Suro pula.

"Aku harus melanjutkan perjalanan. Semoga Tuhan memberkahi dan melindungi dirimu saudaraku." "Terima kasih Wali. Semoga rahmat Tuhan menjadi bagian Wali. Selamat jalan Wali. Assalam mualaikum." Ki Suro lalu membungkuk penuh hormat. "Wa alaikum salam." Sunan Ampel lalu naik ke atas kudanya. Tak lama setelah Sunan Ampel meninggalkan bukit kecil itu, Ki Suro Gusti Bendoro segera melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Selesai sembahyang Kiai ini lalu duduk bersila. Dengan penuh khidmat dia memanjatkan doa Istikharah. "Ya Tuhanku. Sesungguhnya saya minta Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuanMu, dan saya minta Engkau memberi saya kekuatan dengan kekuasaanMu, dan saya minta kemurahanMu yang luas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang saya tidak berkuasa, Engkau mengetahui sedang saya tidak mengetahui, dan Engkau adalah amat mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Tuhanku, kalau memang Engkau ketahui bahwa perkara ini baik bagi saya, untuk agama saya, penghidupan saya dan untuk penghabisan saya, maka berikanlah kepada saya dan mudahkanlah urusan buat saya dan berkatkanlah dia bagi saya. Dan kalau memang Engkau sudah mengetahui bahwa perkara ini tidak baik untuk saya, agama saya, untuk penghidupan saya dan untuk penghabisan saya, maka jauhkanlah dia dari saya dan jauhkanlah saya dari dia, dan berikanlah kepada saya kebaikan dari mana saja datangnya serta jadikanlah saya orang yang ridho akan dia." Keesokan paginya, menjelang subuh ketika sang Kiai terbangun, secara aneh dia langsung teringat pada seorang sahabatnya, seorang Empu bernama Bondan Ciptaning. "Tuhan Maha Besar. Dia telah memberi petunjuk pada tua renta buruk ini. Aku harus menemui empu itu. Agaknya kepadanyalah aku harus menyerahkan kitab ini sebelum

berangkat menuju puncak Mahameru." Begitu sang Kiai membatin. Lalu dia ingat pula pada ucapan Sunan Ampel pada pertemuan di awal malam tadi. "Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan..."

*** KI SURO Gusti Bendoro menatap wajah Empu Bondan Ciptaning yang memandang sayu padanya. Ki Suro maklum perasaan yang ada dalam hati sahabatnya yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu. Karenanya dengan tersenyum dia berkata, "Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, begitulah tadi kisah yang bisa aku tuturkan pada sampeyan. Yang Kuasa telah memberi petunjuk. Aku merasa bahagia dan lega dapat menyerahkan kitab itu pada sampeyan. Harap sampeyan mau menjaganya baik- baik. Sekarang, selagi hari masih siang, izinkan diriku berangkat menuju Gunung Mahameru." Ki Suro memegang bahu sahabatnya itu lalu bangkit berdiri. "Tunggu dulu Ki Suro," kata Empu Bondan Ciptaning seraya berdiri pula. "Apakah kau tidak keliru menyerahkan kitab sangat berharga dan sangat keramat ini padaku?" "Petunjuk Gusti Allah mengatakan begitu. Mana berani aku melakukan hal menyimpang dari itu. Saudaraku, agaknya apakah ada keraguan dalam hatimu?" "Tidak, sama sekali tidak ada keraguan. Ki Suro, aku mengetahui apa arti perjalananmu ke puncak Mahameru itu. Agaknya hari ini adalah hari pertemuan kita yang terakhir..." Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kelihatan mulai berkaca-kaca. Kembali Ki Suro Gusti Bendoro memegang bahu sahabatnya itu. Walau dia sebenarnya juga tidak dapat menahan keharuan namun dengan senyum di bibir dia berkata, "Hari ini begini indah, pertemuan kita penuh kegembiraan. Apa yang sampeyan sedihkan saudaraku? Apakah pertemuan, persahabatan dan persaudaraan itu

hanya terbatas di atas dunia yang serba fana ini? Bukankah agama kita memberi petunjuk bahwa akan ada satu kehidupan baru di alam akhirat, satu kehidupan yang kekal selama-lamanya?" "Kau benar saudaraku. Mungkin aku terlalu hanyut dalam perasaan..." kata Empu Bondan Ciptaning pula sambil coba mengulum senyum. "Sebelum kita berpisah ada sesuatu yang hendak aku berikan pada sampeyan," kata Ki Suro lalu memasukkan tangan kirinya ke dalam saku kanan jubah putihnya. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatanlah seuntai tasbih besar berwarna hijau terbuat dari batu giok asli berasal dari daratan Tiongkok. Empu Bondan Ciptaning bergerak mundur satu langkah. "Saudaraku Ki Suro, jangan kau bermain-main." "Siapa bermain-main? Tasbih ini sudah aku niatkan untuk kuberikan pada sampeyan," kata Ki Suro pula. "Tidak saudaraku. Aku tahu betul riwayat tasbih batu giok yang dikenal dengan nama Ki Ageng Bela Bumi ini. Semasa kau muda, dengan tasbih ini kau mendampingi Sultan Demak untuk membangun kerajaan..." "Lalu apa salahnya aku berikan pada saudaraku sendiri?" ujar Ki Suro lalu sebelum Empu Bondan Ciptaning sempat membuka mulut tasbih besar itu sudah dikalungkannya ke leher sang Empu. "Ki Suro, perjalanan ke puncak Gunung Mahameru jauh dan banyak rintangan serta bahayanya. Kau pasti membutuhkan tasbih sakti itu untuk melindungi dirimu..." "Yang menjadi pelindungku adalah Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Aku cukup membawa tongkat bambu kuning ini saja," kata Ki Suro sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di atas dada. "Saudaraku, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Keadaan akhir-akhir ini semakin tidak karuan. Kita tidak tahu lagi mana lawan mana kawan..." "Terima kasih atas nasihatmu Ki Suro. Aku akan jaga kitab ini baik-baik. Selamat jalan, semoga Tuhan

melindungimu hingga kau sampai dengan selamat ke tempat tujuan." "Semoga Gusti Allah memberikan berkat dan perlindungan atas dirimu Empu Bondan," kata Ki Suro lalu dua sahabat itu saling berpelukan beberapa lamanya. Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kembali berkaca- kaca melepas kepergian Kiai Suro Gusti Bendoro hingga akhirnya orang tua berjubah putih itu lenyap di kejauhan. Empu Bondan menarik nafas panjang. Walau sudah mendengar langsung cerita serta isi kitab daun lontar dari Ki Suro Gusti Bendoro, namun sang Empu ingin membaca sendiri apa yang tertulis di dalam kitab daun lontar yang diberikan Ki Suro kepadanya itu. Maka diapun melangkah ke tepi telaga, maksudnya hendak duduk di atas sebuah batu hitam rata. Namun baru bergerak dua langkah tiba- tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda. "Ada orang datang..." kata Empu Bondan dalam hati. Dia cepat menyelinapkan kitab daun lontar ke balik pakaiannya. Ketika dia memutar tubuh dua kuda besar sama-sama berwarna hitam menghambur di kiri kanannya. Kalau orang tua ini tidak gesit menghindar, pasti dia akan kena terjangan kaki atau tubuh kuda-kuda itu. Dari cara muncul kedua orang itu jelas mereka berniat jahat hendak mencelakai Empu Bondan Ciptaning. Lalu ketika dia memperhatikan siapa adanya para dua penunggang kuda, terkejutlah sang Empu. Namun dia tetap berlaku tenang, tak mau memperlihatkan rasa keterkejutannya, apalagi rasa takut.

***

ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU

WAROK WESI GLUDUG 11

PENUNGGANG kuda hitam di sebelah kanan bukan lain adalah nenek berjuluk Si Lidah Bangkai yang sebelumnya telah diceritakan oleh Ki Suro Gusti Bendoro. Di sampingnya juga di atas seekor kuda hitam besar duduk seorang lelaki bertubuh tinggi kekar, mengenakan celana hitam gombrong. Dadanya yang telanjang ditumbuhi bulu lebat. Orang ini memelihara rambut panjang dikuncir ke atas. Mukanya tertutup oleh kumis tebal, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di lehernya ada sebuah kalung digantungi lima buah jimat dibungkus dengan kain hitam. Keangkeran manusia satu ini ditambah lagi dengan sepasang tangannya yang berbulu dan berwarna hitam sebatas siku ke bawah. Seperti diceritakan sebelumnya, setelah tidak mampu merampas Kitab Hikayat Keraton Kuno dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro, bersama Kala Srenggi nenek itu melarikan diri. Namun di tengah jalan rasa dendam membuat Si Lidah Bangkai mengajak Kala Srenggi menyusun rencana untuk kembali mendatangi Ki Suro. Kala Srenggi menolak dengan alasan bahwa dia punya satu urusan penting di Demak. Alasannya itu memang benar, namun di samping itu Kala Srenggi masih ciut keberaniannya untuk menghadapi Ki Suro. Masih untung dalam pertempuran senja tadi Ki Suro tidak memerintahkan seratus ular membunuhnya, padahal binatang-binatang itu telah menggelung menggayuti dirinya.

Kecewa atas penolakan Kala Srenggi, Si Lidah Bangkai tinggalkan sahabatnya itu lalu memasuki kawasan hutan Roban. Di hutan ini dia menemui seorang gembong rampok yang bukan saja malang melintang berbuat kejahatan tetapi juga diketahuinya pernah berserikat dengan kelompok jahat yang menghancurkan keraton. Ternyata tidak mudah bagi si nenek mencari tokoh penjahat yang dikenal dengan nama Warok Wesi Gludug itu. Lebih dari satu minggu menyusuri rimba belantara lebat barulah dia berhasil menemui sang Warok. Ini pun setelah dia sempat dihadang oleh tiga orang anak buah Warok Wesi Gludug yang kemudian dihajarnya lalu dipaksa membawanya ke tempat persembunyian pimpinan mereka. Kepada pimpinan rampok hutan Roban itu Si Lidah Bangkai menceritakan tentang kitab kuno yang kini berada di tangan Ki Suro Gusti Bendoro lalu mengajak Warok Wesi Gludug untuk membantu merampasnya. "Aku memang pernah mendengar riwayat kitab itu sejak belasan tahun silam. Tapi sulit dipercaya benar atau tidak keberadaannya..." kata Warok Wesi Gludug. Sesuai dengan namanya ternyata lelaki tinggi kekar dada berbulu ini memiliki suara besar keras. Siapa yang bicara dengannya akan mengiang dan tergetar gendang-gendang telinganya. Bahkan orang-orang yang tidak membekal ilmu kepandaian bisa berdebar dadanya mendengar suara sang Warok. "Aku sendiri melihat kitab itu ada pada Ki Suro, apa kau tidak percaya?" kata Si Lidah Bangkai pula. "Kalaupun memang ada pada Kiai itu, apa artinya sebuah kitab yang sudah lapuk? Apa untungnya membuang waktu bercapai-capai mendapatkannya? Di sini bersama anak buahku dalam satu minggu aku bisa mendapatkan jarahan besar, tanpa bekerja keras," kata sang Warok lagi tetap enggan membantu Si Lidah Bangkai. Tapi si nenek berlaku cerdik. "Kalau kau tidak suka membantu tidak jadi apa," katanya, "Aku bisa mendapatkan bantuan dari para sahabat lainnya. Hanya saja harap di kemudian hari kau tidak merasa menyesal."

"Merasa menyesal? Mengapa aku harus merasa menyesal?!" ujar Warok Wesi Gludug. "Kitab buruk itu diperebutkan banyak tokoh. Berarti ada satu rahasia besar tersimpan di dalamnya. Karena menyangkut keraton, bukan mustahil ada petunjuk tentang harta karun berupa perhiasan atau emas dalam jumlah luar biasa besar. Disembunyikan di satu tempat. Kurasa kau pernah mendengar bahwa dulu ada sebuah kapal besar dari Kerajaan Campa mendarat di pantai Demak membawa barang-barang rahasia berjumlah belasan gerobak besar!" Si nenek menyeringai sambil memperhatikan wajah kepala rampok itu. "Selamat tinggal Warok Wesi Gludug! Perintahkan anak buahmu menunjukkan jalan keluar." Setelah berucap begitu si nenek putar tubuhnya dan cepat-cepat hendak melangkah seolah-olah dia memang benar-benar hendak tinggalkan tempat itu. Sikap Warok Wesi Gludug serta merta berubah. "Lidah Bangkai! Tunggu dulu! Aku ikut bersamamu!" Si Lidah Bangkai tertawa seperti kuda meringkik. "Kalau begitu suruh anak buahmu menyiapkan dua ekor kuda! Perjalanan kita mencari Kiai itu mungkin cukup jauh dan lama!" Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug tinggalkan hutan Roban menunggang dua ekor kuda hitam besar. Cukup lama mereka melakukan perjalanan, berbilang hari berbilang minggu. Ketika akhirnya mereka berhasil mengetahui di mana beradanya Ki Suro Gusti Bendoro, ternyata sang Kiai dalam perjalanan ke satu tempat berdiam seorang sahabatnya yakni Empu Bondan Ciptaning. Tanpa diketahui Ki Suro kedua orang ini terus menguntit. Mereka berhasil sampai di tempat pertemuan hanya beberapa ketika sebelum Ki Suro meninggalkan tepian telaga, yaitu setelah menyerahkan kitab daun lontar pada Empu Bondan Ciptaning. "Kita biarkan dulu Kiai itu pergi, baru kita mengerjai sang Empu," bisik Si Lidah Bangkai yang diam-diam

rupanya merasa takut juga terhadap Ki Suro. Begitu Ki Suro pergi dan lenyap di kejauhan kedua orang itu menggebrak kuda masing-masing, langsung menerjang Empu Bondang Ciptaning. Setelah perhatikan dua orang di atas kuda itu sejenak, Empu Bondan segera maklum kalau orang berniat jahat terhadapnya. "Nenek satu ini jelas masih mencari dan menginginkan kitab yang ada padaku," kata Empu Bondan Ciptaning dalam hati. "Kawannya ini kalau aku tidak salah menduga adalah pentolan kepala rampok hutan Roban bernama Warok Wesi Gludug, penjahat paling berbahaya yang dicari-cari kerajaan." Walau sudah tahu orang berniat jahat tapi Empu Bondan Ciptaning dengan tetap tenang dan wajah polos menegur, "Salam bahagia dan selamat bagi kalian berdua. Sudah lama aku dari tempat jauh ini mendengar nama besar kalian berdua. Jika hari ini nenek hebat Si Lidah Bangkai dan orang terkenal Warok Wesi Gludug datang menyambangi diriku, sungguh aku mendapatkan satu kehormatan besar..." Setelah berucap begitu Empu Bondan Ciptaning lalu bungkukkan badannya memberi penghormatan. Si Lidah Bangkai menyeringai lalu kedipkan matanya pada Warok Wesi Gludug. Sang Warok balas kedipkan mata lalu tertawa bergelak. Suara tawanya menggetarkan seantero tempat. Apalagi karena dia mengerahkan tenaga dalam maka Empu Bondan merasa telinganya mengiang- ngiang, dadanya bergejolak dan tanah di bawah kakinya bergetar! Cepat-cepat sang Empu kerahkan tenaga dalamnya untuk menolak hawa jahat tenaga dalam orang. "Sahabatku Lidah Bangkai!" kata Warok Wesi Gludug pada si nenek di sebelahnya, "Kau dengar sendiri orang bicara baik dan sopan pada kita. Berarti kita tidak akan menemui kesulitan berurusan dengan Empu ini! Ha... ha... ha... ha!" Suara tawa Warok Wesi Gludug membahana. Dua ekor kuda hitam tersentak kaget, meringkik keras seperti ketakutan. Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug cepat

usap-usap leher binatang tunggangannya hingga dua ekor kuda ini menjadi jinak kembali. "Warok Wesi Gludug, jika kita memang berniat baik dengan siapapun kita melakukan urusan pasti tidak ada kesulitan. Gerangan urusan apakah yang kalian berdua hendak sampaikan padaku. Harap kalian mau memberitahu. Lalu gerangan apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu kalian," berkata Empu Bondan Ciptaning. Warok Wesi Gludug angguk-anggukkan kepala. "Orang baik... Empu baik..." katanya berulang kali lalu sepasang lengannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Luar biasanya dua tangan yang saling digosokkan itu mengeluarkan suara grek-grek-grek seperti suara dua potong besi saling digesek. Dari sini saja sudah dapat diketahui bagaimana kehebatan sepasang tangan sang Warok. Ditambah dengan keangkeran wajah dan suaranya maka memang dia pantas dijuluki Warok Wesi Gludug yang berarti "Kepala Rampok Tangan Besi Suara Guntur". "Empu Bondan, tentu saja kami datang bukan untuk memesan keris sakti bertuah. Karena kami tahu sudah lama kau tidak pernah duduk di belakang tungku perapian menempa keris. Kami datang membekal satu maksud baik. Sahabatku nenek berjuluk Si Lidah Bangkai ini inginkan sebuah kitab yang ada padamu. Sedangkan aku, mengingat sikapmu yang sopan aku hanya akan meminta tasbih yang melingkar di lehermu!" Selesai berucap begitu sang Warok lalu tertawa bergelak dan kembali gosok- gosokkan dua tangannya satu sama lain. Empu Bondan Ciptaning tatap wajah dua orang yang masih duduk di atas kuda itu sesaat. Sikap dan raut air mukanya tetap tenang. Tak terpengaruh oleh kata-kata Warok Wesi Gludug tadi padahal orang sudah jelas menyatakan maksud buruknya. "Warok Wesi Gludug, kau menyebut sebuah kitab. Bisa kau menerangkan kitab apa yang kau maksudkan?" bertanya sang Empu. "Biar aku yang menjawab!" kata Si Lidah Bangkai

setelah berdiam diri saja dari tadi, "Kitab yang kami maksudkan adalah sebuah kitab terbuat dari daun lontar. Berisi hikayat keraton kuno..." "Ah, kitab itu rupanya," ujar Empu Bondan sambil mengangguk-angguk. Sebelum dia meneruskan Si Lidah Bangkai kembali membuka mulut, "Seorang Empu tidak akan berkata dusta! Kami melihat sendiri sebelum pergi Kiai Suro Gusti Bendoro menyerahkan kitab itu padamu! Jadi jangan berkilah kitab itu tidak ada padamu!" Empu Bondan tersenyum. "Kitab yang kalian maksudkan itu memang ada padaku. Tapi harap diketahui, kitab itu bukan milikku. Ki Suro hanya menitipkan padaku agar aku menjaganya baik-baik. Jadi harap dimaafkan kalau aku tidak mungkin menyerahkan kitab itu pada kalian..." "Hemmm... Begitu?" ujar Si Lidah Bangkai. Sisik hitam kebiruan yang menutupi wajahnya langsung kaku berdiri. Lidahnya yang merah bercabang menjulur menyemburkan percikan cairan merah. "Kami meminta dengan baik..." Nada suara Si Lidah Bangkai mengandung ancaman. "Akupun menolak dengan baik," jawab Empu Bondan. Amarah Si Lidah Bangkai jadi menggelegak. "Empu tolol! Tua bangka yang sudah bau tanah! Rupanya kau ingin menemui ajal lebih cepat dari takdir!" "Kita manusia jangan menyalahi ketentuan Yang Maha Kuasa. Soal nyawa dan takdir adalah kuasanya Dia Yang Tunggal," jawa Empu Bondan pula. "Bagaimana dengan kalung tasbih batu Giok yang tergantung di lehermu Empu?" bertanya Warok Wesi Gludug, "Apakah kau juga tidak mau menyerahkannya padaku?!" "Sama saja Warok. Tasbih ini juga titipan orang. Apapun yang terjadi aku harus menjaganya baik-baik." Jawab Empu Bondan. Warok Wesi Gludug berpaling pada Si Lidah Bangkai.

Dua orang ini lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba tawa mereka lenyap. Warok Wesi Gluduk keluarkan bentakan garang yang membuat kawasan sekitar telaga jadi bergetar. Air telaga beriak keras. Daun-daun pepohonan bergeser bergemerisik. Si Lidah Bangkai tak mau kalah. Dia keluarkan satu pekik nyaring. Lidahnya bergulung keluar. Lalu sekali membuat gerakan, sosok sang Warok dan si nenek melesat ke atas, begitu turun langsung menyerang ke arah Empu Bondan Ciptaning. "Tuhan! Saya berpegang pada kekuatanMu dan berlindung di bawah kekuasaanMu. Tolong saya menghadapi manusia-manusia saat ini! Ampuni dosa saya kalau saya sampai menjatuhkan tangan jahat terhadap mereka!" Empu Bondan Ciptaning berkata dalam hati. Lalu dua kakinya digeserkan. Beettt! Sosok sang Empu berkelebat lenyap. Yang kelihatan hanya bayang-bayang biru warna pakaiannya. Warok Wesi Gludug dan Si Lidah Bangkai berseru kaget ketika dapatkan serangan ganas yang mereka lancarkan hanya menghantam tempat kosong. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Yang satu berwarna merah akibat hantaman ujung lidah bercabang Si Lidah Bangkai. Satunya lagi lobang berwarna hitam bekas terkena pukulan tangan besi sang Warok!

(BERSAMBUNG KE BAGIAN-3)

BASTIAN TITO

K K U U N N G G F F U U

S S A A B B L L E E N N G G

PENDEKAR PISPOT NAGA (THE DRAGON PISPOT)

PDF E-Book: kiageng80

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA (The Dragon Pispot) 1

PERGURUAN kungfu Ban Yak Cing Cong yang dipimpin oleh Tong Pes mengalami kekurangan biaya dan terancam gulung tikar alias tutup. Karenanya sang suhu menyuruh salah seorang muridnya yang terpercaya yaitu Tek Lok pergi ke kotaraja untuk menggadaikan seperangkat pispot antik. Pispot-pispot itu sangat mahal harganya karena konon berasal dari zaman dinasti Cong Ngek 600 abad silam. Maka berangkatlah Tek Lok selama beberapa hari. Ketika ia pulang dari kotaraja alangkah kagetnya pemuda bertubuh gemuk tambun itu karena mendapatkan perguruannya telah diobrak-abrik orang. Di halaman depan bergeletakan sebelas saudara seperguruannya, kebanyakan sudah tidak bernafas lagi. Dua tiga orang memang masih terdengar mengerang. Tapi tak mungkin ditolong karena sebentar lagi mereka pasti akan meregang nyawa. Sementara itu di serambi depan Tek Lok menyaksikan suhunya bersama seorang murid tingkat utama tengah bertempur mati-matian melawan seorang tinggi besar berdandan aneh. Orang ini mengenakan jubah kuning dengan hiasan naga hitam di bagian dada dan punggung. Di batok kepalanya nangkring satu topi aneh yang bukan lain adalah sebuah pispot putih dihiasi gambar-gambar naga. Ternyata si topi pispot lawan sang suhu memiliki kungfu luar biasa. Gerakannya cepat sekali, laksana bayang- bayang dikejar setan. Ketua perguruan dan muridnya terdesak hebat hanya dalam beberapa jurus saja. Selain itu yang membuat mereka jadi kelabakan ialah karena setiap

gerakan yang dibuat lawan, dari balik jubah kuningnya menghambur bau tidak sedap, yakni seperti bau kotoran manusia. "Jangan-jangan ini olang habis buang ail besal belum cebok alias ngepet!" pikir Tek Lok yang memang cadel dari sononya. Dalam satu gebrakan hebat kepala si tinggi besar yang disungkup pispot tahu-tahu sudah menghantam dada murid utama. Lelaki kurus kerempeng ini menjerit keras dan terpental. Tubuhnya terbanting di tanah. Dadanya remuk. Tak berkutik lagi. Darah mengucur dari mulutnya. Mata mendelik jereng. Tit sudah! Sadar kalau seorang diri dan hanya mengandalkan tangan kosong dia tidak akan dapat menghadapi lawan yang begitu lihay maka ketua perguruan Ban Yak Cing Cong segera hunus sebilah golok panjang yang terselip di belakang punggungnya. "Manusia terkutuk!" memaki Tong Pes. "Hari ini biar pinceng mengadu nyawa denganmu!" Si topi pispot tertawa bergelak. "Tong Pes! Dulu aku minta kau menjual pispot-pispot antik itu padaku. Tapi kau menolak dengan sombong! Kau malah menyuruh orang menjualnya ke kotaraja! Hari ini kau bicara segala macam soal adu nyawa! Rupanya kau punya banyak nyawa serep. Aku tuan besarmu Tong Siam Pah akan melayani! Walau begadang sampai pagi sekalipun! Ha... ha... ha!" Tong Pes kertakkan geraham. Dengan suara menggembor dia putar goloknya laksana curahan hujan. Namun sayang, bagaimanapun hebatnya ilmu golok ketua perguruan kungfu Ban Yak Cing Cong itu dia bukanlah tandingan si topi pispot yang mengaku bernama Tong Siam Pah. Setengah mempermainkan lawannya, setiap Tong Pes membacok, menusuk atau membabatkan goloknya, Tong Siam Pah sengaja angsurkan kepalanya. Maka terdengarlah suara tring... treng... trang... kling berulang kali. Sesekali suara beradunya golok dengan pispot itu

diseling suara ngek! Yakni suara yang keluar dari mulut Tong Pes akibat jotosan atau tendangan lawan yang mendarat di ulu hatinya! Tek Lok yang sembunyi di balik sumur menyadari bahaya besar yang tengah mengancam suhunya. Karena tidak ingin dianggap sebagai murid tidak berbakti alias puthauw tanpa pikir panjang Tek Lok segera menyerbu ke tengah kalangan pertempuran guna membantu sang suhu. Namun baru saja dia hendak bergerak mendadak satu tangan yang kuat mencengkeram tengkuknya hingga saking kagetnya Tek Lok sampai keluarkan kentut. Lehernya seperti digencet japitan besar. Kepalanya tidak bisa digerakkan barang sedikitpun! "Kulang ajal!" maki Tek Lok. Tek Lok kirimkan satu tendangan kungfu ke belakang. Inilah jurus yang disebut "kuda bunting menendang jantan gatal". Tapi apa lacur, orang yang hendak ditendang rupanya sudah tahu apa yang hendak dilakukan Tek Lok. Dengan cepat dia totok urat besar tepat di atas tulang tunggir murid perguruan Ban Yak Cing Cong yang bertubuh tambun gendut ini. Tak ampun Tek Lok langsung menjadi lumpuh kaku. Tapi mulutnya masih bisa dibuka. Maksudnya mau memaki. Tapi inipun gagal karena di belakang orang yang membokongnya dengan satu gerakan cepat menyumpal mulutnya dengan sebutir buah mengkudu hutan setengah busuk. Membuat Tek Lok bukan saja megap-megap mendelik sulit bernafas tapi juga mau muntah karena tidak tahan bau busuknya buah mengkudu yang menyangsrang di mulutnya itu! "Anak tolol!" terdengar suara orang memaki di belakangnya. "Apa otakmu di selangkangan dan selangkanganmu menempel di otak mau ikut-ikutan berkelahi! Apa kau buta dan gila berani menantang gunung Thaysan? Selusin saudara seperguruanmu sudah dibuat menghadap Thian alias tit semua! Apalagi kau cuma sendirian! Dasar toylol!" Tek Lok hanya bisa memaki panjang pendek dalam

hati. Tapi diam-diam dia menyadari. Suhunya yang begitu tinggi kepandaian kungfu serta ilmu goloknya hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh si jubah kuning bertopi pispot itu! Sedangkan dia sendiri cuma seorang murid perguruan tingkat menengah! Sementara itu di serambi sana Tek Lok melihat orang bertopi pispot berhasil menyeruduk perut suhunya. Tong Pes mencelat mental, jatuh terduduk di lantai serambi. Selagi dia mencoba bangkit, lawan sudah kirimkan tendangan keras ke kepalanya. Kepala Tong Pes tersentak ke belakang, tubuhnya terlempar melintir, roboh di tanah dan saat itu juga dia sampai pada hari apesnya. Mati! "Suhu!" Teriak Tek Lok. Tapi teriakannya hanya sampai di tenggorokan karena mulutnya masih tersumbat mengkudu busuk. Kedua tangannya dikepal geram. Mukanya merah, tubuhnya bergetar dan air mata mengucur jatuh ke pipinya yang rada-rada peang. Dengan mengeluarkan suara tertawa bergelak orang bertopi pispot hancurkan papan nama perguruan Ban Yak Cing Cong lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian Tek Lok merasakan pembokongnya melepaskan totokan di tunggirnya. Dengan cepat Tek Lok mencabut buah mengkudu yang mendekam di mulutnya lalu berpaling ke belakang seraya lancarkan satu jotosan keras dalam jurus bernama "monyet kondor menghajar puncak Thaysan". Tapi dia hanya menghantam tempat kosong. Orang yang tadi membokongnya telah lenyap entah ke mana!

***

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA (The Dragon Pispot) 2

DI HADAPAN Tek Lok berdiri seorang lelaki bermata jereng. Rambutnya kaku jabrik, pakaiannya compang-camping, penuh tambalan dan bau. Pada pinggangnya bergelantungan berbagai macam dan ukuran kaleng- kaleng kosong. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kecil. "Tek Lok," orang tak dikenal menegur. Si pemuda merasa heran, bagaimana orang itu tahu namanya, "Aku adalah gembel tua yang dijuluki Pendekar Pensiunan Pengemis. Adik kandung suhumu yang sudah menghadap Thian. Jadi terhadapku kau boleh memanggil Pak-de Guru!" Si gendut Tek Lok yang masih bersedih atas ke matian suhunya memandang tak acuh pada orang itu. Lalu berkata seenaknya, "Manusia jabrik dekil! Aku tidak perduli kau Pak-de, Pak-be, Pak-ce atau Pak-zet sekalipun! Kalau tidak kau bokong aku dari belakang, pasti aku bisa menolong suhu dan suhu tidak sampai digusur ke akhirat!" Habis berkata begitu Tek Lok seperti kalap menyerang si jabrik bermata jereng yang mengaku berjuluk Pendekar Pensiunan Pengemis itu. Yang diserang ganda tertawa lalu gerakkan sedikit tangannya yang memegang tongkat. Blukkkk! Tek Lok jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia mencoba bangkit ujung tongkat si gembel telah menindih jidatnya. Tek Lok merasa seolah kepalanya ditindih sebuah batu besar. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja tidak sanggup menggerakkan kepala apalagi mencoba bangkit berdiri. Muka si gendut ini jadi pucat, keringat dingin

mengucur dari kepala sampai selangkangannya! Kini sadarlah Tek Lok kalau dia berhadapan dengan orang yang bukan sembarangan. Si Pak-de ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa! "Tek Lok, jangankan kau dan suhumu. Aku sendiri belum tentu mampu menghadapi manusia berjubah kuning bertopi pispot itu. Dia bernama Tong Siam Pah tapi lebih dikenal dengan julukan The Dragon Pispot alias Pendekar Pispot Naga. Selama pispot putih bergambar naga itu masih nongkrong di kepalanya, tidak satu manusiapun bisa mengalahkannya. Juga tidak bangsa iblis atau setan pelayangan. Itulah rahasia kekuatannya!" "Apapun yang teljadi siapapun bangsat itu adanya, aku Tek Lok tetap akan menuntut balas atas kematian suhu dan semua suheng (kakak seperguruan) selta sute (adik seperguruan)," kata Tek Lok seraya kepalkan dua tinjunya lalu dipukul-pukulkan ke pipinya sendiri. "Itu namanya kau murid yang berbakti," sahut Pendekar Pensiunan Pengemis. "Aku mohon petunjukmu. Tapi halap singkilkan tongkatmu dali jidatku!" kata Tek Lok pula. Gembel berambut jabrik itu menyeringai. Setelah mengangkat tongkat bambunya dari kening Tek Lok dia lalu berkata, "Gendut, kau dengar baik-baik apa yang pinceng mau ucapkan. The Dragon Pispot tidak mungkin dikalahkan selama pispot masih melekat di batok kepalanya. Adalah sangat sukar untuk menyingkirkan benda itu dari kepalanya. Bahkan pada saat mandi atau berak sekalipun, atau tidur benda itu tidak pernah lepas dari kepalanya!" "Tapi selagi dia belnama manusia pasti dia punya kelemahan!" kata Tek Lok pula. Pensiunan Pengemis tersenyum. "Kau cerdik. Memang betul. Dia memang punya kelemahan!" "Apa?!" Tek Lok langsung menyerobot dengan pertanyaan. "Perempuan! Dia selalu lemah terhadap perempuan.

Tidak perduli gadis atau yang sudah tua bangka. Tidak perduli si muka licin atau si muka keriputan. Pokoknya masih selama bernama perempuan pasti dikerjainya!" "Kalau begitu aku akan cali akal!" Tek Lok berpikir sejenak. "Pak-de Suhu. Setahuku setiap lelaki pasti punya selela teltentu telhadap pelempuan. Mungkin Pak-de Suhu tahu kila-kila pelempuan yang bagaimana selelanya si Tong Siam Pah itu!" Pendekar Pengemis Purnawirawan alias Pensiunan tertawa mengekeh. "Tek Lok, ternyata kau punya otak cerdik. Selera si Pispot Naga adalah perempuan gemuk buntak besar. Makin besar dan makin gemuk, makin banyak lemaknya apalagi putih, huah! Semakin malele dia!" "Pak-de Suhu, telima kasih atas petunjukmu! Budi baikmu tidak akan aku lupakan!" Tek Lok menjura dalam- dalam lalu tinggalkan tempat itu.

***

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA (The Dragon Pispot) 3

SETELAH mendatangi tempat-tempat pelacuran di hampir setengah lusin kota akhirnya di kota Bau Tiut (d/h Bau Ken Tiut), Tek Lok berhasil juga menemui seorang pelacur berbadan luar biasa gemuk serta berkulit putih. Saking gemuknya mukanya yang tembam dan diberi berdandan tebal seronok kelihatan seperti barongsay. Genitnya minta ampun, sebentar-sebentar jari-jarinya mencubit ke sana- sini sambil tertawa cekikikan seperti kuntilanak setengah jadi. Pada pertemuan pertama begitu Tek Lok masuk ke dalam kamarnya, pelacur gendut ini langsung saja ber- tunabusana alias menanggalkan seluruh pakaiannya. Lalu dia naik ke atas ranjang, melambaikan tangan sambil kedip-kedipkan mata pada Tek Lok dan tentunya tak lupa sambil pasang kuda-kuda! Ranjang reyot itu sampai bergoyang berderak-derik. "Namamu siapa?" tanya Tek Lok tanpa bergerak dari kursi yang didudukinya di depan ranjang. "Ling Ling Dut," jawab si gemuk, tersenyum kembali, ulurkan lidahnya yang merah basah dan lambaikan tangan memberi isyarat agar si Tek Lok yang juga gendut tambun ini segera naik ke atas ranjang. "Dengal Dut," kata Tek Lok. "Aku akan membayalmu mahal. Tapi bukan untuk tidul denganmu..." Tentu saja Ling Ling Dut menjadi terheran-heran. Sebagai seorang pelacur baru hari itu ada tamu yang menjanjikan uang tanpa menidurinya. Tek Lok mendekati ranjang lalu berkata mengarang cerita. "Yang akan tidul denganmu bukan aku, tapi

pamanku. Dia sedang kulang enak badan. Ambeien alias wasilnya sedang kambuh! Jadi tidak bisa beljalan jauh. Selama ini dia sudah panas dingin mendengal celita olang tentang kebagusan tubuhmu dan kecantikan kau punya palas." Maksud Tek Lok dengan pamannya itu adalah si Pendekar Pispot Naga alias The Dragon Pispot, musuh besar yang telah menghabisi suhu serta saudara- saudaranya seperguruannya. Ling Ling Dut tertawa cekikikan mendengar cerita sang paman yang sedang wasiran tapi masih berminat untuk bersenang-senang dengan perempuan. Sambil mengusap- usap pusarnya yang terbenam di dalam perutnya yang gembrot berlemak, pelacur kota Bau Tiut ini berkata, "Mendengar cerita pamanmu yang sakit itu, terus terang aku tidak berminat melayaninya. Apalagi sakitnya sakit wasir! Hik... hik! Tapi kau beruntung. Hoki-ku lagi jelek. Sudah seminggu aku tidak menerima tamu. Tapi aku minta bayaran besar!" "Jangan khawatil! Aku akan kasih pelsenan besal. Asal kau jangan lupa melakukan sesuatu yang nanti akan aku beli-tahu padamu!" Tek Lok lalu bicara semacam memberi pengarahan pada pelacur gemuk itu. Ling Ling Dut mengangguk-angguk tanda mengerti. "Sebelum pergi ke tempat pamanmu, apa kau tidak mau bersenang-senang dulu denganku?" tanya Ling Ling Dut, tetapi Tek Lok goyangkan tangan gelengkan kepala. "Kita berdua sama-sama gendutnya. Pasti seru!" kata Ling Ling Dut lalu tertawa cekikikan. "Justlu itu yang bikin aku khawatil. Lanjang boblok itu bisa jebol nanti!" sahut Tek Lok. "Ayo lekas pakai bajumu Dut! Kita belangkat sekalang juga!"

*** PENDEKAR Pispot Naga yang kerennya disebut The Dragon Pispot mengucak kedua matanya berulang kali saking tidak percaya akan pemandangan di hadapannya.

Seorang perempuan gemuk buntak berlemak tahu-tahu muncul di depan pintu tempat kediamannya yang terletak di tepi danau Xeng Gol. "Hai yaa! Bidadari dari mana yang siang-siang begini turun ke bumi! Kesasar atau memang sengaja mencari diriku?!" menegur Tong Siam Pah sambil kedip-kedipkan matanya. Ling Ling Dut balas tersenyum dan kedip-kedipkan matanya pula. Dadanya yang gembrot sengaja dibusungkan. "Hamba bukan bidadari pulang kesiangan. Tapi hanya manusia biasa juga. Sudah lama hamba mendengar nama besar Pendekar Pispot Naga. Hamba ingin sekali belajar kenal. Sebagai kawan sejalan maupun kawan seranjang...!" Mendengar kata-kata perempuan gemuk itu darah Pendekar Pispot Naga menjadi panas menggelora. Dia tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat ke hadapan Ling Ling Dut. Sekali tarik saja pelacur gemuk itu segera dibawanya masuk ke dalam rumah. Ling Ling Dut tertawa cekikikan. Dekat pintu kamar pakaiannya tersangkut paku hingga robek besar di bagian perut. "Paku jahil!" Pendekar Pispot Naga memarahi paku yang merobek pakaian Ling Ling Dut. Matanya mendelik melihat keputihan perut gembrot perempuan itu. Lalu sambil memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya lelaki berjubah kuning ini pergunakan jari tangannya untuk menekan amblas paku besar itu hingga masuk lenyap ke dalam sanding pintu kayu! "Kau tak usah khawatir! Aku akan belikan baju baru pengganti bajumu yang robek ini!" kata Pendekar Pispot Naga kemudian. "Tidak apa-apa," jawab Ling Ling Dut. "Bidadari benaran kabarnya memang tidak pakai baju! Hik... hik... hik!" "Kau pandai melucu! Aku suka padamu!" kata Pendekar Pispot Naga. Lalu membantingkan daun pintu.

***

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA (The Dragon Pispot) 4

SEPERTI yang telah dipesankan oleh Tek Lok, begitu masuk ke dalam kamar Ling Ling Dut langsung melompat ke atas tempat tidur besar terbuat dari besi. Lalu cepat-cepat dia membuka pakaian luarnya. Melihat itu tenggorokan Pendekar Pispot Naga jadi turun naik. Matanya berputar membeliak dan nafasnya kontan memburu. Tak mau kalah, dengan mempergunakan jurus "naga mabok menyambar celana dalam" dia segera pula melompat ke atas ranjang. Di atas ranjang Ling Ling Dut sudah pentang diri dalam sikap atau jurus "panda gembrot parkir di bawah pohon bambu". Begitu Pendekar Pispot Naga membaringkan diri di sampingnya langsung dihimpit dengan pahanya yang besar gembrot dan bukan olah-olah beratnya! Pendekar Pispot Naga sampai setengah menggeliat setengah melintir dihimpit begitu rupa. Nafasnya seolah tertahan di tenggorokan. Tiba-tiba Ling Ling Dut membuat gerakan yang disebut "tringgiling atret ke liang naga". Dia gulingkan badannya ke sudut ranjang hingga ranjang itu bergoncang keras. "Kekasihku mungil! Mengapa kau menjauhkan diri? Apa mulut atau ketiakku bau tong sampah?!" "Pendekar gagah tujuh penjuru angin!" sahut Ling Ling Dut. "Terus terang nafsu sudah membakar diriku mulai dari ubun-ubun sampai ujung jempol kaki!" "Lalu mengapa kau mendekam di sudut ranjang?" tanya Pendekar Pispot Naga heran. "Soalnya, bagaimana aku bisa bersenang-senang kalau pendekar sendiri masih belum membuka jubah kuning pakaian kebesaran?"

Mendengar kata Ling Ling Dut, Tong Siam Pah alias Pendekar Pispot Naga segera tanggalkan jubah kuningnya dan campakkan ke kolong ranjang. "Beres! Sekarang ayo kau buka pakaianmu!" Tangan Tong Siam Pah siap menggerayang kian kemari. "Tentu, untuk kau yang gagah pasti akan kubuka. Tapi engg... Apakah topi kebesaran yang masih bertengger di kepalamu tidak akan mengganggu nantinya? Apalagi aku ini punya kesenangan. Suka menjilati ubun-ubun orang! Hik... hik... hik!" Pendekar Pispot Naga yang sudah dibakar nafsu dan lupa daratan lupa pantangan segera saja menjawab, "Manisku sayang, untuk bidadari sepertimu apapun katamu akan pinceng ikuti!" Lalu Pendekar Pispot Naga angkat pispot putih bergambar naga di kepalanya dan letakkan benda itu di satu meja kecil di samping ranjang. Tanpa pispot itu di kepala, maka kesaktiannyapun ikut berpindah, tidak mendekam lagi di dalam tubuhnya! Setelah meletakkan 'mahkotanya' di atas meja kecil, Pendekar Pispot Naga yang sudah tidak sabaran langsung balikkan badan hendak merangkul Ling Ling Dut. Pada saat itulah mendadak pintu kamar didobrak orang dari luar. Sesosok tubuh berkelebat masuk langsung menyambar pispot putih di atas meja. "Siapa kau?!" bentak Pendekar Pispot Naga seraya melompat turun dari ranjang. Satu tangan dikepalkan satu lainnya dipakai untuk menutupi auratnya. Orang yang barusan masuk dan menyambar pispot bukan lain adalah Tek Lok, anak murid perguruan Kungfu Ban Yak Cing Cong yang muncul untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat suhu dan saudara-saudara seperguruannya. "Aku belnama Tek Lok! Anak mulid Pelguluan Ban Yak Cing Cong! Bebelapa bulan lalu kau telah membunuh Tong Pes suhuku selta dua belas saudala sepelguluanku! Hali ini aku datang untuk membalas dendam kematian meleka!

Hali ini saatnya kau kukilim menghadap malaikat-malaikat maut Giam Lo Ong!" "Manusia kurang ajar! Lekas kau serahkan pispot itu dan segera minggat dari sini!" bentak Pendekar Pispot Naga dengan suara lantang dan mata membeliak besar. Tek Lok menyeringai buruk dan melintangkan pispot di depan dada. "Kau inginkan pispot bau tahi ini! Silakan ambil!" kata Tek Lok. Lalu dengan jurus "elang juling menyambar kodok buntet" Tek Lok menerjang sambil menghantamkan pispot putih di tangan kanannya. Pendekar Pispot Naga keluarkan seruan tertahan. Tak pernah dibayangkannya kalau topi kebesarannya akan dipergunakan orang untuk menyerang dan menghajar dirinya sendiri! "Sobatku gendut! Kembalikan pispot itu! Apa yang kau orang minta pinceng pasti berikan! Kau mau seratus pispot seperti itu pasti pinceng penuhi! Atau kau mau perempuan gendut ini silakan ambil! Tapi lekas kembalikan pispot itu!" Pendekar Pispot Naga kelihatan ketakutan setengah mati. Dia meminta sambil membungkuk-bungkuk. Benar seperti yang dikatakan Pak-de suhunya Pendekar Pensiunan Pengemis, tanpa pispot di kepala Pendekar Pispot Naga tidak punya daya apa-apa lagi. Malah saat itu kelihatan dia mulai beser terkencing-kencing. Ketika Tek Lok tak mau memberikan pispot dia mulai menyerang. Tapi kungfunya morat-marit tak karuan. Jangankan tenaga dalam, tenaga luarnya saja sudah amblas. Nafasnya ngos- ngosan padahal belum dua jurus menggebrak. Akibatnya sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki menjadi bulan-bulanan serangan pispot putih miliknya sendiri. Mukanya remuk tak karuan. Hidung melesek, mulut pecah, gigi bertanggalan. Bahu kiri patah, siku tangan kanan hancur, tulang dada amblas, tulang iga berpatahan. Darah membasahi hampir setiap sudut badannya. Dalam keadaan seperti itu Tong Siam Pah merangkak mendekati tempat tidur. Dari mulutnya tiada henti keluar suara erangan. Tangannya coba menggapai pinggiran

ranjang di mana Ling Ling Dut berada. "Bidadariku... peluk aku... peluk tubuhku. Antarkan aku ke sorga..." "Ihhhh!" Pelacur gemuk Ling Ling Dut memekik antara jijik dan ketakutan. Cepat dia melompat turun dari atas ranjang. Masih belum merapikan pakaiannya dia sudah ulurkan tangan pada Tek Lok. Murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini tanpa banyak cing-cong segera keluarkan lima tail perak lalu letakkan di atas telapak tangan Ling Ling Dut yang terkembang. Sebelum meninggalkan kamar Tek Lok memandang sejurus pada sosok Tong Siam Pah yang tidak berkutik lagi. "Masih untung kau menemui ajal! Kalau masih hidup julukanmu pasti diganti menjadi Pendekal Pispot Bonyok!" Tek Lok letakkan pispot putih milik Tong Siam Pah di atas kepalanya. Sambil melangkah pergi tinggalkan danau Xeng Gol murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini bersiul- siul menyanyikan lagu kesayangannya yang bernama Di Dadamu Ada Pinceng.

TAMAT

BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 W W I I R R O O

S S A A B B L L E E N N G G

TIGA DALAM SATU BINTANG MALAM

Sumber: [sumber_ebook] EBook: [pembuat]

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

SEPULUH MATI BERBARENGAN

1

ETIKA Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruang batu kembali kagetnya seperti disambar geledek. Sosok Sinto Gendeng yang sebelumnya tergeletak di atas jalur-jalur kayo besi penutup kolam tak ada lagi! "Jahanam!" Rutuk, makhluk tinggi besar itu sambil kepalkan dua tinjunya hingga mengeluarkan suara berkeretekan. "Kemana lenyapnya tua bangka keparat itu! Dalam keadaan lumpuh mana mungkin dia bisa kabur dari tempat ini. Tak ada jalur kayu yang patah. Tak ada tulang belulang dalam kolam. Berarti Ikan Dajal tidak memangsa- nya. Lalu kemana meratnya setan tua itu?!" Kelelawar Pemancung Roh bertepuk tiga kali. Pemuda pincang muncul. Rapatkan dua tangan di atas kepala, memberi hormat seraya bungkukkan tubuh. "Pincang! Kau tahu nenek buruk yang sebelumnya ada di sini?!" "Tahu sekali Sang Pemimpin." Jawab si pincang. "Kau lihat sendiri. Dia tak ada lagi di tempat ini. Kakinya lumpuh. Dia tak mungkin kabur dari sini! Berarti ada yang membawanya keluar dari tempat ini! Jawab! Apa yang kau ketahui! Apa yang kau lihat?!" "Mohon maafmu Sang Pemimpin. Saya tidak mengetahui juga tidak melihat apa-apa. Sejak tadi saya berada di ruang belakang." K

"Kalau bukan orang luar menyelinap masuk ke tempat ini pasti ada pengkhianat di sini! Pincang! Panggil Tuyul Orok!" "Maaf Sang Pemimpin, Tuyul Orok ada dalam kamar ketiduran ibunya. Dalam keadaan cidera. Dia tak mampu berjalan, apalagi terbang. Apakah saya harus memanggil- nya juga?" "Kalau begitu panggil semua kelelawar bintang satu. Suruh mereka menghadapku sekarang juga!" Si pincang keluar. Kelelawar Pemancung Roh duduk di kursi batu. Menunggu dengan penuh rasa tidak sabar. Tak lama kemudian serombongan kelelawar berwajah bayi dengan gambar sebuah bintang di kepalanya masuk ke tempat itu. Berdiri berjejer, rapatkan tangan di atas kepala dan membungkuk berikan hormat pada Sang Pemimpin. Dari atas kursi batu Kelelawar Pemancung Roh menghitung dengan cepat. "Kalian cuma bersepuluh. Mana saudara-saudara kalian yang lain?!" Salah seorang makhluk kelelawar kepala bayi maju satu tindak, letakkan dua tangan di atas kepala baru menjawab. "Mohon maafmu Sang Pemimpin. Dua puluh saudara kami telah dibantai di Teluk oleh seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih." Kelelawar Pernancung Roh terlonjak di atas kursi hatu, bangkit berdiri. Matanya yang sipit membuka lebar. "Tidak bisa kupercaya! Kesaktian apa yang dimiliki pemuda gondrong itu?!" "Kami tidak tahu. Kami melihat dia melepaskan pukulan memancarkan cahaya putih yang panasnya sepuluh kali sinar matahari." "Omong kosong apa ini?!" Bentak Kelelawar Pemancung Roh. "Di atas kolam itu tadi menggeletak seorang nenek. Aku pergi ke Teluk. Begitu kembali si nenek sudah lenyap!

Apa yang kalian ketahui? Kalian melihat apa?!" Diam. Kelelawar yang tadi bicara mewakili kawan- kawannya tidak membuka suara. Beberapa diantara mereka ada yang tundukkan kepala. Sang Pemimpin segera maklum ada sesuatu yang tidak beres. Sepuluh kelelawar kepala bayi yang merupakan anak-anaknya itu menyembunyikan sesuatu. "Semua kalian dengar baik-baik. Aku tahu kalian mengetahui sesuatu. Kalian melihat sesuatu! Lekas ada yang bicara diantara kalian. Kalau tidak semua kalian bersepuluh akan menerima hukuman sangat berat!" Masih diam. Tak ada yang bergerak atau membuka mulut. "Baik. Kalian memilih mati percuma!" Sang Pemimpin turun dari kursi batu. Dua tangan perlahan-lahan diangkat ke atas. Di antara para kelelawar kepala bayi yang kepalanya ada gambar sebuah bintang terjadi saling bisik. Kelelawar yang tadi bicara akhirnya rapatkan tangan di atas kepala, membungkuk. Suaranya agak gemetar karena takut. "Mohon maaf Sang Pemimpin. Kami bersepuluh hanya menjalankan perintah." "Perintah? Perintah apa? Perintah siapa?!" "Perintah Tuyul Orok." Kelelawar Pemancung Roh kerenyitkan kening dan pandang lekat-lekat kelelawar kepala bayi yang berdiri di depannya. Pandangannya kemudian menjelajah pada sembilan kelelawar lainnya. Sambil meraba dagunya yang ditumbuhi janggut kasar Kelelawar Pemancung Roh bergumam. "Hemmm... Rupanya Tuyul Orok sudah jadi Raja Diraja di tempat ini!" Lalu makhluk bertubuh tinggi besar ini membentak. "Lekas terangkan apa yang terjadi!" "Kami... kami diperintahkan membawa nenek itu ke kaki

Bukit Jati." Bukit Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa jauh di utara Teluk Akhirat tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar disebutnya Bukit Jati. "Di bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu kalian tinggalkan?" "Kami memasukkannya ke dalam Goa Air Biru." "Jahanam gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber air minumku! Kalian berani membawanya kesana!" "Mohon maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya menjalankan perintah." "Kapan Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu pada kalian?" "Sewaktu dirinya dalam cidera berat, didukung oleh ibunya menuju kamar ketiduran." Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke lantai. Ruangan batu itu bergetar. Air di dalam kolam menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam melompat sampai beberapa kali. "Tuyul Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan kalian. Hanya perintahku yang wajib kalian laksanakan! Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!" "Mohon maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar berkepala bayi berucap berbarengan. "Tolol! Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus mampus semua!" Kelelawar Pemancung Roh angkat dua tangannya ke atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa Kematian. Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan, saling berangkulan satu sama lain. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berlari men- datangi. Sesaat kemudian delapan perempuan muda

berwajah rata-rata cantik memasuki ruangan dan jatuhkan diri di depan makhluk tinggi besar. Mereka sama keluarkan ratap permohonan. "Sang Pemimpin, jangan dibunuh anak-anak kami. Jangan dibunuh. Ampuni dosa kesalahan mereka." Sesaat Kelelawar Pemancung Roh jadi terdiam pandangi delapan perempuan yang kesemuanya adalah istri-istri paksaannya. Lalu seringai tersungging dimukanya yang garang. Menyusul suara tawa bergelak. "Kelihatannya semua ini seperti sudah diatur! Perempuan-perempuan goblok! Lekas tinggalkan tempat ini! Atau kalian akan ikut mampus kuhantam dengan Seribu Hawa Kematian!" "Sang Pemimpin, kalau kau membunuh anak-anak kami, kami rela ikut mati bersama mereka." Perempuan yang berlutut paling depan berikan jawaban. Kelelawar Pemancung Roh menggereng marah. "Baik, kalau itu mau kalian! Buka mata kalian lebar-lebar! Saksikan sendiri apa yang akan terjadi." Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh melompat ke arah sepuluh kelelawar kepala bayi. Tangan dan kakinya ber- gerak tiada henti. "Bukkk!" "Praaak!" "Duuukkk!" "Praakk!" Sepuluh kelelawar kepala bayi berpekikan. Tubuh mereka mencelat lalu jatuh di lantai batu dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dada amblas atau perut jebol atau kepala pecah. Delapan perempuan menjerit-jerit tiada henti. Jeritan mereka bertambah keras ketika menyaksikan bagaimana sosok sepuluh kelelawar kepala bayi yang adalah anak-anak mereka sendiri menemui kematian secara mengerikan seperti itu. Sepuluh sosok hancur tak

bernyawa itu kemudian berubah menjadi asap. "Tinggalkan tempat ini! Atau kalian mau kubuat seperti itu?!" Delapan perempuan mudaa masih menjerit. Salah seorang diantaranya berteriak. "Terkutuk kau Sang Pemimpin! Laknat akan jatuh atas dirimu! Kau membunuh anakmu sendiri!" "Plaak!" Satu tamparan kerass membuat perempuan itu melintir dan jatuh terkapar di lantai batu. Pingsan dengan mulut pecah. Tujuh perempuan lainnya telah leleh nyali masing- masing. Dengan ketakutan mereka menggotong teman mereka yang pingsan meninggalkan tempat itu. "Setan semua! Jahanam semua!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Dia hendak duduk di kursi batu tapi tidak jadi. "Tuyul Orok! Anak laknat! Kau berani melangkahi kekuasaanku! Aku juga curiga ibumu melakukan sesuatu! Dimana kalian berdua saat ini?!" Habis memaki dan merutuk begitu makhluk ini, melangkah cepat ke dinding kiri ruangan. Di situ ada sebuah pintu batu menuju ke sebuah lorong yang berhubungan dengan satu bangunan di bawah tanah. Dimana terdapat belasan kamar.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

PERKELAHIAN DI BAWAH TANAH 2

ELELAWAR Pemancung Roh berjalan cepat menuju bangunan di bawah tanah. Di satu tempat dia membelok memasuki jalan rahasia. Kecurigaan membuat dia tidak mau menempuh, lorong yang membawanya ke pintu depan deretan dua belas kamar tidur selusin istrinya. Apa yang menjadi kecurigaan makhluk penguasa Teluk Akhirat ini ternyata benar. Seperti diceritakan dalam buku sebelumnya (Nyawa Pinjaman), dia memergoki Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam kamar bersama Bintang Malam, salah seorang dari dua belas istrinya. Begitu sosok Pendekar 212 muncul keluar dari pintu rahasia, Kelelawar Pe-mancung Roh langsung menggebuk dengan pukulan tangan kanan. Jotosan yang dihantarnkan Kelelawar Pemancung Roh ke dada Pendekar 212 demikian hebatnya. Tidak beda dengan hantaman sebuah batu besar berbobot ratusan kati! Untuk beberapa saat lamanya murid Sinto Gendeng terkapar megap-megap di dalam kolam yang terdapat di kamar besar itu. Darah mengucur dari sela bibir, meleleh ke dagu. Dadanya seperti melesak. Lehernya seolah ada yang mencekik hingga dia sulit bernafas. Selagi Wiro berusaha bangkit dan keluar dari dalam kolam Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan Bintang Malam, langsung menjambak rambut perempuan K

ini. "Perempuan celaka! Pasti kau yang memberikan obat penangkal racun Seribu Hawa Kematian pada pemuda itu! Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun Seribu Hawa Kematian!" "Sang Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak mengenal pemuda itu. Dia masuk...." "Plaakk!" Satu tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang Malam terpekik dan terbanting jatuh di lantai. Sudut bibir sebelah kiri pecah. Darah mengucur. "Kau berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada yang melihat kau bicara dengan dia di pantai! Akui semua perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh makhluk tidak berguna ini!" Sekali lompat Kelelawar Pemancung Roh telah men- cekik leher Tuyul Orok yang ada di atas tempat tidur. Bintang Malam terpekik. "Jangan! Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu. "Akui perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau tidak dia dan juga dirimu akan menerima kematian yang sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher kalian!" "Sang Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa. Aku...." Mata sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar. Rahangnya menggembung. Seringai setan menyungging di mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul Orok bergerak. "Kreekkk!" Daging dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur. Bintang Malam menjerit keras. Kelelawar Pemancung Roh keluarkan suara mendengus lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang Malam. "Sekarang giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh

seraya melangkah mendekati Bintang Malam. Tangan kanan diulurkan. "Tidak! Jangan! Ampun...." Perempuan itu hanya bisa berteriak dengan muka pucat, sepasang mata mendelik. Dua kakinya tak mampu bergerak. Tangan kanan Kelelawar Pemancung Roh berkelebat. Sesaat lagi lima jari tangan yang kukuh akan mencengkeram leher Bintang Malam, tiba-tiba dari samping berkelebat bayangan putih dan "buukkk!" Kelelawar Pemancung Roh melenguh pendek. Cekikannya pada leher Bintang Malam terlepas. Tubuhnya terhuyung-huyung. Tulang bahunya serasa remuk tapi tidak diperdulikan. Bayangan putih kembali berkelebat. Kelelawar Pemancung Roh putar tubuhnya sambil membabatkan lengan kiri membuat gerakan menangkis. "Bukkk!" Dua lengan beradu keras. Kelelawar Pemancung Roh kembali terhuyung bahkan hampir jatuh terjungkal kalau tidak cepat mengimbangi diri. Di bagian lain Pendekar 212 yang barusan melancar- kan serangan jatuh terduduk tli lantai. Bintang Malam kembali terpekik. Dia berusaha mendekati tempat tidur dimana mayat Tuyul Orok terkapar. "Anakku!" ratap perempuan itu lalu ulurkan tangan hendak memegang Tuyul Orok yang telah menemui ajal dengan leher hancur, mata mendelik lidah terjulur. Namun kembali sang ibu menjerit keras. Sebelum dia sempat menyentuh tubuh anaknya, sosok Tuyul Orok mengepul, berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Bintang Malam memekik sekali lagi. Kelelawar Pemancung Roh menggereng. Melangkah mendekati Bintang Malam. "Lari! Bintang! Lari! Tinggalkan tempat ini!" Teriak Wiro. Dalam bingungnya perempuan hamil itu masih terus

menjerit. "Tidak ada tempat lari bagimu perempuan celaka!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia lepaskan satu pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian. Pukulan ini memiliki daya jebol dan menghancur luar biasa dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai terkena, maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi ratusan serpihan kecil! Melihat bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto Gendeng yang menderita luka dalam cukup parah akibat jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. "Wusss!" Serangkum angin laksana satu gelombang raksasa menderu menghantam ujung sinar hitam pukulan Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan tubuh Bintang Malam. Satu letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu dua pukulan sakti saling bertumbukan. Tempat itu diselimuti asap berwarna kelabu. Bintang Malam menjerit. Sosok tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar ke dinding. Tangan kanannya terkulai, sakit dan untuk sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar 212 Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan kanan yang serasa remuk. Darah makin banyak meleleh dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut sakit. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu. Terhuyung-huyung Kelelawar Pemancung Roh me- langkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya. Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati Menginjak Bumi, dia hunjamkan kaki kanannya ke kepala Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan meng-

hancurkan kepala murid Sinto Gendeng, tiba-tiba tubuh Wiro berputar. Kaki kanannya melesat ke atas. Kelelawar Pemancung Roh masih bisa melihat datangnya serangan kilat itu tapi tak sempat mengelak. "Bukkk!" "Kraaakk!" Jeritan Kelelawar Pemancung Roh menggelegar di seantero ruangan. Tubuhnya terlempar ke dinding. Dua tulang iganya patah. Tapi anehnya dia kemudian tampak menyeringai. "Pendekar 212! Kau boleh punya seribu pukulan, sejuta kesaktian! Seumur hidup kau tak bisa membunuhku! Sekarang terima kematianmu!" Begitu berhasil menendang tulang rusuk Kelelawar Pemancung Roh, murid Sinto Gendeng, kumpulkan sisa tenaga yang ada lalu melompat bangkit. Pada saat itulah di depan sana dilihatnya Kelelawar Pemancung Roh berdiri bertolak pinggang. Kepala setengah didongakkan. Se- pasang matanya yang sipit dan seperti terpejam kini men- delik besar dan merah. Hidungnya tiba-tiba menghirup menyedot panjang dan dalam. Murid Sinto Gendeng melengak kaget ketika ada satu hawa luar biasa dahsyat menyedot tubuhnya ke depan. Dia berusaha bertahan. Kerahkan seluruh tenaga yang ada. Namun dua kakinya mulai terangkat ke atas! "Gila! Ilmu setan apa yang dimiliki bangsat ini!" Rutuk Wiro. Sedotan hawah aneh membuat dia tak bisa bernafas. Tulang-tulang kaki dan tangan, sepasang matanya, hidung dan mulut serta perut yang tersedot ke depan seperti mau bertanggalan. Jantungnya laksana mau copot! Dalam keadaan seperti itu sosoknya terhirup, ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Dinding batu di belakang Wiro bergetar hebat seolah hendak terbongkar oleh kekuatan sedotan hidung Kelelawar Pemancung Roh. Inilah ilmu yang

dinamakan Seribu Hawa Penyedot Roh. Makhluk tinggi besar itu terus menghirup tapi dalam menghirup dia juga mampu keluarkan tawa bergelak. Dua tangannya kemudian diangkat ke atas. "Sreekk!" "Sreekk!" Sepuluh jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah menjadi sepuluh cakar besi, panjang runcing mengerikan karena ujung-ujungnya yang merah berlumuran cairan merah. Darah! Di saat-saat kematian mengerikan hampir tak dapat dihindari itu Wiro berteriak keras kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada, pentang tangan kanan latu memukul ke depan! Sinar putih berkibtat. Hawa panas seperti mau membuat leleh seantero ruangan. Air kolam bergemericik seperti mendidih. "Pukulan Sinar Matahari!" teriak Kelelawar Pemancung Roh Makhluk ini cepat tekuk lutut dan rundukkan kepala. "Wuss!" Pukulan Sinar Matahari menyapu lewat diatas kepala- nya, membakar sebagian rambutnya yang kasar awut- awutan, lalu menghantam hancur dinding karnar di belakang sana. "Keparat jahanam!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Gerakan dua tangannya di percepat. Satu ke dada, yang lain ke perut Wiro. "Jebol jantungku! Amblas perutku!" teriak murid Sinto Gendeng dalam hati. Tangan kirinya cepat menyelinap ke balik pinggang pakaian untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Namun gerakan ini memakan waktu sementara sepuluh jari tangan lawan sudah berada dekat sekali. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Wiro menyentuh sebuah benda di balik pakaiannya. Bukan gagang kapak, bukan batu hitam sakti. Tapi satu benda lembut. Benda

apa? Wiro sentakkan benda itu dari pinggangnya. Ternyata benda itu adalah kain sutera hitam ikat kepala berbatu yang pernah diberikan Pelangi Indah padanya beberapa waktu lalu. Wiro ingat ucapan gadis-cantik Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. "Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan bisa menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu." Tidak menunggu Iebih lama Wiro segera pukulkan ikat kepala yang terbuat dari kain sutera hitam di tangan kirinya ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tujuh cahaya pelangi menderu dari batu hitam yang menempel di kain. Kelelawar Pemancung Roh bukan saja kesilauan tapi seperti ada puluhan jarum halus mencucuk matanya hingga dia keluarkan jeritan keras dan melangkah mundur. Dua tangan yang tadi hendak mencakar ganas ke dada dan perut Wiro terpaksa dipergunakan untuk melindungi sepasang matanya. Serangan yang dihadapi Kelelawar Pemancung Roh dari ikat kepala kain sutera ternyata bukan hanya berupa sinar menyilaukan serta tusukan jarum. Didahului satu suara menggereng dahsyat dari dalam batu permata hitam tiba- tiba melesat keluar kepala seekor srigala putih bermata merah. Besar kepala binatang jejadian ini dua kali ukuran kepala srigala sungguhan. Srigala jejadian ini meraung panjang, lalu dengan mulut menganga melompat menerkam kepala Kelelawar Pemancung Roh. Sesaat Kelelawar Pernancung Roh jadi terkesiap. Namun dilain kejap dia membentak keras. "Makhluk jahanam! Kembali ke asalmu!" Sambil membentak Kelelawar Pemancung Roh hantamkan kepalannya ke kepala srigala jejadian. Raungan keras menggelegar di ruangan itu. Sosok srigala

jejadian ienyap. Kelelawar Pemancung Roh menjerit setinggi langit. Keningnya robek ditoreh taring srigala jejadian. Darah mengucur membasahi mukanya membuat tampangnya jadi tambah mengerikan. Terhuyung-huyung sosok tinggi besarnya berputar. Wiro cepat mengejar tapi sekali berkelebat Kelelawar Pemancung Roh telah lenyap dari tempat itu. Wiro memandang berkeliling. Bintang Malam tak ada lagi di tempat itu. "Celaka! Jangan-jangan dia dibawa lari makhluk jahanam itu!" pekik Wiro. Dia juga tidak melihat sosok mayat Tuyul Orok yang sebelumnya masih ada di atas tempat tidur. Tiba-tiba Wiro ingat sesuatu. Dia angkat dan pandangi dengan mata melotot tangan kirinya. "Astaga!" Sang pendekar terkejut besar. Kain ikat kepala berbatu hitam yang tadi ada di tangan kirinya dan dipergunakan untuk menyerang Kelelawar Pemancung Roh tak ada lagi. Wiro meraba pinggang, selinapkan tangan mencari-cari "Sialan! Keparat jahanam itu pasti telah merampas ikat kepala sutera hitam pemberian Pelangi Indah!" Wiro memaki panjang pendek. Memaki ketololannya sendiri. Bukan saja dia tidak berhasil membunuh Kelelawar Pemancung Roh, tapi benda sakti pemberian Ketua Kelompok Bumi Hitam itu malah disikat lawan! Wiro melompat keluar pintu. Sesuai petunjuk yang dikatakan Bintang Malam dia membelok ke kiri lalu berjalan cepat lurus-lurus dalam terowongan bawah tanah hingga akhirnya sampai di satu ruangan yang ada kolam besarnya.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

KAKEK DALAM KERANGKENG BESI 3

EPERTI diceritakan dalam Bab 1 sewaktu Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruangan yang ada kolam ikan, Sinto Gendeng tak ada lagi di tempat itu. Dalam keadaan lumpuh tidak mungkin si nenek melarikan diri. Pasti ada yang menolongnya keluar dari tempat itu. Sesuai pengakuan salah seorang kelelawar berwajah bayi yang kepalanya digambari sebuah bintang, atas perintah Tuyul Orok, bersama sembilan temannya kelelawar muka bayi tadi membawa si nenek ke Goa Air Biru. Sinto Gendeng yang terkapar tak berdaya dan dalam keadaan tertotok di atas jalur-jalur kayu besi di perrnukaan kolam buka dua matanya yang terpejam ketika mendengar suara kepak sayap banyak sekali menderu di ruangan batu itu. "Makhluk-makhluk jahanam," desis si nenek begitu melihat berkelebatnya sepuluh kelelawar bermuka bayi. Di ubun-ubun makhluk ini tergambar sebuah bintang hitam. "Mau apa mereka.... Mau menggerogoti tubuhku?" Sepuluh makhluk aneh itu berdiri di atas kayu penutup kolam, mengelilingi sosok Sinto Gendeng. Untuk kesekian kalinya secara diam-diam Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam ke kepala. Tapi gagal. Dia telah mencoba sampai dua kali untuk mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh dari sepasang matanya. Pertama ketika, berhadapan S

dengan Kelelawar Pemancung Roh. Kedua sewaktu dia ditinggal sendirian di tempat itu. Dia berusaha memusnah- kan Ikan Dajal di dalam kolam sebelum ikan itu nanti dipergunakan untuk membantai dirinya. Namun jangankan mampu mengeluarkan ilmu tersebut, membuat dua mata- nya bergetar saja tak bisa dilakukannya. Masih untung dia dapat memutar bola mata hingga bisa melihat ke berbagai jurusan. Kelelawar Pemancung Roh telah menotok tubuhnya. Totokan yang dilakukan agaknya bukan totokan biasa. Sinto Gendeng tidak mampu memusnahkan walau telah dicoba berulang kali. Inilah penyebab utama dia tidak bisa mengerahkan hawa sakti ke sepasang matanya hingga Sepasang Sinar Inti Roh tidak dapat dikeluarkan. "Kalian mau apa?!" hardik Sinto Gendeng. Tak ada satupun dari kelelawar bermuka bayi berikan jawaban. Ketika sepuluh makhluk itu menggigit dan mencengkeram pakaiannya lalu perlahan-lahan mulai mengangkat tubuhnya, setengah terseret setengah di- terbangkan, Sinto Gendeng kembali membentak. "Makhluk celaka! Kalian mau membawa aku kemana?!" Tetap tak ada yang menjawab. Ketika akhirnya Sinto Gendeng berada di udara terbuka di tepi pantai, dibawa ke arah utara, nenek ini masih belum bisa menduga apakah sepuluh makhluk kelelawar bermuka bayi itu tengah menolong dirinya atau punya niat jahat untuk mencelakai. Karena sepuluh kelelawar kepala bayi menggotongnya dengan kaki di sebelah depan maki Sinto Gendeng dapat memperhatikan kemana dirinya dibawa. Arah yang ditempuh bukan menuju pantai sebaliknya menjauhi teluk. Mereka melewati sebuah pohon kelapa buntung bekas disambar petir. Lalu menerobos semak belukar. Tak selang berapa lama Sinto Gendeng dapatkan dirinya diseret memasuki goa batu berwarna biru. Sepanjang lantai goa

terdapat dua aliran air berwarna biru. Udara di tempat itu terasa sejuk. Walau masih belum dapat memastikan tapi Sinto Gendeng mulai merasa-rasa bahwa sepuluh kelelawar muka bayi itu mungkin tidak bermaksud jahat terhadapnya. Di ujung lorong goa ada sebuah telaga. Begitu melihat telaga ini Sinto Gendeng jadi menggerendeng dalam hati. "Sialan! Rupanya aku dibawa kesini mau diceburkan dalam telaga. Disuruh mandi!" Si neriek mendadak ter- diam. Matanya mendelik berputar. "Eh, jangan-jangan di dalam telaga itu ada makhluk celaka yang bakal mem- bantai diriku seperti Ikan Dajal di kolam batu." Si nenek langsung berteriak keras. "Tahan! Tunggu! Turunkan aku di sini!" Sepuluh kelelawar muka bayi tidak bersuara, apa lagi memenuhi perintah. Ternyata si nenek tidak diceburkan ke dalam telaga. Tubuhnya digotong melewati telaga lalu masuk ke dalam sebuah cegukan membentuk situ ruangan cukup besar di dinding batu. Dua mata Sinto Gendeng terpentang lebar menyaksikan satu pemandangan luar biasa di depannya, hingga tidak menyadari kalau sepuluh kelelewar muka bayi telah meletakkan tubuhnya di lantai batu. Di dalam cegukan besar di dinding batu, hanya dua langkah dari tubuhnya digeletakkan duduk seorang kakek berambut putih menjela bahu. Kumis dan janggutnya jadi satu, putih menyentuh dada. Dua alis putih menghias sepasang matanya yang berwarna kebiru-biruan, bening tapi tajam. Kakek ini bertubuh kurus tapi mengenakan jubah biru yang sangat besar gombrong dan menjela lantai batu. Yang luar biasanya adalah, keadaan kepala si kakek. Mulai dari bagian atas sampai ke leher, kepalanya terkurung dalam satu kerangkeng besi berbentuk bulat. Bagian atas kerangkeng besi ini ada rantai besi yang

dikaitkan pada sebuah gelang besi yang menyembul di langit-langit batu. Dari panjapg dan tegangnya rantai besi jelas si kakek tidak mungkin bergerak jauh. Dia hanya dapat menjulurkan kaki, menggerakkan ke dua tangan. Leher dan kepala tak dapat digeser. Kalau hal itu dilakukan lehernya bisa putus karena bagian bawah kerangkeng besi,yang menjepit lehernya berbentuk mata gergaji, besar dan amat tajam. Pada leher si kakek kelihatan guratan- guratan luka, sebagian sudah mengering, sebagian kelihatannya masih baru. "Gusti Allah, azab hukuman apa yang tengah dijalankan manusia satu ini?!" membatin Sinto Gendeng. Anehnya walau berada dalam keadaan seperti itu tapi si kakek tampak tenang, malah tersenyurn kecil sewaktu melihat sosok Sinto Gendeng diletakkan di depannya. Sepuluh kelelawar muka bayi sama letakkan tangan di atas kepala lalu berbarangan berkata. "Ki Sepuh Tumbal Buwono, terima salam hormat kami untukmu." Kakek berjubah biru gombrong kedipkan mata. Suaranya halus perlahan tapi cukup jelas terdengar ketika dia keluarkan ucapan. "Sepuluh kelelawar, siapakah nenek aneh yang kau antar ke hadapanku? Udara di tempat ini mendadak menebar bau tidak enak. Kaliankah yang bau pesing atau nenek ini?" Sepuluh kelelawar muka bayi tak berani menjawab, hanya saling pandang satu sama lain. Sinto Gendeng menahan nafas, dalam hati menggerutu mendengar ucapan si kakek. Tapi dia diam saja karena ingin mendengar apa jawab rombongan kelelawar kepala bayi. Salah seorang dari mereka rapatkan dua tangan di atas kepala, membungkuk lalu berkata. "Ki Sepuh Tumbal Buwono. Mohon maafmu, kami tidak

tahu siapa adanya nenek ini. Kami hanya menjalankan perintah. Perintah mengatakan agar kami membawa dirinya ke sini." "Kalau begitu siapa yang memberikan perintah?" Bertanya si kakek. "Tuyul Orok." "Tuyul Orok?" "Putera Sang Pemimpin dengan seorang perempuan bernama Bintang Malam." Orang tua bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono terdiam sejenak, seperti tengah berpikir dan mengingat-ingat. Lalu tak sadar dia anggukkan kepala. Akibatnya lehernya kembali tergores luka oleh bagian bawah kerangkeng besi yang mencengkeram kepalanya sampai ke leher. "O ladalah, kakek tolol, seharusnya kau tidak pakai mengangguk segala!" kata Sinto Gendeng dalam hati. "Siapa tua bangka satu ini? Siapa pula. yang mengazabnya seperti ini?! Kalau dia orang baik-baik dan keadaanku tidak seperti ini pasti akan aku hancurkan kerangkeng besi di kepalanya!" Salah seorang dari sepuluh kelelawar muka bayi atur hormat letakkan dua tangan di atas kepala. "Ki Sepuh Tumbal Buwono, perintah sudah kami jalan- kan. Kami mohon diri." Sepuluh kelelawar muka bayi melangkah mundur. "Tunggu!" Kakek rambut putih berkata sambil angkat tangan kirinya. "Sebelum pergi ada sesuatu yang harus kalian lakukan." "Mohon Ki Sepuh memberitahu agar perintah bisa kami laksanakan," ujar kelelawar kepala bayi yang barusan minta diri. "Ceburkan nenek bau pesing itu ke dalam telaga!" Sepuluh kelelawar muka bayi tercengang, sama keluarkan seruan tertahan. Sinto Gendeng sendiri berseru

kaget, muka tegang membesi mata mendelik marah, memandang mengancam pada sepuluh kelelawar muka bayi. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu mungkin Sinto Gendeng sudah melompat dan mengamuk tak karuan.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

4

SINTO GENDENG DICEBURKAN DALAM TELAGA

ARENA tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka bayi bergerak lakukan perintah, Ki Sepuh Tumbal Buwono menegur. "Sepuluh kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku. Mengapa tidak dilaksanakan?" "Ki Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang tadi selalu bicara mewakili teman-temannya akhirnya menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang Pemimpin. Jika sampai dicemari...." Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa. "Kalian anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang Pemimpin perlu diberi minuman istimewa. Kini dia mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya dia merasa beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke dalam telaga atau kalian yang aku ceburkan sebagai gantinya!" Sinto Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka bayi ketakutan mendengar ancaman si kakek. Padahal jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja dari duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau lehernya putus digorok besi yang melingkari lehernya, menyerupai mata gergaji tajam luar biasa. K

Nyatanya, sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto Gendeng. "Hai! Awas kalau kalian berani...." Sinto Gendeng berteriak. Tubuh si nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu dilempar. Byuurr! "Kampret kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Ter- telentang di dalam telaga dia menunggu. Sebentar lagi tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakut- kannya tidak terjadi. "Eh...?" Sinto Gendeng putar sepasang matanya. Telaga di dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar memiliki kedalaman sampai sepuluh kaki. Namun inilah keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di permukaan telaga. Begitu juga dengan tubuh Sinto Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti juga ditelan perasaan heran dan aneh. Tubuhnya terasa sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek. Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka bayi tak ada lagi di tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya kakek jubah biru gombrong duduk memandang ke arahnya sambil senyum-senyum. "Tua bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyum- senyum terus. Jangan-jangan bangsa kakek-kakek ganjen!" Ucap Sinto Gendeng dalam hati. Di bagian dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang menjadi tempat masuknya aliran air baru. Di sebelah atas air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air mengalir menuju bangunan dibawah tanah tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air mengalir

terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau yang melekat di pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lama- lama menjadi bersih. Sinto Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada dalam telaga. Keluar sendiri tentu saja tidak bisa. Dua kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih jubah biru yang duduk di dalam cegukan batu hanya senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini tak bisa melakukan hal itu karena lehernya terjerat kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan tangan, tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada dalam telaga. Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri. Tapi ditunggu sampai sekian lama tak ada tanda-tanda dia bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik ke arah si kakek. "Orang tua berjubah biru! Pertama kali kau telah menghinaku, dengan menceburkan diriku ke dalam telaga. Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di dalam telaga ini?" "Ah, rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam air sejuk. Kau ingin naik sekarang?" "Kalau kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?" tukas Sinto Gendeng. Si nenek kemudian gigit bibirnya sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar, kakiku sebelah bawah dalam keadaan lumpuh. Dua tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong mengeluarkan aku dari dalam telaga?" Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum. "Disini hanya kita berdua. Tak ada orang lain." Menerangkan Ki Sepuh Tumbal Buwono.

"O ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!" "Nek, kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang seseorang. Aku bisa minta bantuannya mengeluarkan kau dari dalam telaga." "Siapa? Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan karena terlalu lama di dalam air. "Sabar saja. Sebentar lagi pasti muncul..."' jawab Ki Sepuh. "Sekarang orang itu sedang kebingungan. Aku harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat." "Siapa orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng bertanya. "Salah seorang istri Kelelawar Pemancung Roh." "Mengapa berlaku totol menolong istri makhluk jahanam itu?!" "Perempuan itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya adalah korban-korban tak berdaya yang perlu ditolong." "Hemmm begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang sudah kedinginan setengah mati kau biarkan. Ki Sepuh, kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap burung di udara, burung dalam celana dilepaskan." Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum. "Nek, kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi. Ujar-ujar yang aku dengar tidak begitu bunyinya." Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek gendeng. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa.

*** BINTANG Malam lari sambil tiada hentinya menangis. Sengsara derita hidupnya selama sepuluh tahun menjadi istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan. Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat

membebaskan diri. Namun selalu sia-sia. Hanya bunuh diri saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau Tuyul Orok berujud bukan seperti manusia, tapi bagai- manapun juga dia adalah anak darah daging yang dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak yang malang itu. Dibunuh oleh ayahnya sendiri! Dalam larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil itu tidak tahu mau menuju kemana. Dia berlari sepanjang lorong yang akan membawanya ke tepi pantai. Biasanya begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan kelelawar dan pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang berputar-putar mengelilinginya. Mereka telah mendapat perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang punya niat melarikan diri maka makhluk-makhluk itu sudah diberi wewenang untuk membunuh. Sekali ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga puluh kelelawar kepala bayi termasuk anaknya telah menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung Roh, dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng. Lalu masih ada puluhan kelelawar anak buah Kelelawar Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian. Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar seratusan. Saat itu kelelawar-kelelawar yang masih hidup itu hanya terbang kian kemari di atas pantai. Belasan ekor diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu makhluk ini memandang dengan mata menyorot merah dan keluarkan suara beringas, kini semua memperhatikan dengan pandangan sayu. Bintang Malam tidak sempat memikirkan mengapa binatang-binatang itu kini berada dalam keadaan seperti itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat

itu. Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul Orok digendongnya, dilarikan dari pantai dibawa ke dalam kamar di dalam bangunan di bawah tanah. "Ibu, kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu. Masuk ke dalam Goa Air Biru di kaki Bukit Jati. Disitu ada seseorang yang bisa menolong Ibu...." Ucapan Tuyul Orok terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro terasa sesak dan jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang Malam saat itu tidak memperhatikan apa yang diucapkan anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, meng- gendong Tuyul Orok, berusaha sampai ke tempat kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau sang anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh oleh ayahnya sendiri! Begitu ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang Bintang Malam segera lari ke arah utara, menuju Bukit Jati. Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan juga pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak tahu dimana beradanya goa yang konon airnya merupakan satu-satunya sumber air minum Kelelawar Pemancung Roh. Ketika sang surya condong ke barat, megap-megap kehabisan nafas Bintang Malam sampai di kaki Bukit Jati. Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak kuasa lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari. "Gusti Allah...." Bintang Malam menyebut nama Tuhan. "Kalau Kau ambil nyawaku saat ini juga aku ikhlas Ya Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini. Sepuluh tahun...." Ucapan Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di telinganya mengiang satu suara. "Perempuan malang, berdirilah. Kuatkan kakimu. Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus langkah ke arah kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa

yang hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga langkah di belakang pohon itu ada semak belukar. Masuk ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus sampai kau menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke dalam goa, ikuti jalan berbatu biru yang diapit dua jalur aliran air biru. Di ujung goa ada sebuah telaga. Kau akan menemukan diriku di seberang telaga air biru." Bintang Malam bangkit berdiri sambil mengusap telinganya. Perempuan ini memandang berkeliling. "Ada orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku hanya aku dan Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku masuk ke Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar Pemancung Roh. Dia pasti tengah berusaha mencariku. Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian meng- habisiku di tempat itu!" Bintang Malam bingung, hatinya merasa ragu. "Bintang Malam, buang semua keraguan dihatimu. Lekas berjalan kesini...." Suara mengiang kembali memasuki telinga. "Anakku mengatakan ada orang di dalam goa yang akan menolongku. Siapa?" Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam hati. "Kalau aku menjawab dengan ilmu mengirimkan suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung Roh." Semakin bingung perempuan ini. "Bintang Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam jika berada di luar sana." "Ya Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu, selamatkan diriku sampai ke dalam goa." Setelah memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki Bukit Jati ke arah kanan. Di satu tempat dia menemui pohon kelapa yang disambar petir. Seperti petunjuk suara

tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan semak belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya Bintang Malam menerobos masuk memasuki semak belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui mulut goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam goa ada satu jalan kecil dari batu biru, diapit dua aliran air berwarna biru. Bintang Malam melangkah sepanjang jalan batu ini. Beberapa puluh langkah memasuki goa benar saja, Bintang Malam menemui sebuah telaga cukup besar. Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat sosok seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di dalam satu cegukan besar di dinding batu. Bintang Malam membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si kakek. Kepala berada dalam kerangkeng besi, kulit sepucat mayat, mata cekung berwarna biru. Perempuan ini letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut menahan takut. Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat sewaktu melihat dan baru menyadari bahwa di dalam telaga di depannya mengambang sesosok tubuh.

***

WIRO SABLENG

BINTANG MALAM

KALAJENGKING PUTIH

5

I DALAM telaga Sinto Gendeng memandang tak berkesip pada perempuan yang baru masuk ke dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah takut. "Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto Gendeng berseru. Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan itu. "Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di tempat yang aman. Kemari mendekat...." "Orang tua, kau... kaukah yang tadi mengirimkan suara pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya. "Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita tentang dirimu padaku...." "Maksud Kakek, Tuyul Orok?" "Ya." "Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri." Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam. Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana." Perlahan-lahan si kakek buka matanya. "Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku D

akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum kau kutolong harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari dalam telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku sebelah belakang." Sinto Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki Sepuh itu. Matanya yang cekung berputar melirik. Bintang Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto Gendeng, belum mau beranjak melakukan apa yang dikatakan Ki Sepuh. "Kau tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan menggigit. Pegang saja kakinya, tarik ke sini." Kata-kata itu diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian Sinto Gendeng tetap saja memaki panjang pendek. "Kakek edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja bilang aku cukup jinak, tidak menggigit!" Ki Sepuh tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang Malam untuk segera mengeluarkan Sinto Gendeng dari dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah hamil muda itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia pegang dua kaki Sinto Gendeng. "Nek, maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku tidak kuat. Lagi pula aku dalam keadaan hamil. Aku terpaksa, menarik kakimu." Sinto Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara. Cepat keluarkan aku dari dalam telaga. Bagaimana caranya terserah kamu!" Walau tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup susah bagi Bintang Malam menariknya, membawanya ke belakang Ki Sepuh. "Aduh, tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata Bintang Malam. "Daging dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang berat," ujar Ki Sepuh. Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagi- lagi membuat Sinto Gendeng mengomel.

Sesuai yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si kakek, Bintang Malam angkat ke atas jubah gombrong Ki Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam jubah. "Hai! Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini! Mengapa aku dimasukkan ke dalam jubah bau apak ini!! Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng ber- teriak. "Itu tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat." Berkata Ki Sepuh. Sinto Gendeng memaki. "Aku tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah menolongmu sebisaku. Aku tak punya kekuatan apa-apa. Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!" Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat kemudian terdengar ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa arti dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama disini. Dan ada satu syarat! Asal kau tidak kentut saja! Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!" Aku janji tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji." "Janji apa?" tanya Sinto Gendeng. "Asal kau tidak kencing!" jawab si kakek. Sinto Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan. "Kau kakek-kakek lucu!" "Kau juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?" "Aku tak akan memberitahu sebelum tahu banyak tentang dirimu!" Jawab Sinto Gendeng. "Begitu? Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau sudah tahu namaku. Jadi tak perlu ditanyakan lagi. Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?" "Manusia edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu

padamu! Buat apa!" Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa tahu kau naksir padaku. Ingin tahu apa aku masih sendirian atau bagaimana." "Amit-amit jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin baik!" "Nah tepat dugaanku!" "Dugaan apa?" tanya Sinto Gendeng. "Kalau seorang nenek mulai memuji seorang kakek, berarti si nenek ada hati pada si kakek. Bukan begitu? Aduh...!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa yang kau lakukan?!" "Sekali lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi punggungmu!" Bintang Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi tertawa melihat kelakuan dan mendengar bicara sepasang kakek nenek itu. "Ba... baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo tanyakan apa yang hendak kau ketahui." "Kawasan Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar Pemancung Roh. Kau berada di tempat ini. Dalam keadaan di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng...." "Nah Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku tidak akan menggigit punggungmu atau pinggulmu. Ha... ha... ha!" "Tua bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan Kelelawar Pemancung Roh!" "Dia muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja tapi membuat kejut bukan alang kepalang pada Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan, saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika kakek ini memang benar guru Kelelawar Pemancung Roh musuh besarnya itu, bukankah berarti saat itu sama saja

dia berada dalam sarang harimau? Bintang Malam sendiri memang pernah mendengar kabar tentang seorang penghuni aneh di Goa Air Biru. Tapi dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah bicara padanya. "Nek, kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu tadi itu saja?" Ki Sepuh menegur. Dengan suara bergetar Sinto Gendeng berkata. "Ketahuilah, muridmu itulah yang telah membuat aku lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu Hawa Kematian." "Tidak heran." Sahut si kakek. "Eh, apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng. "Aku saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang lain." Sinto Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam terbelalak. "Kek, jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus kepalamu dengan kerangkeng besi ini?" "Sejak lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya sengsara...." "Mengapa dia melakukan kekejaman begini keji terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam. "Ya, ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng. "Dia memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang. Aku menolak. Ketika dia memaksa sambil mengancam akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya. Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia minta yang empat lainnya. Ketika aku menolak, kepalaku dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu pada- nya. Lebih baik dia membunuhku dari melihat dia men- celakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan tak ada gunanya. Semua sudah terjadi."

"Murid terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng. "Selama lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana kau makan, bagaimana kau minum Kek?" tanya Bintang Malam. "Ya, bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?" Sinto Gendeng menyambung pertanyaan Bintang Malam. "Aku tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan murid terkutuk itu setiap hari dua kali datang ke sini untuk menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu. Aku tak pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar sebagai keringat. Aku juga tak pernah buang air besar. Kalau aku kencing dan buang air besar pasti tempat ini sudah kotor dan busuk." "Aneh..." ucap Bintang Malam. "Luar biasa," ujar Sinto Gendeng. "Nek, Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat kau lumpuh tentu ada sebabnya. Silang sengketa apa yang ada diantara kalian?" "Empat puluh tahun lalu aku bersama orang-orang Kerajaan menumpas kaum pemberontak di kawasan selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada sangkut paut darah dengan Kelelawar Pemancung Roh aku habisi. Salah seorang diantaranya adalah ayah kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat. Kakek rambut putih, apapun yang dibuat muridmu, apapun yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut bertanggung jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau tidak bisa mendidiknya!" Ki Sepuh menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk ucapanmu itu. Aku telah menerima hukuman atas kebodohanku sendiri." "Kek, dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa mem- bebaskan diri?" tanya Bintang Malam. "Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu yang

membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku tahu nama ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah satu diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya. Dengan ilmu itu dia telah menyedot seluruh tenaga dalam, hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya mem- punyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat dua tanganku, menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima tahun dirangket seperti ini aku jarang sekali bisa tidur..." "Muridmu yang jahanam itu pasti juga telah menotok jalan darahku hingga, aku tidak bisa menggerakkan dua tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin kau tahu caranya agar aku bisa bebas?" "Nek, dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan yang disebut Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Kabarnya jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa senjata tertentu yang mampu memusnahkan totokan itu." "Mungkin tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto Gendeng. "Mungkin tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup sakti, pada waktu dirimu ditotok pasti sudah menolak totokan." "Sialan!" Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu men- dengar ucapan Ki Sepuh. "Selain Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan Kalajengking Putih yang bisa membebaskan dirimu dari totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan tambahan. "Kalajengking Putih? Edan! Baru sekali ini aku mendengar ada Kalajengking berwarna putih. Dimana bisa ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang bisa menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu Hawa Kematian?"

"Kelelawar Pemancung Roh satu-satunya orang yang memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia mencurinya dari aku." "Obat apa? Bagaimana bentuknya? Dimana disimpannya?" "Obatnya semacam cairan yang dibuat dari minyak bunga matahari langka. Yang tumbuh menghadap mata- hari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu bulan gelap...." "Jadi bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto Gendeng. "Bukan," jawab Ki Sepuh lalu meneruskan keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan sama saja dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari." Sepasang mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanam- kan ucapan si kakek dalam benaknya. "Mengenai cairan bunga matahari yang ada pada murid- mu itu. Kau tahu dimana dia menyimpannya?" "Minyak itu disimpan dalam telur penyu yang sudah kering. Dimana murid murtad itu menyimpannya aku tidak tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana" "Ada yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di puncak Pegunungan Dieng...." "Betul," membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu lalu waktu musim kemarau yang sangat panjang, pernah terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah semuanya bersama pepohonan lain." "O ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa sembuh dari kelumpuhan celaka ini!" keluh Sinto Gendeng dalam hati. "Ki Sepuh...." "Diam, jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong ucapan Sinto Gendeng. "Aku mendengar suara orang

mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk ke dalam jubahku di samping si nenek." "Kek...." "Aku sudah tahu siapa yang datang...." Ucap Sinto Gendeng. "Jangan bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di samping si nenek. Jangan ada yang bicara. Jangan ada yang bergerak. Usahakan menahan nafas!" Mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa banyak membantah lagi Bintang Malam segera menyelinap masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek.

TAMAT

SEGERA TERBIT :

DOSA YANG TERSEMBUNYI

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI 1

ALAM semakin larut ketika lolongan anjing terdengar untuk yang kesekian kalinya. Entah dari mana datangnya. Suasana tetasa sepi mencekam. Hanya sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Sementara gemericik air sungai di kolong jembatan itu meski sayup-sayup tapi berkesinambungan. Hujan, telah lama tidak turun, sehingga volume air ber- kurang. Permukaan air sungai itu terlihat turun sekitar setengah meter. Lolongan anjing kembali terdengar. Tapi pemilik gubuk kardus yang berada di kolong jembatan itu tidak peduli. Ia tidak menangkap firasat apa-apa. Mungkin karena hatinya telah beku, sehingga ketidak peduliannya pada apapun semakin menggunung. Baginya anjing itu mau melolong ratusan kalipun tidak akan membawa perubahan hidup untuknya. "Yang kita butuhkan saat ini adalah sebungkus nasi dengan lauk-pauknya," gumamnya lemas. "Perutku lapar sekali. Tapi malam-malam begini mau cari makanan di mana?" Dielus-elusnya kucing hitam yang berada dalam pelukannya sejaktadi. Ia berharap dengan mengelus-elus hewan itu siapa tahu rasa laparnya bisa berkurang. Kucing adalah hewan jinak yang apabila dielus-elus maka ia akan M

semakin anteng. Tapi kali ini tidak. Hewan itu gelisah. Kepalanya bergerak ke sana ke mari. Sepasang matanya tajam mengawasi ke segala arah. Sementara kedua telinganya tegak berdiri, seolah hendak menangkap suara sekecil apapun yang mencurigakan. "Iya, ya. Aku tahu, kau pun pasti lapar. Tahan sajalah. Besok kita cari makanan sebanyak-banyaknya biar perut kita kenyang. Sekarang selain lapar aku juga ngantuk. Mending kita tidur saja," katanya sambil menguap lebar. Kucing itu tidak peduli. Kegelisahannya semakin bertambah. Kini sepasang matanya tertuju ke satu arah. Seluruh bulu-bulu di tubuhnya tegak berdiri. Kemudian dengan tiba-tiba ia berontak dan melompat dari pelukan majikannya. "Eeeh, mau ke mana kau? Ayo, sini!" Reflek ia bangun dan bermaksud mengejar. Tapi saat itu juga terdengar teriakan seseorang dari arah depan. Ia terpaku di tempatnya. Mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Seorang pria, ia yakin begitu meski masih dalam jarak yang berbentuk siluet, tubuhnya kurus dan lari sekencang-kencangnya, bahkan nyaris beberapa kali terjatuh seperti dikejar-kejar setan. "Tolong, tolong! Seseorang ingin membunuhku," teriak- nya dengan suara agak serak. Dari jarak dekat terlihat di wajahnya ada bekas luka cakar yang masih baru. Tubuhnya yang bertelanjang dada pun menampakkan luka-luka yang sama. Si Gembel yang masih mematung di tempatnya masih kelihatan bingung. Bahkan seperti tidak mempeduli- kan saat pria kurus itu, terJerembab di dekatnya. "To... tolong, Pak. Seseorang ingin membunuhku. Tolong...." "Siapa?" tanya si Gembel sambil celingak-celinguk memandang ke segala arah, dan tidak melihat apa serta siapa pun di sekitar tempat itu selain mereka berdua.

"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan mem- bunuhku." Pria kurus itu meraih tangannya. Tubuhnya gemetar ketakutan. "Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin mem- bunuhmu. Ah, sudahlah! Jangan ngomong macam-macam." Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya yang tadi kabur entah ke mana. Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar, berusaha meyakinkan si Gembel. "Seseorang ingin membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku. Tolong- lah." "Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang bisa kubantu? Paling-paling aku kabur supaya orang itu tidak sekalian membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!" Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon asam. Hijau kebiru-biruan. Persis mata kucing dalam kegelapan. "Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!" cegah si pria itu seraya menarik tangannya. "Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauh- jauhnya dari sini. Mana mungkin si Manis akan mem- bunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja dia mencakarmu. He, apa tadi kau telah membuat si Manis kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak mem- pedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya atau tidak. Perlahan didekatinya pohon asam itu sambil memanggil-manggil si Manis. Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Dan itu membuat si Gembel terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya sekarang bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan lepas begitu saja.

"Si... siapa kau?!" tanyanya dengan suara gagap ketakutan melihat si Manis benar-benar berwujud seorang wanita muda yang berparas cukup manis. Makhluk manis itu tidak memperdulikannya. Sorot matanya yang mengerikan itu tertuju pada pria kurus yang berada di belakang si Gembel. Tenang dan perlahan dihampirinya pria itu yang cepat bangkit berdiri dan terus kabur. Sikap wanita itu masih tenang, demikiah pula langkahnya. Namun si Gembel melihat sesuatu yang aneh. Wanita itu saat ini seperti tidak menapak di atas tanah, dan tahu-tahu telah melayang ke hadapan pria yang sedang dikejarnya. "Oh, tidak! Tidak...!" Pria kurus itu berteriak histeris kebingungan kemudian berbalik arah. Tapi ke mana saja ia melangkah wanita itu selalu telah berada di hadapannya. Sampai kemudian ia terpojok di batang pohon asam tempat di mana wanita itu tadi pertama kali menampakkan diri. "Tidak. Oh, Lestari, sadarlah aku ini Burhan. Masak kau tidak mengenaliku? Lestari, sadarlah! Sadarlah. Aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau lupa?" Wanita yang dipanggil Lestari itu terus melangkah pelan. Sorot matanya masih setajam tadi. Sama sekali tidak ter- lihat perubahan pada mimik wajahnya mendengar kata- kata pria yang mengaku bernama Burhan itu. "Lestari, bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini? Setan apa yang telah merasuki tubuhmu? Lestari, aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau tidak mengenaliku? Sadarlah, jangan biarkan dirimu dipengaruhi iblis jahat!" bujuk Burhan lagi dalain situasi yang tidak berdaya. Lestari telah berada persis di hadapannya. Seperti semula, tidak terlihat sedikit pun perubahan pada mimik wajahnya. Datar dan dingin. Hanya sorot matanya yang berkilau menyiratkan nafsu membunuh. Perlahan diangkat-

nya sebelah tangan, dan Burhan jelas melihat kelima jari- jari wanita itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam, siap dihunjamkah ke tubuhnya. "Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah menjadi jerit kesakitan yang panjang saat kelima kuku- kuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di arah jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka tampak di telapak tangannya yang tergenggam jantung korban yang dipenuh darah. Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil sekujur tubuhnya. Keinginan untuk kabur secepatnya dari tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya seperti terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan sedikit pun. Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya yang berlumuran darah ke atas, dan pada saat yang bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya. Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan semangatnya terbang entah ke mana. "Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang? Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini. Aku belum mau mati. Aku belum mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang memuncak ia berdo'a, sesuatu yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti yang entah dari mana datangnya, muncul menghalau makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin. Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain, tapi yang penting ternyata do'anya terkabul. Ketika perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel celingukan, mencari-cari dengan pandangannya ke sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir kalau-kalau makhluk wanita itu bersembunyi di suatu

tempat yang sangat dekat lalu menerkamnya ketika ia lengah. Tapi setelah yakin kalau dirinya selamat, ia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

*** Siang harinya polisi telah hadir di tempat itu bersama beberapa wartawan cetak maupun elektronik, juga tidak ketinggalan mobil ambulan yang akan membawa mayat Burhan ke rumah sakit untuk diotopsi. "Ini korban ketujuh, Pak. Apa komentar Anda atas kejadian ini, dan sejauh mana usaha polisi untuk mengatasinya?" tanya seorang wartawan cantik dengan pulpen dan notes di tangan.. Pria berusia sekitar tiga puluh empat tahun dan berseragam polisi dengan pangkat letnan itu memandang wartawati itu sejenak, kemudian pada wartawan lainnya yang siap mencatat dan merekam jawabannya. "Ini tindakan kriminal murni, dan kami bersungguh- sungguh akan menangkap pelakunya untuk diajukan ke pengadilan dan diproses, sesual dengan hukum yang berlaku...." "Apakah polisi sudah mendapatkan titik terang siapa kira-kira pelaku pembunuhan itu?" tanya seorang wartawan. "Kami akan berusaha sungguh-sungguh." "Apakah itu artinya belum?" kejar wartawan yang lain. "Jawaban itu tidak tepat. Kalau kami katakan sudah, itu tidak objektif sebab kami sedang mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan keterlibatan dan keterkaitannya, dan bila kami katakan belum itu menunjuk- kan bahwa kita dalam mencurigai dan menuduh seseorang menggunakan prosedur yang telah ditetapkan perangkat hukum. Dan tidak bisa main tunjuk seenaknya." Letnan

polisi itu mengakhiri jawabannya dan menghindar dari kerumunan para wartawan. Meski satu atau dua wartawan masih menguntit dan mengejarnya dengan pertanyaan- pertanyaan yang usil, namun dengan lihai ia menolak. Bersama beberapa rekannya ia memeriksa ke sekeliling tempat itu dengan teliti. Dengan santai ia mengintruksikan pada bawahannya agar para wartawan tidak mengganggu proses penyeiidikan yang tengah dilakukannya. Namun ketika wartawati yang pertama kali mengajukan pertanyaan itu mengikutinya, ia memberi isyarat pada dua anak buahnya yang coba mencegah untuk membiarkannya saja. "Pertanyaan apa itu? Kau memancing yang lainnya untuk menanyakan hal-hal yang sulit untuk kujawab," katanya setelah wartawati itu mendekat. "Lho, memangnya ada larangan untuk bertanya kepada petugas yang bertanggung jawab dalam suatu masalah?" Balik bertanya wartawati itu sambil tersenyum mengejek. "Kita telah sepakat untuk sementara ini kasus jangan terlalu dibesar-besarkan." "Itu akan menimbulkan ketakutan masyarakat. Mereka tidak mendapat informasi yang jelas, dan selalu was-was kalau suatu saat jiwa merekalah yang akan melayang. Ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik." Letnan polisi itu menoleh. Sekilas memandang tajam pada si wartawati. "Saras, kali ini aku bicara kepada seorang teman bukan kepada wartawati, oke?" "Oke, baiklah. Sebagai seorang teman aku bertanya, sampai sejauh mana informasi yang telah kau kumpulkan dalam kasus pembunuhan ini?" "Banyak sekali. Meski tidak seluruhnya kuceritakan, tapi kita bisa melihatnya dari poin-poin yang penting. Seperti kasus yang terdahulu, maka kecurigaanku masih tetap kepada orang terdekat si korban. Hanya saja aku belum

menemukan motif, apa yang membuat mereka melakukan hal seperti itu." Wartawati yang bernama Saras itu mengernyitkan dahi, kemudian matanya memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu, sebelum kembali memandang tawan bicaranya. "Apakah kau tidak memikirkan hal-hal aneh yang pernah kukatakan tempo hari?" "Soal apa?" "Keterlibatan makhluk gaib di balik kasus ini?" Letnan polisi itu sudah mau tersenyum, namun diurungkannya ketika melihat bola mata cewek itu mendelik galak. Pada percakapan sebelumnya Saras menawarkan alternatif, kalau pembunuhan itu ada kaitannya dengan alam gaib, namun letnan polisi itu melecehkannya dan menganggapnya irrasional sehingga membuat Saras kesal dan marah. "Oke, baiklah. Lantas apa yang mendasari penilaianmu itu?" "Situasi yang hampir sama. Coba perhatikan, korban pertama tewas di tebing terjal, tidak jauh dari lokasi ada pohon asam, lalu ada gubuk tidak terurus...." "Tapi korban kedua ternyata tewas mengambang di sungai, dan lokasi itu jauh dari pohon asam," tukas letnan polisi itu. "Kita tidak bisa memperkirakan di mana pertama kali dia tewas, kan? Dan sampai sekarang belum terungkap," jawab Saras tangkas. "Lalu perhatikan korban ke tiga, keempat, kelima, bahkan sampai korban yang sekarang. Menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ada tebing, walaupun itu cuma sekedar antara permukaan sungai dan permukaan tanah di atasnya pada ketinggian dua atau tiga meter, lalu ada pohon asam, kemudian gubuk tidak terurus. Apakah dengan ciri-ciri khas begitu kau tidak berusaha untuk memancing si pelaku yang sebenarnya?"

"Memasang jebakan maksudmu?" "Nah, ternyata kau mulai pintar dan ada kemajuan." "Terima kasih. Aku justru melihat pembunuhan itu dari sisi yang lain." "Apa maksudmu?" "Ini bukanlah rangkaian pembunuhan yang direncanakan, tapi tindak kriminal murni antara dua orang yang belum jelas motifnya. Tapi itu tidak sulit, karena tidak lama pun akan terungkap." "Dengan menangkap pelaku yang sementara ini menunjukkan bukti-bukti kuat?" "Ya. Itu alasan logis, dan dengan bukti yang dimiliki maka si pelaku sudah jelas melakukan pembunuhan. Apalagi yang mau dicari? Saras, kita tidak perlu berpikir yang macam-macam, dan menarik garis terlalu jauh untuk mengusut pelaku pembunuhan. Polisi telah dibekali ilmu khusus untuk mengusut masalah semacam ini." "Dengan mengabaikan kebenaran yang hakiki?" "Kebenaran hakiki yang bagaimana yang kau maksud- kan? Setiap korban yang jatuh, maka beberapa pihak dicurigai, kemudian terdapat salah seorang yang paling bisa untuk dicurigai. Pengamatan dilakukan, kemudian bukti dikumpulkan, lalu semua digabungkan dan fakta membuktikan kalau si pelaku memang terlibat dalam pembunuhan. Lalu apa lagi yang mesti dicari-cari?" "Kau mengabaikan banyak hal. Enam dari tersangka pelaku pembunuhan merasa yakin kalau mereka tidak merasa membunuh korban, dan tidak punya motif untuk membunuh. Mereka tidak mengetahui dari mana bukti ter- kumpul sehingga mereka tersudut menjadi tersangka...." "Itu alasan klise tiap pembunuh. Mereka selalu menolak untuk didakwa sebagai tersangka," tukas letnan polisi itu. "Apakah kau tidak bisa menafsirkan tatapan mata mereka yang jujur? Tidak bisakah kau melihat mereka

melalui mata hati nuranimu bahwa mereka tidak berdusta?" "Saras, coba mengerti!" Letnan polisi itu menghela nafas, kemudian melirik anak buahnya. Sebagian dari mereka agaknya coba menguping pembicaraan kedua insan itu, tapi begitu atasannya melirik cepat-cepat mereka mengalihkan perhatian. "Aku tahu!" tukas Saras cepat. "Kau ingin mengatakan kalau polisi harus selalu mengandalkan bukti-bukti dalam segala tindakannya, dan mengenyampingkan hati nurani, kan?" "Syukurlah kalau kau telah mengerti...." "Kalau begitu mengapa kalian tidak mencerna fakta- fakta serta bukti-bukti yang ada? Fakta selalu terlihat kalau cara yang ditempuh si pelaku hampir sama, dan korban pun tewas dengan cara yang sama. Kemudian ketika korban mencapai angka seratus, maka seratus orang pelaku pula yang ditangkap karena mereka melakukan pembunuhan dengan metoda yang sama. Apakah ini tidak menunjukkan suatu bukti kalau mereka terorganisir? Dengan begitu pasti ada seorang atau entah apa namanya yang mengomandani mereka. Apakah kau cukup puas dengan hanya menangkap anggota mereka, dan membiar- kan anggota lainnya terus berkeliaran mencari mangsa? Bukankah secara logika akan lebih baik menangkap dalangnya, sehingga dengan begitu mencabut akar per- masalahan sampai tuntas sehingga tidak ada lagi korban baru, atau paling tidak mengurangi frekwensinya?" Kata- kata yang dilontarkan Saras berapi-api penuh semangat bercampur dengan perasaan jengkel, sehingga nadanya agak tinggi, membuat anak buah letnan polisi itu kembali melirik pada mereka. Lama Letnan polisi itu terdiam. Entah merenungi alasan- alasan yang diungkapkan Saras, atau memikirkan apa yang

sedang dipikirkan anak buahnya tentang mereka berdua. Seolah ia bisa merasakan kecurigaan dari tatapan mata anak buahnya tentang hubungan mereka, bukan lagi antara seorang wartawati yang sedang mewawancarai seorang yang berwenang dalam berita yang sedang dikejar- Nya, dan sebaliknya. Tapi hubungan itu seperti berkembang ke arah lain. Saraswati adalah seorang wartawati media cetak yang bertugas meliput berita-berita kriminal. Dan dalam menjalankan tugasnya, tidak jarang ia berhubungan dengan oknum-oknum polisi yang bertanggung jawab terhadap kasus yang sedang diliputnya. Salah seorang oknum polisi itu adalah Letnan Hendri, perwira polisi berusia tiga puluh empat tahun yang masih berstatus bujangan. Pertemuan mereka memiliki frekwensi yang cukup tinggi, di mana dan kapan saja dalam situasi yang berbeda. Sehingga hal itu membuat gosib yang ramai diantara kolega-kolega kedua belah pihak bahwa diantara kedua insan itu ada hubungan bilateral yang cukup intim. Tak jarang bila mereka sedang berdua, maka pembicaraan formil ditiadakan, dan keduanya berkomunikasi sebagaimana layaknya kawan dekat, sehingga emosi dan ungkapan perasaan terkadang ter- lontar begitu saja tanpa sungkan-sungkan. Seperti kejengkelan Saraswati terhadap sikap letnan polisi itu me- nanggapi masukan yang dilemparkannya seputar masalah yang sedang mereka hadapi. Lama baru terdengar hela nafas letnan polisi itu sebelum ia melirik Saraswati dan berkata," Baiklah. Kalau begitu kita cari tempat yang nyaman untuk membicarakan- nya. Dalam suasana yang tidak diliputi ketegangan." "Baik. Di mana?" sambut Saraswati antusias. "Bagaimana kalau di restoran Dewata jam setengah delapan malam?"

Saras melihat Letnan Hendri tersenyum. Ia menggeleng geli. "Apakah ini ajakan kencan?" "Kau boleh menyebutnya apa saja." Letnan Hendri mengangkat bahu dengan kedua telapak tangan terbuka. "Baik. Aku menganggapnya ini bagian, dari tugasku." "Oke. Terserahmu saja." "Kalau begitu aku pulang dutu." Wanita itu memasukkan notes dan pulpen ke dalam tas yang disandangnya. Tanpa banyak basa-basi lagi ia meninggalkan tempat itu diiringi tatapan mata letnan polisi itu beberapa saat lamanya.

***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI 2

NJAR baru saja akan memeriksa catatan-catatan pembukuan yang tadi sore diberikan Kusno padanya. Hari ini kebetulan ia tidak pergi ke toko sehingga orang kepercayaannya itu terpaksa datang ke rumahnya untuk menitipkan laporan. Telepon di mejanya berdering. Ia sempat melirik jam di meja. Pukul sebelas malam. "Halo. Betul. Saras?" Meski tidak melihat ia yakin kalau lawan bicaranya di seberang sana pasti mengangguk. "Tadi jam sembilan aku telepon, tapi nggak ada yang angkat. Ke mana?" tanya wanita itu. "He-euh. Aku dari bengkel. Ada sedikit kerusakan pada mesin mobil. Untung ketahuan. Coba kalau dipakai untuk perjalanan jauh lalu mogok di jalan, kan berabe. Eh, jadi nggak besok berangkat?" sahut Anjar. "Aduuuuh, aku minta maaf yang sebesar-besarnya deh, Jar. Kali ini nggak bisa lagi...." "Ini penting lho, Ras. Orangtuaku ingin betul kenal dengan kamu." "Aku juga kepengen banget kenal sama beliau, tapi tugasku belum bisa ditinggalkan. Kamu ngerti, kan?" Anjar terdiam. A

"Jar?" "Ya, ada apa?" "Kamu nggak marah, kan? Aduh, tolong deh. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Liputanku kali ini hampir mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan. "Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?" "He-euh!" "Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi kamu...." "Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu. "Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan selamat." "Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya saja aku berpikir bahwa pekerjaan itu terlalu, berbahaya bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau minta di- tempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?" "Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?" Saraswati ketawa cekikikan. Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli ataukah tidak. Pada dasarnya ia mengetahui kalau Saras- wati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-lelakian, tapi ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai lelaki. Kalau kebetulan mereka nonton film, maka anak itu suka film action, yang berbau mesiu, perkelahian, dan petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah yang kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan bangga menunjukkan foto-fotonya, baik dalam seragam karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika berarung jeram bersama kawan-kawan prianya. Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang feminim. Saras merasa hal itu menggelikan buatnya. Ia merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan

kelemahan, sesuatu yang tidak disukai, bahkan tidak pernah diajarkan ayahnya yang pensiunan tentara kepada- nya. "Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar mengalihkan pembicaraan. "Yang ngangkat Katmi. Dia bilang seseorang menjemputmu." "Kenapa? Kamu mau jadi wartawan juga coba-coba ngorek aku?" Anjar bisa membayangkan bola mata wanita itu mendelik, dan bibirnya tersenyum mengejek. Tapi meski dalam mimik apapun, bahkan dalam mimik yang terburuk pun ia menilai kalau face Saraswati tetap cantik. Hidung- nya yang kecil dan mancung, bola matanya agak menyipit mirip Claudia Schiffer namun memiliki sorot yang tajam bila memandang lawan bicara, kemudian sepasang alisnya yang teba1 menunjukkan kemauannya yang kuat dan keras. Belum lagi ditambah sepasang bibirnya yang sen- sual, dan selalu merah merekah meski jarang disapu gincu. "Aku mudah percaya pada orang lain, dan sifat itu tidak cocok untuk menjadi wartawan." Didengarnya hela nafas Saraswati, halus sekali sebelum menjawab. "Letnan Hendri. la menjemputku untuk membicarakan kasus yang sedang ditanganinya," sahut Saiaswati singkat. "Sejak kapan kamu menjadi konsultannya?" "Aku menangkap kesan sinis, tapi okelah, tidak mengapa. Aku berusaha memaklumi kecemburuanmu. Hubungan kami saling membutuhkan. Dia butuh masukan dariku dalam menjalankan tugasnya, begitupun aku butuh komentarnya sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam kasus yang sedang kuliput. Hanya itu. Terasa ada tekanan dalam dua kata terakhir yang diucapkannya, berharap Anjar mempercayainya. "Kuharap memang begitu..." "Jangan keterlaluan, Jar. Kau tahu aku wartawati, dan

tiap saat berhubungan dengan banyak orang, entah pria atau wanita bahkan banci sekali pun. Tidak ada alasan untuk cemburu buta." Anjar diam saja. Ia sudah sering mendengar alasan seperti itu. Saraswati menjawabnya dengan sederhana. Mungkin saja logikanya bisa menerima, tapi entah mengapa hatinya tidak. Dan mengemukakan perasaan di depan Saraswati seperti membenturkan kepala ke tembok. "Jar, kamu masih mendengarkan?" "Ya. Suaranya pelan, seperti menggumam. "Kuharap aku tidak perlu lagi mengulang-ulang penjelasanku, bukan? Kau mesti percaya padaku," tekan Saraswati. Anjar kembali terdiam. Nun jauh di seberang telepon sana, Saraswati sedang menduga-duga apa yang sedang dipikirkan Anjar. Perbedaan mereka cukup besar. Dia tipe gadis independen dan cuek, sedang Anjar agak perasa, dan melakukan sesuatu penuh pertimbangan dan pe- mikiran. Wajar saja kalau Saraswati harus menekankan beberapa kali agar Anjar percaya dengan kata-katanya sebab menyadari mungkin saja Anjar tidak mem- percayainya. Minimal di dalam hati. "Gimana kabar kamu? Sehat? Oke, sekali lagi aku minta maaf, ya? Mungkin lain waktu kita bisa bersama-sama mengunjungi orangtuamu. Bye!" Anjar meletakkan gagang telepon setelah mendengar suara klik di seberang sana. Termangu beberapa saat, ber- gelut dengan pikirannya. Pantaskah ia mencurigai Saras- wati? Hubungan mereka telah berlangsung tiga tahun, dan selama itu baik-baik saja. Ia bisa memahami tugas gadis itu, dan menepiskan jauh-jauh kecemburuann dalam hati- nya bila membayangkan Saraswati berdekatan dengan orang-orang yang menjadi sumber beritanya. Tapi dengan yang satu ini perasaannya berbeda. Seperti ada sesuatu

yang ganjil! "Betul kamu melihatnya, No?" ulangnya ketika dua minggu yang lalu Kusno melihat Saraswati dan seorang polisi bernama Hendri berada di sebuah restoran. "Mereka sangat akrab, Bang. Mereka tertawa-tawa, dan polisi itu sempat memegang-megang tangannya Mbak Saras," tambah Kusno melengkapi laporannya. Dilihatnya wajah Anjar menjadi keruh, seperti memendam kesal. "Maaf, Bang. Saya tidak bermaksud memanas-manasi. Apa yang saya ceritakan ya memang begitu. Tidak ditambah- tambahi," lanjutnya. Itu laporan yang pertama, dan Anjar mati-matian menepis rasa cemburu. Coba menentramkan hati dan berdialog dengan perasaannya kalau itu merupakan bagian dari tugas Saraswati. "Nggak ada apa-apa. Masak cuma pegang tangan saja lantas diartikan macam-macam? Lagi pula toh dia belum jadi istri saya, kok berani-beraninya kesal? Kok berani-beraninya cemburu? Apalagi kalau sampai nekat protes. Bisa-bisa. Saraswati akan mendam- pratnya, kemudian mengatainya seperti remaja yang baru merasakan puber. Lalu yang kedua, ketika Kusno mengantarkan ensik- lopedi yang dipesan Saras pada Anjar tempo hari. Anjar tidak sempat mengantarkan karena ketika toko tutup ke- betulan, pamannya yang baru datang dari Padang muncul di toko, padahal Saras minta ensiklopedi itu diantarkan hari ini. Sepulang dari sana Kusno melaporkan kalau Letnan Hendri ada di rumah gadis itu. Padahal waktu itu sudah jam sembilan malam. Untung saja Kusno hanya melihat mereka berdua bercakap-cakap, sebab kalau lebih dari itu, entah bagaimana perasaan Anjar. Anjar menghela nafas. Diliriknya foto Saraswati yang selalu ada di meja tugasnya, sedang tersenyum padanya. Ia coba balas tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya

terasa tidak full. Gadis itu duduk dengan gelisah sambil meremas handy- talky di tangannya. Sementara cahaya bulan menerangi sebagian tubuhnya yang hanya mengenakan kaos T-shirt putih dibalut sweater coklat. Sementara sepasang kakinya dibalut jeans agak ketat dan telapak kakinya dibungkus sepatu kets putih. Rambutnya yang panjang dan pirang, mungkin dicat pirang, dibiarkan lepas menutupi sebagian punggungnya. Dari terpaan bias cahaya rembulan terlihat kalau wajah gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu cukup manis. "Maya, kamu nggak apa-apa, kan?" Terdengar suara dari handy-talky di tangannya. "Ya," Gadis itu menyahut pendek seraya menoleh ke belakang, di balik belukar semak bambu yang tumbuh rimbun tidak jauh dari tempatnya duduk. "Cobalah berusaha tenang. Jangan khawatir, kami akan selalu melindungimu." Suara di handy talky itu kembali terdengar. Gadis itu mengangguk. Selang beberapa saat suara dari handy-talky itu kembali terdengar. "Sekarang kamu berjalan. Melangkah pelan saja. Kami akan tetap mengikuti dan menjagamu." Gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian menapaki ruas jalan berbatu selebar dua meter menuju arah selatan dan membelakangi cahaya rembulan. Suasana di tempat itu memang suram. Seandainya saja tak ada cahaya bulan, mungkin akan menjadi tempat yang cukup menyeramkan. Dari tempat duduknya tadi kira-kira lima puluh meter ke utara, terdapat sebuah gubuk tua yang kelihatannya sudah tidak berpenghuni. Tapi kadang- kadang suka juga diisi oleh para gelandangan yang datang dan keluar silih berganti. Dan di belakang gubuk itu, sekitar dua puluh meter terlihat sebatang pohon asam yang besar.

Keadaan ini sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh Saraswati. Mereka telah mencapai kata sepakat, dan Letnan Hendri mulai mengatur siasat sesuai masukan yang di- perolehnya dari Saraswati. Mereka akan menjebak pelaku utama pembunuhan sadis yang belakangan ini cukup gencar mencari korban. "Sukarelawan itu harus berusia muda. Minimal di bawah dua puluh tiga tahun. Jangan tanya kenapa," kata Saraswati di sela-sela masukan yang diberikannya pada letnan polisi itu. "Akupun telah mengukur jarak lokasi satu korban dengan korban lainnya. Tidak ada yang lebih dari lima sampai tujuh kilometer....'' "Sampai seteliti itu kau mengukurnya," tukas Letnan Hendri, entah memuji atau meledek. Saraswati tidak mempedulikannya. "Gubuk yang tidak terpakai, pohon asam, dan tebing terjal, meski cuma tebing sungai," tambahnya, "Semua itu telah kucatat dengan rapih. Kita harus berhasil menangkapnya!" lanjutnya optimis. "Seyakin itukah perkiraanmu?" Sebelum gadis itu melotot marah karena merasa disepelekan, letnan polisi itu buru-buru menambahkan. "Maksudku kau berpraduga bahwa pelaku kejahatan ini makhluk halus. Lalu apakah kau sudah menyiapkan sesuatu untuk menangkalnya? Maksudku, untuk mengalahkannya dan sekaligus me- ringkusnya?" "Aku tidak mutlak mengatakan bahwa itu perbuatan makhluk gaib, karena aku tidak percaya makhluk gaib bisa membunuh orang. Hanya saja aku masih bisa percaya bila makhluk gaib ikut andil di dalamnya, dengan cara mempengaruhi seseorang, dan seseorang itu kuyakin makhluk kasar seperti kita, maka sudah barang tentu bisa kalian tangkap," tegas Saraswati.

Letnan Hendri tidak banyak bicara lagi. Sedikit banyak ia percaya dengan argumen gadis itu, kalau tidak mana mungkin ia memberanikan diri mempertaruhkan nyawa seorang anak buahnya untuk dijadikan umpan. Semula ia memilih pria, tapi Saraswati menganjurkan agar umpan itu wanita saja, dengan pertimbangan dari sekian banyak korban yang jatuh kebanyakan wanita. Sementara itu waktu terus merambat pelan tapi pasti. Makhluk yang mereka tunggu-tunggu belum juga terlihat batang hidungnya. Maya mulai gelisah. Meskipun semula ia merasa tegar dan berani, namun dalam suasana begini mau tidak mau rasa takut itu muncul juga perlahan menusuk keberaniannya. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam ketika terdengar lolongan anjing, yang entah dari mana datangnya. Lokasi tempat ini boleh dikatakan di ujung kota, tapi bukan berarti dekat dengan daerah hutan. Sehingga tidak tepat dikatakan kalau suara itu lolorigan serigala, sebab dikatakan berirama panjang tidak, pendek juga bukan. Hanya saja iramanya memang aneh. Maya semakin bergidik ngeri. Matanya liar memandang ke sekeliling tempat saat angin bertiup agak kencang. Udara malam yang dingin terasa semakin dingin saja. Ranting-ranting pepohonan bergerak-gerak seperti tangan- tangan makhluk aneh yang hendak menggapainya. Ia berjalan lambat, sambil sesekali melirik ke rerimbunan semak untuk meyakinkan kalau keselamatannya terjamin oleh Letnan Hendri beserta anak buahnya. Lolongan anjing kembali terdengar. Gadis itu tersirap darahnya saat seekor tikus melintas cepat di depannya. Nyaris ia menjerit ketakutan. Gerak refleknya menghindar saat tikus tadi melintas diantisipasi oleh Letnan Hendri. "Kamu di sini dulu. Aku mau mengambil jarak yang lebih

dekat dengannya," perintahnya pada Saraswati tanpa meminta persetujuan cewek itu dan terus bergerak cepat merunduk menyusuri semak dan merendengi langkah Maya dalam jarak kurang lebih sebelas meter. Maya menghentikan langkah ketika mendengar suara langkah kaki dari arah sampingnya. Reflek ia menoleh. "Apakah itu Anda, Letnan?" tanyanya melalui handy talky. Tak ada sahutan. Gadis itu mengulangi pertanyaannya. Untuk yang kedua kali tidak juga terdengar sahutan. Ia sedikit panik. Matanya tajam mengawasi semak-semak di sebelah kirinya. Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya kilat membelah angkasa, diikuti oleh suara gemuruh yang merambat perlahan. Lagi-lagi gadis itu kaget dibuatnya. Hatinya sudah tidak tenang. Keberanian yang ada hanya tinggal seperempat. Apalagi ketika ia sempat melihat bayangan hitam di balik pohon asam yang ada di sebelah kirinya. Setahunya Letnan Hendri dan yang lain berada di sisi sebelah kanannya. Lalu sosok siapakah itu? ltukah yang sedang mereka tunggu-tunggu? "Letnan, Andakah yang berada di balik pohon asam itu?" bisiknya pelan sekali lewat handy-talky. "Letnan, jawablah. Andakah itu?" tanyanya sekali lagi setelah menunggu sesaat tidak juga ada jawaban. Sementara sosok yang sedang diperhatikannya seolah tanpa berkedip mulai bergerak. Pelan mendekatinya. Kedua kakinya meski menapak di atas permukaan tanah, tapi rasanya seperti melayang. Bahkan Maya belum sempat memutuskan, apakah ia mampu memberanikan diri menghadapinya ataukah kabur saja ketika sosok itu telah berada di dekatnya dalam jarak hanya tiga meter. "Kau?!" seru Maya kaget, kemudian menghela nafas lega ketika bola matanya menangkap jelas sosok tubuh di hadapannya. "Kukira siapa. Kenapa menakut-nakuti begitu?"

Pria bertubuh jangkung dengan potongan rambut pendek serta badan yang atletis itu diam saja. Hanya se- pasang matanya yang memandang gadis itu dengan sorot aneh. Perlahan pria itu semakin mendekat. Tiba-tiba per- hatiannya tertuju pada handy-talky yang ada dalam geng- gaman Maya. Saat itu terdengar suara Saraswati yang me- nanyakan keadaannya. "Aku baik-baik saja..." Belum lagi selesai kalimatnya, pria itu mendadak merampas handy-talky itu dengan kasar dan membuangnya jauh-jauh. Kemudian tangan kirinya me- nampar sebelah pipi gadis itu membuat Maya terhuyung- huyung ke samping, hampir jatuh. Tamparan itu keras sekali, membuat pipinya terasa perih dan kepalanya pusing seketika. Ia merasa ada darah yang menetes di sudut bibirnya. Belum lagi ia sempat menyadari situasi, pria itu tiba-tiba melompat dan mencekik lehernya dengan sekuat tenaga. "Kau harus mati. Pengkhianat sepertimu harus mati!" Suaranya menggeram dan serak, dibarengi perasaan benci dan dendam serta nafsu untuk membunuh. Maya baru menyadari ada kelainan pada pria yang dikenalnya dengan baik itu. Sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya hijau kebiru-biruan dan menakut- kan. Suara yang keluar dari tenggorokannya pun aneh. Bukan suara yang dikenalnya, tapi suara orang lain yang mirip suara wanita! Saraswati buru-buru bertindak setelah melihat kejadian itu ketika melihat kalau Letnan Hendri yang entah di mana saat ini, belum juga memberikan pertolongan. Pada saat yang bersamaan, lima anak buah Letnan Hendri pun serentak mengepung tempat itu. Salah seorang dari mereka melepaskan tembakan peringatan. Makhluk itu terkejut. Matanya liar memandang ke

sekeliling. Tiga pria berada di belakang dan samping kanan kirinya. Sementara dua pria lainnya beserta seorang wanita berada di depannya. Wanita yang tidak lain dari Saraswati itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia yang sejak tadi telah siap dengan tustelnya segera membidik makhluk itu. "Aaargh...!" Makhluk yang berwujud manusia itu menggeram buas seraya menghalangi wajahnya dengan tangan dengan reflek dilepaskannya leher Maya yang sedang dicekik, dan lompat menerjang Saraswati. "Berhenti! Atau kami tembak?!" teriak salah seorang polisi. Namun makhluk itu tidak menghiraukannya dan terus mencoba menyerang Saraswati. Merasa peringatan itu diabaikan salah seorang polisi langsung melepaskan tembakan. Makhluk itu meraung kesakitan ketika bahu kanannya diterjang timah panas. Matanya nyureng memandang polisi yang tadi melepaskan, seolah hendak mengancam. Entah merasa takut, atau karena posisinya tidak menguntungkan, tiba-tiba saja makhluk itu melesat ke depan, melompati Saraswati kemudian menghilang di kegelapan malam dengan gerakan yang amat cepat. "Dua orang ikut saya, lainnya memberikan pertolongan pada Maya!" ajak sang polisi yang tadi melepaskan tembakan, kemudian terus berlari mengejar makhluk tadi diikuti oleh kedua kawannya. Keadaan Maya agak kritis. Wajahnya agak membiru karena kekurangan oksigen saat dicekik tadi. Bukan cuma itu, tapi dari lehernya pun mengucurkan darah. Besar kemungkinarmya kuku-kuku makhluk tadi menghunjam lehernya saat mencekik. Salah seorang polisi buru-buru menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirimkan ambulan, sementara polisi yang seorang lagi memberikan pertolongan pertama terhadap korban. Lima belas menit kemudian ambulan muncul. Pada saat yang bersamaan, Letnan Hendri muncul beserta tiga anak

buahnya yang tadi mengejar makhluk itu. Setelah memeriksa keadaan Maya sebelum diangkut oleh ambulan, Saraswati mendekatinya dengan mata mendelik tajam. "Seandainya aku tahu siapa Anda, aku tidak akan pernah mau dijadikan umpan," sindirnya sinis. "Apa maksudmu?" "Anda telah mengecewakan gadis itu dan membuatnya terluka. Mana tanggung jawab Anda? ' Letnan polisi itu menghela nafas sesak seraya mengangguk. "Yaaah, aku tahu. Tapi aku telah berusaha sebisanya...." "Sebisanya?" dengus Saraswati sinis. "Gadis itu me- manggil-manggil lewat handy-talky, tapi aku tidak mendengar jawaban Anda. Itukah yang Anda maksudkan berusaha sebisanya?" tuding Saraswati, masih dengan nada sinis dan bersikap formil dengan menyebut Anda kepada letnan polisi itu. "Benarkah? Ah, aku sudah menduganya." Letnan Hendri gelengkan kepala menyesal. "Waktu aku berusaha men- dekatinya dalam jarak yang lebih dekat, handy-talky itu terjatuh. Aku berusaha mencarinya, dan saat kutemukan terdengar letusan pistol. Aku buru-buru menghampiri gadis itu, tapi sekilas kulihat sekelebatan bayangan melewatiku, maka kuputuskan untuk mengejar orang itu yang kuyakin makhluk yang sedang kita tunggu. Tapi sayang, aku kehilangan jejaknya. Dan ketika kembali aku bertemu dengan tiga anak buahku," lanjutnya menjelaskan. Saraswati memandangi pria itu sejurus lamanya, seolah hendak mencari kebenaran lewat tatapan matanya, kemudian perlahan ia berbalik. "Ya, sudahlah. Kalau begitu aku pulang lebih dulu," katanya terus melangkah. "Biar kuantar," sahut Letnan Hendri menawarkan diri seraya memburunya.

"Ng... kurasa tidak perlu aku lelah sekali," tolak Saraswati setelah berpikir sebentar. Biasanya bila pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya, ia tidak bisa menolak saat pria itu mampir ke rumahnya. "Lagipula aku akan mencuci film sebentar, sebab besok aku harus mengirimkan laporan." "Film?" Dahi letnan polisi itu berkerut. "Jadi kau berhasil mengambil gambarnya?" Dan ketika dilihatnya wanita itu mengangguk, ia melanjutkan. "Kalau begitu atas nama hukum aku minta kau menyerahkan film itu padaku." "Tentu saja, tapi nanti setelah aku mencucinya. Kau tentu akan mendapatkan beberapa lembar." "Biar pihak kepolisian yang akan menanganinya. Serah- kan film itu padaku," kata Letnan Hendri menegaskan. "Apakah aku mendengar adanya paksaan?" sindir Saraswati. "Film dalam kameraku belum habis dan aku mungkin saja memerlukan film-film sisanya untuk hal-hal lain. Lagipula ini tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Ini hak milik pribadi, dan kalau polisi memang menginginkan gambar makhluk itu mestinya dari awal telah menyiapkan segala sesuatu dan kalaupun aku mau memberikan pada kalian beberapa lembar hasil fotoku, itu karena kemurahan hatiku saja. Jadi, jangan coba memaksakan kehendak dalam hal ini!" tegas Saraswati cepat dengan nada ketus kemudian terus melangkah pergi.

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI 3

AMPIR dini hari Saras tiba di rumah. Tubuhnya letih sekali. Kalau saja tidak ingat akan tugasnya, ingin rasanya ia langsung ke ranjang dan tidur sepuasnya. Tapi atasannya meminta ia agar selekasnya menyampai- kan laporan tentang tugas yang selama ini diembannya. Dan foto yang tadi dijepretnya tentang makhluk itu pasti akan menjadi spektakuler. Bukti otentik atas tulisan-tulisan yang selama ini dibuatnya tentang pelaku pembunuhan berantai yang belakangan ini marak terjadi sehingga menimbulkan keresahan masyarakat. Setelah memproses negatif film di kamar gelap di salah satu sudut kamarnya, Saraswati dikagetkan oleh suara kaleng yang ditendang keras dekat kamar itu. Ia tertegun sejenak, coba mendengar dengan seksama. Tidak ada apa- apa. Tapi saat mulai hendak memeriksa hasil foto yang masih direndam dalam larutan kimia, kembali terdengar suara aneh. Kali ini ia mendengar suara beberapa buah kerikil yang dibenturkan ke tembok. Merasa curiga, Saras- wati keluar dari kamar itu setelah menggantungkan be- berapa lembar foto yang masih basah dan belum sempat diamati hasilnya. Ia memeriksa ruang depan, tapi tidak terlihat hal men- curigakan. Kemudian ke belakang mengamati keadaan H

dapur dan pintu belakang, juga tidak mendapati hal-hal yang aneh. Demikian pula ruangan kamar tidurnya, masih tetap dalam keadaan sebelum ditinggalkannya. Tapi ketika kembali ke depan, ia melihat kain hordeng jendela melambai-lambai di tiup angin, dan jendela terbuka lebar. Untuk beberapa saat ia tercekat kaget, dan jantungnya ber- detak lebih kencang. Perlahan gadis itu mundur dan meng- ambil pisau yang berada di laci meja tempat ia biasa mengetik, kemudian dengan memberanikan diri ia memeriksa keadaan jendela itu dengan seksama. Tidak terlihat hal-hal yang mencurigakan. Perlahan ditutupnya jendela, lalu menguncinya. Mungkin saat meninggalkan rumah ia lupa mengunci jendela-jendela itu. Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika tiba-tiba saja lampu padam, dan saat membalikkan tubuhnya ter- lihat sesosok tubuh berdiri persis dalam jarak kurang lebih empat meter di hadapannya. Yang membuat gadis itu bergidik ketakutan adalah sepasang mata yang menyorot tajam memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan, seperti mata seekor kucing dalam kegelapan. "Si-siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?" bentaknya coba memberanikan diri. "Jangan coba-coba mendekat atau..." Saraswati mengangkat sebelah tangan menunjukkan pisau, tapi sesosok tubuh itu seperti tidak peduli dan melangkah pelan mendekatinya. Wanita itu merapat ke jendela. "Berhenti! Aku tidak main-main. Kalau kau coba-coba mendekat maka pisau ini akan bicara!" gertaknya. Dan Saraswati benar-benar mengayunkan pisau di tangannya ketika sosok itu terus mendekat, tak mempedulikan ancamannya. Pergelangan tangannya kena ditangkap dan langsung dipelintir oleh makhluk itu. Tenaganya kuat luar biasa, dan Saraswati tidak bisa membiarkan begitu saja

tulangnya patah. Dengan bekal ilmu bela diri karate yang pernah dipelajarinya sewaktu masih di SMA, tubuhnya jumpalitan mengikuti arah lengannya yang dipelintir dan masih sempat mengirimkan satu tendangan ke muka makhluk itu. Ia merasa gerakannya cepat dan kuat, namun tidak disangka-sangka ternyata makhluk itu mampu menangkap pergelangan kakinya, dan sebelum gadis itu sempat berbuat apa-apa, tubuhnya melayang deras menghajar sofa. Pisau di tangannya terlepas, entah ke mana. Tulang belakangnya terasa sakit sekali. Dan sebelum ia sempat bangun, makhluk itu telah berdiri di hadapannya, kedua tangannya mencekik lehernya dengan kuat sampai gadis itu sulit untuk bernafas. Saraswati berusaha melepaskan diri. Kedua kakinya menendang ke ulu hati makhluk itu dengan sekuat tenaga. Tapi makhluk itu cuma bergeming sedikit. Tidak keluar keluh kesakitan dari mulutnya. Saraswati jadi putus asa, dan merasa kali ini ajalnya pasti tiba. Mendadak saat itu telepon berdering. Makhluk itu terkejut. Reflek ia menoleh ke arah datangnya suara, dan tanpa sadar cekikannya sedikit mengendor. Saraswati seperti mendapat peluang. Dengan sekuat tenaga ia menepiskan kedua tangan makhluk itu sambil kembali menendang dengan sekuat tenaga. Makhluk itu terhuyung dua langkah ke belakang sambil mengeluarkan suara menggeram marah. Merasa tidak mampu menghadapi seorang diri Saraswati berteriak sekuat-kuatnya dan berharap tetangga-tetangganya ber- datangan memberikan pertolongan. Ia berusaha bangkit dan berlari ke arah pintu. Tapi makhluk itu tidak memberi kesempatan. Tangan kanannya melayang menampar sebelah pipi gadis itu dan membuat Saraswati kembali terjungkal. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, makhluk itu telah menjambak rambutnya, dan kembali menghempas-

kannya ke jendela sehingga membuat kaca jendela pecah berantakan. Saraswati tidak mampu lagi mengadakan perlawanan. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Pandangannya berkunang- kunang sebelum akhirnya gelap. Ingatannya berangsur- angsur terbang entah ke mana. Hanya saja lapat-lapat ia mendengar suara-suara ribut yang entah dari mana datangnya sebelum akhirnya telinganya tidak mendengar suara apapun. Yang pertama kali dilihatnya ketika siuman adalah wajah Anjar. Pria itu tersenyum padanya. Ia merasakan usapan tangannya mengusap-usap lengannya. Kepalanya masih terasa sakit, begitu juga dengan tubuhnya. Ada selang infus yang dihubungkan dengan sebelah lengannya, sementara beberapa perban menghiasi lehernya. "Kau merasa lebih baik?" sapa Anjar. "Yah, kukira begitu." Suaranya terdengar lemah, dan tenggorokannya terasa kering dan sakit saat pita suaranya bergetar. "Hampir lima belas jam kau tidak sadarkan diri. Apa yang terjadi? Tetanggamu mengatakan seseorang masuk ke dalam rumah dan menyerangmu. Orang itu melarikan diri setelah beberapa orang berdatangan ke rumahmu." Saraswati terdiam. Ia coba mengingat kejadian itu, tapi kepalanya terasa sakit sekali, dan entah mengapa jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa ketakutan yang membayanginya saat mengingat kejadian dini hari tadi. Sosok makhluk itu, dengan sepasang matanya yang buas memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Itu jelas bukan maling, karena yang diincar adalah dirinya. Apakah makhluk itu mengadakan pembalasan terhadapnya karena Saraswati berhasil memotret dan mengambil gambarnya? "Menurutku itu bukan pekerjaan seorang pencuri. Aku sempat memeriksa keadaan rumahmu, dan rasanya tidak

ada barang-barangmu yang hilang. Letnan Hendri pun sempat melihat ke sana setelah kau dibawa ke rumah sakit. Kami ngobrol sebentar, dan aku melihat wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Apakah kau punya musuh?" Saraswati diam tak menjawab. Untuk saat ini rasanya ia tidak ingin membicarakan tentang makhluk itu pada siapapun. "Atau barangkali makhluk yang kau buru itu ingin memperkenalkan diri secara langsung?" Gadis itu memandang pria itu di hadapannya dengan seksama. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin juga ia tidak memikirkan apa-apa. Cuma sedikit heran, mengapa Anjar punya kesimpulan seperti itu. "Makhluk itu sudah terkenal buas, dan korban yang ditimbulkannya pun sudah cukup banyak. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, oleh karena itu hentikanlah memburunya. Tidak perlu ia diusik lagi," lanjut Anjar. Saraswati tetap membisu. Ia masih merasakan sakit di tenggorokannya bila pita suaranya bergetar, lagipula ia belum berminat mendiskusikan hal itu pada Anjar. Dari awal pria itu memang sudah tidak setuju dengan apa yang diliputnya belakangan ini. Tapi bagi Saraswati hal itu membuatnya semakin penasaran. Semakin misterius suatu masalah, maka makin tertantang jiwa petualangannya. Tidak peduli apakah hal itu akan membahayakan jiwanya. "Aku bisa mengerti kalau kau merasa penasaran bila hal itu tidak dituntaskan," lanjut Anjar seperti biasa membaca apa yang sedang bergulat dalam pikiran gadis itu. "Tapi ini menyangkut masalah yang bisa mencelakakanmu. Masih untung kau bisa selamat, tapi entah bagaimana di lain waktu. Sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat pasti akan jatuh juga. Begitu juga denganmu meski kau berusaha untuk menjaga diri darinya, tapi suatu saat naas

itu akan menimpamu. Dan terus-terang aku tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi padamu." Saraswati memejamkan mata. Ia tidak ingin mendengar kata-kata pria itu lebih lanjut. Bujukan yang berusaha menghalangi niatnya. Bukan kata-kata seperti itu yang saat ini ingin didengarnya. Apapun dan siapa pun yang berusaha menghalangi niatnya, sungguh ia tidak mau mendengar- kan. "Aku lelah sekali. Kalau tidak keberatan bolehkah aku tidur dulu...?" pintanya dengan suara lemah. Anjar menghela nafas, kemudian bangkit berdiri. "Baiklah. Silahkan istirahat, dan tidur yang nyenyak," katanya seraya meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum ia membuka pintu, Anjar membalikkan badan. "O, ya. Aku lupa. Tadi Letnan Hendri ke sini, tapi kau belum siuman. Dia titip bunga mawar itu," tunjuknya pada rangkaian mawar yang ada di atas kepala tempat tidur, dan di sebelah mawar itu terdapat sekuntum melati dalam vas bening. "Dan melati itu dariku. Selamat beristirahat. "Setelah itu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi. Saraswati bisa merasakan kekesalan, dan kekecewaan dalam sikap dan intonasi kalimat Anjarr yang belakangan. Dan ia bisa memakluminya. Anjar menyayanginya, dan kadang-kadang ia merasa rasa sayangnya itu terlalu berlebihan. Sampai-sampai membatasi ruang geraknya dalam melakukan banyak hal yang selama ini sudah terbiasa dilakukannya. Dulu saat refreshing bersama koleganya yang kebanyakan pria, dengan mengadakan acara panjat tebing, Anjar berusaha melarangnya dengan alasan membahayakan jiwanya. Pernah juga saat ia coba-- coba mengikuti olahraga arung jeram di Aceh, lagi-lagi Anjar berusaha mencegah dengan alasan yang sama. Bahkan saat ia hendak meliput berita tentang suasana terakhir di Timor Timur yang sedang dilanda kemelut, Anjar

mati-matian mencegahnya, dan minta agar ia ditugaskan ke tempat lain saja. Saraswati merasa tidak pernah menyembunyikan identitas dirinya sejak pertama kali mereka bertemu di toko buku TEMPO, milik Anjar. Waktu itu ia sedang mencari buku-buku yang berhubungan dengan dunia mistik. Mereka berkenalan. Ia mengaku dirinya wartawan, dan buku-buku yang dicarinya dibutuhkan sebagai pembanding, masukan, atau apalah namanya untuk melengkapi laporan dan sekaligus penyelidikannya tentang suatu kasus aneh yang sedang ditanganinya. Sepintas saja Anjar mengetahui kalau gadis yang ber- wawasan luas itu tomboi. Belakangan ketika mereka makin sering bertemu, ia mengetahui kalau aktifitas gadis itu seabrek-abrek. Dari mulai bangun pagi lalu olahraga, ter- masuk diantaranya mengangkat barbel, lalu pergi ke kantor mengendarai motor trail. Selama dua kali dalam seminggu ia menyempatkan diri latihan karate, kemudian sebulan dua kali tiap akhir pekan ia hiking di gunung, atau kalau tidak bermain-main ke pantai. Lalu kalau ada cuti selama seminggu lebih, ia pergunakan untuk berpetualang menjelajahi tempat-tempat yang telah masuk dalam daftar agendanya. Sehingga boleh dikatakan, sedikit sekali waktu yang tersisa untuk Anjar, untuk berdua-duaan. Dan dari semula Anjar sudah siap menerima konsekwensi itu. Mereka telah sepakat untuk tidak saling mengganggu kesibukan masing-masing, oleh karena itu sulit bagi Saraswati untuk bisa menerima perasaan sentimentil pria itu tentang keselamatan jiwanya dalam menjalankan tugas yang disukai dan diminatinya, meski dengan alasan kasih sayang sekalipun! Hal sebaliknya pun dirasakan oleh Anjar. Meski menyadari eksistensi gadis itu, dan semua keberadaan yang ada dalam dirinya, tetap saja ia berharap suatu saat

Saraswati akan berubah. Minimal lebih feminim dan lebih romantis, hal yang teramat jarang sekali dilakukan gadis itu. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mencintai gadis seperti itu, yang menjadikan ia sebagai kekasih nomor dua setelah tugas-tugas dan aktifitas-aktifitas yang dilakukan gadis itu. Anjar menyayanginya, dan tidak ingin ia mem- pertaruhkan nyawa demi menjalankan tugas, atau sekedar memenuhi hasrat kepenasaran. Tapi percuma saja bila ketidakinginannya itu diungkapkan lewat omongan atau larangan. Saraswati pasti menolak, seolah Anjar telah memveto kebebasannya, terlalu mencampuri urusan pribadi, dan lain sebagainya. Kalau cuma karena ketidak sesuaian pendapat tentang beberapa masalah, bukan berarti jalan keluarnya mereka harus putus. Anjar me- nyadari betul kalau hubungan mereka bukan seperti ABG, oleh karena itu ia berpikir, bagaimana caranya me- nyelesaikan persoalan itu. "Saya cari jalan yang mudah saja, Bang. Kalau tidak putus, ya cari dukun pelet yang ampuh," sahut Kusno ketika Anjar meminta pendapat padanya tentang bagai- mana caranya menundukkan pacar yang keras kepala. "Dukun, memang kamu kira akan menyelesaikan masalah?" semprot Anjar setelah ketawanya reda. "Lho, hal seperti itu sering berhasil, Bang!" bela Kusno. "Berhasil apanya? Kamu jarang baca koran dan majalah, sih. Banyak diantara dukun jaman sekarang itu palsu. Mereka cuma mengejar uang, dan hawa nafsu. Pernah dengar tentang dukun cabul, nggak?" "Ya, jangan dukun yang begituan, dong! Abang pasti lebih tahu. Lihat-lihat dulu dukunnya. Eh, bicara tentang dukun saya jadi teringat teman abang yang punya profesi itu. Dulu dia sering ke sini, kan? Saya pernah dikasih ajimat, lho dan ternyata manjur!" Kusno terkekeh.

"Siapa? Danang?" "Iya, betul!" Kemudian Kusno nyerocos tentang ajimat yang diberikan Danang, tapi Anjar tidak begitu serius mendengarkan. Ia justru punya pikiran lain tentang kawannya itu. Kenapa ia tidak teringat sebelumnya? Sebenarnya Danang bukan seperti dukun kebanyakan. Profesi utamanya adalah wiraswasta dan sekaligus kolektor barang-barang antik, ia memiliki sebuah toko yang menjual barang-barang antik. Disamping itu ia pun ahli kebatinan, dan sering mendapat pasien yang berhubungan dengan hal-hal mistik. Danang adalah kawannya ketika mereka masih di SD. Dari kecil bakatnya memang sudah terlihat. Kalau kawan- kawan lain ngeri mendatangi tempat-tempat yang angker, Danang malah sebaliknya. Ia betah nongkrong berjam-jam di tempat-tempat yang sering disebut orang sebagai tempat yang seram dan berhantu. Kalau ada kawannya yang terkilir, masuk angin, pusing, dan sebagainya ia bisa menyembuhkannya dengan memijat-mijat bagian tertentu dari tubuh kawannya itu, dan sembuh. Danang baru saja melepaskan kepergian tamunya ketika ia tiba di depan tokonya. Sobatnya itu menyambut kedatangannya dengan gembira. "Aku sebenarnya harus menemui seorang langgananku, tapi karena kau yang datang tentu mana bisa kutinggalkan begitu saja," katanya setelah mempersilahkan sobatnya itu duduk. "Gimana? Ada kemajuan dalam usahamu?" "Biasa saja. Sebenarnya aku ada keperluan sedikit padamu, dan sekaligus minta bantuan, kalau tidak keberatan." "Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu?" tanya Danang seraya mengeluarkan air es dari kulkas, dan menyediakan minuman untuk tamu dan dirinya. Anjar menceritakan persoalan yang sedang diliput oleh

Saraswati sampai kepada kejadian yang menimpa gadis itu. "Aku datang kepadamu karena ada kecenderungan yang sama seperti yang disimpulkan oleh Saraswati," tambahnya, "Bahwa peristiwa itu menyangkut sesuatu yang gaib, dan pelakunya adalah makhluk gaib. Bagaimana menurutmu?" Danang menyandarkan punggungnya di sofa sambil menghela nafas. "Ya." Ia mengangguk pelan. "Akupun mengikuti perkembangan berita itu, dan tidak menyalahkan kesimpulan Saraswati. Pelaku pembunuhan beruntun itu memang didalangi makhluk halus." "Jadi kau mengetahuinya juga?" Danang mengangguk. "Ceritanya panjang, tapi kusingkatkan saja. Menurut literatur yang pernah kubaca, juga dari legenda masyarakat tempat asal cerita itu, bermula dari sebuah kerajaan yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Sang Prabu mempunyai seorang putri yang bernama Dayang Sari. Sang Putri mempunyai kekasih bernama Wanara Bodas. Pada suatu hari, salah seorang panglima Sang Prabu yang bernama Taji Saluyu agaknya terpikat oleh Putri Dayang Sari yang digambarkan cantik jelita, maka dengan segala daya dan upaya ia berusaha merayu Sang Putri sampai akhirnya terpikat. Putri Dayang Sari benar-benar kepincuk olehnya sampai melupakan cinta Wanara Bodas yang tulus. Tapi agaknya Taji Saluyu ini seorang playboy, sebab pada hari naasnya itu ia kepergok sedang main gila dengan salah seorang selir Sang Prabu yang masih belia. Putri Dayang Sari benar-benar terhenyak dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia betul-betul sakit hati dan merasa dikhianati. Sebaliknya, Taji Saluyu entah karena merasa malu atau takut aibnya terbongkar, dia tega membunuh kedua wanita itu, lalu menimpakan kesalahan kepada Wanara Bodas..."

Anjar mengangguk-angguk mendengarkan cerita sobatnya itu. "Lalu apa hubungannya cerita itu dengan peristiwa yang terjadi belakang ini?" "Kuat dugaanku kalau roh Dayang Sari bangkit dan melakukan balas dendam." "Balas dendam? Kepada siapa? Keturunan Taji Saluyu?" tebak Anjar. "Bukan." Danang gelengkan kepala. "Dayang Sari merasa alangkah sakitnya mereka yang dikhianati. Seperti Wanara Bodas yang dikhianatinya, juga seperti ia dikhianati Taji Saluyu. Ia membuat perhitUngan kepada pasangan- pasangan yang suka berkhianat." "Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?" "Sebab Dayang Sari sempat membuat peringatan dengan darahnya sebelum ajalnya datang, bahwa ia benci dikhianati, dan ia akan menuntut balas kepada si pengkhianat sepanjang masa. Dalam literature diceritakan bahwa korban pertamanya adalah Taji Saluyu," jelas Danang. "Lalu..." Anjar diam sejenak. "Apa? Kau ingin tanya mengapa Dayang Sari sampai mencelakakan Saraswati?" Anjar diam tak menjawab. Ia khawatir bila dugaan Danang benar. Motif pembunuhan itu adalah seperti hukuman. Hukuman bagi salah seorang pasangan yang mengkhianati pasangannya. Dan kalau Saraswati sampai terancam jiwanya oleh makhluk itu berarti.... "Curiga boleh saja, tapi sebaiknya diselidiki lebih dulu," kata Danang seperti biasa membaca pikiran sobatnya itu. "Itukan baru dugaanku saja. Apakah kau mencurigai orang ketiga dalam hubungan kalian?" "Entahlah, apakah aku pantas curiga atau tidak. Tapi sepertinya Saraswati akrab dengan seorang polisi yang sering bertemu dengannya."

"Ada baiknya juga bila kau selidiki hubungan mereka." "Memata-matai?" Anjar gelengkan kepala. "Aku tidak bisa melakukannya. Itu seperti perbuatan remaja yang baru pertama mengenal cinta dan takut kehilangan kekasihnya." "Setidaknya kau boleh mencari bukti." Anjar terdiam beberapa saat lamanya, kemudian memandangi sobatnya itu sejurus lamanya. "Bukti bagaimana maksudmu?" "Ya, apa saja. Surat, tulisan, hadiah kalau memang ada. Banyak, kan? Apalagi saat ini Saraswati sedang berada di rumah sakit, kau bisa masuk ke rumahnya. Eh, jangan salah! Aku bukan mengajarimu untuk jadi maling." Saran Danang rasanya bisa diterima. Kebetulan ketika mereka sedang kasmaran tempo hari, Saraswati pernah memberikan sebuah kunci rumahnya dengan harapan Anjar bisa bebas keluar masuk rumahnya. Dan kunci itu masih disimpannya sampai saat ini meski belum pernah sekalipun digunakannya.

***

DRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI 4

IGA hari setelah pertemuannya dengan Danang, Anjar menjenguk Saraswati di rumah sakit. Menurut keterangan dokter, sore hari nanti gadis itu sudah boleh keluar dari rumah sakit. Letnan Hendri telah berada di ruangan itu saat Anjar masuk. Mereka kelihatan ngobrol serius ketika sebelumnya Anjar mengintip lewat jendela kaca dan ia tidak ingin langsung mengganggu. Baru setelah letnan polisi itu berdiri dan memandang keluar lewat jendela yang lain ia memberanikan diri masuk. "Sudah lama?" sapanya. Letnan Hendri melihat arlojinya. "Kira-kira lima belas menit. Dokter mengatakan kalau Saraswati diperbolehkan pulang sore ini." "Ya, saya telah diberitahu tadi." Anjar meletakkan bungkusan berisi buah-buahan di meja dekat tempat tidur sebelum menghampiri gadis itu. "Bagaimana keadaanmu? Sudah agak mendingan?" "Yaah," sahut Saraswati pendek, kelihatan tidak begitu bersemangat. Anjar melirik sekilas pada letnan polisi itu, dan yang dilirik agaknya mengerti kemudian segera angkat kaki. "Sebaiknya kau harus banyak istirahat, bahkan kalau T

perlu mintalah cuti," katanya sebelum menutup pintu. Saraswati cuma tersenyum. Matanya masih melirik ke arah pintu meskipun sudah tertutup. "Letnan Hendri menaruh perhatian besar padamu...." Saraswati mengalihkan perhatian pada Anjar yang mem- belakanginya, mengambil sebuah apel kemudian me- ngupaskannya kecil-kecil untuk disuapkan pada gadis itu. "Aku masih kenyang, nanti saja." "Baiklah." Dengan perasaan kecewa Anjar meletakkan apel itu kembali ke meja, lalu melangkah ke jendela yang mengarah keluar. Keduanya terdiam sesaat lamanya sebelum pria itu kembali bicara. "Langit agak gelap, mungkin siang nanti akan turun hujan," katanya seperti bicara pada diri sendiri, lalu menoleh pada gadis itu. "Kau ingat ketika pertemuan kita yang pertama kali? Waktu itu hari sedang hujan dan kau masuk ke dalam tokoku...." "Maaf, Anjar. Aku sedang tidak berselera untuk ber- nostalgia," tukas gadis itu. Pria itu tersenyum, perlahan menghampiri gadis itu setelah menyeret sebuah kursi dan duduk persis di bibir ranjang. "Baiklah, apa yang saat ini kau suka? Pem- bicaraan tentang persoalan yang sedang kau liput, atau tentang Letnan Hendri?" Sepasang bola mata gadis itu agak melebar ketika wajahnya menyiratkan kegarangan. "Oke, oke! Jangan marah dulu. Aku toh datang ke sini untuk menjenguk dan sekaligus menghiburmu. Dulu ketika aku sakit nenek sering menghiburku dengan menceritakan dongeng-dongeng. Eit, jangan potong dulu!" tukas Anjar ketika gadis itu hendak menyela. "Nah, kali ini aku akan mendongeng untukmu tentang seorang putri raja bernama Dayang Sari. Tersebutlah kisah Putri Dayang Sari mem- punyai seorang kekasih yang amat mencintainya dengan

setulus hati. Pria itu bernama Wanara Bodas. Ia seorang pria biasa-biasa saja, juga sikapnya terhadap wanita. Berbeda dengan Taji Saluyu, salah seorang pembantu dekat Sang Raja. Ia seorang pria perayu dan amat romantis, sehingga Dayang Sari kepincut padanya dan me- remehkan Wanara Bodas. Tapi suatu hari ia menemukan Taji Saluyu sedang main gila dengan salah seorang selir Sang Raja. Putri. Dayang Sari geram bukan main. Ia merasa dikhianati. Sebaliknya Taji Saluyu merasa khawatir perbuatannya itu dilaporkan kepada Sang Raja, maka iapun membunuh kedua wanita itu untuk menghilangkan jejak....." "Cukup! Tidak perlu diteruskan!" teriak Saraswati. Anjar langsung terdiam. Dipandanginya gadis itu untuk- beberapa saat larnanya. Saraswati sendiri merasa kalau ia agak keterlaluan. Selama ini belum pernah ia membentak begitu lantang kepada Anjar. Perlahan ia memalingkan wajahnya. "Kenapa, Saras? Ada apa denganmu?" "Tidak ada apa-apa. Aku cuma tidak ingin kau memperlakukanku seperti anak kecil," sahutnya tanpa menoleh. "Bukan itu yang ingin kutanyakan, tapi mengapa aku mencium bau pengkhianatan dalam hatimu." Gadis itu kembali bepaling, dan kini sepasang matanya memandang tajam pada pria itu. "Apa yang kau maksudkan?"' "Bau pengkhianatan," tegas Anjar seraya bangkit dari duduk dan membelakangi gadis itu saat melangkah tenang ke jendela. "Sabtu, 2 Juni: Kujemput kau di restoran. 5 Juni: Aku senang kau mau datang ke rumahku dan ber- kenalan dengan kedua orang tuaku. 10 Juni: tidak apa kalau kau belum bisa memutuskan, tapi ketahuilah aku mencintaimu. 17 Juni: Aku senang kau mau menerima

ajakanku untuk nonton." Anjar menghela nafas sesaat. "Aku tidak tahu tulisan siapa itu, yang jelas aku tidak pernah melihat tulisanmu seperti itu." "K...Kau...!" "Sepanjang bulan Juni banyak sekali catatan-catatan," tukas Anjar tak peduli apa yang hendak diucapkan gadis itu. "Demikian pula pada bulan Juli, Agustus, dan September. Kemudian aku melihat banyak sekali hadiah yang disembunyikan dalam lemari. Tak perlu disebutkan hadiah-hadiahnya, tapi aku tertarik pada tulisan yang menempel di hadiah itu, seperti: My Dear, Saras. Untuk Sarasku. Mudah-mudahan Sayangku senang, dan lain sebagainya. Dan diakhir kalimat selalu tertulis: H-e-n-d-r-i," lanjut Anjar mengeja kata terakhir yang diucapkannya. "Cukup! Kau sungguh keterlaluan!" semprot Saraswati garang. "Lancang sekali kau membuka-buka buku diary dan lemariku. Tidak kusangka kau akan melakukan perbuatan rendah itu," cibirnya sinis. Anjar membalikkan tubuh. Wajahnya datar, seolah tak mempedulikan kejengkelan gadis itu. "Perbuatan rendah? Kau seorang wartawati, pasti bisa mendefinisikan dua kata itu dan apa saja yang termasuk katagorinya. Apakah seorang wanita yang telah mempunyai kekasih kemudian berselingkuh dengan pria lain termasuk dalam katagori dua kata itu?" Hela nafas gadis itu terasa panas, seolah hendak membakar tubuh Anjar hidup-hidup. Untuk sesaat ia tak tahu apa yang harus dikatakannya selain mendelik garang pada pria itu. "Saras, tenanglah. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kalau ada persoalan mestinya kan bisa dibicarakan...." "Apakah sebaiknya nasehat untuk dirimu saja? Tidak ada angin tidak ada hujan, kau masuk ke rumahku kemudian membongkar privacyku, ada apa denganmu?"

"Ada apa? Apakah kau kira aku ini makhluk bernyawa yang tidak memiliki perasaan? Atau barangkali kau ber- harap perasaanku memang tidak ada? Apakah kau mengira aku tidak merasakan perubahan sikapmu ter- hadapku belakangan ini, atau tepatnya sejak bulan Juni?" "Cukup! Kau mengada-ada dan mengarang suatu pembelaan untuk melegalisir apa yang telah kau perbuat atas hak privacyku. Sekarang pergilah. Diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Kau bebas tidak perlu khawatir dan was-was memikirkanku, sebaliknya akupun bebas melakukan apa saja yang sudah biasa kulakukan sebelum bertemu denganmu!" tegas Saraswati. Anjar tersenyum. "Aku benar, jadi sebenarnya memang keputusan seperti itu yang kau inginkan. Baiklah, diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Tapi sebelum aku pergi dari kamar ini, juga pergi dari hatimu, ingatlah: dongeng yang kuceritakan tadi suatu legenda yang ada kaitannya dengan liputanmu tentang makhluk gaib itu. Dan satu hal terpenting, kau harus pandai jaga diri, sebab kali ini giliranmu! Waspadalah terhadap orang terdekatmu." "Bila benar itu pasti kau!" tuduhnya enteng. "Mungkin saja," angguk Anjar seenteng tuduhan gadis itu, kemudian angkat bahu. "Tapi apakah aku mempunyai wajah pembunuh? Lalu apa motifnya? Karena cemburu? Hm, itu terlalu sepele. Aku yakin sepenuhnya Anjar bukanlah tipe pria seperti itu. Aku bukanlah seorang idealis dalam bercinta, tapi realis. Bila seorang wanita sudah tidak menyukaiku, maka aku akan mencari wanita yang menyukaiku, sebab aku yakin dunia ini masih banyak makhluk dari jenis wanita. Yang cantik banyak, yang baik tersedia, dan yang setia pun ada. Mungkin ini agak menyimpang dari hukum kebiasaan manusia tentang percintaan karena mereka beranggapan cinta adalah milik mutlak perasaan. Tapi bagiku soal cinta adalah

keseimbangan antara perasaan dan akal," lanjut Anjar mengakhiri kalimatnya dan langsung menutup pintu tanpa mempedulikan jawaban gadis itu. Betapapun, dan apapun yang diucapkannya kepada Saraswati tetap saja Anjar tidak bisa membohongi diri sendiri. Ia memang mencintai gadis itu, dan keputusan yang telah mereka jatuhkan bersama tentang hubungan yang selama ini dibina teramat menyakitkan. Meski begitu ia berusaha untuk konsekwen dengan apa yang telah diucapkannya, sebab terlalu mengikuti perasaan bisa mencelakakan diri sendiri. "Aku sudah bisa menduganya," komentar Danang ketika mereka kembali bertemu sore ini. Anjar merasa enggan pulang ke rumah, juga enggan ke toko, dan entah mengapa kakinya begitu kuat mengajaknya ke tempat sahabatnya itu. "Apa kau merasa menyesal telah bertemu denganku sehingga kau mengambil keputusan seperti itu yang kemudian berakibat fatal dengan berakhirnya hubungan kalian?" Anjar tidak langsung menjawab. Perlahan disulutnya sebatang rokok, kemudian mempermainkan asapnya. "Apakah kau yakin ia akan menjadi korban?" tanyanya sambil memandang sobatnya itu seolah tidak mempeduli- kan pertanyaan Danang tadi. "Kenapa? Kau khawatir?" "Entahlah. Aku cuma tidak ingin dia menjadi korban..." sahut Anjar agak gelisah. "Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mencegahnya." Danang terdiam, menarik nafas agak panjang sebelum bicara. "Apakah itu berarti kau masih mencintainya? Atau kau ingin menolong sekedar rasa kemanusiaan?" "Aku teringat ceritamu. Menurutmu seandainya Wanara Bodas mengetahui kalau Taji Saluyu akan membunuhnya apakah ia mau menolong?"

"Sayang sekali. Menurutku Wanara Bodas tidak berpikir ke arah itu. Logikanya mengatakan kalau Taji Saluyu akan mencintai dan melindungi Dayang Sari. Dan menurutkupun itu masuk di akal". "Memang. Tapi saat ini situasinya sedikit berbeda. Akupun percaya kalau Letnan Hendri tidak akan membunuh Saraswati. Tapi bila roh Dayang Sari menyusup ke dalam raganya, apakah ia mampu menahannya? Ironis sekali kan? Dan aku tidak sanggup membayangkannya." "Mengapa kau begitu yakin kalau roh Dayang Sari akan menyusup ke dalam raga Letnan polisi itu?" "Pada liputannya yang terakhir, Saraswati berhasil memotret wajah makhluk itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mencuci film dari jepretan kameranya. Dan saat aku menggeledah rumahnya, aku sempat masuk ke kamar gelapnya, kemudian melihat hasil fotonya...." "Jadi...?!" tukas Danang kaget seperti telah mengetahui kelanjutan kalimat sobatnya itu. "Betul! Foto yang dijepret Saraswati adalah letnan polisi itu," sahut Anjar menjelaskan. Danang tercenung seperti memikirkan sesuatu. Kemudian setelah itu dipandanginya wajah Anjar sejurus lamanya. "Apakah... kau menyimpan foto itu?" Anjar mengangguk. "Aku tidak mempunyai maksud apa- apa. Entahlah apakah yang kulakukan itu salah atau benar. Mungkin saja Saraswati mencintai letnan polisi itu, dan bila ia sempat mengetahui, atau memang sudah melihatnya, ia tentu akan sangat kecewa. Aku cuma tidak ingin ia kecewa...."Danang tersenyum sambil gelengkan kepala. "Kadang-kadang sulit bagiku untuk mengerti cara berpikirmu. Di jaman sekarang ini orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, dan bila ada lawan menghadang, ia akan berusaha menjegalnya mati-matian. Tapi yang kau lakukan justru menutupi kelemahan lawan

untuk melanggengkan hubungan lawanmu dengan kekasihmu...." "Mantan," tukas Anjar meralat. "Apapun nama yang kau berikan aku yakin Saraswati masih tetap berada di hatimu." "Setidaknya aku tidak berada lagi di hatinya." Keduanya terdiam untuk beberapa saat lamanya sebelum Anjar kembali bicara. "Bagaimana menurutmu? Apakah tidak berlebihan bila aku berniat membantunya?" "Itu terserahmu. Sebagai teman aku berusaha mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku." Danang angkat bahu. "Hanya saja kuperingatkan, jangan berharap terlalu banyak kalau kau mampu mengatasi persoalan ini." "Aku berhadapan dengan dunia yang berbeda, dan oleh karena kutahu kau mengerti lebih banyak dariku soal-soal seperti itu maka aku minta dukunganmu." "Seperti yang telah kukatakan, aku akan mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku." "Terima kasih, Nang. Sekarang apakah kau punya ide langkah apa yang pertama kali harus kita lakukan?" Danang bangkit berdiri kemudian memberi isyarat pada sobatnya itu untuk mengikutinya ke sebuah kamar. Danang duduk bersila di atas hamparan permadani kecil dan menghadap ke salah satu tembok pada jarak sekitar dua meter. Sementara Anjar duduk di belakangnya agar menyerong sadikit ke kanan. Suasana ruangan begitu temaram dan hanya diterangi cahaya lampu lima watt warna biru. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh sahabatnya itu, sebab hal seperti ini belum pernah dilihatnya. Hanya saja Anjar pernah membaca dan mendengar bila suasana seperti ini maka seseorang akan

berhubungan dengan makhluk dari dunia yang berbeda, dari dimensi lain. Apakah itu artinya Danang mengajaknya untuk berhubungan dengan makhluk halus? Atau lebih tepatnya dengan Dayang Sari? Apakah ia punya kekuatan untuk melakukan hal itu? Ruangan itu hanya memiliki ventilasi kecil yang ditutupi oleh kawat nyamuk sehingga udara terasa pengap dan sedikit panas. Kalau saja Danang sampai membakar kemenyan mungkin ia tidak akan tahan berlama-lama di sini. Tapi syukur saja kawannya itu tidak melakukannya. Suasana masih terasa hening. Ia tidak berani meng- ganggu Danang meski untuk suatu pertanyaan seperti, apa yang sedang dilakukannya? Tapi perlahan terasa ruangan itu dipenuhi hawa magis. Ia sulit menjelaskannya dengan kata-kata, ataukah mungkin itu cuma perasaannya saja? Atau barangkali ilusi mata? Yang jelas ia melihat ada semacam kabut yang datang dari arah ventilasi memenuhi isi ruangan. Tidak menyesakkan nafas, juga tidak- memerihkan mata. Kabut itu bergulung di lantai membentuk ketinggian sekitar dua jengkal. Tak lama kemudian terdengar suara koor yang sayup-sayup terdengar, seperti datang dari kejauhan, ditingkahi suara gending yang mengalun lambat. Kabut yang menggumpal di lantai bergoyang-goyang seperti riak ombak. Suasana seperti itu berlangsung kurang lebih sepuluh menit, sebelum ia dikagetkan oleh sebuah sinar kecil yang melesat cepat ke dalam ruangan melewati ventilasi. Berputar-putar di atas kepala mereka kemudian meng- gantung di hadapan Danang. Anjar bisa memastikan kalau sinar yang memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan itu cuma sebesar kelereng yang paling besar. Tidak terdengar olehnya percakapan, kalaupun sinar itu bisa bicara. Yang jelas tidak berapa lama kemudian sinar itu bergulung-gulung sebelum akhirnya kembali melesat

keluar. Keluarnya sinar itu melewati ventilasi diikuti oleh kabut yang tadi menggenangi lantai ruangan. Dan bersamaan dengan itu suara koor dan gending yang tadi sempat terdengar perlahan-lahan menjauh sampai akhirnya kembali tidak terdengar. Ruangan itu kembali sepi seperti semula. Anjar masih belum mengerti apa yang telah terjadi ketika Danang membalikkan badan dan berhadap-hadapan dengannya masih tetap dalam posisi duduk menyila. "Kau telah melihatnya tadi, kan? Roh Dayang Sari telah datang menemui kita." "Roh Dayang Sari?" Dahi Anjar berkerut. Apakah sinar hijau kebiru-biruan itu yang dimaksudkan Danang? Apakah wujud roh memang begitu? Hal itu masih tanda tanya besar di benaknya. Tapi Anjar tak bermaksud mengusik kalimat berikut yang dilontarkan sahabatnya itu. "Itu telah menjadi komitmennya, dan bagaimanapun ia akan melakukannya. Sumpahnya tak bisa dicabut, dan rasa sakit hatinya belum lagi terobati entah sampai kapan." Anjar masih membisu, tenggelam dalam prasangka- prasangka yang ada dalam benaknya. "Siapa pun yang menyeleweng dan mengkhianati pasangannya, maka orang itu akan menjadi korbannya. Tak peduli halangan apa yang akan dihadapinya. Dia menyarankan agar kita tidak ikut campur dalam urusan- nya." "Apakah itu suatu peringatan atau ancaman?" tanya Anjar akhirnya. "Bisa kedua-duanya." "Jadi... kau sungguh-sungguh berkomunikasi dengan- nya?" Danang mengangguk. "Sumpah itu keluar dari mulutnya sendiri. Apa halangan-

nya untuk mencabut sumpahnya sendiri, sebab ia tidak bersumpah kepada siapapun sehingga apabila sumpah itu dicabut, tidak ada yang merasa kecewa dan dirugikan?" "Kau tidak mengerti. Sumpah seperti itu disaksikan langit dan bumi, dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Kepada merekalah ia bersumpah. Selagi dunia ini masih ada, maka sumpahnya masih tetap akan berlaku. Lagipula, tidak ada gunanya mendebatkan soal itu sebab bagaimanapun ia akan tetap melaksanakan apa yang telah menjadi keputusannya." Anjar kembali terdiam. Diam-diam ia bergidik ngeri membayangkan nasib yang akan menimpa Saraswati kalau benar ia menjadi incaran roh Dayang Sari. Lalu apa yang bisa dilakukannya untuk mencegah hal itu terjadi? Minta bantuan pada Danang? "Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mencegahnya," kata Danang angkat bahu seperti mengerti jalan pikiran sahabatnya itu. "Apakah... bila kau memaksakan diri akan... mem- bahayakan jiwamu?" tanya Anjar ragu. "Bisa saja terjadi." Anjar mengeluh dalam hati. Apa yang kini harus diperbuatnya? Di satu sisi ia tak ingin Saraswati celaka, tapi di sisi yang lain ia pun tidak menghendaki Danang celaka karena terpaksa harus membantunya. Lagipula ia tidak punya hak untuk memaksa sahabatnya itu membantu persoalannya. "Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan Saraswati, Nang?" "Entahlah. Jika saja ia tidak melanjutkan penyelewengannya, mungkin saja tidak akan terjadi. Tapi jangan salah, kemungkinan itu tetap sebuah kemungkinan yang berarti bisa salah, bisa juga benar. Seandainyapun setelah itu ia kembali lagi padamu juga bukan merupakan

jaminan kalau ia akan selamat." "Suatu pilihan yang sulit," desah Anjar menghela nafas berat. Apa yang mesti dilakukannya? Menguntit ke mana langkah Saraswati sehingga sebisa mungkin menyelamat- kannya, atau membiarkan segala sesuatu terjadi dengan sendirinya. Kalaupun ia hidup ataupun tewas sebagai korban, toh nanti takdir yang akan bicara.

***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI 5

AKTU telah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika ia tiba di rumah. Di halaman depan tengah terparkir sebuah motor trail. Ia tahu betul, itu adalah motor Saraswati.Tapi ada apa gadis itu malam- malam ke rumahnya? Tiba di ambang pintu dilihatnya gadis itu sedang ngobrol dengan Kusno. Sambil texsenyum ia duduk di hadapan gadis itu. "Sudah lama?" "Kurang lebih dua jam yang lalu," sahut Saraswati tanpa ekspresi. "Seharusnya kamu istirahat di rumah." Anjar melihat kalau leher gadis itu masih dibalut perban meskipun ada syal dari rajutan wol yang melilit di situ. "Mestinya begitu, tapi karena keperluannya mendesak aku memaksakan diri ke sini," sahut gadis itu masih dengan nada datar sambil melirik pada Kusno. Yang dilirik seperti mengerti dan langsung, angkat kaki ke belakang. "Saya permisi dulu, Bang. Tadi sedang membetulkan saluran air di kamar mandi. Belum kelar. Mari, Mbak." Anjar mengangguk kecil, sedang Saraswati diam saja tak bereaksi. W

"Tidak perlu setegang itu. Ada apa? Katakan saja." "Aku minta foto-foto yang kau ambil dari rumahku dikembalikan. Tidak ada gunanya bagimu!" tandasnya dengan sorot mata tajam perwujudan rasa sinis di hatinya. "Foto yang mana?" Anjar pura-pura tidak mengerti. "Foto-foto yang sedang kukeringkan di kamar gelap!" "O, itu? Ya, aku mengerti. Tapi mengapa kau begitu yakin kalau aku yang mengambil foto-foto itu?" "Tidak usah berbelit-belit! Kembalikan saja dan aku segera angkat kaki dari sini." "Bagaimana mungkin kau meminta sesuatu dari seseorang yang kau sendiri tidak mempunyai bukti kalau orang itu telah mengambilnya dari tempatmu?" "Anjar, jangan bermain-main! Aku memerlukan foto-foto itu. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan kau?" Anjar menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin seorang warta- wati sepertimu menulis sebuah berita tanpa mengadakan investigasi yang teliti, kemudian mencap kalau berita yang ditulisnya adalah benar. Dimana letak tanggung jawabmu terhadap pembaca?" "Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan foto-foto itu. Lekas, berikan saja foto-foto itu atau...." "Atau apa? Kau ingin melaporkannya ke Pak Polisi?" Nada bicara Anjar agak sinis ketika mengucapkan dua kata terakhir. "Kau masuk ke rumahku tanpa ijin, dan dengan seenak- nya membongkar-bongkar arsip-arsip rahasia yang me- nyangkut masalah privacy. Itu suatu pelanggaran serius." Anjar tertawa kecil "Kau belum paham juga kalau aku amat teliti dalam bekerja? Siapa yang akan mempercayai ceritamu itu? Barang-barang masih berada di tempatnya kecuali foto-foto itu, dan jangan katakan kalau aku yang mengambilnya, sebab kau akan kecewa karena tidak bisa

membuktikannya. Ingat, orang lain bisa masuk ke tempat- mu dan mengancam keselamatanmu. Padahal ia tidak punya kunci rumahmu. Sedangkan aku masuk ke rumah- mu dengan kunci yang langsung diberikan olehmu. Apakah kau hendak membuat pernyataan bahwa aku telah me- rampas kunci rumahmu? Silahkan laporkan kepada polisi!" Saraswati memandang pria itu dengan sorot mata yang tajam sekali. Entah mengandung kebencian ataukah dendam. Atau mungkin kedua-duanya. "Kita telah sepakat bahwa diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi...." "Apakah di dalamnya termasuk persahabatan?" tukas Anjar. "Berarti dengan kata lain kau hendak menjadikan aku sebagai musuh, minimal orang asing yang tidak dikenal?" "Aku tidak mengatakan begitu." Suara Saraswati agak melunak. "Mengingat hubungan kita yang pernah ada, maka aku mohon kau kembalikan foto-foto itu kepadaku." "Mengingat juga hubungan kita yang pernah ada, aku melakukan sesuatu yang terbaik untukmu. Jangan ber- prasangka buruk terhadapku, dan jangan pernah menuduh aku membencimu. Semua yang pernah dan akan kulaku- kan untukmu adalah demi kebaikanmu sendiri." "Aku tidak ingin berbelit-belit, Anjar. Tolong kembalikan saja foto-foto itu kepadaku." "Saras, coba dengarkan aku!" Nada bicara Anjar ter- dengar lebih serius. "Kau sedang menghadapi sesuatu yang bisa mengancam jiwamu. Biarkan aku menolong- mu...." "Kau akan sangat menolong bila mengembalikan foto- foto itu padaku." "Foto-foto itu tidak akan menolongmu, tapi malah akan membuatmu panik." "Dari mana kau tahu? Kau bukan Tuhan yang bisa

mengetahui apa yang akan terjadi nanti." "Memang betul. Tapi apakah kau belum melihat isi foto- foto itu?" "Yang kutahu aku amat membutuhkannya!"" tegas gadis itu. "Meskipun kau belum mengetahui isi foto itu?" "Sudahlah, Jar. Aku tidak mau terus berdebat dengan- mu. Kembalikan foto-foto itu. Tidak ada gunanya bagimu. Kau akan sangat menolongku bila mengembalikan foto- foto itu," ulang Saraswati. Anjar terdiam. Ia jadi ragu apakah Saraswati mengetahui isi foto itu atau tidak. Kalau memang ia mengetahuinya, berarti ia bermaksud menyembunyikan seseorang yang berada datam foto-foto itu. Tapi kalau ia tidak mengetahui- nya, Anjar bisa membayangkan kalau gadis itu akan sangat panik nantinya. "Foto itu tidak ada padaku. Kau sia-sia datang ke sini kalau cuma karena itu!" tegasnya. Ia telah mengambil keputusan tidak akan menyerahkan fotofoto itu pada Saraswati. "Jadi kau tidak mau mengembalikannya?!" "Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apakah pendengaranmu juga ikut terganggu akibat makhluk itu?" Saraswati mendengus sinis seraya bangkit berdiri. "Baiklah. Kalau kau tidak mau menyerahkannya secara baik-baik maka aku akan memperkarakan masalah ini. Selamat tinggal." Gadis itu terus berlalu keluar. Dan tak berapa lama terdengar raungan motornya meninggalkan halaman rumah. Dengan membawa perasaan jengkel yang memuncak sampai ke ubun-ubunnya, Saraswati melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia betul-betul sebal melihat tingkah Anjar. Meskipun tak ada bukti, tapi ia merasa yakin kalau Anjar yang telah mengambil foto-foto itu dari rumah-

nya. Kalau bukan, lalu siapa?" Anjar telah membongkar lemari rahasia yang menyimpan arsip-arsip hubungannya dengan Letnan Hendri. Dan bukan tidak mungkin pria itu telah menggeledah seluruh isi rumahnya termasuk kamar gelap di mana foto-foto itu sedang dikeringkannya sebelum makhluk terkutuk itu datang dan menganiayanya. Seekor kelelawar terbang cepat melintas di depan persis dekat wajahnya. Saraswati kaget bukan main dan reflek memalingkan muka sambil memejamkan mata. "Binatang keparat!" gerutunya geram. Tapi belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak melintas seekor kucing yang menyeberangi jalan. Ia yang sudah begitu kesal, tidak mempedulikannya dan langsung menabrak hewan itu. Tapi ajaib, kucing itu tiba-tiba saja menghilang. Raib entah ke mana. Gadis itu merasa heran, dan melambatkan laju motornya sebelum berhenti sama sekali. Ia yakin betul dengan pandangan matanya kalau kucing tadi persis berada di depan ban, dan menurut perhitungan, hewan tadi pasti tergilas. Tapi aneh, karena ia sama sekali tidak melihat bangkai kucing itu. Ketika melirik jam tangannya waktu menunjukkan pukul sebelas lewat beberapa menit. Ia tidak sedang berada di tengah hutan, tapi sebaliknya bpeada di tengah kota. Namun suasana sepi tempat itu persis seperti kota mati. Tak satupun sejak tadi ia berpapasan dengan pengendara motor lain ataupun mobil. Ini sungguh aneh! Karena meski larut malam sekalipun daerah ini tetap ramai. Ia mengingat-ingat, malam apa sekarang? Benar, malam Jum'at. Entah Kliwon, Legi, atau Pahing, ia tidak tahu. Tapi apakah ada hubungannya? Suara anjing terdengar melolong dari kejauhan. Entah mengapa bulu kuduknya merinding. Ada perasaan ngeri yang tiba-tiba saja merayap ke tubuhnya. Saraswati

menstarter motor. Tak menyala! Ia mencoba sekali lagi, tapi tetap tidak ada tanda-tanda kalau motornya mau bergerak. Ia berusaha mendorongnya, tapi entah mengapa motor itu terasa berat sekali. Seolah tidak mau bergeser sedikit pun dari tempatnya. "Brengsek! Ada apa dengan motor ini?" umpatnya geram setelah memeriksa busi, platina dan lain sebagainya. Bahkan bensinnya pun terisi penuh. Rem berfungsi baik. Lalu apa yang menjadi masalah? Belum lagi ia menemukan jawaban, mendadak ter- dengar suara gending dari kejauhan, yang perlahan-lahan mendekat. Ini mengherankannya, karena ia tidak melihat ada tanda-tanda orang yang sedang hajatan di sekitar situ. Dari mana datangnya suara itu? Bulu kuduknya semakin tegak berdiri, dan rasa takut semakin menjadi-jadi menyelimuti hatinya. Pertanda apa ini? Atau barangkali ia sedang bermimpi? Tapi... ah, tidak. Ini kenyataan. Pada saat itu terlihat cahaya terang dari depan, perlahan mendekatinya, membuatnya silau. Reflek ia memejamkan mata. Tapi ketika ia hendak membukanya lagi, cahaya itu te!ah berada di dekatnya, berputar-putar mengelilingi sambil menimbulkan suara bising yang memekakkan telinga. Di antara suara bising itu terdengar lapat-lapat satu suara yang memanggilnya berulang-ulang. "Saraswati... Saraswati...!" "Siapa itu? Siapa yang memanggilku?!" teriak gadis itu berputar-putar mencari arah datangnya suara. "Saraswati.... Kau penghianat. Kau pengkhianat...!" "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan?" "Saraswati... pengkhianat. Pengkhianat harus mati! Pengkhianat harus mati!" Jantungnya seperti berhenti ber- detak, dan tubuhnya terasa melayang dengan ringan ketika cahaya yang mengelilinginya dengan cepat semakin men- dekat. Terasa udara panas yang menyengat kulit, dan paru-

parunya sesak untuk bernafas. Dan dengan satu sentakan keras, terasa sesuatu mencekik lehernya dengan kuat sekali. Meski gadis itu mati-matian mempertahankan diri, tapi tetap saja ia tidak mampu berbuat satu apapun untuk menghindar dari sesuatu yang mencekiknya. Lapat-lapat sebelum kesadarannya hilang sama sekali terdengar olehnya suara teriakan yang mengguntur. "Jangaaan...!!" Ia tidak mengetahui berapa lama berada di sini. Namun ketika terjaga, suasananya berubah total. Seluruh ruangan terlihat putih bersih. Ketika melirik ke samping, terlihat seraut wajah yang dibencinya. Seketika itu juga ia memalingkan muka. "Syukurlah kau te!ah sadar," ucap Anjar lega. "Hampir dua puluh empat jam kau tidak sadarkan diri. Tidak perlu banyak bicara, karena ada sedikit kerusakan pada tenggorokanmu. Dokter mengatakan bahwa kau masih perlu dirawat agak lama di sini. Akupun menganjurkan begitu. Aku sudah menghubungi pimpinan redaksimu. Siang tadi beliau datang ke sini menjengukmu, tapi kau belum siuman." Saraswati diam saja. Dia melirik lengannya yang di- hubungkan dengan tabung infus. Seandainya pun ia leluasa berbicara, rasanya enggan untuk menimpali ocehan pria ini. "Sepulangnya kau dari rumahku," sambung Anjar, "Aku merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi padamu, maka secepatnya kau kuikuti. Ternyata benar saja. Aku bersyukur bisa datang tepat pada waktunya." Gadis itu kembali memalingkan muka, menatap pria itu seolah hendak minta penjelasan apa yang telah terjadi pada dirinya. Tapi dilihatnya pria itu bukannya memberikan jawaban, malah bangkit berdiri memunggunginya. "Aku tahu kau tidak menginginkan kehadiranku di sini.

Tidak apa. Aku permisi dulu." katanya melangkah tenang menuju pintu. Tapi sebelum keluar ia sempat menoleh." Barangkali kau membutuhkan kehadiran Letnan Hendri untuk menghiburmu. Aku telah menghubunginya sejak jam delapan tadi pagi. Tapi tidak bertemu langsung dengannya. Seseorang yang mengangkat telepon mengatakan kalau ia sedang pergi, maka aku titip berita saja bahwa kau berada di sini. Mudah-mudahan dia mau datang menjengukmu. Selamat malam. Selamat istirahat." Setelah itu ia terus berlalu, tak peduli ketika Saraswati berusaha mengangkat sebelah lengannya sebagai isyarat untuk menahannya sesaat. Saraswati hanya bisa memandangi punggung pria itu sebelum pintu tertutup. Ia menghela nafas berat. Pikirannya berkecamuk ditambah lagi kepalanya agak sakit seperti terkena benturan keras. Berdenyut-denyut. Apa yang telah terjadi padanya malam itu? Ia merasa maut telah begitu dekat dengannya, sebelum teriakan keras itu membuyarkan segalanya. Siapa yang berteriak itu? Anjarkah? Apakah ia sengaja datang untuk menolongnya? Untuk apa? Setelah mengetahui perselingkuhannya dengan Letnan Hendri, apa pedulinya lagi terhadap dirinya? Anjar pasti merasa sakit hati, lalu apa gunanya dia menolong? Ia tidak tahu apakah hubungannya dengan letnan polisi itu pantas disebut perselingkuhan? Mereka tidak melaku- kan hal-hal yang diluar batas, tapi memang, ia merasa tertarik dengan pria itu. Letnan Hendri terlihat lebih gagah dan berwibawa. Dan kebersamaan mereka selama ini membuat kedua hati semakin terpaut erat. Tetapi bukan berarti ia melupakan Anjar. Semula ia tidak membenci pria itu, sampai ketika dianggapnya Anjar terlalu lancang meng- acak-acak rahasia pribadinya. Dan menurutnya hal itu sudah melewati batas, dan menumbuhkan kebencian. Tapi

benarkah ia begitu benci pada pria yang pernah dicintai- nya? Pernah? Kalau ada perkataan itu berarti definisinya saat ini ia tidak lagi mencintainya, kemudian yang menjadi pertanyaan mendasar di lubuk hatinya: apakah ia tidak lagi mencintai Anjar? Pertanyaan itu belum terjawab olehnya ketika pintu di- ketuk. Seorang pria berseragam polisi masuk ke dalam. Dalam kecemasan raut wajahnya tersungging senyum manis begitu wajah mereka berpapasan. "Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa, bukan?" tanyanya cemas sambil meremas-remas jari-jemari gadis itu. Saraswati tersenyum kecil, dan berusaha menggeleng lemah. Ia memberi isyarat lewat telunjuk ke arah teng- gorokannya yang masih diperban. "Kenapa? Kau mengalami peristiwa mengerikan itu lagi?" Gadis itu hendak bicara, tapi tenggorokannya terasa sakit sekali. Pita suaranya seperti tak mau bergetar. "Ya, ya. Kau tidak perlu bicara. Dokter telah mem- beritahukan kondisimu padaku. Aku menyesal sekali tak ada saat kejadian itu menimpamu." Saraswati diam saja. Diperhatikannya wajah pria itu yang muram. Ada bias dendam dan kebencian yang me- nyelimuti parasnya. Disamping itu tampak pula lukisan ke- kecewaan serta penyesalan karena merasa ia tidak mampu menolong gadis itu. "Masalah ini semakin membuatku bingung," ujarnya setelah beberapa saat membisu. "Pagi tadi aku mengurus korban baru. Kejadiannya mungkin selisih beberapa jam setelah kejadian yang menimpamu. Metoda yang dilakukannya sama seperti sebelumnya." Saraswati mendengarkan dengan seksama dan penuh minat. Terlihat pada raut wajahnya, kalau kasus itu sama

sekali tidak menyurutkan tekadnya untuk menyelidiki per- masalahan sampai tuntas, meski ia sendiri hampir saja menjadi korban. "Kau akan kaget kalau kuberitahu siapa korban itu..." lanjut letnan polisi itu murung. "Dia adalah Maya...." Bola mata Saraswati mendelik lebar mendengar kata terakhir yang diucapkan Letnan Hendri. Maya? Bukankah itu gadis yang mereka jadikan umpan untuk menjebak pelaku pembunuhan itu? "Nasibnya memang tragis. Padahal kondisinya belum lagi membaik. Aku sungguh menyesal tidak menjaganya dengan baik, dan merasa berdosa melibatkan ia dalam permasalahan ini." Berdosa? Bukan cuma pria ini saja yang merasakannya, tapi Saraswati pun merasakan hal yang sama. Bukankah ide itu berasal darinya? Hanya saja memang bukan ia yang memilih Maya, dan kalaupun nama itu muncul dan ber- sedia menjadi umpan, ia tidak tahu apa kriteria Letnan Hendri sampai memilihnya. "Aku tetah mencari paranormal handal untuk membantu kita dalam menuntaskan masalah ini," lanjut letnan polisi itu setelah kembali terdiam sejurus lamanya. "Bagaimanapun pelakunya harus dibekuk!" Saraswati tersenyum kecil, seolah hendak meng- godanya. Dan letnan polisi itu mengerti apa yang ada di benak gadis itu. "Ya, paling tidak dimusnahkan," sambung pria itu. Pada saat itu muncul seraut wajah cantik di ambang pintu. Saraswati mengerutkan dahi. Ia sama sekali belum pernah melihat wajah itu sebelumnya. "Oh, maaf! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian," kata Letnan Hendri ketika mengikuti arah pandangan Saraswati, kemudian memberi isyarat pada si gadis yang berada di ambang pintu itu untuk masuk ke dalam. "Kami

datang berdua ke sini. Ini Christine, sepupuku. Pagi tadi ia baru datang dari Amerika. Christine kuliah pada jurusan Anthropologi, dan khususnya pada budaya bangsa-bangsa Timur." Letnan Hendri memperkenalkan keduanya. Saraswati merasakan jabatan tangan gadis itu yang hangat dan erat, penuh persahabatan. Diamatinya sekilas. Wajahnya mirip bintang film kenamaan: Paramitha Rusady, tapi Christine memiliki kelebihan pada tinggi badannya. "Mas Hendri banyak cerita tentang Anda pada saya, dan menurut saya tidak berlebihan bila ia mengatakan Anda cantik. Kenyataannya memang demikian," puji gadis itu. "Ia juga cerita tentang masalah yang ditanganinya belakangan ini, yang dalam hal ini Anda pun meliputnya. Dan terus terang, saya ikut tertarik mengamati perkembangannya." Saraswati curna bisa tersenyum. Saraswati baru pertama kali kenal dengan gadis itu, pun namanya. Karena selama ini Letnan Hendri sama sekali tidak pernah menyinggungnya. Pria itu pun jarang bercerita tentang saudara-saudaranya. Jadi pengetahuan Saraswati tentang keluarganya sangat minim. Ia sendiri tidak tahu apakah mesti percaya atau tidak kalau Christine ini betul sepupunya Letnan Hendri. Dan ia merasa hal itu belum perlu, sebab ia sendiri tidak tahu apakah di hatinya ada perasaan cemburu atau tidak melihat kehadiran Christine.

TAMAT

SEGERA TERBIT :

MISTERI DENDAM PUTRIDAYANG SARI II

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI

JONI CARI PENGALAMAN II

1

on!" Joni tersentak dari lamunan, ketika mendengar suara yang memanggil dirinya. "He, Dun!" kata Joni. Ternyata yang memanggil dirinya itu adalah teman baiknya, Midun. "Kamu sedang apa, Jon ?" tanya Midun. "Aku sedang melamun." "He, apa yang kamu lamunkan?" "Rahasia. Aku nggak bisa kasih tahu kamu, soalnya aku khawatir nanti kamu ikut-ikutan." "Ikut-ikutan apa?" "Melamun. Soalnya aku sedang melamun ingin jadi orang kaya." "Ah, kamu Jon. Kukira apa? Masa cuma melamun aja aku iri." "He, siapa tahu." "Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong kenapa rumahmu sepi? Ke mana emakmu?" "Emakku sedang pulang kampung." "Kamu nggak diajak?" "Kamu ini bagaimana sih, Dun? Kalau aku diajak sama Emakku, mana mungkin kau bisa bicara sama aku saat ini?" "Oh, iya ya. Sorry. Jadi kamu sendirian dong?" "Ya, begitulah." "Wah, kamu asyik dong bisa bebas." "Seharusnya begitu." J

"Kok seharusnya?" "Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini nggak punya uang, mana mungkin bisa. Kau kan sendiri tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai uang." "Sudah pasti." "Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin aku bisa melakukan sesuatu." "Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?" "Ngasih. Lima juta." "Lima juta?" "Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding." "Maksudmu?" "Aku cuma diberi uang lima ribu perak." "Untuk berapa hari?" "Katanya sih untuk beberapa hari." "Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal membuat kamu kelaparan." "Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari Emak pergi aku sudah nggak punya uang." "Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih! Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?" "Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!" "Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?" "Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku sedang melamun, bagaimana caranya jadi orang kaya?" "Dan lamunanmu itu berhasil?" Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya semakin nampak murung. "Aku punya saran," Joni memandang sahabatnya itu. "Apa saranmu?" "Sebaiknya kau menyusul emakmu saja." "Ke kampung? Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan kaki kesana?" "Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh." Joni menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.

Lebih baik aku. Ke rumah pamanku aja." "Di mana tempat tinggal pamanmu itu? Apa kau tahu alamatnya?" "Tahu." "Kalau begitu, sebelum kau mati kelaparan di sini, sebaiknya kau lekas pergi ke tempat tinggal pamanmu!" "Tapi bagaimana kalau Emakku pulang? Past! Emak bakal mencari-cariku?" "Itu soal gampang nanti aku yang akan memberitahu emakmu, bahwa kau pergi ke rumah pamanmu." "Saranmu bagus juga yah, baiklah kalau begitu. Terima kasih. Tapi....??" "Tapi apa lagi?" "Bagaimana dengan rumahku ini, siapa yang akan menjaganya? Aku khawatir nanti ada barang-barang berharga milik Emakku yang hilang. Jika itu sampai terjadi, pasti Emak bakal marah sekali!" "Barang berharga? Memangnya emakmu banyak memiliki barang berharga? Setahuku di dalam rumahmu nggak ada apa-apa kecuali cuma tempat tidur reotmu itu!" "Jangan menghina! Biar begitu-begitu, Emakku banyak memiliki barang simpanan yang harganya tak ternilai. Kekayaan milik orang tuamu nggak ada seujung kuku dibanding dengan kekayaan milik Emakku!" "Ah, yang benar Jon. Apa diam-diam emakmu itu masih keturunan raja minyak dari Arab?" "Hus, sudahlah. Pokoknya sebenarnya Emakku itu orang kaya cuma pura-pura miskin." "Pura-pura apa miskin beneran?" "Pura-pura. Kalau Emakku mau, rumahmu itu bisa dibelinya buat kandang ayam, tahu. Kamu nggak percaya? Pertamina dan gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta itu punya siapa?" "Punya Emakmu?" "Gila! Punya Pemerintah, goblok!" "Oh, aku kira punya emakmu." "Ah, sudahlah. Kau mau percaya atau nggak terserah.

Yang jelas biar bagaimanapun juga aku nggak bisa meninggalkan rumahku ini, khawatir Emakku marah." "Ck... Ck... Ck... aku nggak menyangka ternyata diam- diam emakmu banyak memiliki harta simpanan Jon." "Ya, begitulah. Tapi, ssst. Kau jangan sampai bilang- bilang sama orang lain lagi ya, nanti bisa bahaya. Rumahku bisa dirampok orang dan aku bisa dibuatnya celaka!" "Nggak Jon. Buat apa aku bilang-bilang sama orang lain." "Bagus. Soalnya yang tahu soal kekayaan Emakku itu cuma kamu aja! Lain orang nggak ada yang tahu. Mereka cuma tahu aku dan Emakku itu orang miskin, orang nggak punya." "Nggak tahunya Kong Melarat." "Hus, Konglomerat!" Madun mengangguk-anggukkan kepalanya antara per- caya dan tidak percaya. Apa benar emak si Joni banyak memiliki kekayaan? Setahu Madun, selama ini emak si Joni adalah seorang tukang pembuat kue yang hidupnya miskin dan banyak dikasihani orang. Sesampai di rumahnya Madun masih saja tetap diam melamun memikirkan semua yang telah diucapkan Joni. Berbeda dengan Joni sendiri, sepulang temannya itu Joni tertawa terbahak- bahak. Sambil menjatuhkan tubuhnya yang tinggal tulang itu ke atas tempat tidur miliknya yang terbuat dari kayu sudah reot, sehingga menimbulkan suara cukup gaduh. "Hahahahaha.... si Madun kena aku kibuli. Madun percaya kalau Emak punya simpanan berharga dalam rumah ini, padahal sih ... Emak nggak punya apa-apa, selain punya diriku dan gubuk reot ini!"

***

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI

JONI CARI PENGALAMAN II

2

ONI masih berbaring di tempat tidurnya. Meskipun dirinya terasa mengantuk, tapi matanya sulit untuk di- pejamkan. Itu sebabnya sedari tadi Joni cuma ter- lentang saja di atas tempat tidur sambil matanya me- mandang ke atas, menatap langit-langit kamar yang tidak berlapis. Menyebabkan genteng rumahnya yang banyak berlobang-lobang terlihat jelas. Pantas saja kalau hujan rumahnya bocor. Ternyata genteng rumahnya banyak yang telah pecah dan rengat. Melihat semua itu Joni menghela napas panjang. Hati- nya sedih. Dari mana ia bisa memperoleh uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah banyak rusak itu? "Oh, Tuhan..." tiba-tiba Joni berdoa, "Berikan Emak saya rejeki yang banyak. Jangan cuma pas-pasan untuk makan aja, kasihan Emak saya. Wajahnya semakin tua gara-gara pusing memikirkan cari duit. Kalau bisa, Tuhan. Biar semua orang sedunia memesan kue sama Emak, pasti deh Emak bakal senang betul hatinya. Karena dengan begitu Emak pasti bakal dapat duit banyak. Tuhan, tolonglah rubah nasib Emak dan diri saya!" Joni terus berdoa meminta pertolongan Tuhan sampai telinganya mendengar suara ketokan. "Siapa?" tanya Joni sambil melompat bangun. Berlari ke arah pintu. J

"Saya!" terdengar suara jawaban dari balik pintu. Hati Joni curiga. Ia tidak segera membuka pintu rumahnya, karena suara yang didengarnya itu tidak dikenalnya. Suara seorang lelaki. "Ya, saya tahu. Tapi katakan dulu, siapa dirimu?" "Saya!" "Saya siapa?" "Saya rampok. Lekas buka! Kalau tidak pintu rumahmu ini saya dobrak!" "Oh, jangan! Pintu rumah saya jangan dirusak, nanti Emak saya marah!" "Biar saja. Saya tidak perduli. Paling kamu yang dimarahi sama emakrnu, saya sih tidak" "Kalau begitu, baik, baik. Pintunya akan saya buka. Jangan kamu rusak," lalu Joni membuka pintu rumahnya. Saat di buka, mata Joni terbelalak kaget. Karena di hadapannya berdiri seorang lelaki bertubuh besar bertampang sangar, memandang Joni sambil umbar tawanya. "Hehehehe... terima kasih Joni!" kata lelaki itu. Tanpa dipersilahkan langsung menerobos masuk dan duduk. Joni bengong seperti sapi ompong. "Kok, rumahmu sepi, Jon?" tanya lelaki itu yang mengaku seorang rampok. "Ya, rumah saya memang sepi. Emak lagi pulang kampung!" "Maksud saya, bukan sepi orangnya. Tapi sepi barangnya. Rumah kok seperti lapangan bola, nggak ada perabotnya." "Ya, maklum aja. Namanya juga rumah orang miskin." "Rumah orang miskin? Ah, kamu bohong, Jon. Saya tidak percaya. Soalnya di Jakarta ini banyak sekali orang kaya yang pura-pura miskin." "Memang. Tapi kalau keadaan saya memang benar- benar miskin. Sungguh saya nggak bohong dan nggak pura- pura." "Jadi sungguh kamu miskin beneran?"

"Ya " "Kasihan." "Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang kasihan sama diri saya dan Emak saya." "Begitu?" "Ya, begitu." "Kalau begitu, mereka itu semua tolol!" "Kok, kamu bisa bilang begitu?" "Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi sama kamu yang pura-pura miskin!" "Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh." "Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi terhadap diri saya, jangan coba-coba. Nanti rambutmu yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?" "Tempat simpanan apa? Setahu saya Emak nggak punya simpanan. Sungguh, ada juga Emak saya suka menyimpan di Wc....!" "Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu semua oranq juga punya." "Jadi...?" "Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik emakmu itu. Saya kasih waktu lima menit. Lewat dari lima menit, nyawamu melayang." "Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake melayang segala." "He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!" "Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di kasih waktu sepuluh taun juga saya nggak bisa mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu Emak nggak punya simpanan apa-apa pasti kamu salah alamat. Lha, orang miskin kok di rampok." "Jadi benar kamu orang miskin? Emakmu tidak punya simpanan barang berharga?" "Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak penasaran. Paling-paling yang kamu temukan cuma kecoa!"

"Brengsek!" "Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih? Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang kaya mana orang miskin. Jangan main sikat aja. Untung belum jatuh kroban nyawa." ''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas kaya." "Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya juga pingin." "Kamu juga pingin kaya?" Joni menganggukkan kepala, "Wah, kalau begitu kita sama dong." "Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan." "Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak punya simpanan apa-apa, saya permisi." "He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?" "Pulang." "Pulang? Kok buru-buru? Ngak minum teh dulu?" "Terimakasih." "Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang mengaku rampok itu bergegas pergi, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni. "Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan emakmu punya simpanan yang berharga kasih tahu saya ya!" "Beres. He, nggak. Enak aja!" Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang menatapnya sambil geleng-geleng kepala. "Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang punya duit, langsung main samperin!" gerutu Joni dengan hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak aman. Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika tidak ingin dirinya mati konyol. Didorong oleh rasa takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni justeru sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal

pamannya itu. Cuma yang diingat Joni, kalau tidak salah pamannya itu tempat tinggalnya di pinggir sebuah jalan raya, tak jauh dari kantor polisi, di sebelah kanannya ada lampu merah, sedang disebelah kirinya yang Joni ingat ada toko! Joni tidak tahu pasti alamat tempat tinggal pamannya secara tepat, apakah pamannya itu tinggal di Bandung, di Surabaya atau di Bogor, Joni sama sekali tidak tahu. Namun, Joni tetap nekad. Ia tetap pergi mencari tempat tinggal pamannya itu. "Waktu diajak sama Emak, pertama-tama aku naik bus, Jadi sekarang ini aku harus naik bus!" kata Joni dalam hati. Tanpa peduli bus ke arah mana yang harus ia naik? Ketika ada sebuah bus yang lewat Joni mempehatikan dengan hati ragu. "Senen! Senen! Ayo, naik! Masih kosong!" teriak kondektur bus. Padahal penumpang yang ada di dalam bus itu sudah penuh berjejal seperti ikan sarden. "Ayo, Dik naik! Lekas! Di dalam-masih kosong!" teriak si kondektur lagi memaksa Joni naik. Tapi Joni menolak sambil mengelengkan kepala. "Mau ke mana Dik? Senen!" tanya si kondektur sama Joni setengah memaksa. Joni menggelengkan kepalanya lagi. "Aku mau ke Madangkara!" sahut Joni bikin si kondektur matanya melotot. "Dari pada ke Madangkara lebih baik ke neraka, Dik!" "Masa bodoh! Terserah gua!" kata Joni tidak peduli si kondektur marah-marah. Bus berikutnya muncul lagi, berhenti didepan Joni. Kali ini busnya tidak begitu padat dengan penumpang. "Grogol, Dik! Grogol!" teriak si kondektur pada Joni. "Grogol lewat Bogor ya, Bang?" tanya Joni. "Oh, tidak, Dik. Grogol itu lewat Mexico!" jawab si kondektur sewot. Joni tersenyum, diapun lalu naik bus itu. Ternyata Joni tidak kebagian tempat duduk, terpaksa Joni harus berdiri sambil menggelantungan seperti Tarzan.

Tidak berapa lama setelah bus berjalan. Kondektur datang menghampiri Joni seperti biasa menagih ongkos. "Ongkos.... ?" kata si Kondektur. "Ongkos?" tanya Joni sambil tersenyum. "Ya, ongkos," jawab si Kondektur bus garang. "Wah, sayang gak punya uang Oom." kata Joni. Membuat mata si Kondektur terbelalak. "Nggak punya uang? Jadi...?" "Numpang Oom. Dekat aja kok." "Betul dekat?" "Ya, Oom." "Kalau dekat buat apa naik bus, lebih baik jalan kaki. Ayo, turun!" bentak si Kondektur galak. Tubuh Joni didorong hampir saja Joni jatuh. Sebenarnya Joni mau marah tapi karena melihat badan si Kondektur yang cukup besar dan tampangnya seram, hati Joni jadi ciut. "Hu, sombongnya! Numpang aja nggak boleh!" gerutu Joni setelah diturunkan dari bus. Tapi percuma, makian Joni tidak didengar oleh si Kondektur, karena setelah menurunkan Joni bus itu langsung tancap gas dibarengi terlakan si Kondektur. "Tarik, Pirrrrrrrrrrr...!!"

TAMAT

BASTIAN TITO

T T I I G G A A

D D A A L L A A M M

S S A A T T U U

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

Sumber: Bastian Tito EBook: Fujidenkikagawa

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON 1 MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN

UKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja sendiri yaltu Pangeran Jingga. Tugas ke tiga orang itu dalam membantu me- nyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain B

Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek Kelabang Merah (mati). Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan Turonggo Wesi (Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati). Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga rahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".

Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212 terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang murid? Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata pada sang guru. "Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada muridnya!" Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah dan membentak. "Apa maksudmu anak sableng?" "Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti...!" "Hemm... begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu sekarang, anak sableng...?" "Dua... dua puluh satu Eyang!" "Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!" Wiro garuk-garuk kepalanya. "Mengapa begitu, Eyang?" "Selama sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka

melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal dapat menguasal ilmu itu!" Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. "Ah... nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha putih. Ha... ha... ha.... Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu! Ha... ha... ha!"

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

2

DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD

IRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya telah menggelincir jauh ke barat. Sebentar lagi sang mentari ini akan segera tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa haus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu. "Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Jangan- jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng dan menegur. "Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem- W

bersihkan diri dengan air pancuran?" "Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandi- mandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah pancuran. Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu dan pakaianmu tidak bau pesing!" "Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam hati?!" Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau. "Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam hati!" Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau mendadak berubah pikiran?" "Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja menatap ke arah pancuran bambu. "Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua jalur sinar biru itu sekarang juga...." "Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah melihat aku berubah pikiran?!" "Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi per- timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah. Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam

rimba persilatan semakin besar. Hingga...." "Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu dua larik sinar biru itu! Begitu?!" "Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar. Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot digembungkan. "Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai aku menggebukmu karena muak!" "Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong sesama.... " Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa mengekeh. "Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar hatiku bisa terenyuh! Hik... hik... hik! Sekalipun angin sejuk atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan mengganggu diriku lebih lama!" Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama berada di tempat ini...." "Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air pancuran. "Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka menggeragot benda jelek dan bau-bau!" "Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan

bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku! Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid. Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat. Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal Eyang.... " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar si nenek berseru. "Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!" Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti emas...." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap menatap ke arah pancuran bambu. "Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?" "Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan. Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata malah mengajukan pertanyaan aneh. "Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu mendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto Gendeng membentak. Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum'at...." "Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan nanti malam Jum'at! Yang aku ingin tanya malam nanti malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun masih saja konyol dan geblek!"

Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon, Nek...." Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek menghardik. Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. "Aku... aku yakin malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi. "Kau yakin?!" "Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek berubah. "Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum'at Kliwon ya sudah! Pergi sana...." "Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek? Jadi sekarang aku pergi saja?" "Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng. "Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro. "Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!" jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah pancuran bambu. Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang berganti malam. Kegelapan mulai merayap pekat. Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua tangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk. Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun

gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik. Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya "Mereka sudah datang..." kata si nenek dalam hati. "Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku mau lihat apa benar begitu! Hik... hik... hik."

***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

DENDAM DELAPAN TAHUN 3

INTO GENDENG!" satu suara membentak dalam kegelapan. Orangnya tegak mende kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir! Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan padamu untuk bertobat minta ampun!" Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menem- pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan. "Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan pertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir di pinggir comberan liang kubur! Hik... hik... hik!" Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun mereka masih bisa mengendalikan diri. "Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti S

pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya. "Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat senjata sendiri?!" "Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha... ha... ha! "Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar kalau kubunuh kalian satu persatu aku tidak penasaran lagi! Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng balas tertawa. Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh si nenek sambil jentikkan tangan kanannya. "Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!" "Wuuussss!" Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat bersurut dan tegak diam di tempatnya. "Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!" "Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah kanan berucap datar. "Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemana- mana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik... hik!" "Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan nyawa dan darahmu!"

"Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!" Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana berbahayanya Sinto Gendeng. "Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing. "Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa yang kami bawa!" "Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja menjalani hidup dengan menutup muka! Hik... hik... hik. Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" . "Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelah kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran bambu. "Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi di atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong. Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa

cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa molos! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan!" ' Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan serta merta menghantam. "Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang. "Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada mental berantakan. "Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi. "Hik... hik... hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di sini!" Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang. Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahu- tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah terkempot-kempot! "Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orang bertopeng berteriak marah. Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto Gendeng!

WIRO SABLENG LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

LAKNAT BERNASIB MALANG

4

ARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri ditendangkan ke depan. "Bukkk!" "Bukkk!" "Dukkkk!" Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah. Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri kembali dan bergabung dengan empat temannya. Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu D

benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur terkempot-kempot dan termonyong-monyong. Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurus- jurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang, Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan. Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan Angin Puyuh. Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan saja mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng. Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari lima pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan

bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang! "Braaakkk!" Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik pada kawan di sebelahnya. "Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawan- kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!" "Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan bertanya. "Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar. Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!" "Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar dia memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu!" "Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus lebih dulu silahkan tinggal di sini!" Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera berkelebat melarikan diri. Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah. Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur

itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawan- kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon! Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di malam Kliwon ini! Hik... hik... hik!" Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya. Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara seruan tertahan dan tersurut dua langkah. "Kau!"

***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

BAHALA DARI TELUK AKHIRAT 5

RANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara mengerang. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih kelihatan gagah. "Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak salah melihat? Benar kau...?!" Sepasang mata si nenek melotot tak berkesip. Si kakek kedipkan matanya satu kali. "Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku... Suro Ageng...." Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini...? Ah! Kalau aku tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan tangan jahat...." "Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima akibat! Itu nasib diriku!" "Suro...." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?" "Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan O

memberikan obat penawar!" "Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan Lima Laknat Malam Kliwon itu?" "Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau selalu balk-baik Sinto?" Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek tampak berkaca-kaca. "Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu terhadapku seperti di masa muda dulu.... " "Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin. "Ah, kau masih galak seperti dulu saja..." kata Suro Ageng menyeringai lalu mengerang kesakitan. Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng gelengkan kepala dan berkata. "Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku agaknya sudah remuk...." "Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!" kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul kepalanya sendiri. Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal menemui ajal di sampingmu...." Darah mengucur lagi dari mulut si kakek. "Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik

pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa yang dilakukan Sinto Gendeng. Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau busuknya binatang hutan. "Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam dirimu..." kata Suro Ageng. "Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku hendak menolongmu!" "Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng dan Suro Ageng. Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua matanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam. Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan. Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto...." "Aku ingat. Siapa takut...!" "Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan tidak berbau!" "Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi monyet tangan panjang ini!"

Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang. "Plaakkk!" "Plaakkk!" Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke atas. Si nenek tercekat! Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar merah memandang membersitkan maut pada Sinto Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang yang memegangnya. "Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil" Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua kelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan angin kencang. "Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto! Lekas menyingkir!" Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap saja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan

semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke dua orang itu megap-megap roboh ke tanah. "Plaakk!" "Plaakk!" Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa bergelak dia tinggalkan tempat itu.

***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

D PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT 6

I SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan. Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu malam apa. Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro. "Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari rombongan di dalam gelap berkata. Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa gerangan orang-orang ini..." pikir Wiro. Lalu didengarnya salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan kawannya tadi. "Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang menghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting." "Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi

menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui. Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah timur dan lenyap dalam kegelapan. Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?" Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan lanjutkan perjalanan. Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapa kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya kelihatan nyalang. "Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan kepala si nenek di atas pangkuannya. Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit. "Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah sapu tangan hitam dalam saku pakaianku...." "Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro memotong ucapan orang. "Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng dalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu

tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai terlambat!" Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi. "Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala si kakek. "Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian. Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan denyutan nadi tanda dia masih hidup...." Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada denyutan pada urat besar si nenek. "Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi. Dan kau sendiri siapa?" "Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri

tahu.... Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu- satunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari kelumpuhan...." "Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?" "Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidak kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih berat dari udara maka hawa beracun ini selalu mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang bisa lolos dari kematian...." "Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai! Kau belum menerangkan siapa dirimu!" "Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa muda.... Aku...." "Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong.... Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada Eyang Sinto Gendeng?" "Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk gurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku

memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku sendiri sudah pasrah menghadapi maut...." "Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang Sinto Gendeng jadi curiga. "Kek, sebelumnya aku melihat empat orang me- ngenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan mereka...?" "Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat Malam Kliwon?" "Pernah..." jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankah malam ini malam Jum'at Kliwon? Berarti...!" Sepasang mata sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah satu dari mereka!" Suro Ageng mengangguk perlahan. Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!" "Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal...." "Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!" Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak bergerak, berkedippun tidak seolah pasrah. Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.

"Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!" "Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya melayang sudah.

***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

SINTO GENDENG LUMPUH 7

OSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya Wiro yang duduk memangku kepala gurunya. "Kepalaku berat.... Mataku sulit dibuka. Tapi aku mendengar suaramu. Anak setan.... Apa yang terjadi dengan diriku. Aku... aku tidak mampu menggerakkan dua kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk...." "Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak bicara...." "Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang kelihatan pucat. "Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan...." "Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya Sinto Gendeng pula. "Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa Kematian...." Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit, makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkan dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa pasrah. S

"Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat.... Dia yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung. Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker. "Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari dan membunuhnya...." "Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek bernama Suro Ageng itu...." "Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek berputar. "Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu. Mati akibat Seribu Hawa Kematian." Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya sesenggukan. "Suro.... Kalau saja dulu aku menerima lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan mengalami nasib seperti ini. Ah...." Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda...?" Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanya- tanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru.

Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan. "Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja me- ngorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku! Suro.... Sungguh tinggi budimu...." "Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada saat gerhana matahari...." Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit. "Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat! Anak setan! Apakah kau sudah siap?!" "Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran. "Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat! Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!" "Eyang.... Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau.... Kau tak bisa berjalan sendiri...." "Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa lagi onta tunggangan!" jawab si nenek. "Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yang harus kita lakukan...." "Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!" Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia hendak membantu si nenek berdiri pandangannya membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya. "Benda apa itu...?" Sinto Gendeng bertanya.

Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari perak. Rantainya sudah putus...." "Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek. "Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu.... " "Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon serta Kelelawar Pemancung Roh!" Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya. "Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata Sinto Gendeng. "Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama Suro Ageng In!?" "Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah. Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh dari sini!" "Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!" ujar Wiro pula. "Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek seraya menyeringai. "Memangnya kau bisa terbang, Nek?" "Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!" Wiro keheranan tak mengerti. "Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik... hik... hik...." "Nek! Kau...." "Jangan berani membantah perintah seorang guru!"

"Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di atas bahu!" "Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung bayi di depan dada? Hik... hik... hik!" "Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu..." kata Wiro pula. "Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!" Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar! Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur badannya bau pesirfg begini rupa!" "Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus hubungan kita sebagai murid dan guru!" Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air kencing yang menempeli kain panjang butut yang dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212 menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak. Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan badannya seperti anak kacil keenakan. "Uh.... Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum melangkah. "Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak rambut gondrong muridnya.

"Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa muda!" jawab Pendekar 212 pula. Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan. "Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita, weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri Wiro. "Ayo jalan!" "Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku segera jalan!" teriak Wiro kesakitan. "Nah bagus kalau begitu! Hik... hik... hik...." Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi telinga kiri Wiro. "Nek...!" "Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak bodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana. Mengapa kau menuju ke arah timur?" "Anu Nek.... Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat...." "Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut gondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang beberapa lama...." Sinto Gendeng rangkapkan dua tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan. "Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara aku sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang

pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas, yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing tubuh dan kain panjang butut si nenek!

TAMAT

Segera terbit: SERIBU HAWA KEMATIAN

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU

KI SURO GUSTI BENDORO 1

ARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sang surya berada di titik tertinggi. Tidak seperti biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari yang tidak terhalang menebar terik mulai dari puncak sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan kesunyian mencekam hampir di setiap penjuru. Ketika serombongan burung pipit melayang di langit sebelah utara, sayup-sayup dari arah lereng gunung sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah bergetar seolah ada sesuatu menjalar melewatinya sepanjang lereng. Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suara berkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras. Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara kerapatan pepohonan kelihatan seorang kakek berjubah putih berlari laksana angin menuju puncak Gunung Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai. Wajahnya yang lanjut dimakan usia walau penuh keriput namun tampak jernih, membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning. Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar H

yang bergesek dengan udara itulah sumber suara yang terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau tidak menyaksikan sendirl. Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur ratusan ular berbagai bentuk dan warna. Binatang ini meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya si orang tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada hentinya mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara menggemuruh di tanah. Sesekali kakek ini berpaling ke belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatang-binatang itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya berkata. "Tuhan memberi akal pikiran dan perasaan hati pada manusia. Yang membuatnya lebih agung dan membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang binatang memiliki alam pikiran dan hati sanubari yang lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu, mereka menunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia memilikinya...." Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari tambah membakar. Di mana-mana kini tampak berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran. Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengar suara langkah-langkah kaki kuda, bergerak ke arah orang tua berjubah putih yang sementara mendaki ke jurusan berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan menatap ke depan. "Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak gunung. Apa lagi gunung tinggi seperti Mahameru ini. Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kuda sembarangan. Mungkin sekali kuda yang biasa dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak

masih sangat kacau. Bukan mustahil.... " Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor kuda besar, satu berwarna coklat, satunya hitam berkilat muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki kuda yang tebal dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang sengaja diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak gunung atau kawasan berbatu-batu. Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh besar, berkulit sangat hitam. Dari pakaian dan bentuk gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas dia adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini memegang sebuah obor besar di tangan kirinya sementara tangan kanan menahan tali kekang kuda tunggangannya. Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang kelihatan garang duduk gagah seorang kakek berjubah kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan mahal. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada ujung tombak terikat sebuah bendera berbentuk segi tiga berwarna kuning. Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu angkat tangan kanannya. Binatang-binatang yang tadi kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan tidak berkesip. Binatang-binatang yang dalam perasaan dan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah mencium sesuatu akan terjadi. Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik kernunculan mereka. Walau hatinya merasa tidak enak sambil tersenyum orang tua ini menegur. "Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman, ini sungguh satu pertemuan yang tidak disangka-sangka. Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa

aneh dan ingin bertanya. Gerangan apakah sebabnya hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah terang benderangnya sinar matahari?" Orang tua berjubah putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia sudah tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi diri dari ratusan ular jika binatang-binatang itu menyerang. Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata. "Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena kitalah yang akan mengajukan banyak pertanyaan padanya!" Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik sesaat. Lalu kembali dia tersenyum. "Kalau sampeyan mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri menemuiku di lereng Mahameru ini?" "Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketika Kerajaan dilanda kekacauan. Padahal kau adalah salah seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan kehadirannya. Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa menemuimu di sini!" Yang berkata adalah Perwira Kerajaan bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu. "Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku memang penasihat Kerajaan. Tapi hanya sampai saat aku dibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih lama di Demak. Keluarga dan turunan Sultan saling membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri apa yang terjadi sejak Sultan Trenggono mangkat. Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya menjadi Raja menggantikan kakaknya mati dibunuh orang. Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap hendak dinobatkan sebagai Sultan Demak dibantai habis

bersama seluruh keluarganya secara keji oleh Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku sendiri tidak lagi ingin terlibat dengan segala urusan dunia dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku untuk mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah menyusun kekuatan untuk melakukan pembersihan. Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya. Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini hidup menderita bisa kembali menikmati hidup tenteram...." Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu seolah satu filsafat yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari dasar samudera. Namun kami berdua tahu kau berada di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat dengan segala urusan dunia, melainkan karena ada satu hal lain...." "Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Aku sengaja naik ke puncak Mahameru ini karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti Allah melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau akhir perjalanan hidupku...." "Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti Bendoro. Sampai-sampai tahu dimana dan kapan akan menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati hidupnya manusia hanya Tuhan yang mengetahui...." "Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku dengan sampeyan Ki Dalem Sleman...." "Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukan untuk bicara berpanjang lebar. Kami mengetahui kau meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka

milik Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu sebabnya kami mengejarmu sampai ke sini. Kau harus menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!" Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar kata- kata Ki Dalem Sleman itu. "Ki Dalem Sleman, aku yakin sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka. Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?" "Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka itu!" kata Perwira Brajanala dengan suara keras dan tampang garang. "Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku tidak pernah mencuri. Apa lagi sampai mencuri Pusaka Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan berdua pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang memfitnah...." "Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yang memfitnah...." "Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan suara tetap tenang. "Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kami ke tempat kau menyembunyikan Bendera itu!" Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata. "Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak mencuri Bendera Pusaka itu...." "Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera Pusaka itu dengan kau punya nyawa!" ujar Brajanala pula. Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya. Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari. Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang

ini melangkah maju mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah tidak berubah sama sekali.

***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU

SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI 2

EGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ular yang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta merta mendesis keras dan serentak melesat ke depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil angkat dua kaki depan masing-masing. Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi puluhan lainnya tetap melesat ke depan. Ki Dalem Sleman gerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan satu senjata mustika yang bisa menebas batang pohon dan menghancurkan batu besar. Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah putih, Ki Suro segera angkat tangannya dan berkata. "Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu di belakangku...." Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan si orang tua, ratusan ular itu bersurut ke belakang. Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki Suro! Apa kau lebih suka mati dengan kepala terbelah dari pada memberi tahu dimana kau sembunyikan Bendera Pusaka itu?!" "Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak memilikinya. Soal kematian aku hanya berserah diri pada Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia B

setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju pintu akhirat. Sampeyan hendak membunuhku, aku sangat berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke Kiblat...." Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam. Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah batok kepala kakek berjubah putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk, pasrah menunggu ajal. Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala, mendesis keras tapi tak ada yang berani bergerak. "Traanggg!" Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu patah dua begitu membentur batok kepala Ki Suro Gusti Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang sehelaipun! Di atas kuda coklat Brajanala terhuyung- huyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh ke tanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api. Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas itu akan segera terjadi kalau kakek berjubah putih tidak lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup, padamlah kobaran api. Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang pedang namun kemudian senjata yang telah patah itu terpaksa dilepaskannya karena tangannya terasa panas dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira

Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah terkelupas melepuh! Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya. Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang padanya dengan mata membeliak dan rahang menggembung. Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut. "Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku tidak berada di tangan sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal manusia tidak berada di tangan manusia lainnya kecuali dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti Allah mengampuni kesalahan sampeyan...." Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua tangannya terkepal, matanya mendelik tak berkesip dan gerahamnya bergemeletakan. "Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem Sleman membuka mulut. "Aku mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak Kiai Sepuh Plered milikku ini!" Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil kuning berbentuk segitiga ke leher Ki Suro Gusti Bendoro. "Desss!" Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah menyembur lalu membasahi leher, dada dan jubah putih yang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak. Ki Dalem Sleman tertawa bergelak. "Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup menghadapi tombak saktiku! Ha... ha... ha! Kau harus berterima kasih padaku karena telah menolongmu menemui kematian lebih cepat!" Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada

bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin tidak terperhatikan oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari leher Ki Suro. Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira begitu tombak dicabut, Ki Suro akan segera roboh ke tanah walau tangan kanannya masih bersitopang pada tongkat bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak tak bergerak di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar biasa. Darah yang mengucur dari luka tembusan tombak sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk kembali ke dalam lobang luka. Lalu luka itu menutup dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap sama sekali. Jubah itu kembali putih bersih seperti se- belumnya! Selain itu noda darah yang membasahi tombak dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas! Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala. "Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro berkata sambil mengulas senyum. "Ternyata Tuhan juga tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...." Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka. Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu menghambur lenyap ke arah lereng timur Gunung Mahameru. Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap. "Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah perbuat." Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan ular tegakkan kepala. Orang tua ini tersenyum yang dibalas oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki Suro memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula

mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah menimbulkan suara bergemuruh. Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya seolah membakar puncak Mahameru. Ki Suro terus melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu tempat di mana terdapat dua batu besar membentuk celah kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut berherti. Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek menangkap satu suara. Telapak kakinya terasa bergetar. Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di depannya. Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan batu-batu besar di tempat itu bergetar. Sesaat kemudian muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya yang hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan. Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi besar dan taring-taring runcing serta lidah merah haus darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah. Kepala perlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara penguasa puncak Mahameru ini siap menerkam. Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras. Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau gunung itu tetap berdiri tenang. Malah diwajahnya menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di dada. Lalu orang tua ini membungkuk sedikit. Dari mulutnya keluar ucapan. "Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sepantasnya memiliki hati dan rasa ingin menguasai. Apa lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak mengganggu. Engkau berjalan di jalanmu tidak mengusik tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu yang agung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena dorongan yang datang dari dalam diri sendiri serta tekanan

yang datang dari luar. Aku ingin bersahabat tetapi jika nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu, aku akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun aku menunggu kematian yang tak kunjung datang. Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan kehendak Yang Maha Kuasa apa yang akan terjadi, terjadilah...." Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan di ujung lutut. "Harimau raja rimba belantara. Jika kau datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku ikhlas menerima karena aku memang sudah menunggu. Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...." Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah belakang, ratusan ular yang telah rnengangkat kepala siap melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang tua berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkata lembut. "Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu kekuatanpun bisa menghalang. Tetaplah berada di tempat kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh tua dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...." Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkan kepala, menatap tak berkesip ke depan. Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu menyergap si kakek, langsung mengarah kepala. Namun masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya, dari tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Harimau besar terpental ke udara. Meraung keras. Jatuh terbanting dan terguling-guling. Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi.

Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri. "Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud mencelakai dirimu. Aku lupa kalau dalam diriku masih tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda. Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan tubuhku...." Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini kembali menyerang mangsanya. Kali ini mulutnya langsung menerkam kepala si kakek. "Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!" Harimau besar itu seperti menggigit batu besar. Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang runcing-runcing jangankan melukai, menggores kepala orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya menyambar ke depan. "Breettt... breettt!" Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua tempat di bagian dada. Namun kulit tubuhnya tidak tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau itu mengaum keras. Kibaskan ekornya lalu melompat lagi ke batu besar sebelah kiri. Dari sini binatang ini melompat lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi melenyapkan diri. Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih duduk bersila di tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, berpaling ke belakang menatap ratusan ular yang masih ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di depan dada orang tua ini berkata. "Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian mengantarku. Bagaimanapun setiap perjalanan ada akhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus lima puluh tahun aku menjalani kehidupan. Lima puluh

tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba juga. Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturut- turut. Aku akan segera meninggalkan dunia fana ini. Walau aku manusia dan kalian binatang tapi karena kita sama- sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan berjumpa lagi dalam ujud yang tidak kita ketahui. Selamat tinggal sahabat-sahabatku...." Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan suara mendesis halus seolah sedih dan serentak rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah memberi penghormatan terakhir. Mata mereka yang biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu teteskan air mata! Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkuk- kan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih rasa berat di dalam hatinya dia memutar tubuh. Sekali berkelebat dia telah berada beberapa tombak di atas sana. Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak kelihatan lagi.

***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU

TUJUH PETIR DARI LANGIT 3

ANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar, matahari yang seolah mau melelehkan batok kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga mengeluarkan suara bergetar keras. Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi ini dan melakukan perjalanan dalam mencari akhir kehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling matanya membentur sebuah batu besar yang salah satu sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan. Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya dalam hati. "Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi." Dia menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai membungkuk laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telah duduk bersila di atas batu, sengaja menghadap ke arah matahari tenggelam. Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan sinarnya yang sangat terik. Batu besar yang diduduki si kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua ini duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat yang sejuk dan nyaman. Kepalanya didongakkan ke atas langit. Tongkat bambu kuning diletakkan di atas pangkuan sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut. Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua T

matanya lalu dengan suara perlahan dan bergetar dia berkata. "Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah hamba temui. Mohon kiranya masa penantian selama lima puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah. Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk datang menghadapMu dengan segala kerendahan. Petir pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang Kuasa, aku siap menerima deramu!" Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu besar tiba-tiba bertiup angin aneh yang mengeluarkan suara seperti puluhan puput ditiup secara bersamaan. Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara berkiblat satu sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara menggelegar seolah hendak meruntuh langit mengoyak bumi. Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi, menghantam ke arah batu besar di mana orang tua berjubah putih duduk bersila. Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari mulutnya keluar jeritan setinggi langit. Ketika tubuhnya melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung, tangan kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petir yang menghantam dari langit membabat putus dan hangus tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh dekat sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh menjadi seonggok bubuk pasir berwarna hitam dan mengepulkan asap panas! Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak. Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus. Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit. Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat

dia duduk bersimpuh di tanah lalu berkata. "Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri petunjuk agar hamba segera mendapatkan petir ke dua dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti Bendoro sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang telah berubah menjadi pasir besi hitam dan panas. Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan kiri orang tua berjubah putih itu melangkah meneruskan perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang buntung disambar petir dan sakit luar biasa seolah tidak dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini hentikan langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua buah lobang sebesar kepalan. "Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua berusia 150 tahun ini. Dia cucukkan tongkat bambu di tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara dan turun di atas batu bertanda dua buah lobang sebesar kepalan. Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu besar yang amat panas itu. Karena tangan kanannya sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan di atas lipatan lutut. Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap. "Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu. Datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang Kuasa!" Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara angin menyerupai bunyi puput. Untuk ke dua kalinya kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkan puncak Gunung Mahameru. Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus

berkeping-keping. Sosok si kakek mencelat tinggi ke udara dibarengi jeritannya yang keras luar biasa. Sosoknya kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu hitam. Dari mulutnya keluar suara mengerang. Darah mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua kakinya melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi memiliki tangan kiri. Seperti tangan kanan, tangan kirinya juga telah buntung hangus dihantam petir yang menyam- bar dahsyat dari langit! Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki Suro Gusti Bendoro yang tercampak di tanah perlahan- lahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap. Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya menggapai-gapai. Dengan bersandar ke salah satu batu di dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat bambu kuningnya masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas batu. Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali mendaki menuju puncak gunung. Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya. Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan menatap ke langit. Di satu pendakian kakinya tersandung. Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia memandang ke depan dia melihat tiga buah lubang pada batu itu. "Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya membesar. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke bawah lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang dan tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri bersila. "Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu!" Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di

langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan menyambar panas dan ganas untuk ke tiga kalinya. Kali ini kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal paha, mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna hitam. Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah terpendam di tanah. Orang lain dalam keadaan buntung tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa. Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah. Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung sebelah atas. Setiap jatuh dia berusaha bangkit lalu melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu berbentuk pilar. Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujur tubuhnya terutama yang putus dihantam petir sakit dan panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari hidung serta telinganya, malah kini juga dari mulut. Tongkat bambu kuning yang masih digigit dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah. "Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari. Akhirnya dia melihat empat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrak- jingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro atur jalan nafas. Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah tubuhnya melesat ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di ujung batu berbentuk pilar! "Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menunggu!" Si kakek berteriak tapi suara teriakannya

tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya kini dipenuhi darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang digigitnya. Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput menggema di seputar pilar batu. Lalu. "Blaaarrr!" Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat nyawa serasa terbang. Sebelum petir ke empat menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan. Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di sebuah batu. Dari mulut Ki Suro sendiri kemudian keluar jeritan setinggi langit serta semburan darah. Tubuhnya terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat itu keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya telah putus dan hangus dibabat hantaman petir. Kutungan kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah menjadi bubuk pasir berwarna hitam mengepul. Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu terkapar tak bergerak. Lalu ada erangan halus. Kepala yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang mata bergerak-gerak. "Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam menanggung sakit yang amat sangat Ki Suro Gusti Bendoro mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan kaki bagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak tahu kalau batu di mana dia terkapar saat itu justru adalah batu kelima karena di salah satu sudut yang tidak terlihat oleh mata si kakek ada lima buah lubang sebesar kepalan. "Batu kelima.... Aku harus menemukan batu ke lima! Tuhan tolong hambaMu ini! Beri petunjuk...." Di bawah sinar terik matahari tanpa didahului lagi oleh suara angin menyerupai tiupan puput, untuk ke lima kalinya di langit berkiblat cahaya putih menyilaukan mata.

Gelegar dahsyat lagi-lagi mengguncang Gunung Mahameru. "Blaaarrr! Craaasss!" Tubuh Ki Suro Gusti Bendoro putus tepat di bagian pusar. Jeritan orang tua ini lebih menyerupai raungan binatang. Sisa tubuhnya dari pinggang ke atas hangus menghitam sementara bagian bawah yang terputus begitu terbanting ke tanah serta merta berubah menjadi bubuk hitam! Sepasang mata Ki Suro membeliak. Bagian hitamnya seolah lenyap dan hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Namun sulit dipercaya, dalam keadaan tubuh terkutung-kutung seperti itu orang tua ini masih belum menemui ajal. Kepalanya, walau sangat lemah masih bisa digerakkan ke kiri dan ke kanan. "Ya Tuhan, beri hambamu ini kekuatan mendapatkan batu ke enam dan ke tujuh...." Tak dapat dipastikan dari mana keluarnya suara itu. Entah dari mulut atau liang perut si kakek. Saat itu tubuhnya terjepit antara celah dua kepingan batu besar bekas hancuran batu datar di mana sebelumnya dia jatuh terkapar. Ternyata pada masing- masing belahan batu terdapat lubang-lubang sebesar kepalan. Pada belahan sebelah kanan berjumlah enam lubang sedang pada batu sebelah kiri ada tujuh lubang. "Petir ke enam, petir ke tujuh! Datanglah! Datanglah berbarengan! Aku ingin masa penantian lima puluh tahun ini segera berakhir! Aku ingin roh ini segera melayang ke alam baka! Petir ke enam! Petir ke tujuh! Aku siap menerima deramu!" Bagi orang yang berada di tempat itu dan mendengar suara Ki Suro Gusti Bendoro maka yang terdengar hanyalah suara bergumam menggidikkan. Dan di puncak semua kengerian itu dari atas langit, satu cahaya terang diikuti cahaya ke dua menyambar dahsyat. Puncak Gunung Mahameru laksana mau runtuh.

"Blaaar!" "Blaaarr!" Untuk ke sekian kalinya tubuh Ki Suro amblas putus. Kali ini di bagian dada, dihantam petir ke enam. Lalu petir ke tujuh menyudahi segala-galanya. Kepala orang tua itu hangus mengerikan. Setelah itu semua potongan tubuh dan kepala berubah menjadi gundukan pasir hitam yang mengepulkan asap panas! Keanehan tidak terhenti sampai di situ. Onggokan- onggokan pasir besi hitam dan panas yang bertebaran di beberapa tempat dan berasal dari potongan-potongan tubuh Ki Suro Gusti Bendoro berubah menjadi cairan hitam lalu bergerak meluncur di tanah seolah binatang melata, menuju ke satu tempat. Begitu saling bertemu mendadak udara yang tadi terang benderang kini menjadi redup. Di langit gumpalan-gumpalan awan hitam berarak cepat me- nutupi puncak Gunung Mahameru. Lalu gelegar guntur mengumandang beberapa kali. Udara menjadi gelap sesaat namun tidak ada hujan yang turun. Ketika tak selang berapa lama gumpalan-gumpalan awan hitam lenyap dan keadaan kembali terang, di tanah tempat bersatunya cairan aneh yang berasal dari sosok tubuh- tubuh Ki Suro Gusti Bendoro kini tergeletak sebilah keris tanpa sarung. Keris aneh ini berwarna hitam kebiru-biruan, memiliki luk sebanyak tujuh buah. Pada dua sisinya ada tujuh jalur memanjang berwarna kuning emas berkilauan. Keris aneh ini bergagang terbuat dari besi, berbentuk menyerupai angka 7, berkilau-kilau terkena sinar matahari. Sungguh aneh. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi kalau bukan dengan kehendak dan kuasaNya Tuhan Seru Sekalian Alam?

***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU

EMPU BONDAN CIPTANING 4

EBELUM menuturkan apa yang terjadi selanjutnya dengan jazad Ki Suro Gusti Bendoro yang telah berubah menjadi keris itu kita kembali dulu pada satu rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Di tepi telaga berair jernih, sejuk dan sunyi itu Empu Bondan Ciptaning duduk bersila tengah melaksanakan samadi penuh khusuk. Sampai dengan pagi itu telah tiga malam empat hari dia melakukan samadi. Agaknya dia tidak akan berhenti sebelum maksud tujuannya tercapai. Beberapa malam yang lalu orang tua ini bermimpi bahwa dia bakal kedatangan seorang tamu sangat penting. Tamu itu akan mengunjunginya di tepi telaga tersebut. Jadi itulah sebanya Empu Bondan tidak beranjak dari telaga, melakukan samadi sambil menunggu kedatangan orang. Empu yang terkenal memiliki keahlian membuat berbagai macam senjata ini, terutama keris konon mampu membuat sebilah keris tanpa menempanya, tapi dengan mengandalkan jari-jari tangannya yang akan dijadikan senjata menjadi besi tempaan dan membakar besi yang akan dijadikan senjata mustika. Tidak mengherankan banyak sekali orang yang ingin minta dibuatkan berbagai macam senjata sakti pada sang Empu. Mulai dari prajurit sampai raja, mulai dari orang baik-baik sampai para penjahat. Namun tidak mudah untuk bisa mencari dan S

bertemu dengan Empu Bondan Ciptaning. Menjelang tengah hari seorang kakek berjubah putih bertongkat bambu kuning muncul di tepi telaga. Dari debu yang melekat di pakaiannya jelaslah dia baru saja melakukan perjalanan jauh. Orang tua ini mengusap wajahnya lalu tersenyum. Walau tubuhnya terasa letih namun hatinya gembira karena orang yang dicarinya sejak dua purnama lalu akhimya ditemuinya juga. Melihat sang Empu tengah khusuk bersamadi, sambil menunggu orang tua berjubah putih memutuskan untuk melakukan sholat Zuhur terlebih dulu. Maka dia mengambil air wudhu di telaga lalu mencari tempat yang bersih untuk sembahyang. Selesai sembahyang kakek ini berzikir. Dia baru menghentikan zikirnya ketika melihat dua mata Empu Bondan Ciptaning perlahan-lahan terbuka, menatap ke arahnya. Dua pasang mata saling bertemu pandang. Dua wajah sama-sama menyeruakkan senyum. "Saudaraku Kiai Suro Gusti Bendoro!" berucap Empu Bondan Ciptaning. "Rupanya dirimulah yang kulihat dalam bayangan samadiku. Sungguh aku tidak menyangka. Aku merasa berbahagia dapat bertemu dengan dirimu. Orang tua ini lalu bangkit berdiri, menghampiri kakek berjubah putih. Keduanya lalu saling berpeluk-pelukan lama sekali, melepaskan kerinduan karena paling tidak selama dua lima tahun mereka tidak pernah bertemu. "Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, aku tak kalah gembira bertemu dengan dirimu. Sudah berapa tahun senjata yang sampeyan ciptakan selama dua puluh lima tahun kita tak pernah bertemu?" Empu Bondan Ciptaning tertawa lebar. Ke dua orang tua itu lalu mencari tempat yang enak untuk duduk berhadap- hadapan di tepi telaga. "Belakangan ini aku jadi malas. Sudah jarang sekali aku membuat senjata. Apa lagi yang namanya keris...."

"Mengapa begitu sahabatku? Mengapa sampeyan jadi malas" bertanya Ki Suro Gusti Bendoro. "Kupikir-pikir, buat apa aku membuat keris, men- ciptakan berbagai senjata sakti kalau pada akhirnya hanya dipergunakan untuk menumpahkan darah. Dipakai untuk saling membunuh...." "Sampeyan sebagai pembuat tidak salah, senjata- senjata itu juga tidak salah. Yang salah justru orang-orang yang mempergunakannya secara keliru..." kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Mungkin begitu, saudaraku. Namun paling tidak aku merasa ikut bertanggung jawab. Kalau tidak kubuat senjata itu, tidak akan ada yang mati terbunuh. Karenanya aku putuskan untuk tidak membuat keris atau apapun lagi!" "Lalu apa kerja sampeyan? Hanya bersunyi diri di tepi telaga sejuk ini?" "Aku sengaja memilih tempat ini sejak sepuluh tahun silam. Karena suasana di dunia luar sangat merisaukan diriku. Kerajaan selalu dilanda kekacauan. Aku mendapat firasat ditahun-tahun mendatang kekacauan akan tambah menjadi-jadi. Aku tak ingin campur tangan. Aku juga tahu ada orang-orang Kerajaan yang diutus untuk mencariku. Jangan-jangan kau adalah salah seorang dari mereka. Bukankah kau salah seorang kepercayaan Sultan Demak?" "Sampeyan dan aku sama. Sudah sejak lama aku mengundurkan diri dari kehidupan Kerajaan. Jadi sam- peyan tidak usah merisaukan siapa diriku. Aku adalah sahabatmu, saudaramu...." "Aku bahagia mendengar ucapanmu itu, Ki Suro. Hatiku benar-benar terasa sejuk. Apa lagi kalau aku ingat aku seorang Hindu, kau seorang Muslim...." Ki Suro Gusti Bendoro tersenyum dan pegang bahu sahabatnya itu. "Walau kita berlainan kepercayaan, tapi

perbedaan agama tidak bisa memutuskan tali persahabatan dan tali persaudaraan. Itulah keagungan Yang Maha Kuasa...." Empu Bondan Ciptaning tersenyum dan angguk- anggukkan kepalanya. "Sekarang ceritakan padaku, gerangan apa yang membuatmu mencariku. Sampai- sampai bayanganmu muncul dalam samadiku. Aku merasa ada sesuatu yang penting...." "Sangat penting," sahut Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Ada sesuatu yang harus aku serahkan padamu sebelum aku melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Mahameru...." "Tunggu dulu..." kata Empu Bondan Ciptaning. "Kau menyebut niat hendak naik ke puncak Mahameru. Hal ini mengingatkan aku akan sesuatu. Apakah...?" Sang Empu tidak teruskan ucapannya. Wajahnya mendadak berubah redup tanpa ada kesedihan di lubuk hatinya. Ki Suro anggukkan kepala dengan perlahan. Wajahnya juga ikut larut dalam perasaan. "Lima puluh tahun aku menunggu. Aku sudah mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Saatnya bakal datang tidak lama lagi. Itu sebabnya aku harus mempersiapkan diri dari sekarang...." "Kiai, saudaraku.... Apakah ini berarti kali terakhir kita bertemu?" Empu Bondan Ciptaning ulurkan tangannya memegangi lengan Ki Suro Gusti Bendoro. "Jangan bertanya seperti itu saudaraku..." jawab Ki Suro walau hatinya semakin ikut tenggelam dalam kesedihan. "Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara saja. Merupakan satu persinggahan sebelum kita sampai ke hidupan yang abadi, yaitu alam akhirat, alam baka. Berpisah di dunia, dengan kehendak Yang Maha Kuasa kelak kita akan bertemu di alam akhirat" Empu Bondan Ciptaning akhirnya tersenyum luruh. "Saudaraku, belum pernah aku bertemu orang yang

mengadapi akhir hidupnya penuh senyum dan ketabahan...." "Ketabahan, bukankah itu dasar dari tawakal dan keimanan dalam agama kita...?" ujar Ki Suro pula. "Kau benar Kiai. Nah sekarang beritahu saudaramu ini. Gerangan apa yang hendak kau serahkan padaku?" "Sebuah kitab. Sebuah kitab yang usianya hampir dua kali usia kita berdua...." jawab Ki Suro Gusti Bendoro pula. Lalu tangannya bergerak ke balik jubah putihnya.

***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU

KITAB "HIKAYAT KERATON KUNO" 5

ARI dalam jubah putihnya Ki Suro Gusti Bendoro keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun lontar. Orang tua ini memegang kitab itu dengan sangat hati-hati. Karena selain daun lontarnya sudah sangat tua dan rapuh, agaknya kitab itu juga merupakan sebuah benda langka dan sangat berharga bahkan mungkin merupakan sebuah kitab sakti atau keramat. Ki Suro letakkan kitab tipis yang terdiri hanya dari beberapa halaman itu di atas pangkuan sahabatnya. Sesaat Empu Bondan Ciptaning pandangi kitab daun lontar di atas pangkuannya itu dengan air muka tidak percaya. Lalu dia menatap wajah sahabatnya. Walau kitab tersebut tidak memiliki sampul dan judul namun sang Empu sudah maklum kitab apa itu adanya karena dia telah pernah mendengar keberadaan buku ini sejak puluhan tahun silam. "Kiai Suro, apa tidak salah aku menduga. Bukankah kitab yang hendak kau berikan ini adalah Kitab Hikayat Keraton Kuno yang pernah dibicarakan orang sejak setengah abad silam?" ' "Tidak salah dugaanmu, saudaraku." kata Ki Suro pula. "Memang itu adalah kitab Hikayat Keraton Kuno yang banyak dibicarakan orang. Banyak yang ingin memilikinya walau menempuh jalan sulit. Bahkan dengan darah dan nyawa!" D

"Dari mana kau mendapatkan kitab in! Kiai Suro? Bukankah seharusnya berada di Keraton Demak? Bukankah ini salah satu benda pusaka keraton?" Ki Suro Gusti Bendoro gelengkan kepala. "Begitu banyak orang yang menginginkan kitab ini. Termasuk para petinggi di beberapa Keraton. Hingga muncul semacam kepercayaan bahwa kitab ini adalah milik atau benda pusaka Keraton. Entah Keraton yang mana...." "Aneh, lalu bagaimana kitab ini sampai di tanganmu. Lalu mengapa pula hendak kau berikan padaku?" Kembali Empu Bondan Ciptaning bertanya. "Peristiwanya sekitar empat puluh tahun lalu," Ki Suro memulai keterangannya. "Saat itu aku berada di selatan pedataran pasir Tengger. Udara panas bukan main. Matahari seolah hanya satu jengkal di atas ubun-ubun. Bahkan hembusan anginpun laksana kobaran api membakar jagat. Dalam perjalanan itu aku membekal satu kantong kulit berisi sisa air yang mungkin cuma sebanyak dua atau tiga teguk. Walau haus aku tak mau meminumnya karena perjalananku masih jauh. Aku harus menemukan mata air dulu baru berani meneguk air dalam kantong kulit. Selain itu aku juga membekal sepotong ubi rebus. Aku juga tidak memakan ubi itu sebelum mendapat makanan pengganti. Pada saat aku berada dipuncak rasa lapar dan rasa haus yang luar biasa itulah di satu tempat ketinggian aku melihat seseorang duduk bersila di atas pasir. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar. Karena heran, lagi pula sudah sekian lama tidak berjumpa orang lain maka aku naik ke pedataran pasir itu menemui orang tadi. Maksudku ingin bertutur sapa barang sepatah dua patah. Orang ini ternyata seorang pengemis tua, berpakaian compang camping, penuh robek dan tambalan. Kulitnya

ditumbuhi koreng di mana-mana. Badannya mengeluarkan hawa busuk. Aku jadi tertegun dan tak tahu mau berbuat apa. Padahal sebelumnya ingin sekali aku berkenalan dan bertegur sapa. Pengemis tua itu sendiri tampaknya seolah tidak perduli akan kehadiranku di tempat itu. Dan sahabatku Empu Bondan Ciptaning. Tahukah sampeyan apa yang tengah dilakukan pengemis tua itu di atas pedataran pasir yang panas itu? Dia duduk khidmat tengah berzikir!" Empu Bondan Ciptaning kerutkan kening. "Luar biasa..." katanya sambil gelengkan kepala. "Karena aku tidak ingin mengganggu ibadahnya maka setelah membungkuk memberikan penghormatan aku berniat hendak meninggalkan tempat itu...." Ki Suro lanjutkan kisahnya. Namun tiba-tiba pengemis tua itu buka capingnya. Aku lihat wajahnya. Astagafirullah, pengemis itu ternyata memiliki sepasang mata putih semua. Dia buta. Dalam keadaan seperti itu si pengemis lalu sodorkan capingnya dalam keadaan terbalik ke arahku. Aku terpe- rangah. Bagaimana mungkin, di pedataran pasir luas seperti itu, orang tua itu masih hendak mengemis minta sedekah. Apa lagi saat itu aku tidak membawa uang barang sekepingpun. Tetapi sepertinya tahu apa yang ada dalam benak dan hatiku, pengemis itu tiba-tiba berkata. "Insan berjubah. Aku tidak inginkan uangmu. Kalau kau membawa makanan itulah yang aku minta. Sudah dua hari aku di pedataran pasir ini. Tak sepotong makananpun pernah masuk ke dalam perutku." Hatiku hiba. Aku memang membawa sepotong kecil ubi rebus. Aku sendiripun tengah menahan lapar luar biasa. Tapi melihat keadaannya yang seperti itu, hatiku menjadi luluh tak tega. Ubi yang tinggal sepotong aku serahkan padanya. Dia tidak mengatakan apa-apa, langsung saja memakan habis ubi rebus itu tanpa mengupas kulitnya.

Setelah kulihat pengemis itu memakan habis ubi dan wajahnya tampak segar, kembali aku membungkuk dan hendak meninggalkannya. Namun seperti tadi dia ulurkan lagi caping bambunya lalu berkata. "Insan berjubah, ubi yang kau berikan sudah kumakan habis. Walau cuma sepotong kecil tapi masih ada gunanya sebagai penangsal perutku. Kau sungguh baik, hatimu sungguh mulia. Namun makan tanpa minum sungguh tidak sedap. Apa lagi aku haus sekali. Dua hari aku berada di pedataran pasir ini. Tidak setetes airpun pernah melewati tenggorokanku. Aku tahu kau ada membawa air. Kiranya kau mau memberikannya padaku." Aku terkejut mendengar ucapan pengemis tua itu. Matanya buta tapi aneh dia tahu aku membawa air. Bagaimana ini? Hendak kuberikan persediaanku sangat terbatas dan aku sendiri sudah dilanda haus yang sangat hebat. Kulitku sekering pedataran pasir Tengger. Namun lagi-lagi aku merasa tidak tega jika aku tidak memenuhi permintaannya. Aku mungkin saja masih bisa bertahan, pengemis itu mungkin tidak. Saat itu si pengemis telah mengulurkan capingnya kembali. Mau tak mau akhirnya kuberikan kantong kulit berisi air kepadanya. Kuletakkan di dalam caping yang ditengadahkannya itu. Aku berharap dia tidak akan menghabiskan semua air yang cuma sedikit itu. Pengemis tua itu mengambil kantong kulit yang ada dalam capingnya. Di luar dugaanku dia meneguk air dalam kantong sampai habis! Dalam keadaan kosong kantong dikembalikannya padaku. Aku membalik-balikkan kantong itu berulang kali, menekannya di sana-sini namun tidak setetes airpun yang masih tersisa. Selagi aku kebingungan kulihat pengemis tua itu malah tersenyum padaku. Lalu dia berucap. "Kau sungguh balk, hatimu sungguh mulia. Tuhan akan memberkahimu. " Setelah berkata begitu pengemis ini tiba-tiba ulurkan

lagi capingnya. Membuat aku terkejut. Apa lagi yang hendak dimintanya dariku, pikirku. Mungkin dia inginkan jubah putihku? Karena aku tidak memperhatikan ke arah caping, melainkan memandangi wajah si pengemis sambil menunggu apa yang akan diucapkannya, pengemis tua itu lalu acungkan capingnya sambil digoyang-goyang. Aku lalu memperhatikan ke arah caping yang dipegangnya. Men- dadak aku jadi terkejut. Di dalam caping itu kulihat ada sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang sudah rapuh. Pastilah kitab itu sangat tua sekali. Aku membungkuk sedikit, memperhatikan kitab itu. Si pengemis kembali menggoyangkan capingnya lalu berkata. "Ambillah. Kitab itu untukmu karena memang berjodoh dengan dirimu...." Aku tidak mengerti. Kembali si pengemis menyuruh aku mengambil kitab itu. Sampai tiga kali akhirnya kuulurkan tangan mengambil kitab itu. Begitu kitab berada dalam tanganku si pengemis berkata. "Menghadaplah ke kiblat dan mulailah membaca kitab itu." Walau hatiku merasa heran tapi entah mengapa aku mengikuti apa yang diucapkan si pengemis tua. Begitu aku menghadap ke arah yang dikatakan pengemis itu, saat itu juga aku merasakan satu keanehan. Serta merta aku tidak lagi merasa kepanasan, lapar ataupun haus. Sang surya yang tadinya serasa seperti hanya satu jengkal di atas kepala kini seperti berubah menjadi rembulan yang memancarkan cahaya indahnya di malam yang sejuk. Rasa lapar dan dahaga yang kuderita hebat mendadak lenyap dan tubuhku terasa segar bugar. Seolah- olah aku ini baru saja selesai mandi di dalam satu telaga yang jernih dan berair sejuk. Penuh perasaan heran aku membalikkan badan ke arah si pengemis tadi. Tetapi, astagafirullah. Pengemis tua itu tak ada lagi di tempat tadi dia duduk! Aku mencari dan memandang seantero pe- dataran pasir. Orang itu tidak kelihatan. Aku berteriak

memanggil-manggil. "Ki sanak.... Ki sanak pengemis!" Suaraku lenyap ditelan udara kawasan pedataran pasir. Kemana lenyapnya pengemis aneh itu, pikirku. Lalu kuperhatikan pasir di sekitarku. Kalau dia memang sudah meninggalkan tempat itu pasti ada jejak-jejak kakinya di atas pasir. Tapi aku tidak melihat apa-apa! Kupejamkan ke dua mataku. Dalam hati dan pikiranku aku menduga. Jangan-jangan pengemis tua tadi adalah Malaikat. Tapi kemudian kusadari mana mungkin Malaikat akan menemui diriku yang rendah dan hina ini. Walau demikian aku langsung ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang mampu melakukan apa saja yang mustahil bagi kita manusia. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan bersujud. Menyebut nama Tuhan berulang kali dan memohon petunjuk serta bimbinganNya. Lalu aku berdiri. Setelah memandang berkeliling akhirnya kutinggalkan tempat itu dengan mengepit erat kitab kuno itu. Aku tahu betul saat itu aku berada jauh di tengah-tengah Pedataran Pasir Tengger. Namun sungguh aneh, seolah ada yang membimbing, langkahku ringan dan cepat. Sebelum sang surya condong ke barat aku sudah sampai di satu jalan me- nurun menuju ke sebuah desa. Padahal jika tidak terjadi sesuatu keanehan atas diriku dengan pengemis tua itu, niscaya menjelang Magrib baru aku bisa sampai di tempat itu. Aku tidak segera memasuki desa itu tetapi mencari tempat yang enak di bawah kerindangan sebuah pohon dan duduk di situ. Dari balik jubah kukeluarkan kitab yang kuperoleh dari pengemis aneh itu. Namun belum sempat kitab kubuka, mendadak berkelebat satu bayangan. Tahu- tahu di hadapanku berdiri seorang nenek berwajah angker. Sekujur muka dan kulit ubuhnya berlapis sisik hitam kebiru-biruan. Ketika dia menyeringai kulihat deretan gigi- giginya panjang dan merah. Waktu dia menjulurkan lidahnya, lidah itu juga berwarna merah, basah seperti

bergelimang darah. Selain itu lidah si nenek ternyata bercabang dua. Aku segera mengenali siapa adanya nenek ini. Dia adalah tokoh silat dari timur yang dijuluki Si Lidah Bangkai. Siapa saja yang sampai tersentuh lidah bercabangnya serta merta akan berubah menjadi bangkai alias menemui ajal!" Empu Bondan Ciptaning yang mendengar penuturan sahabatnya itu tampak terkejut. "Si Lidah Bangkai..." ujar sang Empu. "Nenek ular yang sepanjang hidupnya selalu gentayangan berbuat kejahatan dan keonaran. Kalau tidak salah kabar yang aku sirap, dia terlibat dalam pembantaian keluarga Pangeran Prawoto yang dilakukan oleh Ario Penangsang. Heran, usia sudah begitu lanjut, Malaikat Maut sudah siap untuk menjemput, mengapa masih mau- maunya berbuat kejahatan menumpah darah menebar kematian...." Empu Bondan Ciptaning hela nafas panjang, menanti Ki Suro Gusti Bendoro melanjutkan penuturannya.

***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU

SI LIDAH BANGKAI 6

ENEK yang muka dan badannya bersisik hitam kebiru-biruan itu sesaat menatap dengan matanya yang besar berkilat ke arah Ki Suro Gusti Bendoro yang juga memandang kepadanya dengan air muka tenang walau dalam hati sudah merasa kurang enak. "Setiap muncul nenek satu ini selalu mendatangkan malapetaka. Bahala apa yang hendak diperbuatnya terhadapku," kata Ki Suro dalam hati. Perlahan-lahan nenek yang dijuluki Si Lidah Bangkai itu angkat kepalanya, mendongak ke langit. Dia julurkan lidah merah bercabangnya dua kali berturut-turut lalu tertawa melengking seperti suara kuda meringkik. Ki Suro yang belum pernah mendengar suara tawa seperti itu mau tak mau jadi tercekat. Namun orang tua ini tetap duduk dengan tenang, menatap penuh waspada ke arah si nenek. "Orang tua berjubah putih, apa benar kau orangnya yang bernama Ki Suro Gusti Bendoro? Yang konon menjadi kepercayaan Keraton Demak?" Tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan dengan suara lantang. Ki Suro tersenyum lalu menjawab. "Sampeyan benar. Aku memang Ki Suro Gusti Bendoro. Tapi aku sudah sejak lama tidak lagi punya sangkut paut dengan Keraton Demak. Saat ini aku tidak lebih dari seorang musafir yang tengah melakukan perjalanan pengembaraan...." Si Lidah Bangkai tatap lekat-lekat wajah Ki Suro lalu N

seperti tadi kembali dia tertawa meringkik. Lidahnya yang besar merah dan bercabang menjulur-julur keluar. "Kalau orang sepentingmu tidak lagi berada di Keraton Demak, tentu ada apa-apanya! Apakah kau mau menerangkan?" Ki Suro gelengkan kepala. Sambil tersenyum dia berkata. "Tidak ada yang perlu kuterangkan. Sampeyan orang berkepandaian tinggi dan luas pengalaman tentu sudah tahu apa yang terjadi di Kesultanan Demak...." Si nenek tertawa panjang. "Ki Suro, kau pandai memuji. Tapi aku kurang percaya pada orang yang suka memuji. Karena apa yang dikatakan mungkin tidak sama dengan apa yang ada di dalam hatinya...." Walau disindir orang seperti itu, Ki Suro tetap tersenyum. Dengan suara tenang dia berucap. "Aku setuju dengan pendapat sampeyan. Dalam hidup ini kepercayaan adalah hal paling utama. Karenanya tidak salah kalau orang-orang tua kita membuat ujarujar yang berbunyi Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya." Wajah bersisik si nenek yang berjuluk Si Lidah Bangkai itu tampak berubah ungu. Ini satu pertanda bahwa dia sedang dalam keadaan marah karena merasa tersinggung oleh ucapan Ki Suro tadi. Seperti diketahui nenek ini adalah momok nomor satu yang paling ditakuti sekaligus dibenci dikawasan timur. Orang-orang persilatan dari kalangan tertentu bukan saja tidak menyukainya tetapi juga tidak mempercayainya. Itu sebabnya dia merasa kena tempelak oleh ucapan Ki Suro tadi. Walau telinga dan hatinya terasa panas tapi dengan cepat dia kuasai diri. Mukanya yang tadi ungu perlahan kembali berubah men- jadi hitam kebiruan. Malah kembali dia tertawa me- lengking-lengking. Lalu dia meludah ke tanah. Ludahnya kental dan berwarna merah seperti darah. Ludah itu jatuh

di tanah hanya satu langkah dari hadapan Ki Suro. "Hemmm.... Nenek ini mulai berbuat olah mencari perkara. Dia sengaja meludah untuk memancing kemarahanku. Aku harus waspada dan bersabar diri," kata Ki Suro Gusti Bendoro dalam hati. "Ki Suro, tapi kau berkata bahwa saat ini kau tak lebih sebagal seorang musafir yang tengah melakukan pengembaraan. Jika orang sepentingmu merelakan diri meninggalkan kehidupan senang di Keraton lalu melakukan perjalanan pengembaraan, pasti ada sesuatu yang tengah kau cari...." "Sampeyan sungguh tajam pandangan dan pikiran," kata Ki Suro lagi-lagi dengan tersenyum. "Bagiku kehidupan Keraton bukanlah satu kehidupan yang menyenangkan. Dimanapun aku berada tujuan hidupku bukanlah untuk mencari kesenangan. Aku mengembara untuk menghabiskan sisa hidup ini agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan Seru Sekalian Alam...." "Sungguh satu ucapan yang mencerminkan ketinggian budi dan kemuliaan jiwa!" memuji Si Lidah Bangkai tapi lalu tertawa panjang seolah mengejek. "Ki Suro, jika aku tidak salah menduga. Bukankah kau- barusan mengadakan perjalanan ke kawasan pedataran pasir Tengger?" "Sampeyan benar. Memang aku barusan dari sana..." jawab Ki Suro polos. "Kau menjawab dengan jujur. Tapi aku ingin tahu apakah kau juga akan memberikan jawaban jujur untuk pertanyaanku berikutnya.... Apa yang kau cari di gurun pasir Tengger?" "Pertanyaan sampeyan sebenarnya sudah terangkum dalam keteranganku sebelumnya. Aku ingin mendekatkan diri pada Illahi sebelum aku kembali menghadapNya." "Tapi tentunya kau tidak menemukan Illahi di gurun

pasir itu, bukan?!" ujar si nenek. Dia keluarkan suara tercekik lalu tertawa meringkik. "Kau boleh menghina diriku Lidah Bangkai! Tapi jangan sekali-kali berani mempermainkan Gusti Allah di hadapanku! Aku akan menyabung nyawa untuk hal yang satu itu!" Ki Suro Gusti Bendoro jadi marah besar karena merasa si nenek mempermainkan nama Tuhan. Si Lidah Bangkai cepat goyang-goyangkan tangan kanannya. "Sabar, seorang Kiai sepertimu harus sabar. Jangan terlalu cepat berprasangka buruk dan marah. Sekarang aku mau bertanya secara baik-baik. Siapa yang kau temui di gurun Tengger itu? Dan apa yang kau dapatkan di sana? Apakah kau mau menjawab?!" Ki Suro Gusti Bendoro merenung sejenak. Setelah dia bisa menenangkan darahnya yang tadi sempat bergejolak baru dia menjawab. "Nenek, walau aku merasa kau keliwat memaksa dan seperti tengah memeriksa aku sebagai seorang pesakitan, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Di gurun pasir Tengger, aku secara kebetulan bertemu dengan seorang pengemis bermata buta. Aku tidak tahu siapa namanya atau apakah dia mempunyai semacam gelar dan julukan. Dia menyerahkan kitab tua terbuat dari daun lontar ini padaku." Ki Suro Gusti Bendoro lalu perlihatkan kitab daun lontar yang ada di tangan kanannya, lalu meletakkan kitab itu di atas pangkuannya. Sepasang mata si nenek membesar, menatap tajam pada kitab yang ada di tangan kanan Ki Suro. "Kau memang manusia paling jujur dan polos di atas bumi ini. Karenanya tidak salah kalau aku juga ingin polos dan terus-terang...." "Apa maksud sampeyan dengan ucapan itu?" bertanya Ki Suro.

"Aku ingin agar kau menyerahkan kitab itu padaku!" kata Si Lidah Bangkai sambil acungkan telunjuk tangan kanan, menunjuk tepat-tepat ke arah kitab yang ada di atas pangkuan Ki Suro. Lalu dia mendongak ke langit, kemudian tertawa seperti kuda meringkik. Lidahnya yang basah merah dan bercabang kembali menjulur-julur. "Hemm... tak salah dugaanku. Nenek satu ini memang sengaja muncul untuk mencari perkara," membatin Ki Suro. Karena memang sudah menduga kemunculan si nenek memang tidak bermaksud baik maka Ki Suro tidak begitu terkejut mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai itu. Masih dengan tersenyum dia berkata. "Tak mungkin kitab ini kuserahkan pada sampeyan. Kitab ini adalah titipan pengemis di gurun pasir Tengger itu. Aku harus menjaga dan memeliharanya baik-baik." "Katamu kau tengah menghabisi sisa hidup. Kalau memang sudah mau mati mengapa masih menginginkan memiliki kitab itu?" "Kalau aku sudah mati itu perkara lain. Bagaimana jadinya nanti dengan kitab ini tentu tidak akan kuketahui lagi. Tetapi selagi aku masih hidup, kitab ini tetap akan berada di tanganku dan kujaga baik-baik." "Kalau begitu, untuk mempercepat urusan, biar kau kubunuh saja saat ini juga! Begitu kau mati kau tak ada urusan lagi dengan kitab itu. Begitu maumu, bukan? Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Dari mulutnya keluar suara seperti meniup. Lalu lidahnya yang merah basah bercabang dua melesat keluar. Secara aneh lidah ini berubah panjang dan ujungnya menyambar ke arah leher Ki Suro Gusti Bendoro!

(Bersambung Ke Episode berikutnya)

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

1

PERGURUAN Bintang Muncrat memang bukan merupakan satu perguruan kungfu terkenal. Apa lagi memiliki pendekar-pendekar kondang lihay kawakan. Letak perguruannyapun di desa Khan Cut, sebuah desa terpencil di kaki gunung. Perguruan silat yang dianggap "kampungan" itu dipimpin oleh seorang guru kungfu bernama Tay Kun Ing. Kabarnya dia pernah menjadi anak murid Siauw Lim Pay sekitar selusin tahun yang silam, tapi dikeluarkan secara tidak hormat gara-gara ketahuan mengintip juru masak, yakni seorang encim-encim gembrot yang sedang kencing pagi di pinggir got. Tay Kun Ing bertubuh kerempeng. Kepalanya botak plontos macam pentol geretan. Dia memiliki wajah dan kepala berwarna kuning karena selalu diplitur dengan kunyit campur kencur dan minyak jelantah. Mungkin itulah pangkal sebabnya orang sedesa memanggilnya dengan nama Tay Kun Ing. Siapa nama sebenarnya konon tidak satu orang pun yang tahu. Meski tidak punya nama besar, namun perguruan silat Bintang Muncrat menjadi buah bibir pemuda-pemuda sedesa Khan Cut bahkan tembus sampai puluhan lie di luar desa. Sebabnya lain tidak di perguruan itu terdapat seorang murid perempuan berkulit mulus berwajah imut- imut. Namanya Giok Ngek. Dia merupakan murid kesayangan Tay Kun Ing dan kabarnya masih keponakan sang guru silat.

Kecantikan Giok Ngek inilah yang membuat perguruan kungfu Bintang Muncrat menjadi tersohor dan dipergunjingkan orang dimana-mana. Telah banyak pula pemuda-pemuda coba memikat sang dara. Yang ingin kenal secara sopan dan baik-baik saja dipandang sebelah mata oleh Giok Ngek. Apa lagi yang secara kurang ajar. Dianggap kentut basi oleh sang dara. Kejelitaan Giok Ngek itu akhirnya sampai pula ke telinga besar tebal dan mablang seorang Jenderal bernama King No Kong yang tinggal di kota Tu Lie, di Propinsi Wong Siet, sekitar 130 lie dari desa Khan Cut. Jenderal ini memiliki tubuh tinggi besar dan kekar. Bibirnya tebal, giginya malang melintang tidak karuan seperti pagar dicabut maling. Perwira tinggi ini bukan saja terkenal sebagai Jenderal Pantat Botol alias Jenderal Slebor, suka menenggak minuman keras dan jadi pemabok nomor satu, tapi sekaligus juga tersohor sebagai Jenderal Mata Bongsang alias Mata Keranjang! Walau terlahir kedua matanya tidak sebesar bongsang tapi justru menyembul bengkak seperti mata ikan Maskoki dan juling pula! Begitulah sang Jenderal dikenal sebagai manusia tidak boleh melihat jidat licin dan betis mulus alias tak boleh melihat perempuan cantik. Baik yang sudah punya suami apa lagi yang masih muda dan masih gadis tentunya! Telah banyak gadis-gadis dan istri-istri orang yang jatuh ke tangan Jenderal King No Kong ini. Dan agaknya dia masih belum merasa puas. Ketika mendengar dari salah seorang anak buahnya bahwa di desa Khan Cut ada seorang gadis anak murid perguruan kungfu Bintang Muncrat memiliki kecantikan serta potongan tubuh selangit tembus bernama Giok Ngek, langsung saja badan sang Jenderal menjadi angot panas dingin ingin ketemu. Siang terbayang-bayang malam terkenang-kenang waktu tidur jadi impian. Dia ingin

menyaksikan sendiri dengan mata maskokinya yang juling. Sampai di mana kecantikan wajah dan kebagusan potongan tubuh sang dara. Jika nanti ternyata memang seperti yang diceritakan anak buahnya, daun muda satu itu pasti tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akan diboyongnya ke gedung kediamannya yang punya dua puluh satu kamar di Tu Lie! Maka bersama tiga orang pengawal Jenderal Slebor King No Kong pada suatu pagi buta selagi orang dan binatang masih pada terpulas nyenyak, dia berangkat menuju desa Khan Cut dengan menunggang kuda. Sepanjang perjalanan sang Jenderal tidak henti-hentinya meneguk minuman keras dari buli-buli tanah yang dibawa para pengiringnya. Sambil menenggak minuman dia tertawa-tawa sendiri membayangkan kecantikan wajah serta kebagusan dan kemulusan tubuh Giok Ngek hingga sepintas Jenderal ini kelihatan tidak beda dengan orang yang agak rada-rada alias kurang wajar!

***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

2

URU kungfu Tay Kun Ing sedang duduk-duduk santai di serambi rumah. Tangan kanannya asyik mengupil sedang tangan kiri memegang kitab komik terlaris pada masa itu yaitu serial "Super Amoy" jilid ke 32. Tentu saja manusia kerempeng muka kuning ini sangat terkejut ketika melihat seorang tinggi besar bertampang garang berpakaian kebesaran Jenderal Kerajaan beserta tiga pengawalnya tahu-tahu muncul memasuki pekarangan rumah, melewati pintu pagar yang sudah doyong. Sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan maksud tujuan sang Jenderal datang ke tempat kediamannya, guru kungfu Tay Kun Ing letakkan kitabnya lalu berdiri dan cepat-cepat turun dari serambi rumah, menyambut kedatangan tetamu penting itu. Begitu sampai di hadapan sang Jenderal, Tay Kun Ing langsung menjura dalam-dalam memberi penghormatan. Begitu patah pinggangnya membungkuk hingga dia hampir keluarkan kentut. Jenderal King No Kong pencongkan bibirnya yang tebal monyong. Kedua matanya yang juling berputar beberapa kali. Lalu sambil menunjuk pada papan nama perguruan Bintang Muncrat yang tergantung di bawah talang air rumah dia menegur. "Tuyul kerempeng muka tai! Kau kacung penjaga perguruan kungfu ini?!" Seumur hidupnya baru sekali itu Tay Kun Ing dipanggil dengan sebutan tuyul! Apa lagi sebutan muka tai! Hatinya G

langsung panas dan dia jadi tambah marah karena dia dianggap sebagai kacung perguruan! Kalau saja bukan seorang Jenderal yang dihadapinya, pasti sudah sejak tadi- tadi dia menghantam dengan jurus "sayap kampret lapar menggebrak puncak Taysan" yaitu satu jurus tamparan yang bisa membuat mulut lawan pecah berdarah! Dengan menahan sakit hati guru kungfu Tay Kun Ing kembali menjura dan berkata. "Jenderal Yang Mulia, saya bernama Tay Kun Ing. Pemilik dan ketua perguruan Bintang Muncrat ini. Jadi bukan kacung seperti yang Jenderal bilang tadi...." "Hemmmmm, begitu...?" Dua mata maskoki Jenderal Slebor kembali berputar. Dia melirik kian kemari, mencari- cari kalau-kalau tersembul wajah gadis cantik bernama Giok Ngek itu. "Jenderal Yang Mulia, ada gerangan keperluan apakah sampai Jenderal dan para pengawal datang dari jauh, berkunjung ke tempat saya ini?" Tay Kun Ing ajukan pertanyaan. "Pertama sekali ketahuilah, Jenderalmu yang mulia ini bernama King No Kong. Jenderal Kaisar yang paling tercemar. Eh! Maksudku paling terkenal di seantero daratan Tiongkok!" "Hay ya! Jadi pinceng berhadapan dengan Jenderal Kong No King yang kesohor itu!" Kembali Tay Kun Ing menjura dalam-dalam (pinceng = saya yang rendah). "Bangsat kurang ajar!" bentak Jenderal Slebor. "Namaku King No Kong! Jangan dibalik Kong No King! Apa tubuhmu mau ke balik kaki ke atas kepala ke bawah?!" "Maaf Jenderal! Mohon maaf dan ampunmu! Pinceng tidak biasa berhadapan dengan orang besar seperti Jenderal. Jadi...." "Jadi apa jidatmu mau kuletakkan di pantat dan

pantatmu kutaruh di jidat hah?!" menghardik sang Jenderal. "Hay ya! Ampun Jenderal," kata Tay Kun Ing sambil membungkuk berulang kali. "Kalau pinceng punya pantat ditaruh di jidat dan jidat ditaruh di pantat bagaimana mau makan dan buang air! Bisa-bisa salah kamar!" Guru kungfu Tay Kun Ing diam-diam mulai merasa tidak enak. Dia sudah pernah mendengar nama Jenderal satu ini. Jenderal pemabuk yang suka mengganggu anak istri orang. "Jangan-jangan kedatangan si pantat botol ini mau menyatroni pinceng punya murid si Giok Ngek!" Di atas kudanya Jenderal Slebor King No Kong meneguk buli-buli arak hingga mengeluarkan suara menyiplak dan minuman keras itu berlelehan di dagunya yang ditutupi berewok tebal kotor berdebu. "Aku ampuni kesalahanmu Tay Kun Ing!" berkata Jenderal Slebor. "Sekarang lekas kau suruh keluar murid keponakanmu yang bernama Giok Ngek itu! Aku mau lihat apa kecantikan serta kebagusan tubuhnya benar-benar seperti yang disohorkan orang selama ini! Apa kecantikan dan potongan tubuhnya benar-benar bisa membuat aku jadi ngek" "Cialat! Cialat muridku!" keluh Tay Kun Ing dalam hati. Untuk sesaat dia hanya bisa tertegun bingung. "Tuyul muka kuning! Apa kau tuli atau budek hingga tidak menjalankan apa yang diperintahkan Jenderal kami!" Salah seorang pengawal sang Jenderal tiba-tiba menghardik. Guru kungfu Tay Kun Ing menyumpah panjang pendek dalam hati. "Ba... baik Jenderal Yang Mulia. Pinceng akan panggil gadis itu keluar. Harap mau bersabar dan sudi menunggu..." Tay Kun Ing putar tubuhnya yang kerempeng. Tapi belum lagi dia sempat melangkah tiba-tiba dari pintu

depan rumah muncul seorang perempuan muda bertubuh gemuk-gendut luar biasa. Pakaiannya yang berwarna berbunga warna-warni kelihatan ketat kesempitan hingga bagian-bagian tubuhnya menyembul seperti berserabutan yaitu bagian dada yang gembrot ayun-ayunan, lalu perut yang gendut menonjol, kemudian bagian pantat yang melembung seperti ada boncengannya serta dua paha yang gebyar-gebyor! Dara super gemuk ini memiliki rambut hitam diponi di bagian depan dan dikonde besar di sebelah belakang. Rambutnya hitam berkilat dan bau apak karena diberi minyak jelantah! Wajahnya ditemploki bedak tebal tak karuan. Pada bagian pipi kiri kanan diberi pemerah mencolok sedang bibirnya yang tebal berselomotan dengan gincu berwarna merah mencorong, berlepotan sampai ke dagu dan atas bibir. Wajahnya yang bulat dan selalu keringatan itu tentu saja jauh dari cantik!

***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

3

URU kungfu Tay Kun Ing terpaku bengong keheranan. Dia tidak kenal siapa adanya gadis gendut melembung berdada gembrot ini. Bahkan dia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Sungguh aneh kalau tahu-tahu gadis ini muncul begitu saja di dalam rumah! Lain halnya dengan Jenderal Slebor King No Kong. Sepasang mata maskokinya semakin membeliak dan bertambah juling ketika memandang sang dara. Dengan mulut termonyong-monyong sang Jenderal berpaling pada anak buahnya yang ada di samping kiri. "Jadi ini dia gadis bernama Giok Ngek yang katamu wajah serta potongan tubuhnya selangit tembus!" Belum lagi si anak buah menjawab, gadis gemuk dengan dandanan kacau balau seperti kampung dilanda angin puting beliung itu, melangkah menuruni tangga serambi. Setiap langkah yang dibuatnya membuat sekujur tubuhnya mulai dari dada sampai ke pinggul bergoyang ayun-ayunan. "Betul sekali Jenderal Yang Mulia," si gadis berucap sambil lontarkan senyum genit manja. "Saya memang Giok Ngek. Bintang perguruan Bintang Muncrat dan rembulan desa Khan Cut. Jenderal Yang Mulia, apakah kau datang mencari saya untuk minta dingek?!" Muka jelek Jenderal King No Kong menjadi merah padam. Bukan saja dia merasa tertipu, tapi juga diejek dan dihina di hadapan para pengawalnya. Dia sengaja datang G

jauh-jauh untuk melihat kecantikan dan kebagusan tubuh yang disohorkan itu. Ternyata setelah berhadapan muka, wajah dan potongan tubuh Giok Ngek berbeda seperti siang dengan malam, seperti susu dengan tuba, seperti madu dengan racun! "Keparat sialan! Ada yang berani menipuku! Ratusan lie datang dari jauh ternyata hanya untuk menyaksikan seekor kuda nil yang diberi baju serta didandani seperti barongsay mabok begini rupa! Guru kungfu Tay Kun Ing! Terima dulu hadiah kejengkelanku!" Habis berkata begitu Jenderal Slebor King No Kong hantamkan buli-buli arak yang terbuat dari tanah di tangan kirinya ke kepala botak guru kungfu Tay Kun Ing. Buli-buli tanah itu hancur berantakan sedang guru kungfu bertubuh kerempeng itu menjerit kesakitan, pegangi kepalanya sementara tubuhnya melintir mata mendelik melihat bintang-bintang kacau balau di atasnya. Tubuh kerempeng itu kemudian terjerongkang ambruk di tanah, setengah pingsan setengah semaput! Jenderal Slebor itu kini berpaling pada tiga pengawalnya. Lalu membentak. "Keparat! Kalian bertiga menipuku!" "Plaakk! Plaaakk! Plaaak!" Tiga kali tangan kanan sang Jenderal bergerak pulang balik. Tiga pengawal terhuyung-huyung di atas kuda, merintih kesakitan terkena tamparan Jenderal King No Kong. Salah seorang dari mereka sambil pegangi mukanya yang bengab masih mengoceh. "Wajahnya mungkin tidak menarik Jenderal Yang Mulia. Memang benar seperti barongsay mabok! Tapi lihat dadanya. Besar luar biasa. Kelapa saja masih kalah besar!" "Setan alas! Kau makanlah kelapa muda barongsay mabok itu!" teriak sang Jenderal. Dicekalnya leher pakaian pengawal yang barusan berani membuka mulut itu lalu dilemparkannya ke arah gadis gemuk berbaju warna warni.

Tabrakan yang keras membuat kedua orang itu sama- sama jatuh terjengkang. Si pengawal pegangi kepalanya yang benjut sambil mengerang kesakitan. Dia tak habis pikir. Jelas-jelas tadi kepalanya menumbuk dada gemuk si gadis. Dia menyangka akan jatuh di atas bagian tubuh yang montok itu tentu lembut-lembut enak. Tapi ternyata dada sang gadis keras seperti batu! Kepalanya seperti menghantam tembok! "Hay ya! Geger otakku!" keluh si pengawal masih terduduk di tanah keliangan. Apa sebenarnya yang ada di balik dada gadis gembrot itu? "Jenderal pantat botol doyan perempuan!" Tiba-tiba satu suara membentak. Yang membentak ternyata adalah si gadis gembrot. Suaranya yang tadi halus seperti suara perempuan kini mendadak berubah, keras dan serak! "Susah-susah dicari kini kau malah datang sendiri! Hari ini tiba saatnya aku membalaskan sakit hati suhu!" (suhu = guru). Dengan kecepatan luar biasa si gadis yang mengaku bernama Giok Ngek itu menerjang ke arah Jenderal King No Kong.

***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

4

ENDERAL King No Kong yang sejak tadi sudah muak melihat tampang dan tingkah laku si gadis gembrot segera ambil buli-buli arak yang tergantung di kantong pelana kuda. Dengan benda ini hendak dikepruknya kepala barongsay betina itu. Namun seorang anak buahnya cepat melompat dari kuda seraya berseru. "Jenderal! Biar aku yang menghajar kuda nil betina ini!" Jenderal King No Kong hentikan gerakannya. Si pengawal cepat memapaki sang dara gembrot hendak memberi hajaran. Tapi entah bagaimana tangan kanannya yang hendak dipakai menjotos tahu-tahu kena dicekal orang, dibetot lalu dipuntir ke belakang punggung hingga dia menjerit keras kesakitan. "Monyet jelek tak berguna! Makan dulu kakiku ini!" hardik si gadis. Kaki kanannya melayang ke pantat si pengawal. "Bukkkk!" Anak buah Jenderal King No Kong mencelat lalu tersungkur jungkir balik di tanah. Mukanya berkelukuruan diparut tanah! "Kurang ajar!" teriak Jenderal Slebor marah sekali. Dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis gemuk itu demikian lincah dan cepat gerakannya. Dia berpaling pada anak buahnya yang di sebelah kanan. "Lekas kau hajar kuda nil kesurupan itu! Cincang kalau perlu!" Mendengar perintah sang Jenderal pengawal itu segera J

"sreett!" Cabut goloknya. Lalu melompat turun dari atas kuda. Tapi begitu berhadapan dengan sang dara dia tidak segera menyerang. Sambil melintangkan golok di depan dada, pengawal yang ada tompel di pipi kirinya ini cengar- cengir lebih dulu. Bahkan kedap-kedipkan matanya lalu berkata. "Nonaku manis, walau tuan besarku marah selangit tembus padamu, tapi aku tauke-mu ini bisa memintakan pengampunan bagi dirimu. Asal saja kau ehem! Tau kan apa yang aku maksudkan? Ya... ya... ya! " "Tidak, aku tidak tahu apa yang kau maksudkan!" jawab Giok Ngek pura-pura tidak mengerti tapi sambil balas kedipkan mata dan lontarkan senyum genit. Merasa mendapat pasaran, menyangka si gadis suka padanya maka setengah berbisik dia berkata. "Kau pura- pura takut dan serahkan diri. Nanti ikut aku. Kita bersenang-senang di atas ranjang. Kau tahu, aku paling suka pada perempuan bertubuh dan berdandan amburadul sepentimu!" "Oh, begitukah?" Gadis gemuk tersenyum lalu cibirkan bibirnya. Lalu dia mendamprat. "Kacung tak tahu diri! Sama saja dengan majikanmu! Tampang seperti kodok! Mulut bau jamban! Biar aku tuanmu ini memberi pelajaran padamu!" Lalu Giok Ngek hantamkan satu jotosan ke muka pengawal tompel itu. Merasa sangat terhina oleh caci maki si gadis, pengawal itu serta merta babatkan golok besarnya. Yang di arah langsung leher Giok Ngek! Guru kungfu Tay Kun Ing yang menyaksikan semua kejadian itu dalam keadaan masih keliangan pejamkan mata saking ngerinya. Tebasan golok si pengawal datangnya laksana kilat. Si gadis gemuk tampaknya susah untuk berkelit selamatkan batang lehernya. Namun apa yang kemudian terjadi sukar dipercaya sang guru kungfu

maupun sang Jenderal. Dara berbadan super gemuk itu menyambut serangan golok dengan melompat ke kiri. Lalu tangan kanannya menyelinap berputar menempel pergelangan tangan lawan. Di lain kejap golok di tangan si pengawal tadi telah berpindah tangan. Malah kini gagang golok itu dipergunakan lawannya untuk mengemplang kepala lawan berulang kali hingga kepala itu bukan saja benjat-benjut tapi juga luka mengucurkan darah. Dalam keadaan babak belur pengawal ini akhirnya melosoh jatuh ke tanah tak sadarkan diri! Rahang Jenderal King No Kong menggelembung. Gerahamnya bergemeletakan. Ditenggaknya arak dalam buli-buli tanah sampai habis. Buli-buli yang kosong kemudian dibantingkannya ke tanah. Dengan mata membelalak merah dia melompat turun dari kuda. Langsung menyerang dara gemuk. Gerakan sang Jenderal enteng dan cepat serta mengeluarkan suara angin berkesiuran pertanda dia memiliki kepandaian kungfu yang tinggi. Sebaliknya si gadis gemuk berdiri tenang-tenang saja. Malah berkacak pinggang dengan sikap mengejek ketika Jenderal pemabuk itu menyerangnya dan berkata: "Jenderal Slebor! Kau memang harus dingek!" "Giok Ngek! Aku bersumpah akan mengekmu sampai mampus!" teriak sang Jenderal kalap. Tinju kanannya berkelebat menderu ke arah pipi kanan gadis bertubuh gemuk itu. Yang diserang gerakkan badannya secara aneh. Pukulan sang Jenderal hanya mengenai tempat kosong. Nyaris tubuhnya ikut terpelintir karena daya dorong pukulan yang kuat tadi. Dengan penuh geram dan beringas Jenderal King No Kong balikkan tubuh. Kaki kanannya mencelat kirimkan satu tendangan ke arah perut lawan. Tapi lagi-lagi serangan kedua ini hanya mengenai

tempat kosong. Malah kini gadis gemuk itu meng- hampirinya sambil rentangkan ke dua tangan bersikap seperti orang hendak merangkul mesra sedang bibirnya dimonyongkan ke depan seolah hendak mencium sang Jenderal penuh nafsu! Karuan saja Jenderal King No Kong tambah menggelegak amarahnya. Dia benar-benar dibuat malu, diejek dan dihina! Begitu tendangannya tidak mengenai sasaran dia susul dengan hantaman tangan ke muka si gembrot! Apa yang terjadi kemudian membuat terkejut semua orang. Serangan Jenderal itu bukan saja kembali hanya mengenai tempat kosong namun saat itu terdengar suara "plaaakk!" Jenderal King No Kong menjerit keras sambil pegangi mukanya yang barusan kena ditampar Giok Ngek. Bibirnya pecah dan kucurkan darah! Sang Jenderal membentak garang. Seperti kalap dia ingin merobek-robek tubuh gadis gemuk itu. Tapi tiba-tiba dia tegak tak bergerak. Dengan sekujur tubuh bergeletar dia bertanya. "Barongsay betina! Tadi kau mengatakan hendak membalaskan sakit hati suhumu! Suhumu yang mana? Siapa! Yang botak bermuka kuning itu?! Siapa kau sebenarnya?!"

***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

G

5

IOK NGEK menyeringai. Setelah awasi tampang Jenderal itu sejenak dia lalu berkata. "Jenderal pantat botol mata maskoki! Kau dengar baik-baik ucapanku! Hari ini jika kau tidak bersumpah dan bertobat tidak akan mengganggu lagi anak gadis dan istri orang, lalu minta ampun karena telah menyiksa suhuku selama bertahun-tahun, maka aku akan buat nyawamu tidak betah tinggal dalam tubuh busukmu itu!" "Kentut busuk! Siapa sih suhumu?!" bentak Jenderal Slebor. "Suhuku Dewi Ngong Kong!" jawab gadis gembrot setengah berteriak. Jenderal King No Kong tersentak kaget. Dia tadi memang sudah curiga bahwa dara gemuk itu bukanlah murid Tay Kun Ing. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau si gadis ternyata mengaku sebagal murid Dewl Ngong Kong! Walau kaget tapi Jenderal Slebor cepat kuasa diri. "Hemmm... jadi kau adalah murid si nenek lihay yang bergelar Dewi Ngong Kong itu! Bagus! Bagus! Suhunya tidak tahu diuntung! Muridnya tidak tahu diri! Hari ini biar aku tuan besarmu memberi pelajaran matematika... eh salah! Maksudku pelajaran sopan santun!" Jenderal Slebor tutup ucapannya dengan mencabut golok panjang yang terselip di pinggang. Sang Jenderal memang terkenal hebat ilmu goloknya. Begitu golok berkelebat satu kali terdengar suara "cras!" Si gadis gemuk

terpekik. Untung dia cepat melompat mengelak hingga kepalanya tidak jadi sasaran babatan golok. Rambutnya berbusaian dan kini tanpa konde - yang ternyata konde palsu - kelihatanlah rambut serta wajahnya yang asli! Ternyata sang dara super gemuk ini adalah seorang lelaki! "Banci kalengan!" teriak Jenderal Slebor marah besar sampai ke dua matanya seperti mau melompat dari rongganya. "Kau akan kucincang sampai lumat! Lalu kujadikan perkedel dan kukirim ke neraka! Rohmu akan jadi setan banci penasaran!" "Jongos Gie Le!" berseri guru kungfu Tay Kun Ing ketika penuh rasa tak percaya dia mengenali dara gemuk itu bukan lain adalah jongos di tempat kediamannya yang selama ini dikenal sebagai pemuda pendiam dan dungu. "Cuma jongos rupanya! Jahanam betul! Berani menghina mengerjaiku!" Jenderal King No Kong mendamprat marah. Untuk ke dua kalinya golok besar di tangan kanannya membabat ke arah dada jongos Gie Le. "Breett!" Jongos Gie Le melompat ke belakang dengan muka sepucat kertas. Dada pakaiannya robek besar dan keluarlah potongan-potongan kain pel serta dua mangkok besar terbuat dari porselen! Mangkok porselen inilah yang tadi dihantam kepala salah seorang pengawal Jenderal Slebor hingga kepalanya jadi benjut! "Banci tengik! Jangan harap kau bisa lolos!" 'teriak Jenderal Slebor. Sesekali tangannya bergerak maka golok itu menabur serangan berantai. Jongos Gie Le terpaksa berlompatan kian kemari cari selamat. Beberapa jurus berlalu tanpa sang Jenderal mampu melukai lawannya. Tiba-tiba terdengar seruan si jongos. "Jenderal juling! Cukup kau jual lagak! Sekarang pinjamkan dulu golokmu padaku!" Kepandaian silat jongos yang bekerja di perguruan silat

Bintang Muncrat itu ternyata tidak berada di bawah tingkat kepandaian Jenderal King No Kong. Karena begitu seruannya tadi lenyap, terdengar suara "kraakk!" Disusul suara jeritan sang Jenderal. Tulang sambungan siku tangan kanan Jenderal Slebor ternyata telah remuk dihajar jotosan si gemuk Gie Le dan goloknya yang terlepas mental ke udara secepat kilat disambar oleh jongos Itu. Lalu golok itu berkelebat menderu-deru memutari sekujur tubuh bagian bawah Jenderal Slebor. Tali celananya putus! Celana yang jebol robek di sana-sini itu melorot turun bersama celana dalamnya! Akibatnya sebatas pinggang ke bawah Jenderal King No Kong berubah menjadi King No Celana alias setengah telanjang! Selagi sang Jenderal kalang kabut menutupi auratnya, jongos Gie Le ketok kepalanya dengan gagang golok hingga perwira tinggi itu terhuyung-huyung kelojotan macam orang teler. "Jenderal hidung belang!" berseru jongos Gie Le. "Sekarang aku perkenalkan padamu jurus kungfu bernama Dewa Cebok!" Pemuda gemuk ini buang golok yang dipegangnya lalu tangan kanannya berkelebat cepat ke bagian bawah perut sang Jenderal. Terdengar suara ceplak-ceplok seperti orang cebok sungguhan. Jeritan Jenderal Slebor itu menggelegar berkepanjangan. "Ampun! Tobat! Ampun!" jerit sang Jenderal. Dia berusaha lindungi bagian tubuh paling berharga yang dimilikinya. Tapi sia-sia belaka. Setelah puas mengerjai Jenderal itu, jongos Gie Le hadiahkan satu tendangan keras ke pantatnya hingga tubuh tinggi besar itu mencelat mental melewati pagar halaman. "Sekarang kau boleh pergi! Bawa begundal-begundalmu! Ingat! Jika kau masih berani mengganggu suhuku Dewi Ngong Kong berarti liang kubur hanya tinggal sejengkal dari

tenggorokanmu! Ayo lekas angkat kaki dari hadapanku!" Jenderal King No Kong melangkah terbungkuk-bungkuk. Sambil melangkah pergi dia pegangi auratnya sebelah bawah. "Aku akan pergi! Ampun! Aku bersumpah tidak akan mengganggu gurumu lagi! Tidak akan mengganggu anak gadis dan istri orang! Tapi anuku ini! Ampun! Bonyok berat! Remuk semua! Acak-acakkan! Tak bisa dipakai lagi! Cialat...! Benar-benar cialat!" Diikuti tiga anak buahnya Jenderal Slebor tinggalkan perguruan Bintang Muncrat dengan kuda tunggangan masing-masing. Sambil pegangi kepalanya yang benjut besar akibat dikepruk dengan buli-buli arak guru kungfu Tay Kun Ing melangkah sempoyongan mendekati jongos Gie Le. Kalau dulu sikapnya selalu kasar terhadap jongos itu kini berubah total, hormat dan kagum. "Gie Le, tidak kusangka kau sebenarnya adalah seorang pendekar kungfu berkepandaian tinggi!" Guru kungfu itu terdiam sejenak. Lalu melanjutkan. "Juga tidak kusangka kau adalah muridnya Dewi Ngong Kong yang terkenal di daerah Tiongkok itu. Jika aku boleh tanya perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh Jenderal King No Kong terhadap suhumu?" Jongos Gie Le usap-usap keningnya yang keringatan. Sambil membuka pakaian perempuan yang dikenakannya di atas baju dan celana panjangnya, jongos ini menerangkan. "Dulu sewaktu masih muda dan Jenderal King No Kong baru berpangkat Kopral, dia naksir berat sama suhuku malah sampai-sampai ajukan lamaran. Tapi suhu menolak dijadikan istri karena sudah tahu sifat lelaki itu. Mata keranjang suka mengganggu anak istri orang serta pemabuk berat. Kopral King No Kong marah dan malu besar pinangannya ditolak. Karena sebelumnya dia sudah sesumbar pasti akan dapat menggaet suhu sebagai

istrinya. Rasa malu berubah menjadi marah lalu menjadi dendam. Maka dia mulai mengganggu suhu. Dia mencuri setiap celana dalam yang dimiliki suhu. Pokoknya di mana saja dia menemui celana dalam suhu, mungkin di bakul tempat kain kotor, atau di tempat cucian, di tali jemuran bahkan sampai-sampai ke lemari pasti diambilnya! Akibatnya dapat dibayangkan bagaimana penderitaan suhu. Selama belasan tahun beliau hidup sebagai perempuan yang tidak pernah bisa punya celana dalam. Tidak pernah memakai celana dalam.... " Untuk beberapa lamanya guru kungfu Tay Kun Ing tertegun tak bisa bicara. Lalu sambil tersenyum dia keluarkan kocek kain yang tergantung dl balik pakaiannya. Dari dalam kocek ini diambilnya dua tail perak dan diserahkannya pada jongos Gie Le. "Ambillah. Pergi ke pasar. Beli sepuluh lusin celana dalam untuk suhumu!" "She... she! Kamsia... kamsia!" kata jongos Gie Le seraya menjura berulang kali. "Mulai hari ini kau kuangkat jadi Wakilku di perguruan Bintang Muncrat!" menambahkan Tay Kun Ing. "Terima kasih atas kepercayaan guru! Tapi untuk jadi wakilmu aku tidak perlu memplitur muka dan kepalaku dengan kunyit serta kencur bukan?" Guru kungfu Tay Kun Ing tertawa mengekeh. Dari balik pintu muncul satu wajah cantik jelita. Itulah wajah gadis bernama Giok Ngek, murid dan keponakan sang guru kungfu. Si gadis ulurkan tangannya nya menarik lengan Gie Le. Tawa Tay Kun Ing langsung berhenti. "Hay ya! Naga-naganya pinceng bakal kehilangan keponakan!" Guru kungfu itu garuk-garuk kepalanya lalu mengambil komik "Super Amoy" yang tercampak di serambi rumah dan melanjutkan bacaannya!

TAMAT BASTIAN TITO

T T I I G G A A

D D A A L L A A M M

S S A A T T U U

DOSA YANG TERSEMBUNYI

Sumber: BASTIAN TITO Scan : syauqy_arr Editing : fujidenkikagawa Convert to PDF : syauqy_arr

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI

SI PINCANG MANTILO 1

ELELAWAR Pemancung Roh menggeledah semua kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah. Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu memeriksa tempat-tempat lain yang diduganya bisa dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang paling disayanginya dan tengah hamil itu tidak ditemukan. Istri paksaan lainnya yang berjumlah sebelas orang tidak satupun mengetahui dimana beradanya atau kemana perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas perempuan itu sama bersepakat, jika ada kesempatan mereka juga akan melarikan diri. Kelelawar Pemancung Roh tidak bodoh. "Kalau mereka punya anggapan Bintang Malam kabur melarikan diri, pasti dalam benak sebelas perempuan ini juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung Roh memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masing- masing. Lalu pintu dikuncinya dari luar. Di depan pintu yang terakhir dikuncinya Kelelawar Pemancung Roh ber- pikir. "Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar biasa yang menjaga kawasan Teluk. Kalau perempuan itu memang melarikan diri, puluhan kelelawar pasti akan men- cegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang Malam belum meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti ber- sembunyi di satu tempat. Dimana...?" K

Kelelawar Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang ada kolam dan kursi besar. Duduk sendirian di kursi batu di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat itu ingat pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi memberitahu padanya bahwa atas perintah Tuyul Orok si nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan ke dalam Goa Air Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti dia harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu membunuh Wiro baru kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto Gendeng dulu menyusul muridnya "Pendekar 212 membunuh dua puluh kelelawar kepala bayi, membunuh anak-anakku. Jahanam itu juga menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia pasti masih berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau sang guru? Apakah dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku menyelesaikan dendam hari ini?" Kelelawar Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah akibat tendangan Wiro namun saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan dia percaya dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya dua tulang yang cidera itu telah bertaut kembali. Inilah kehebatan makhluk aneh penguasa Teluk Akhirat itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan ikat kepala sutera hitam berbatu yang berhasil di rampasnya waktu berkelahi dengan Wiro. "Ini bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang bisa dijadikan senjata luar biasa ampuh! Cahayanya bisa membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu makhluk gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa. Hampir aku ditelannya. Setahuku Pendekar 212 Wiro Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau ini memang miiiknya, agaknya senjata akan makan tuan. Aku bisa membunuhnya dengan benda ini!" Sambil menyeringai

Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain sutera hitam itu di kepalanya. Lalu kembali dia menimbang-nimbang. "Membunuh nenek keparat yang dalam keadaan tak berdaya itu jauh lebih mudah dari pada menghadapi Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan menunggu kematiannya. Biar dendengkotnya aku habisi lebih dulu." Kelelawar Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil melangkah tinggalkan tempat itu dia memaki dirinya sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam. Biar dibantai Ikan Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak karuan begini rupa.

HANYA terpaut selisih waktu sedikit saja, tak berapa lama setelah Kelelawar Pemancung Roh meninggalkan ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia bersandar di dinding, pegangi dadanya yang sakit lalu menyeka darah yang setengah mengering di dagunya. Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat. Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu segera ditelannya. Lalu dia tegak bersandar ke dinding. Memperhatikan seputar ruangan. "Kursi batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar Pemancung Roh untuk masuk dan keluar ke pantai. Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik turunkan kursi batu begini berat...." Wiro palingkan pan- dangannya ke arah kolam batu yang tertutup gelagar kayu. Airnya bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa me- nembus sampai ke dasar. Apa isi kolam ini? Mengapa di- tutup begini rupa? Kolam tempat mandi Kelelawar Pe- mancung Roh?" Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut matanya menangkap gerakan seseorang di sampingnya. Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di balik dinding. Dari sosoknya yang kecil jelas dia bukan Kelelawar Pemancung Roh. Wiro cepat mengejar. Dia

hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu bagian dinding lorong batu tergantung sebuah lukisan. Lukisan beberapa gadis cantik bertelinga seperti kelelawar dalam keadaan bugil. Wiro berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah menikmatinya. Namun sebenarnya saat itu dia tengah me- masang telinga. Dia mendengar suara nafas orang. Wiro tersenyum. Garuk-garuk kepalanya. "Gadis-gadis bugil di dalam lukisan ini, walau seolah hidup dan tersenyum padaku jelas tak bisa bernafas." Ucap sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan turun- kan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba dari balik lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di balik lukisan itu ada satu ruangan kosong sedikit lebih kecil dari ukuran sebuah lemari. "Hai! Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro. Diteriaki seperti itu pemuda yang lari dengan terpincang- pincang malah mempercepat larinya. Tapi dia jadi terkejut pucat ketika entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu Wiro sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda pincang ini cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan. Wiro segera mengejar. Begitu terkejar dia puntir telinga pemuda ini. "Ampun! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda itu berteriak kesakitan sambil berusaha menarik tangan Wiro. "Siapa mau membunuhmu?!" Wiro masih belum lepas- kan jewerannya. "Kau... kau membunuh puluhan kelelawar kepala bayi. Pasti kau juga mau membunuhku..." "Aku membunuh mereka karena mereka mau mem- bunuhku! Apakah kau juga mau membunuhku?" "Ti... tidak. Aduh, ampun..." "Pincang, siapa namamu? Apa tugasmu di tempat ini?" Tanya Wiro dan perlahan-lahan lepaskan jewerannya. Si pemuda perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki. Wajahnya masih menunjukkan rasa takut. Setelah agak

yakin Wiro tidak bermaksud jahat padanya baru dia mau menjawab. "Saya Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang Pemimpin." "Berarti kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau aku bertanya jangan sekali berani berdusta! Katakan di mana Sang Pemimpinmu berada". "Saya tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini. Sudah kabur..." "Kalau dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana perginya. Jangan coba berdusta. Bisa-bisa kubetot dua telingamu, kujadikan seperti telinga kelelawar...." "Saya benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin hanya bersamadi di Teluk. Atau pergi ke Bukit Jati." "Saat ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada di sini. Berarti dia pergi ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan ke sana." "Demi Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan jalan ke Bukit Jati itu. Sang Pemimpin akan membunuhku seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi. Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku jauh lebih tidak berharga baginya dibanding dengan kelelawar bayi itu." "Kau boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang belum tentu kejadiannya, atau mati di tanganku saat ini juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak meng- gebuk kepala Mantilo. Si pincang ketakutan setengah mati. "Tidak... Jangan. Saya akan tunjukkan...." "Tunggu, ada apa di Bukit Jati itu? Kenapa makhluk kampret itu suka pergi ke sana." "Disitu ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono..." Keterangan pemuda pincang terputus karena di ujung lorong terdengar suara teriakan-teriakan perempuan di- sertai suara pintu digedor. "Suara jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran

pintu. Siapa mereka? Apa yang terjadi?" tanya Wiro. "Mereka para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin membunuh anak-anak mereka lalu mengunci mereka di dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada dalam ketakutan. Ingin keluar dari kamar." "Pasti ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu." "Salah seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istri- istri lainnya tidak tahu kemana perginya...." "Bintang Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama Bintang Malam." pikir Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke Goa Air Biru." "Saya akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang Pemimpin itu tidak perlu ditolong lebih dulu. Saya mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak menemui istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu tidak memberitahu dimana beradanya istrinya yang satu itu maka semua mereka akan diceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal." "Hem.... Hatimu baik juga masih mau mengingatkan me- nolong orang lain. Pasti mereka perempuan-perempuan cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum. Mantilo juga ingin tersenyum tapi tidak berani. "Tadi kau menyebut kolam Ikan Dajal. Kolam apa itu." Eh, tadi aku melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu hitam. Letak- nya di depan kursi batu di ruangan sana... "Betul, itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan Dajal adalah kolam maut. Jika seseorang diceburkan ke sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja orang itu hanya akan tinggal tulang belulang. Sebelumnya ada seorang nenek aneh hendak diceburkan Sang Pe- mimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda. Ketika Sang Pemimpin kembali si nenek sudah lenyap entah ke mana." Wiro terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo. "Kau tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke dalam kolam Ikan Sundal?"

"Ikan Dajal, bukan Ikan Sundal..." "Dajal sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu diributkan!" bentak Who. "Jawab pertanyaanku. Kau yakin nenek itu tidak dicemplungkan ke dalam kolam?" "Saya yakin. Karena setiap ada orang atau binatang suguhan yang diceburkan ke dalam kolam, saya yang selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang teman. Namanya Habili. Saya tidak tahu dia berada di mana sekarang." Wiro garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang ber- nama Mantilo itu mungkin benar. Tapi mungkin pula Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si nenek ke dalam kolam maut lalu menyurun Habili mem- bersihkan kolam. Ada sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro. Keterangan Pelangi Indah. Dipadu dengan keterangan Bintang Malam, Kelelawar Pemancung Roh memiliki nyawa pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang tidak pernah menginjakkan kaki di tanah. Ikan adalah makhluk yang seumur hidup selalu berada dalam air dan tidak punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah. "Pecah sekarang rahasia kematian makhluk jahanam itu!" Wiro kepalkan tinju. "Mantilo. Sebelum kita menolong sebelas perempuan itu, aku harus lebih dulu memusnah- kan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba lari!"

***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI

MIMPI DUA GADIS CANTIK 2

EJAK Pendekar 212 meninggalkan puncak timur Gunung Merapi yang menjadi tempat kediaman Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama Rembulan korap kali kedapatan oleh teman-temannya sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah diketahui oleh Pelangi Indah. Ketua Kelompok Bumi Hitam. Pagi itu kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan tengah duduk bermenung diri dekat pancuran besar tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci pakaian sambil bercengkerama. Ketika rombongan teman- temannya pergi Rembulan sengaja mencari tempat duduk yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar wajahnya terlipat di atas pangkuan. Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk termenung di tepi pancuran itu ketika tiba-tiba dia nendengar ada langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan cadar hitamnya dan bangkit berdiri. Ternyata yang datang bukan siapa-siapa melainkan Pelangi Indah, sahabat dan Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak mengena- kan cadar. Rembulan buka kembali cadar yang barusan di- kenakannya. "Benar rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk menyendiri, termenung di tempat ini. Sudah lama kau ber- kelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang ada di S

dalam pikiran dan hatimu?" Rembulan tersipu. "Duduklah aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada yang hendak kau jelaskan padaku." Rembulan kembali duduk ke atas batu besar dekat pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya. "Apa yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan. "Mengapa kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, ter- menung seperti memikirkan sesuatu?" "Tidak ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung diri. Hanya saja...." "Hanya saja apa?" tanya Pelangi Indah. "Udara di puncak Merapi belakangan ini terasa agak panas. Tempat ini, agaknya satu-satunya tempat yang paling tepat untuk duduk menyejukkan diri." "Menyepi seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?" Ujar Pelangi Indah. "Kalau semua para sahabat anggota Kelompok Bumi Hitam berada di tempat ini, lantas siapa yang menjaga tempat kediaman kita?" Pelangi Indah tertawa. "Rembulan, kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi harap mau berterus-terang padaku. Jika ada kegelisahan atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa me- nolong." Rembulan terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita Pelangi indah. "Sang Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu besar terhadapku. Sebenarnya ini hanya satu hal kecil saja. Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau mencerita- kan pada Ketua." "Rembulan, kau lupa pada semua pelajaran yang ada dalam kitab pegangan kita. Antara Hitam Dan Putih. Di situ ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah kecil. Begitu banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil, bahkan melupakannya. Manusia lupa bahwa mereka ter- antuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil, bukan batu

besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku Ketuamu?" Rembulan pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam sejenak dia berkata. "Tadi malam..." "Tadi malam kenapa? Ada apa?" tanya Pelangi Indah ketika dilihatnya Rembulan ragu-ragu meneruskan ucapan. "Aku bermimpi." "Aahh.... Apa mimpimu? Suatu yang bagus? Suatu yang indah?" "Ketua masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng yang beberapa waktu lalu berada di sini?" Pelangi Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya yang halus dan bagus memotes selembar daun pepohonan di dekatnya, lalu kembali duduk di samping Rembulan. "Tentu saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan orang yang telah menolong kita begitu besar. Jadi kau bermimpi tentang dirinya?" "Benar Ketua." "Bagaimana mimpimu itu?" "Aku melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di tangan kanannya dia memegang ikat kepala kain sutera hitam berbatu yang menurut Ketua telah diberikan pada- nya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang ber- ubah kelam. Lalu ada satu makhluk besar bercahaya seperti seekor burung raksasa menukik dari langit, me- nembus kegelapan dan menyambar pemuda itu. Wiro per- gunakan ikat kepala kain sutera untuk membentengi diri dan memukul makhluk yang menyerang. Makhluk itu menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat kepala kain sutera lalu terbang dan lenyap di langit gelap. Wiro sendiri terpelanting dari puncak bukit batu, jatuh terguling ke dalam sebuah jurang. Suara jeritannya yang keras dan panjang terasa seolah masih bergaung di telinga...." Rembulan berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah me- mandang ke arah pancuran. Dari raut wajahnya sang Ketua

seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ketua, apakah kau mendengar apa yang barusan saya tuturkan?" Bertanya Rembulan. "Aneh..." Ucap Pelangi Indah. "Mimpiku aneh menurut Ketua?" "Mimpimu dan mimpiku." "Rupanya Ketua juga bermimpi?" Pelangi Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama dengan mimpimu." Bagaimana bisa terjadi?" uiar Rembulan. "Justru itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku bermimpi dua malam yang lalu dan kau baru tadi malam." Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras Rem- bulan dan dalam hatinya Ketua Kelompok Bumi Hitam ini berkata. "Mimpimu adalah sebagian saja dari apa yang membuat dirimu sering termenung dan memencilkan diri. Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan kau ber- keadaan seperti ini." "Ketua...." "Hemmm?" "Mungkinkah pemuda itu tengah berada dalam bahaya?'" "Bukan itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi mem- beritahu bahwa ikat kepala kain sutra yang ditempeli batu Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari tangan Wiro." "Wiro adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu musuh mengalahkan lalu merampas ikat kepala kain sutera hitam?" Ujar Rembulan pula. "Setiap ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada yang lebih tinggi. Ujar-ujar mengatakan Di atas lagit masih ada langit. Ini membuat seseorang berilmu tinggi tidak boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu, bersikap rendah diri sambil terus menjaga kewaspadaan." "Pendekar 212 memiliki dan melakukan semua itu. Mengapa dia masih dapat dikalahkan?" Kata Rembulan pula.

Pelangi Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu berada satu langkah di depan kebenaran. Harap camkan itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu memperlakukan kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?" Rembulan angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu ingat ucapan dan nasihat Ketua." Pelangi Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah mendekati pancuran, membasahi dua tangannya lalu mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang cantik itu tampak segar dan lebih cantik. Kemudian Pelangi Indah balikkan badan ke arah Rembulan. "Rembulan sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu bahwa dia dan gurunya akan menuju Teluk Akhirat. Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan musuh yang dihadapinya pasti bukan lain Kelelawar Pemancung Roh." Mendadak saja Rembulan sudah menduga apa yang ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. Maka dia cepat berkata. "Ketua, kita masih berhutang budi pada Pendekar 212. Sampai kapanpun dan apapun yang kita lakukan untuknya rasanya semua budi besarnya itu tidak akan terbalas. Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku akan ke Teluk Akhirat untuk melihat keadaannya. Jika memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha menolong." Pelangi Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata. "Sebenarnya perihal diri pemuda itulah yang setiap hari menjadi lamunannya. Kini dia hendak bertindak men- dahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan men- jadi perasaannya pula. Ah, apakah aku harus berterus terang padanya agar tidak kedahuluan?" "Rembulan, hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi orang. Wiro telah berjasa besar bagi Kelompok Bumi Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang paling berhutang besar padanya. Kalau dia tidak me- nyerahkan Kalung Srigala Perak itu seumur hidup aku akan

tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial TDS sebelumnya berjudul "Srigala Perak") "Jadi Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju Teluk Akhirat? Kalau begitu aku mohon restumu." "Tidak Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat wajah Rembulan berubah karena putus harapan. "Aku sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat." "Ketua bisa mewakilkan padaku." "Tanggung jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam ada padaku. Jadi aku harus turun tangan sendiri. Selama aku pergi kau menjadi wakilku di sini." Rembulan terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya terdengar perlahan ketika berucap. "Aku menurut apa kata Ketua." Pelangi Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu ber- kata. "Rembulan, perasaan kita bisa saja sama. Namun sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku Ketua. Kuharap kau bisa mengerti..." Di balik rimbunan semak belukar seorang bermata bagus dan sejak tadi mengintip serta mendengar per- cakapan Pelangi Indah, perlahan-lahan menggeser kakinya. Dalam hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului Ketua. Jika kemudian hari Ketua menghukumku karena telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asal- kan dapat bertemu dengan dia, apa lagi bisa menolongnya. Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat. Dua hari lebih cepat dari jalan biasa." Sebelum Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan tempat itu, orang dibalik scmak belukar telah lebih dulu berkelebat pergi.

***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI

MUSNAHNYA IKAN DAJAL 3

ENDEKAR 212 Wiro Sableng dan pemuda pincang Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi batu dan kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia tidak melihat benda apapun di dalam kolam walau airnya jernih bening. "Aneh, tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku tidak melihat apa-apa." Kata murid Sinto Gendeng sambil menatap Mantilo. "Memang begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa menembus sampai ke dasar kolam. Percaya pada saya, ikan maut itu ada di dalam kolam batu ini." "Perlu aku buktikan dulu," kata Wiro. Dia melangkah mendekati kolam. Ketika dilihatnya Mantilo berjalan ke arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau berbuat apa?" "Saya tahu bagaimana caranya menggeser kayu penutup kolam." jawab Mantilo. "Kalau begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani me- nipu!" Mantilo memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu jarinya dia menekan kuat-kuat sebuah tombol di lengan kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu penutup kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari atas kursi batu. "Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam. Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam, membuat P

sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pe- mimpin menutup bagian atas kolam." Tanpa perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah maju. Dia berdiri dua langkah di tepi kolam. "Pelangi Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pe- mancung Roh ada pada satu makhluk yang tidak pernah menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah tempat dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan Ikan Dajal ini. Kelelawar Pemancung Roh pasti amblas ke- kuatannya." Baru saja Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak ter- duga dan dalam kecepatan luar biasa, satu makhluk putih besar sekali melisat keluar kolam. "Wuttt" Dalam kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana golok besar menebas, membeset di atas kepalanya. Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan melompat ke belakang. Dia sampai terjengkang di lantai batu dalam usaha menyelamatkan kepala. Tak urung ada bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepala- nya kena disambar dan dibabat putus! Dinginlah tengkuk sang pendekar. Wajahnya sesaat pucat tak berdarah. Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha men- jauhkan Wiro dari tepi kolam. "Gila! Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro garuk-garuk kepala lalu bangkit berdiri. Mantilo kembali memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi pemuda pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro mengangkat tangannya ke atas dan perlahan-lahan se- batas siku ke bawah tangan itu berubah menjadi seperti perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu men- dadak terasa panas sekali. Tiba-tiba Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam kolam. "Wusss!" Satu sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana di- terangi kilatan petir. Udara panas luar biasa membuat

Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu "Byaaarrr!" Air kolam batu seperti mendidih dan muncrat ke atas. Kembaii Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit lengannya yang kecipratan air kolam melepuh seolah di- guyur air panas. Di dalam kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang menggergaji tidak berkeputusan. Lalu suara itu lenyap. Ber- ganti dengan suara seperti belasan kerbau melenguh ber- samaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau daging terpanggang. Lalu, dengan mata mendelik Wiro me- lihat bagaimana dari dalam kolam perlahan-lahan meng- apung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa besarnya. Hampir seluruh tubuh ikan ini yang tadinya ber- warna putih kini menggembung merah terkelupas dan mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal me- rupakan rongga kosong hangus. Mulut ikan ini terbuka lebar, memperlihatkan barisan gigi dan taring besar se- tajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam me- ngucur tiada henti dari mulut makhluk ini. "Ikan Dajal..." desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang ber- nama Ikan Dajal. Mudah mudahan Eyang Sinto belum menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah dilahapnya, kualat aku seumur-umur." Wiro palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo berada. Tapi ternyata pemuda pincang itu ak ada lagi di tempat itu. "Sialan!" maki Wiro. Dia segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu mau menuju kemana. Sementara itu di kejauhan kembali terdengar suara teriakan-teriakan serta gedoran pintu. Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih terus berusaha keluar dari dalam kamar yang dikunci. Di depan Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikir- pikir apakah akan menolong perempuan itu lebih dulu baru mencari jalan ke Goa Air Biru.

"Perempuan-perempuan, walau dikunci dalam kamar paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin keselamatannya?" Wiro garuk kepala. Akhirnya dia kembali ke lorong yang ada lukisan. Menyusuri lorong ini sejauh dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya terang di depan- nya. Ketika dia sampai di ujung lorong dan menyeruak di antara semak belukar yang menutupi. Wiro dapatkan diri di satu tempat. jauh dari pantai. Wiro memandang berkeliling. "Bukit Jati... Goa Air Biru. Dimana letaknya?" Selagi dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro men- dengar suara menguik riuh di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh kelelawar beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal ini Wiro segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sesaat lagi binatang sisa makhluk peliharaan Kelelawar Pemancung Roh itu pasti akan menyerbunya dengan ganas. Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang. "Aneh, mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku sambil menguik. Apa artinya ini?" pikir murid Sinto Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar itu ber- putar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah terbang ke arah timur. Wiro terus memperhatikan tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Di depan sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro. berputar beberapa kali, melayang rendah dan kembali terbang ke arah timur. Demikian sampai tiga kali. Wiro menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud binatang-binatang itu berkelakuan seperti itu. Kali keempat kelelawar melakukan hal yang sama. Wiro rasa-rasa mulai tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia berlari meng- ikuti arah terbangnya kelelawar menuju timur. Tak berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai ber- kurang, berganti dengan pohon-pohon lain. Di satu tempat kelelawar yang terbang di udara kembali membuat gerakan

berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit kecil membentang dari barat ke arah timur. Bukit ini tertutup oleh pohon-pohon jati yang dari besar serta bentuknya telah berumur puluhan tahun. "Bukit Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke bukit ini. Sekarang di mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu bagaimana aku harus berterima kasih pada binatang- binatang itu?" Di atas sana kelelawar yang terbang berputar perlahan- lahan turun merendah melewati sebuah pohon kelapa yang putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi satu kelelawar itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu keluar lagi. Kemudian kembali menukik memasuki semak belukar, sesaat setelah itu keluar kembali. Wiro kini maklum. Binatang-binatang itu berusaha mem- beritahu bahwa Wiro harus masuk ke balik semak belukar itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua puluh kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya Wiro segera mendatangi, menguak semak belukar dan terkejut melihat sebuah goa batu berwama biru. "Aku benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap Wiro sambil memandang ke udara. Dia hanya bisa melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap ber- sahabat denganku, tidak akan aku membunuh kawan- kawan kalian." Wiro lambaikan tangannya sekali lagi. Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik panjang lalu melesat lenyap ke arah utara.

***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI

WULANDAYU 4

ATU sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air Biru. Dia berhenti di depan telaga, memandang berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki Sepun Tumbal Buwono yang duduk tak bergerak dalam cegukan batu, sepasang mata terpejam. "Tidak ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu. sepuluh kelelawar kepala bayi memberitahu mereka telah membawa Sinto Gendeng ke tempat ini. Mungkin anak- anak jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto Gendeng memang sudah ke sini, lalu ada yang memindah- kannya ke tempat lain." Kelelawar Pemancung Roh menge- lilingi telaga satu kali, lalu masuh ke dalam cegukan batu. "Ki Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau juga tidak sedang tidur. Buka dua matamu dan jawab per- tanyaanku!" Suara keras Kelelawar Pemancung Roh meng- gaung dalam cegukan batu. Perlahan-lahan orang tua yang kepalanya dimasukkan dalam kerangkeng besi membuka dua matanya. Dua bola mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar Pemancung Roh. "Ada kain sutera hitam berbatu melingkari keningnya. Batu itu agaknya bukan batu sembarangan. Dari mana agaknya murid murtad ini mendapatkannya?" Ki Sepuh S

berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan. "Damar Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir kali kau datang ke sini. Hari ini kau muncul. Katakan apa penyebabnya." "Tua bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan! Jangan kau pernah berani menyebut nama itu! Aku adalah Kelelawar Pemancung Roh penguasa Teluk Akhirat! Bukan Damar Soka!" Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut pada namamu sendiri. Kau takut pada baying-bayangmu sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu selalu mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa melupakan masa silam. Apa lagi dengan selangit dosa seperti dirimu." "Ki Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang mulut, saat ini juga akan kutarik ke dua kakimu sampai lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam kerangkeng besi celaka itu!" Kembali Ki Sepuh tertawa perlahan. "Aku mencari dua orang yang kabur dari bangunan kediamanku. Pertama seorang nenek bernama Sinto Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala bayi membawa nenek itu ke dalam goa ini..." "Lalu apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?" tanya Ki Sepuh pula. "Siapa orang kedua yang tengah kau cari?' "Istriku. Bintang Malam." "Hemmm.... Apakah kau juga melihat perempuan itu di sini?" Sepasang mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang aslinya bernama Damar Soka itu mendelik. Mulutnya ber- gumam beberapa kali. "Aku memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang itu pernah berada di tempat ini. Lekas kau beri tahu ke mana keduanya dipindahkan? Siapa yang memindahkan?" "Dua orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat ini."

"Kau berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung Roh menggelegar. Dia melangkah ke hadapan Ki Sepuh, memegang rantai besi yang menjulai dari langit-langit batu ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali kutendang tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu akan putus. Apa itu yang kau inginkan?" "Aku sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu. Lima tahun mendekam di tempat ini aku tidak pernah tidur. Kematian akan membuatku tidur nyenyak. Ha... ha... ha..." Saking geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang rantai besi hingga kerangkeng di kepala Ki Sepuh ikut bergerak. Bagian berbentuk mata gergaji taiam yang melingkar di leher si kakek menggores kulit dan daging lehernya. Untuk kesekian kalinya darah mengucur. Walau rasa sakit bukan alang kepalang tapi dengan menggigit bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak sampai berteriak. Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada rantai besi lalu melangkah mengitari tubuh Ki Sepuh Tumbal Buwono yang mengenakan jubah biru besar gombrong. Di belakang tubuh si kakek dia berhenti agak lama. Memandang ke langit-langit cegukan, memperhati- kan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki Sepuh pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk beberapa kali agar Kelelawar Pemancung Roh tidak men- dengar suara hembusan nafas dua orang yang mendekam di dalam jubah gombrongnya. Di dalam jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya berusaha menahan nafas, si nenek Sinto Gendeng setengah mati menahan air kencingnya agar tidak ter- pancar. Kelelawar Pemancung Roh keluar dari cegukan batu. "Ki Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa di tempat ini. Tapi aku tahu kau berdusta! Kalau aku bisa membuktikan aku akan kembali untuk memutus lehermu!" "Lebih cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku

akan mengucapkan terima kasih adamu. Damar Soka." Karena kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan Ki Sepuh. Tangan kanannya diulurkan. "Srett!" Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah menjadi cakar besi bergelimang darah! "Kau ingin mengorek jantungku, atau mau membusai perutku, silahkan. Makin cepat kau membunuhku lebih enak rasanya." "Tua bangka jahanam!" Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar berkeretakan. Tapi tangan itu tidak bergerak. Makhluk tinggi besar ini tidak melakukan apa-apa. Ki Sepuh Tumbal Buwono menyeringai. Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai batu hingga tempat itu bergetar, air telaga bergoyang ber- gemericik. Dengan rahang menggembung penguasa Teluk Akhirat berkata. "Jika aku kembali menemuimu, mungkin itulah batas terakhir kehidupanmu!" "Ancamanmu sungguh enak didengar, Damar Soka. Di dalam arwah, aku pasti akan bertemu dengan Wulandayu, ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan pesan, pasti akan kusampaikan padanya." Kelelawar Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak keras mendengar disebutnya nama Wulandayu oleh si kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya sendiri lalu sambil tiada hentinya merutuk dia tinggalkan Goa Air Biru. Di dalam jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan suara. "Kek, Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya boleh keluar sekarang?" "Aku juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa mati pengap aku di dalam sini." Sinto Gendeng ikut bicara. "Kalian berdua tetap di dalam jubah sampai aku mem-

beritahu bahwa kalian boleh keluar." Bintang Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki panjang pendek. "Nek, kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu masih belum pergi jauh dari tempat ini." "Kalau kelewat lama berada di sini, mulut atas memang bisa aku kancing. Tapi aku tidak menjamin bisa mengancing mulut sebelah bawah! Hik... hik... hik!" Ki Sepuh terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto Gendeng itu. Dia berkata. "Kalau tadi aku tidak men- ceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan tidak berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing, Kelelawar Pemancung Roh pasti dapat mencium bau kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di dalam jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh menceburkan dirimu dalam telaga. " Sinto Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. "Ya sudah. Sekarang mulutku atas bawah akan kukancing rapat-rapat!" "Kek, aku ada satu pertanyaan," Bintang Malam bersuara. "Kau lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka mulut. Apa yang kau ingin tanyakan?" "Tadi kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh yang bernama Wulandayu itu mati dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh sendiri." Benar. Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama ini selalu berusaha disembunyikan oleh murid murtad itu. Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang mengetahui kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal dunia. Tewas secara aneh. Mungkin dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan mungkin akan segera menemui ajal pula. Orang itu adalah diriku sendiri!" "Bagaimana setega itu dia membunuh ibunya sendiri." Ujar Bintang Malam pula. "Peristiwanya sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di

minta Ki Sepuh Buwono lalu bercerita. "Semasa mudanya Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan orang- orang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi, mengganggu anak istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya berulang kali menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya tidak bisa dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari akhirnya dia aku usir dari pertapaan. Suatu malam dia kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan mabuk berat dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke dalam dirinya, dia melihat ibunya yang sedang tidur pulas bukan seperti ibunya. Tapi seolah-olah perempuan itu adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan luar biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan ibunya. Ketika ibu dan anak sadar apa yang terjadi Damar Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka menjatuhkan sumpah dan kutuk terhadap anaknya. Akibat sumpah dan kutuk itu sosok Damar Soka berubah seperti ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan menemui kematian dan sepanjang hidupnya dia akan mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu. Sampai saat ini tidak satu orangpun mengetahui makhluk apa itu adanya. Setelah peristiwa itu Damar Soka melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika dia kembali menemuiku kelihatannya dia sudah menjadi orang baik-baik. Aku menerimanya kembaii sebagai murid. Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta beberapa ilmu terlarang padaku. Aku hanya nemberikan satu ilmu Yaitu Ilmu Seribu Hawa Kematian. Setelah ilmu itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu lainnya. Aku menolak. Diriku lalu diperlakukannya seperti yang kau saksikan saat ini. Seluruh tenaga dalam dan kesaktianku disedotnya. Aku lalu dikerangkeng seperti ini." Bintang Malam merasa dingin kuduknya mendengar cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto Gendeng terdiam

bungkam namun hatinya nenyumpah habis-habisan. "Kek, bagaimana kalau...." "Ki Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang Malam lalu berbisik. "Ada orang datang...."

***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI

KEPALA-KEPALA YANG MENGGELINDING 5

UGAAN Ki Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluar- nya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar Pemancung Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan saja dia berusaha mengingat-ingat semua percakapan dengan si kakek yang membuatnya marah setengah mati, tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan batu. Ada sesuatu yang semula tidak mencurigakan, yang setelah berada di luar goa membuat dia berpikir dua kali. "Aku ingat aku melihat ada alur air setengah mengering antara telaga dan cegukan tempat tua bangka keparat itu duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada makhluk apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda sepertinya ada satu benda besar dikeluarkan dari dalam telaga, lalu diseret sampai ke lantai batu cegukan dinding." Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit. "Aneh, tidak seekor kelelawarpun kelihatan berkeliaran. Mereka tidak menemui ajal semua. Apa yang terjadi? Di mana kelelawar penjaga Teluk Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar Pemancung Roh terbagi. Namun kemudian kembali ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga. "Aku yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam. Lalu dimana Bintang Malam?" Makhluk tinggi besar ini kepalkan dua junya. Lalu dengan cepat dia balikkan badan, bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru. Di dalam ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono D

merasa tercekat ketika melihat kemunculan Kelelawar Pemancung Roh untuk kedua kalinya. "Agaknya ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia tahu..." Kelelawar Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air yang mulai mengering di lantai batu masih kentara. Dia ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh. "Orang tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima. Kau menyembunyikan orang di tempat ini!" "Damar Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum buta. Apa kau lihat ada orang lain di tempat ini?!" "Ada!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia me- langkah ke belakang si kakek dan menarik ke atas jubah biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Dengan amarah me- luap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek, jambak rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua orang ini di hadapan Ki Sepuh. Sinto Gendeng terkapar, memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan wajah pucat. Dalam hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk sudah datang. Tadi tak ada kecurigaan dalam dirinya. Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang yang kusembunyikan dalam jubahku? Aku tidak takut mati. Tapi bagaimana nasib dua orang ini?" "Damar Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika aku melepas nyawa, kutukku akan bersatu dengan kutuk ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan menemui ajal dalam seribu sengsara!" "Makhluk jahanam ini pasti juga akan membunuh kami berdua! Hai! Aku tidak takut kau bunuh. Aku berjanji tidak akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau membebas- kan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari dalam goa sekarang juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.

"Nenek celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini tidak ada harganya bagiku, apa lagi nyawa kalian berdua! Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku menghabisi tua bangka tak berguna ini!" Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng berteriak marah. Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi gagal. "Dukkk!" Tendangan Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono. Tendangan yang memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja membuat hancur dan melesak dada si kakek, tapi juga membuat tubuhnya mencelat mental ke dinding batu sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah menyembur mengerikan. Bintang Malam terpekik tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Sinto Gendeng kembali berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habis- habisan. Sewaktu Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki Sepuh hingga tubuh kakek ini terpental, kepalanya tak ikut mencelat karena tertahan oleh kerangkeng besi. Bagian bawah kerangkeng yang berbentuk mata gergaji besar dan tajam dan menjirat lehernya langsung menghunjam leher itu hingga putus! Apa yang terjadi sungguh mengerikan. Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang menyembur dari leher yang tcrsisa membasahi lantai batu! Kelelawar Pemancung Roh dengan beringas mencekal leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam. "Bagi kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling enak. Kalian akan kuceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal!" Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah. Bintang Malam menjerit tiada henti. Setengah berlari Kelelawar Pemancung Roh segera keluar dari dalam Goa Air Biru. Namun makhluk tinggi besar ini serta merta keluarkan suara menggembor dan hentikan langkah ketika di depan sana, di mulut goa seorang pemuda berpakaian serba

putih, rambut gondrong setengah terbabat, tegak meng- hadang. Di tangan kanan pemuda ini memegang sebilah kapak bermata dua memancarkan cahaya menyilaukan. Sementara tangan kiri yang diangkat ke atas memancar- kan warna seputih perak. Di luar goa saat itu udara mulai redup karena sang surya sebentar lagi akan tenggelam. "Keparat kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh. "Makhluk laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan padaku ikat kepala kain sutera hitam yang melingkar di keningmu!" Pemuda di mulut goa membentak lalu me- langkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh. Kelelawar Pemancung Roh memandang dengan mata dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa bergelak. "Kalau aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan tidak mau menyerahkan ikat kepala kain sutera, kau mau berbuat apa?! Ha... ha... ha!" "Aku bersumpah membantaimu saat ini juga!" Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, keluarkan suara mendengus. "Pendekar 212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa! Silahkan kau melepas pukulan Sinar Matahari. Silahkan kau pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menyerangku. Dua manusia tak berguna ini akan aku jadi- kan tameng menghadapi semua seranganmu! Ha... ha... ha... ha!" Pemuda gondrong di mulut goa yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya tersentak kaget dan memaki dalam hati. Dia terpaksa berhenti empat langkah di hadapan Kelelawar Pemancung Roh. "Keluar dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala gurumu dan perempuan celaka ini satu sama lain!" "Bangsat! Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi merutuk. Keadaannya tidak menguntungkan. Ketika dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah mulut goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu hal luar biasa. Tubuh tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang ter-

kapar di lantai batu secara aneh tiba-tiba bergerak ke atas. Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh itu melesat ke arah Kelelawar Pemancung Roh yang tegak membelakangi sambil mencekal Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar Pemancung Roh mendengar suara bersiur di belakangnya Dia menoleh. Terlambat! "Dukkk!" Dua kaki mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk keras punggung Kelelawar Pemancung Roh lalu sosok tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi besar terpelanting ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang Malam terlepas dari cekalannya. Selagi dia terhuyunq- huyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro melompat ke depan. Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan tangan kanan babatkan kapak sakti. Dua sinar putih menyilaukan berkiblat disertai hawa panas luar biasa. Goa Air Biru laksana neraka. "Wuuutt!" "Craass!" "Wusss!" Tubuh Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke dalam goa, menghantam dinding batu, terbanting jatuh ke lantai dalam keadaan hangus mengepulkan asap. Kepala- nya tak ada lagi di lehernya, menggelinding di lantai hitam hangus kepulkan asap, lalu jatuh masuk ke dalam telaga. Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu Mustika Mata Srigala masih melingkar di keningnya dan kelihatan merah membara. Batu ini mengeluarkan suara cesss ketika ber- sentuhan dengan air telaga.

***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI

ORANG DI ATAS BIDUK 6

IRO selipkan kapak saktinya di balik pinggang pakaian lalu cepat memanggul Sinto Gendeng dan Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke mulut goa. Ketika muncul di pantai, sang surya telah tenggelam. Udara mulai kelam. Wiro mencari tempat yang baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya. Sementara Bintang Malam masih tercekat diam dan pucat Sinto Gendeng menegur sang murid. Tentu saja dimulai dengan makian. "Anak Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia kematian makhluk jahanam itu? Kalau makhluk yang men- jadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam itu." "Kira-kira begitu Eyang." Jawab Pendekar 212. "Di tempat kediamannya aku menemukan seekor ikan raksasa bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang tidak pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah. Makhluk itu sudah kubinasakan." "Aku hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu oleh Kelelawar Pemancung Roh." Ucap Sinto Gendeng. "Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku? Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas dengan ilmu totokan bernama Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Menurut Ki W

Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan celaka ini. Lekas kau pergunakan kapak saktimu..." Ucapan Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang Malam berucap dengan wajah memperlihatkan rasa kaget dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk ke pantai. "Lihat...!" Sinto Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 paling- kan kepala. "Edan!" rutuk si nenek "Gila bagaimana mungkin!" ujar Wiro. "Luar biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa dibunuh!" "Berarti..." Wiro menggaruk kepala. "Ikan Dajal itu bukan makhluk yang meminjamkan nyawa pada Kelelawar Pemancung Roh!" Dalam udara Teluk Akhirat yang mulai remang menggelap kelihatan sosok tanpa kepala Kelelawar Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyung- huyung menuju pantai. Di tangan kanannya dia menenteng kepalanya sendiri Wiro memperhatikan. "Astaga!" Pendekar 212 keluarkan seruan pendek. "Apa yang ada di benakmu Anak Setan?!" tanya Sinto Gendeng. "Nek, kau lihat kain hitam hangus dari sutera yang me- lilit di kutungan kepala Kelelawar Pemancung Roh?" Sinto Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum buta." "Benda itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn itu...." "Pasti batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya? Kau curi?" "Tidak Nek, seseorang memberikan padaku." "Katamu kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang perempuan yang memberikan padamu. Cantik?" "Nanti saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera mengambil benda itu."

"Jangan bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku mencium ada bahaya di sekitar sini. Lihat saja apa yang akan terjadi..." "Tapi batu sakti itu Nek." "Nanti bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji kambing yang mengkilap!" Wiro menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tapi Sinto Gendeng kembali mempenngatkan. "Anak Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!" Saat itu Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju ke arah laut. Di satu tempat dia berhenti. Kutungan kepala- nya diletakkan di atas leher. Lalu sambil menekan kepala itu dia lanjutkan langkah. "Dia menuju ke laut. Ada apa? Apa yang hendak di- lakukannya''' ujar Wiro. Lalu dia ingat keterangan Mentari Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air. Di depan sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul pahanya. Se- telah tubuhnya masuk sebatas dada di kejauhan terdengar suara aneh berulang kali. "Kukukkk.. kukuuukkk... kukuuk..." "Suara apa itu? Sinto Gendeng membuka mulut sambil memutar bola mata. Wiro dan Bintang Malam memandang berkeliling. Di dalam laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Suara tawa ini baru berakhir ketika keseluruhan kepala Kelelawar Pemancung Roh tenggelam ke bawah air laut. "Nek, apakah... apakah Kelelawar Pemancung Roh benar-benar hidup kembaii?" Bintang Malam bertanya. "Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut Sinto Gendeng. "Lihat!" Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut. Dalam udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar Pemancung Roh kelihatan muncul dan permukaan air. Dari

mulutnya berulang kali dia menyemburkan air laut. Tiba- tiba dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di atasnya duduk seorang berikat kepala kain merah, mengenakan pakaian serba hitam. Orang di atas biduk tidak mengayuh, malah rangkapkan dua tangan di depan dada. Tapi biduk itu meluncur pesat dengan sendirinya ke arah tersembul- nya kepala Kelelawar Pemancung Roh. Di antara hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar suara riak air laut memecah dipapas biduk. Dia palingkan kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh mem- perhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk, tiba-tiba salah satu tangan yang mendekap di dada ber- gerak dan sreeet! Kain sutera hitam berbatu sakti yang me- lingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas. Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia sempat berbuat sesuatu, biduk telah berputar lalu melesat ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala Kelelawar Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari per- mukaan laut. Semua kejadian itu disaksikan oleh Wiro. Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan terheran-heran. "Anak Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas biduk itu?" Sinto Gendeng bertanya. "Sulit kuduga Nek...." jawab sang murid. Lalu Wiro ber- usaha membebaskan totokan di tubuh Sinto Gendeng. Dia bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu tak bisa dimusnahkan. Sinto Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan, agaknya kau harus mencari Kalajengking Putih...." "Kalajengking Putih? Buat apa Eyang?" "Menurut Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang bisa memusnahkan totokan di tubuhku." Wiro garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh. "Tambah celaka nasibku. Bakalan patah pinggangku! Dulu dia masih bisa kudukung di atas bahu. Kini dalam keadaan lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku harus meng- gendongnya. Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana aku akan mencarinya?'

Sebelum meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama Bintang Malam terlebih dulu membebaskan sebelas perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh. Lalu Wiro juga mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal Buwono. Kerangkeng besi dihancurkan dengan kapak sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu di- kubur di tepi pantai. Yang lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti sebelas perempuan lainnya. Bintang Malam tidak mau di antar pulang ke desanya. Perempuan yang tengah hamil muda ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto Gendeng pergi. "Anak Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya. "Perempuan satu ini memang jauh lebih cantik dari yang lain-lain. Ada apa dia ingin ikut bersamamu..." "Aku tidak tahu Eyang..." jawab Wiro sambil menggaruk kepala. "Pasti ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah melihat orang bunting secantik dia, bukan? Jangan-jangan kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya hingga dia kecantel padamu? Apapun yang terjadi dengan Kelelawar Pemancung Roh, perempuan itu sudah bisa disebut sebagai seorang janda." "Aku tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata Wiro pula. "Anak Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar belum bisa menerima ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda. Aku tahu ini pengalaman baru bagimu. Hik... hik... hik!" "Sumpah Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan perempuan itu." kata Wiro mengulang sumpah. Sang guru hanya ganda tertawa.

TAMAT Ikuti Petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng selanjutnya dalam : MUSTIKA MATA SRIGALA

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II 1

erawakannya pendek tapi tubuhnya bulat dengan perut gendut. Kumisnya tebal, dan sepasang bibirnya agak dower. Apalagi ketika ia berkomat-kamit merapal mantera-mantera di hadapan pendupaan. Sepasang matanya yang bulat terpejam rapat, dan wajahnya terlihat khusuk. Sementara Letnan Hendri yang duduk di belakangnya pada jarak sekitar tiga meter nemperhatikan dengan seksama. Ia mengenal Mbah Sarijo dari seorang kenalannya. Menurut informasi, dukun ini terkenal hebat, dan sering berhasil menolong pasien-pasiennya. Ada yang minta naik angkat secepatnya, perjodohan, rizki yang banyak sampai meneluh seseorang. Semua order yang masuk diterima tanpa pandang bulu. Begitu juga order dari letnan polisi itu kali ini. Mbah Sarijo langsung menyang- gupinya tanpa ragu sedikit pun. Ia hanya minta sedikit contoh rambut Saraswati, yang katanya untuk mengadakan kontak batin antara dirinya dengan makhluk yang telah mencelakai gadis itu. Dan bagi Letnan Hendri itu bukan masalah sulit. Lima menit telah berlalu. Belum terlihat tanda-tanda kalau orang tua itu akan menyudahi kekhusukannya. Entah apa yang akan terjadi. Letnan Hendri tidak bisa me- mastikannya. Ia hanya minta pada Mbah Sarijo agar makhluk yang mengganggu Saraswati tidak mengulangi P

perbuatannya, juga kalau memang ia pelaku pembunuhan beruntun belakangan ini, maka ia juga minta agar makhluk itu menghentikan aksinya. Kalaupun Mbah Sarijo diam membisu dengan tubuh tegak bagaikan patung, sebenarnya ia sedang mencari-cari kontak batin. Sukmanya melayang-layang meninggalkan raganya, dan mengendus-endus ke mana-mana seperti anjing pelacak. Ia pun telah berpesan pada letnan polisi itu agar tidak mengganggunya dalam bentuk apapun selama ia dalam keadaan demikian. Sukmanya yang tengah melayang-layang itu mem- bawanya ke sebuah tempat yang mirip seperti istana. Indah gemerlapan. Semua penjaga istana terdiri dari wanita- wanita berpakaian keraton jaman dahulu kala. Setelah berbasa-basi dengan salah seorang penjaga, ia menanyakan siapa gerangan pemilik istana itu. "Putri Dayang Sari... " sahut penjaga yang ditanya. "Beliau telah mengetahui kedatangan juga maksudmu ke sini. Oleh sebab itu Beliau memerintahkan agar kau selekasnya pulang. Tidak perlu mencampuri urusan Beliau." "Apa maksud perkataannya itu?" "Tidak usah banyak tanya. Pergilah sebelum Beliau murka!" bentak penjaga berwajah cantik itu galak. "Aku tidak akan pergi sebelum Beliau menjelaskan, ada persoalan apa sebenarnya, dan menjaga ia keluyuran mengganggu manusia. Sebaiknya kalianlah yang me- nyingkir. Beri aku jalan!" sentak Mbah Sarijo tak kalah galak. Ia bermaksud menerjang penjaga itu dan hendak me- nerobos masuk ke dalam, tapi tiba-tiba saja terasa angin kencang yang bergulung-gulung datang dari dalam istana menerjang sukma orang tua itu dengan hebatnya. Meski- pun sukma Mbah Sarijo berusaha melawan dan melepas- kan diri, tetap saja ia terhempas jauh sekali. Bersamaan dengan itu lapat-lapat terdengar satu suara yang meng- iringi kepergiannya.

"Jangan campuri urusanku, atau kau akan celaka. Ini peringatan buatmu. Lain kali kau akan celaka." "Aaaa...!" Letnan Hendri terkejut ketika melihat tubuh Mbah Sarijo terhempas ke belakang, hampir menabraknya. Nafas orang tua itu terengah-engah dan sepasang matanya melotot lebar. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa sakit sekali. "Ada apa. Mbah? Apa yang terjadi?" tanya letnan polisi itu sambil membantu si orang tua duduk. Mbah Sarijo tidak langsung menjawab. Ia mengatur nafasnya yang masih terengah-engah. Kemudian perlahan- lahan dipandanginya pria itu sambil menggeleng lemah. "Maafkan Bapak. Nak. Bapak tidak bisa menolong kalian. Kekuatan wanita itu dahsyat sekali." ucapnya pelan. "Wanita? Wanita yang mana Bapak maksudkan?" "Makhluk yang telah mengganggu gadis itu..." "Jadi makhluk siluman itu wanita?" Mbah Sarijo mengangguk. "Namanya Putri Dayang Sari." lanjutnya. "Putri Dayang Sari?" ulang Letnan Hendri seraya men- desis. "Ada apa sebenarnya? Apa yang dia inginkan dari Saraswati?" Mbah Sarijo menggeleng pelan. "Bapak tidak sempat mengetahuinya. Hanya saja sepertinya ia mempunyai masalah pnbadi. Orang tua itu kembali terdiam sejurus lamanya sebelum kembali bicara. "Percayalah Nak. Makhluk ini sangat kuat, dan tidak sembarang orang yang mampu menghadapinya. Hati-hati. Bapak tidak bisa me- lindungi kekasihmu itu." "Sebentar, Pak. Tadi Bapak katakan tidak sembarang orang mampu menghadapinya kan? Itu berarti bukan tidak ada yang mampu menghadapinya. Menurut Bapak siapa kira-kira orang yang mampu menghadapinya?" Mbah Sarijo menggeleng lemah "Entahlah Bapak tidak tahu." Jawaban itu sama sekali tidak ingin didengarnya.

Semula ia begitu antusias saat bertanya, seolah menemukan secercah harapan untuk menerobos masuk ke penyelesaian masalah. Tapi kini menjadi mentah kembali. Lalu apa yang kini bisa diperbuatnya untuk menyelamatkan Saraswati?

*** "Putri Dayang Sari?" Itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Setidaknya ketika melihat wajah gadis itu berkerut seperti inengingat-ingat sesuatu ketika Letnan Hendri baru saja menceritakan pertemuannya dengan Mbah Sarijo. "Kenapa? Apakah kau pernah mendengar tentang nama itu sebelumnya?" tanya letnan polisi itu acuh tak acuh. "Sepertinya begitu tapi... Ah. iya!" serunya. "Aku pernah mendengar sekilas tentang riwayat nama tu. Waktu itu kami sedang KKN di sekitar Wilayah Tasikmalaya, sebelum kepergianku ke Amerika. Kami mengunjungi seseorang yang ahli soal sejarah Pasundan. Kalau tidak salah nama- nya Pak Kartasasmita. Menurut beliau Putri Dayang Sari adalah putri seorang raja yang sejaman dengan Kerajaan Galuh di daerah Ciamis. Tapi kami tidak bertanya panjang lebar soal keberadaan dan sejarah hidup Putri itu." sambung Christine. "Bisakah kau mengantarkanku ke tempat beliau?" "Bisa saja. Kapan?" "Sekarang juga boleh!" sambut Letnan Hendri antusias. Gadis itu tersenyum. "Antusias sekali. Aku mau nanya satu hal, yaitu seandainya yang terancam nyawanya saat ini adalah orang lain, apakah Mas Hendri akan secemas ini?" "Menolong orang adalah kewajiban kita bersama, dan disamping itu masalah ini menjadi tanggung jawabku." sahut Hendri diplomatis. "Begitukah? Apakah tidak ada pendorong lainnya. Misal- nya karena Mbak Saras itu kekasih Mas?"

"Kamu ini jangan suka macam-macam." Christine tersenyum. "Aku sempat tanya sama tante, apa Mas sudah punya pacar belum. Beliau menunjuk pada Mbak Saras. Gagal sudah niat orang tua kita untuk men- jodohkan kita," lanjutnya terkikik kecil. "Itu karena kau tidak menyukaiku," sahut Hendri asal jadi. "Kata siapa?" "Lho, memang begitu, kan?" "Itu tidak benar. Sebagai seorang abang, aku menyukai- mu, tapi sebagai seorang pria, aku tidak menyintaimu," sahut Christine blak-blakan. Hendri tidak perlu menimpali pernyataan itu, karena ia pun mempunyai perasaan yang sama, yaitu cuma meng- anggap Christine sebagai adiknya. "Bagaimana? Kau bisa mengantarkanku ke tempat orang itu?" "Bisa saja tapi tidak sekarang atau besok. Hm, mungkin lusa. Soalnya besok aku harus bertemu dengan se- seorang." "Apakah penting sekali?" desak Hendri. "Seandainya kau sudah janji bertemu dengan Mbak Saras, apakah kau ingin diganggu?" "O, pacar?" "Ah pokoknya no comment!" elak Christine. "Jangan coba-coba menginvestigasi aku, ya." Letnan Hendri tersenyum tipis. Ia tidak tertarik sama sekali untuk mencampuri urusan adik sepupunya itu. Yang ada di dalam benaknya adalah bagaimana menyelamatkan Saras dari incaran makhluk yang hendak merenggut jiwa- nya dan ia ingin menuntaskan persoalan itu secepatnya, sebab lebih cepat suatu persoalan diselesaikan akan lebih baik. Dan sayangnya Christine tidak bisa diajak kompromi, karena bagaimanapun gadis itu bisa mengelak bahwa ia juga punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu. Itu masalah privacy, yang membuat Hendri jadi uring-uringan sendiri.

Tapi apakah memang begitu sikap Christine terhadap persoalan yang dihadapi saudara sepupunya itu? Sebenar- nya tidak. Minatnya bahkan cukup besar untuk nimbrung dalam masalah yang dang dihadapi Hendri hanya saja dalam hal ini ia punya cara tersendiri, dan tak ingin caranya itu campurtangani oleh abang sepupunya itu. Sepulang Hendri dari rumahnya, ia menelepon salah seorang kawan dekatnya dan berjanji untuk bertemu di suatu tempat.

*** Waktu pada jam tangannya menunjukkan pukul enam sore lewat beberapa menit. Wajahnya masih biasa saja, sebab kesepakatan mereka adalah jam enam lewat lima belass menit. Ia rnelirik ke kiri dan kanan, masih belum terlihat orang yang sedang dinanti. Kemudian coba me- longok ke dalam melalui kaca tembus pandang, dimana dua orang pria sedang ngobrol dengan santai di antara sekian banyak barang-barang antik yang dipajang. Tak berapa lama sebuah sedan putih memasuki tempat parkir di depan toko itu, dan seraut wajah cantik dengan tubuh langsing keluar dari pintunya. Mereka berpelukan sambil mencium pipi kanan kiri sesaat, sebelum gadis yang baru datang itu membaca tulisan di atas toko yang terpampang agak besar. "DAN - ANG, toko barang-barang antik. Well, kenapa kau mengajakku bertemu di tempat seperti ini? Apakah sekalian akan membeli barang-barang antik?" "Bukankah kau butuh referensi tentang kejadian heboh belakangan ini? Nah, aku akan mengenalkanmu pada pemilik toko ini," jelas gadis yang tadi menunggu. "Pinky, apakah yang kau maksudkan pemilik toko ini seorang paranormal?" "Entahlah, tapi ia tidak suka disebut begitu. Eh, ingat waktu dulu kita pernah KKN di daerah Tasikmalaya? Kita mampir ke rumah seseorang. Pemiliknya bernama Karta-

sasmita? Nah, pemilik toko ini adalah putranya." "Benarkah?" Bola mata Christine bersinar cerah. "Kebetulan sekali!" "Nah, tunggu apa lagi? Ayo, mari kuperkenalkan kau padanya." ajak Pinky. Sebenarnya ketika pertama kali mendengar cerrita Hendri tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Christine sudah mulai mereka-reka dan menghubung- hubungkan masalah itu dengan pengetahuan yang dimiliki- nya. Ini masalah alam gaib dan ia menyukainya. Kebetulan sahabat dekatnya pun memiliki kesenangan yang sama, sehingga Pinky langsung mengajaknya bertemu di tempat ini saat Christine mendiskusikan masalah yang sedang dihadapi saudara sepupunya itu. Pinky sendiri kebetulan adalah salah seorang kolektor benda benda antik, dan sekaligus langganan setia pemilik toko ini. Ia juga mengetahui kelebihan pemilik toko ini tentang sejarah masa lalu dan pengetahuannya tentang ilmu gaib. Jadi klop sudah, dan ia tidak perlu pusing memikirkan bagaimana caranya membantu Christine. "Kenalkan ini Anjar kawan lamaku," kata Danang setelah Pinky memperkenalkan sahabatnya. "Oke, Pinky, apa kira-kira yang bisa kubantu untukmu saat ini? Pinky menjelaskan kalau sebenarnya Christine ingin menanyakan beberapa hal yang bersangkutan dengan persoalan alam gaib yang ada hubungannya dengan kejadian yang belakangan ini terjadi. Sebenarnya Christine berusaha untuk tidak berterus-terang bahwa persoalan itu sebenarnya menyangkut tugas yang sedang diemban abang sepupunya, karena ia sendiri beranggapan kalau itu termasuk juga masalah yang sedang dihadapinya, tapi Pinky keburu melanjutkan keterangannya. "Kebetulan masalah ini sedang ditangani abang sepupunya yang bertugas di kepolisian, jadi kalau kita bisa membantu rasanya akan lebih baik." Danang dan Anjai saling berpandangan. Mereka sama- sama mengetahui satu nama polisi yang menjadi pimpinan

dalam menguak misteri pembunuhan itu. "Siapa nama abang sepupu Anda itu?" tanya Danang. "Hendri." "Letnan Hendri?"' "Betul. Apakah Anda pernah mengenalnya?" sahut Christine balik bertanya. Danang melirik sekilas pada Anjar sebelum menggeleng pelan sekali. "Ah, tidak. Hanya saja namanya sering dimuat di koran dan kebetulan aku sering mengikuti berita pem- bunuhan yang sedang usutnya itu. Baiklah, kita kembali pada pembicaraan sebelumnya. Masalah apa yang Anda ingin ketahui? Kalau sekiranya bisa saya bantu, maka akan saya bantu." "Abang sepupu saya itu pernah mendatangi seorang paranormal untuk menyelidiki kasus itu dari sisi yang lain, dan hanya menemukan jejak berupa sebuah nama yaitu Putri Dayang Sari. Kemudian saya teringat, dulu pernah mendengar nama itu dari cerita ayah Anda waktu kami masih KKN. Yang jadi masalah, mengapa atau barangkali lebih tepatnya, apakah nama itu dan cerita ayah Anda berkaitan dengan peristiwa pembunuhan itu? Kalau memang benar, lalu apa motivasmya, dan bagaimana cara efektif untuk menuntaskan masalah ini?" Danang menghela nafas sejenak sebelum mengangguk. Menurutku kisah itu memang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan yang sedang diusut abang sepupu Anda, dan motifnya pun jelas, yaitu balas dendam. Atau tepatnya dendam pribadi atas kesalahan yang telah diperbuat Putri Dayang Sari.'' Kemudian Danang menjelas- kan secara smgkat dan jelas kronologis permasalahan yang diyakininya kuat sebagai alasan mengapa peristiwa pembunuhan itu bisa terjadi. Christine mengangguk-angguk. "Ya, walaupun rasanya sulit diterima akal, tapi saya mempercayai kalau alam gaib memang sulit diterima akal. Tapi selang waktu antara jamannya dengan saat ini cukup jauh, lalu kalau memang itu balas dendam, kenapa mesti dilakukan saat ini?

Kenapa tidak dari dulu?" "Balas dendam itu telah dilakukanya dari dulu. Kebetulan kami berdua telah menelitinya. Kira-kira dua ratus tahun lalu, ada legenda tentang pembantaian berturut-turut yang terjadi di daerah Tasikmalaya bagian selatan, tepatnya di daerah pesisir. Lalu seratus tahun lalu, juga ada legenda yang sama di daerah Bogor bagian Timur. Dan cerita legenda itu menunjuk pada satu nama, yaitu Putri Dayang Sari. Itu dua legenda yang kami dengar, lainnya belum. Dan agaknya peristiwa itu berlangsung setiap masa seratus tahun. Kemudian aku mulai meng- hitung, sejak masa legenda itu terjadi di daerah Bogor sampai sekarang maka telah memasuki masa seratus tahun." jelas Danang. Christine kembali mengangguk-angguk. "Apakah tidak ada cara yang efektif untuk menghentikannya?" Menurut legenda kejadian itu akan terus berlangsung, dan tak pernah terhenti kecuali..." "Kecuali apa? kejar Christine. "Hanya keturunan Wanara Bodas yang mampu menghentikannya," sahut Danang. "Yang jadi nasalah, kita tidak tahu siapa dan di mana keturunan Wanara Bodas saat ini." Keempatnya saling membisu, tapi berkutat dalam pikirannya masing-masing. Tiba-tiba Christine seperti menyadari salah satu keterangan Danang yang luput dari perhatiannya. "Soal korbannya" katanya kemudian. "Kalau benar itu perbuatan Putri Dayang Sari, mestinya ia tak sembarangan memilih. Hanya mereka yang berkhianat saja kepada kekasihnya?" lanjutnya seperti ingin menegaskan statemen itu. Danang mengangguk. "Betul dan sangat kebetulan sekali karena abang sepupu Anda menangani kasus ini, coba teliti dan amati diantara daftar nama-nama korban, telusuri kisah asmaranya. Barangkali ini hal yang luput dari perhatian."

"Hendri pernah merjelaskan kalau pelaku pembunuhan itu adalah orang-orang terdekat korban," sahut Christine. Secara hokum, mungkin saja jasad mereka yang melakukan, tapi sebenarnya hasrat dan dorongan untuk membunuh itu telah menguasai seluruh jiwa raga pelaku pembunuhan yang telah tertangkap itu." "Jadi maksud Anda metode yang digunakan Putri Dayang Sari adalah menggunakan orang terdekat korban untuk melakukan pembunuhan?" '"Tepat sekali!" "Lantas kriteria orang terdekat mana yang perlu dicurigai, mengingat setiap korban tidak hanya memiliki satu orang terdekat?" "Kita ambil contoh begini: Si A memiliki kekasih yang setia, namanya si B, tapi karena suatu sebab akhirnya si A nyeleweng pada si C. Dalam hal ini kemungkinan korban yang dipilih adalah si A, maka Putri Dayang Sari akan merasuk ke dalam jasad si C untuk membunuh si A." Christine mengangguk-angguk mengerti. Seandainya ia mempcrcayai keterangan Danang, maka ia mulai mengaitkan praduga itu kepada kejadian yang menimpa Saraswati. Gadis itu kini tengah menjadi incaran Putri Dayang Sari, dalam hal ini ia menjadi si A, dan Hendri menjadi si B, lalu siapakah yang menjadi si C? Apakah Saraswati mengkhianati cinta Hendri?

***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II 2

epulang Christine dan Pinky. Anjar tidak langsung pulang dari situ bahkan Danang memmtanya untuk mengintip di tokonya. Ada sesuatu yang hendak dibicarakannya dengan sobatnya itu, dan untuk itulah ia minta agar Anjar datang ke sini. "Apa yang hendak kau bicaraikan?" tanya Anjar. "Kau masih ingin menyelamatkan Saraswati?" "Tentu saja. Hanya aku bingung karena tidak tahu bagai- mana caranya," sahut Anjar lesu. " Barangkali aku bisa sedikit membantu." "Benarkah?" tanya Anjar seperti tak percaya dengan pendengarannya, sebab kata itulah yang ingin didengarnya dari mulut Danang. Danang mengangguk "Tapi tentu saja kau harus mau bekerja sama." "Tentu. Tentu saja. Tapi bagaimana caranya? Bukankah kau katakan bahwa niat Putri Dayang Sari tidak bisa di- halangi oleh apa dan siapa pun?" "Benar. Tapi kaupun dengar tadi perkataanku, yaitu ada pengecualian." "Maksudmu?" "Keturunan Wanara Bodas mampu menghalangi niatnya!" jelas Danang. Anjar mengangguk, tapi wajahnya bukan gembira me- S

lainkan kelihatan lesu. "Tapi... di mana kita bisa menemu- kan keturunannya?" "Kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?" Ketika dilihatnya sobatnya itu menggelengkan kepala. Danang melanjutkan "Itu karena ceritamu via telepon. Kau mengatakan melihat Saraswati dikelilingi cahaya yang berputar-putar melingkarinya, dan lenyap meninggalkan gadis itu ketika kau hadir di sana." Anjar mengangguk. "Betul. Dan aku sendiri bingung, padahal kulihat sepertinya Saraswati sedang diancam sesuatu." "Ya, dan aku yakin itu adalah Putri Dayang Sari yang datang untuk membunuhnya. Dan tahukah kau mengapa dia kabur begitu melihat kehadiranmu?" "Mana aku tahu. Aku tidak melakukan apapun kecuali berteriak mencegahnya," "Nah, itu dia! Putri Dayang Sari tidak takut pada siapa pun, dan siapa pun yang berusaha mencegah niatnya akan dibunuhnya. Mestinya dia pun membunuhmu saat itu." Anjar melongo. Semula ia tidak memikirkannya, tapi setelah Danang memaparkannya, ia bisa hanyut dalam pikiran sobatnya itu. Kenapa hal itu tidak diamatinya? Kalau mau, tentu Putri Dayang Sari bisa menghabisi nyawa Saraswati saat itu. Ia toh tidak punya kekuatan gaib untuk membantu gadis itu selain berteriak. Apa Putri Dayang Sari kaget dengan teriakannya lalu kabur? "Ada sesuatu yang ditakutinya dari dirimu," kata Danang akhirnya menyimpulkan. "Takut? Katamu dia takut padaku? Yang benar saja. Nang. Memangnya aku punya ilmu apa?" Entahlah. Cuma ada dua factor, pertama: kau mempunyai sesuatu yang ditakutinya, dan yang kedua: ada kemungkinan kau keturunan Wanara Bodas." "Ini lebih lucu. Bapakku seorang pedagang, dan kakekku dari pihak bapak cuma petani. Ibuku cuma orang biasa, dan begitu pula kedua orangtuanya." "Apa kau kira Wanara Bodas itu keturunan ningrat?

Ingat, ia cuma orang biasa yang lugu lagi jujur. Lagipula ber abad-abad telah berlalu dan keturunannyapun telah beranak-pinak. Mungkin agak sulit menelusurinya, tapi yang jelas hanya ada dua ktor yang membuat Putri Dayang Sari cuma takut ada dua hal, seperti yang kukatakan tadi." Anjar kembali termangu. Dia tidak punya ilmu gaib atau yang semacam itu. Tidak punya senjata pusaka, bahkan sepengetahuannya, tidak memiliki saudara yang pandai soal ilmu-ilmu gaib. Jadi, apakah ia termasuk faktor yang kedua, seperti yang dikatakan Danang, yaitu keturunan Wanara Bodas? "Begini saja. Bagaimana kalau sekali lagi kita buktikan?" "Buktikan bagaimana?" Danang membisikkan sesuatu ke telinga sobatnya itu. dan terlihat Anjar langsung mengangguk setuju.

*** Ia sudah janji pada Saraswati untuk menjenguknya malam ini, padahal masih ada tugas yang mesti dikerjakannya. Tapi entah mengapa, sejak hubungannya makin akrab dengan gadis itu rasanya tugas menjadi nomor dua dibanding kepentingannya terhadap gadis itu. Ini mengherankan, sebab selumnya ia termasuk orang yag gila kerja. Bahkan rela mengorbankan waktu santai demi menuntaskan pekerjaan. Apakah itu berarti cinta lebih dominan atas segalanya dalam hidupnya? Apakah ia betul- betul mencintai gadis itu? Sejauh ini memang terlihat adanya lampu hijau dari Saraswati terhadap dirinya. Kalaupun ada yang membuat- nya belum merasa puas, karena gadis itu belum menyata- kan persetujuannya lewat kata-kata kalau ia pun menyintai pria itu. Tapi Hendri berusaha untuk sabar. Ia yakin, jawaban itu hanya tinggal menunggu waktu saja, karena ketika ditanya apakah Saraswati sudah punya kekasih atau belum, gadis itu tidak mau menjawabnya. Dan saat ajakan kencannya di-

terima. ia coba meyakinkan dirinya kalau gadis itu masih sendiri. Kemudian ketika melihat kehadiran Anjar di rumah sakit menungguinya. Saraswati mengatakan kalau pria itu cuma salah seorang kawannya. Dan hal yang membuat Hendri tidak curiga adalah karena sikap keduanya yang biasa-biasa saja saat bertemu, persis seperti layaknya teman. Mobil jipnya berhenti di tempat parkir di sudut kanan halaman depan rumah sakit itu. Dan ketika keluar dari pintu mobil, udara dingin langsung menyambarnya. Hendri merapatkan jaket kulitnya, kemudian diam sejenak mem- perhatikan keadaan sekelilingnya. Di ruang gawat darurat dilihatnya banyak orang berkumpul dan sebuah mobil ambulan terlihat masih dipakir dan lampu kap-nya masih menyala. Perlahan ia melangkahkan kaki ke sana. "Korban pembunuhan." sahut salah seorang menjelas- kan ketika ia coba bertanya. "Mengerikan sekali! Lehernya robek. dan dada kirinya bolong." "Kapan terjadinya peristiwa itu?" tanya Hendri mulai curiga. Orang itu gelengkan kepala. Hendri masuk ke dalam. Ia memperlihatkan kartu identitasnya ketika seorang pcrawat melarangnya masuk. Setelah melihat kondisi korban, ia memastikan, seperti juga dokter jaga yang menangani korban: bahwa orang itu sudah mati! Tak ada yang bisa dilakukan untuk menolongnya. Tidak ada yang mungetahui apa penyebab kematian korban yang jelas ia terbunuh, entah oleh seseorang atau sesuatu. Tapi Hendri mempunyai dugaan kuat kalau itu adalah korban yang kesekian dari kasus pembunuhan yang sedang ditanganinya. Ketika keluar dan Unit Gawat Darurat itu ia berpapasan dengan seorang gadis yang memandangnya dengan tajam. Hendri sempat bergidik ngeri saat kedua pasang mata mereka bertemu. Gadis itu bertubuh sedang dengan tinggi sekitar 170-an centimeter dan mengenakan jeans ketat

serta sweater putih. Rambutnya panjang sepunggung dan dikuncir sederhana. Wajahnya manis dengan sepasang mata bulat serta hidung yang agak mancung. Bibirnya agak lebar dan sedikit tebal dibalut gincu merah menyala. Cuma sekitar setengah menit sebelum gadis itu berbalik dan berjalan santai meninggalkan pria itu. Hendri merasa ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga reflek saja ia mengikuti langkah gadis itu dari belakang. Gadis yang belum pernah dilihat apalagi dikenalnya itu terus melangkah menyusuri koridor, kemudian me- nyeberangi selokan kecil menuju ke bawah dua batang pohon rindang yang saling berdekatan. Di bawah kedua pohon itu terdapat dua buah tempat duduk yang terbuat dari semen. Hendri menduga gadis itu akan berteduh di bawahnya, namun dugaannya keliru karena gadis itu ternyata menyelinap ke balik salah satu batang pohon seperti sedang bersembunyi dalam permainan petak umpet. Kecurigaan Hendri semakin menjadi. Dihampirinya gadis itu, namun ketika di sana tidak dilihatnya siapa pun. Gadis itu menghilang seperti ditelan bumi. "Mustahil!" keluhnya tak percaya. Di dekat pohon itu ada tembok setinggi dua meter, dan kalau gadis itu melompat, ia pasti melihat. Sedangkan bila gadis itu keluar dari persembunyiannya, ia pun yakin bisa melihatnya karena sejak tadi ia tidak berpaling sedikit pun dari memperhati- kan gadis itu. "Ke mana dia?" Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding ketika mem- bayangkan yang bukan-bukan tentang gadis itu. Setankah? Kuntilanak? Atau barangkali siluman wanita? Bagaimana caranya dia bisa raib begitu saja tanpa diketahui? Pusing memikirkan gadis itu dan tak menemukan jawaban. Hendri berbalik dan melanjutkan niatnya semula untuk menjenguk Saraswati. Tapi baru saja bergerak satu langkah, pundak kanannya ditepuk seseorang dari belakang. Tepukan itu bukan saja mengejutkan, tapi juga menggoncangkan pikirannya." Seperti ada aliran listrik

yang mengalir ke tubuhnya dan membuatnya merinding. Tak lama berselang ia merasa aneh sendiri karena pikirannya melayang entah ke mana dan tubuhnya terasa ringan saat kakinya melangkah tanpa diniatkannya. Tatapannya kosong, meski begitu ia bisa melihat dengan jelas apa yang berada di sekelilingnya. "Gadis itu sedang tertidur lelap," kata seorang perawat yang mengenalinya ketika Hendri telah berada di ambang pintu kamar di mana Saraswati ditempatkan. Ia tidak mempedulikannya. Tidak mengeluar sepatah katapun, bahkan tersenyumpun tidak. Perawat itu merasa tidak enak hati, dan dengan bingung ia berlalu. Hendri melirik sekilas padanya, kemudian menutup pintu perlahan-lahan. Ia berdiri mematung sambil memperhati- kan Saraswati yang seedang tertidur pulas. Kemudian perlahan tangannya meraih stop kontak lampu, lalu... klik! Lampu ruangan itu seketika padam. Tapi bersamaan dengan itu tiba-tiba saja dua sosok tubuh membuka pintu dan ikut masuk ke dalam. Pria itu cepat menoleh, dan kini terlihat sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya biru kehijau-hijauan. "Hm, kalian rupanya," desis Hendri dengan suara parau, mirip suara perempuan. "Pergilah dan jangan mencampuri urusanku." Kedua sosok yang ikut menyelinap ke dalam kamar itu tidak lain dari Danang dan Anjar. Danang terlihat biasa saja, tapi Anjar agak terkejut melihat sorot mata Hendri, juga dengan vokal suaranya yang aneh. "Kami tidak akan pergi sebelum kau pun pergi," sahut Danang tenang. "Aku peringatkan sekali lagi, ini bukan urusan kalian. Kalau tidak mau celaka, pergilah!" "Bagaimana pun kami tidak akan pergi dan membiarkan kau melakukan aksi kejimu. Ini harus dihentikan karena sudah keterlaluan." sahut Danang berani. Hendri tidak langsung menjawab. Pandangannya dialih- kan pada Anjar, membuat pria itu bergidik ngeri. Jarak

mereka cuma sekitar dua meter. Kalau makhluk itu macam-macam, ia sulit untuk mengelak dari ancamannya. "Kau!" kata Hendri pada Anjar. "Apa urusanmu ikut campur? Tidakkah kau merasa benci terhadap gadis ini karena dia telah mengkhianatimu?" Anjar merasa tidak tahu harus menjawab apa. Ketakutan masih mengisi hatinya Dia terdiam sejurus lamanya. "Kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kalau begitu jangan campuri urusanku. Pergilah dan ajak temanmu itu." Dia tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pergi!" tukas Danang. "Diam kau! Ini tidak ada urusannya dcnganmu." Begitu selesai ucapannya. Hendri melesat cepat menyerang Danang. Kelima jari tangannya mengembang lebar dan dari telapak tangannya itu menderu angin kuat berhawa panas. Danang yang sejak tadi telah bersiap, ragu-ragu untuk menangkis. Dia tidak yakin kekuatannya mampu mengimbangi sosok makhluk gaib yang menyusup ke tubuh Hendri. Tapi selang waktunya cuma sepersekian detik, dan ia langsung memutuskan untuk mengelak dengan menundukkan kepala. Telapak tangan kirinya bertumpu di lantai dan kaki kanannya melayang ke perut Hendri. Tapi yang terjadi kemudian diluar perkiraannya karena telapak tangan Hendri langsung menampar kakinya setelah itu tubuhnya melenting ke atas, dan bersamaan dengan itu sebelah kakinya menghajar punggung Danang membuat pria itu menjerit kesakitan dan tubuhnya terdorong maju serta kepalanya membentur tembok. Anjar terkejut melihat gerakan sekilas itu. Dilihatnya Danang merintih kesakitan, sementara Hendri berdiri tegak di dekat pintu, masih dengan orot matanya yang berkilauan. "Kuperingatkan sekali lagi, pergilah dan jangan campuri urusanku." kata Hendri mengancam. Anjar yang sedang membantu kawannya itu untuk ber- diri menjadi geram. Meskipun ia tidak memiliki kemampu-

an batin seperti Danang, tapi mendengar ancaman Hendri yang sepertinya meremehkan mereka maka mau tidak mau keberaniannya bangkit. Dibalasnya pandangan mata letnan polisi itu dengan tajam. "Jangan lawan pandangan matanya!" ingat Danang, tapi Anjar tidak mempedulikannya. "Siapa kau sebenarnya? Apakah benar kau Putri Dayang Sari?" "Bagus. Kau sudah mengetahuinya, bukan? Nah, sekarang pergilah!" "Tidak semudah itu kau mengusir kami." Anjar diam sebentar. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya saat ini, meskipun ragu-ragu akhirnya diungkapkannya juga. "Tidak- kah kau merasa malu melakukan kejahatan di depan keturunan Wanara Bodas?" Cahaya dalam sepasang mata Hendri seolah sedikit membesar ketika mendengar kata-kata Anjar tadi. Tapi belum lagi sempat ia bicara terdengar suara Saraswati yang baru saja bangun dan tidurnya. "Ada apa? Mengapa ruangan menjadi gelap? Siapa kalian ini?" Ketiga pria itu diam membisu. Tapi Danang dan Anjar tidak lagi melihat cahaya hijau kebiru-biruan dalam sepasang mata Hendri, maka dengan sedikit keberanian ia menghampiri stop kontak, sesaat kemudian lampu ruangan menyala. Yang pertama dilihat Saraswati adalah Danang, yang berdiri di dekatnya. Ia agak lupa, meski merasa pernah melihat wajah pria itu. Kemudian beralih pada Anjar dan wajahnya seketika ditekuk. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sinis. "Aku..." Anjar melirik pada Hendri, dan pria itu masih diam membisu. Aku dan Danang cuma ingin menjenguk- mu." lanjutnya. "Terima kasih. Tapi malam pasti sudah larut dan aku ingin istirahat." sahut Saraswati sambil membuang muka. Anjar kembali melirik pada Hendri, dan pria itu masih

tetap belum bereaksi. Sementara perlahan Danang meng- hampirinya, dan memberi isyarat padanya untuk keluar dari ruangan itu. Meskipun ragu-ragu toh akhirnya ia mengikuti langkah sahabatnya itu. "Aku tidak ingin pulang selama siluman itu masih berkeliaran di sini." kata Anjar bersikeras saat mereka telah berada di luar. Danang mengangguk. "Tapi tidak ada lagi yang bisa kita kerjakan di sini." Entah mengapa, justru ia yang merasa kesal melihat sikap Saraswati terhadap sahabatnya itu. "Apa maksudmu tidak ada lagi? Siluman itu masih bercokol di sana, dan tiap saat nyawa Saraswati terancam bahaya!" Suara Anjar agak keras, dan wajahnya tiba-tiba berubah tegang. Tapi dia telah pergi, dan yang kini kita lihat adalah Hendri yang aslinya," jelas Danang. "Aku tetap tidak peduli!" tukas Anjar. Aku memang tidak bisa menghalangimu untuk pergi tapi aku tetap akan berada di sini mengawasi mereka." lanjutnya berkeras. Danang menghela nafas sambil angkat bahu. "Yaah, kalau begitu maumu apa boleh buat." katanya pasrah. "Tapi aku tidak mengerti, mengapa kau begitu mati-matian membela gadis itu padahal sikapnya terhadapmu sungguh menyakitkan. Gadis seperti itu tidak layak mendapatkan cintamu, dan juga tidak layak dipertahankan." Anjar tidak menjawab Kalau menuruti akalnya apa yang dikatakan sobatnya itu memang benar. Tapi dalam hal ini perasaannya tidak menyetujui. Boleh-boleh saja ia mengatakan kalau falsafah cinta yang dianutnya adalah keseimbangan antara akal dan perasaan, tapi seperti juga kebanyakan orang bicara itu lebih mudah daripada melakukannya. Karena dalam kenyataannya, ia tidak begitu mudah melupakan Saraswati dalam ingatan dan hatinya. Tengah keduanya duduk sambil membisu mendadak seorang gadis menghampiri dari arah belakang.

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II 3

anang yang lebih dulu reflek menoleh ke belakang sebelum Anjar mengikuti. Posisi mereka langsung bersiap untuk menghadapi serangan, membuat gadis yang baru muncul itu bingung tidak mengerti. "Lho, ada apa? Aku melihat kalian berdua dari belakang dan coba meyakinkan kaLau kalian memang orang yang kuduga. Apakah tidak mengenaliku lagi? Aku Christine, yang kemarin bertemu dengan kalian." Anjar menghela nalas lega karena mengira gadis itu adalah Putri Dayang Sari yang akan menyerang mereka dari belakang. Sebaliknya Danang tidak langsung percaya. Diamatinya gadis itu dengan seksama, dan setelah merasa yakin kalau gadis itu memang Christine, barulah ia menghela nafas lega sambil tersenyum. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" "Kami... sedang menjenguk teman." sahut Anjar. "Kau sendiri?" "Aku mau menjenguk Mbak Saras. Tadinya mau bersama Mas Hendri, tapi kebetulan beliau telah lebih dulu pergi." jelas Christine. "Mbak Saras?" Dahi Anjar berkernyit, pura-pura tidak mengenal nama itu meskipun ia sudah menduga siapa yang dimaksud Christine. "Siapa dia?" "Beliau adalah kekasih Mas Hendri, sahut Christine D

polos. "Aku tidak menceritakan sepenuhnya ketika kita bertemu. Sebenarnya Mbak Saras itu mendapat teror dari makhluk yang menamakan dirinya Putri Dayang Sari." "Mengapa kau yakin kalau teror itu dilakukan Putri Dayang Sari?" Kali ini Danang yang bertanya. "Seperti yang pernah kujelaskan. Mas Hendri pernah menanyakan hal ilu pada seorang paranormal, dan jawaban yang diterima cuma satu nama tadi yang telah kusebutkan." Danang mengangguk, pura-pura mengerti. Memangnya ada persoalan apa sehingga gadis bernama Saras itu sampai menjadi incaran Putri Dayang Sari?" "Justru itu yang membuatku bingung. Kalau meng- konfirmasikan keterangan Anda dengan situasi mereka, mestinya ada diantara mereka yang berkhianat, dan bila kebenaran cerita Anda itu terbukti sehingga Mbak Saras yang menjadi incaran Putri Dayang Sari, berarti dia yang mengkhianati cinta Mas Hendri." papar Christine. Anjar merasa miris hatinya mendengar kesimpulan yang diuraikan gadis itu, karena terus-terang, sebagian uraian itu benar meski ujung kesimpulannya, sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Lantas menurutmu apakah benar Saras itu berkhianat, dan kalau benar, apakah kau sudah menyelidikinya?" tanya Danang terus bersandiwara untuk mengorek keterangan dari gadis itu. "Itu yang hendak kubicarakan dengan Mas Hendri malam ini." sahut Christine. "Tapi aku telah berusaha mengorek keterangan dari koleganya Mbak Saras, dan ternyata salah seorang diantara mereka membenarkan. Hanya saja aku tidak mendapatkan keterangan tentang namanya, tapi yang jelas bukan Mas Hendri." "Menurutmu sendiri bagaimana? Percayakah dengan cerita itu?" "Entahlah, tapi sepertinya meyakinkan sekali. Aku menelepon media massa tempat Mbak Saras bekerja dan pura-pura menanyakan tentang dirinya. Ketika yang

menjawab teleponku mengatakan bahwa Mbak Saras berada di rumah sakit, iscng-iseng aku bertanya apakah orangtua atau kekasihnya sudah diberitahu? Orang itu mengatakan kalau mereka tidak bisa menghubungi orang tuanya tapi kekasihnya telah diberitahu. Aku bertanya lebih lanjut, kekasihnya yang mana? Yang di kepolisian atau yang mana? Orang itu cuma tertawa dan mengatakan kalau kekasih Mbak Saras itu orang sipil dan seorang pengusaha. Aku tidak bisa bertanya lebih lanjut karena orang itu memutuskan pembicaraan sebab ada telepon masuk katanya," jelas Christine secara rinci. Danang mcngangguk-angguk, sementara Anjar diam membisu. "O, ya! Mengapa kalian tidak ikut saja denganku agar kita bisa bicara panjang lebar dengan mereka," ajak Christine. "Kukira itu bukan ide yang bagus." sahut Danang. "Kita tidak ingin Saras tersinggung, bukan?" sahut Danang. "Ah, iya. Aku mengerti." Christine mengangguk. "Oke, malam sepertinya terus merambat." kata Danang seraya melirik arlojinya, kemudian memberi syarat pada Anjar. "Kami mesti kembaii. Kapan-kapan kita ngobrol lagi panjang lebar. Mari." "Ng, tunggu sebentar!" tahan Christine. "Menurut Anda. Bagaimana kira-kira nasib yang akan menimpa Mbak Saras? Apakah tidak ada cara lain untuk melindunginya dari ancaman makhluk itu?" Danang tidak langsung menjawab. tapi memperhatikan gadis itu beberapa saat. "Menurutmu perlukah mengasihani seseorang yang berhati dua seperti Saras itu?" "Ng, aku...entahlah. Tapi aku cenderung memandangnya dari segi kemanusiaan." Danang mengangguk kemudian angkat bahu "Sementara ini aku belum mendapatkan jawabannya. Tapi bila sudah kutemukan kau pasti kuberitahu. Mari." sahut Danang seraya mengajak Anjar untuk segera angkat kaki.

Christine mengangguk. "Terima kasih." katanya masih belum beranjak dari tempatnya dan memperhatikan langkah-langkah kedua pria itu. Baru ketika dilihatnya kedua pria itu telah agak jauh, ia beranjak dan tempat itu. Adapun Anjar sepertinya enggan untuk meninggalkan rumati sakit itu, dan bersikeras untuk tetap berada di sini mengawasi Saraswati. Baru setelah Danang menjelaskan kalau mereka cuma pura-pura pergi agar Christine tidak mencurigai dan setelah itu kembali lagi ke dalam serta bersembunyi di tempat yang aman. Anjar agak tenang.

*** Selama berada di ruangan itu, tak banyak yang bicarakan Christine mengenai diri Saraswati. Tentu saja ia menjaga perasaan gadis itu agar tidak tersinggung. Tapi ketika pulang dari rumah sakit, saat mereka berada dalam satu mobil. Christine coba mengorek keterangan. "Apakah Mas yakin kalau Mbak Saraswati mencintai Mas?" tanyanya setelah diajaknya Hendri ngobrol berputar- putar soal diri Saraswati. "Kenapa tidak?" "Mas yakin?" "Dia memang tidak, atau katakanlah belum mengucapkan kata itu. tapi sebagai orang yang telah sama-sama dewasa persoalan cinta kan tidak selalu harus diucapkan. Ungkapan lewat sikap itu lebih utama." "Mas sudah menyelidiki latar belakangnya?" "Latar belakang bagaimana maksud kamu?" "Yaaah, keluarganya, masa lalunya atau apakah dia sudah punya pacar atau belum setelah ketemu Mas." Hendri tersenyum. Sejak kecil dia memang sudah akrab dengan Christine, dan sampai mereka dewasa pun keakraban itu belum sirna. Keduanya memang selalu terbuka terhadap masalah masing-masing dan tidak ada yang dirahasiakan.

"Kamu ini macam-macam saja. Aku memang polisi, tapi bukan berarti setiap orang yang dekat denganku harus kuselidiki keadaannya sampai ke tai kukunya." "E, maksudku bukan begitu lho, Mas. Ini ada kaitannya dengan beliau." "Kaitan bagaimana?" "Gini, nih!" Christine menceritakan secara singkat dan jelas percakapannya dengan Danang soal siapa saja yang menjadi incaran korban Putri Dayang Sari. "Coba deh Mas ingat-ingat keadaan korban. Barangkali hal itu bisa membantu." ujar Christine mengakhiri ceritanya. Hendri terdiam beberapa saat lamanya. Dahinya berkerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat keadaan korbannya satu persatu. "Kalau Mas belum menemukan data itu, ada baiknya diselidiki untuk membuktikan kebenarannya," tambah Christine. "Siapa Danang yang kau sebut itu?" tanya Hendri setelah diam beberapa saat lamanya. "Mas ingat tempo hari aku mau ngajak keTasikmalaya untuk menemui seseorang? Nah. Danang itu adalah putra beliau. Kebetulan sekali salah seorang temanku kenal dengannya, dan sekalian saja aku bertemu dengannya." jelas Christine. "Kau yakin dengan dugaannya itu?" "Sejauh ini entah mengapa, aku merasa yakin." Jawaban Christine itu kembali membuat Hendri terdiam. Agaknya ia berusaha mengaitkan keterangan sepupunya itu dengan data-data tentang korban yang ada dalam benaknya. "Maya." desisnya. Belakangan aku mengetahui, maksudku kami menemukan bukti-bukt kuat kalau Boy yang membunulnya." "Boy itu siapa? Hendri tidak langsung menjawab. Dipandanginya sepupunya itu sesaat sebelum memfokuskan perhatian pada jalan di depan mereka. Mobil berbelok ke kiri dan

melewati jalan yang agak kecil Hendri memang sengaja mengambil jalan pintas untuk lebih cepat tiba di rumah. "Mas belum menjawab pertanyaanku? Apakah ada yang dirahasiakan?" tanya Christine. "Maya itu tadinya pacarku..." jawab Hendri beberapa saat kemudian. "Tapi setelah aku memergoki mereka sedang berduaan tanpa mereka nengetahuinya, aku mulai mengatur jarak." Christine mengangguk. Aku mengira Maya adalah tipe gadis setia, tapi nyatanya bukan sekali dua kali aku memergoki mereka sedang ber- duaan, dan itu membuatku kecewa..." "Maaf ya, Mas. Aku kok jadi terpikir begini: saat Mas me- mintanya untuk jadi umpan, apakah..." Christine tidak me- neruskan ucapannya karena dilihatnya sorot mata Hendri ketika menatapnya menunjukkan api amarah. "Sori," ucapnya pendek. "Ada baiknya Mas memang me- meriksa data pribadi korban yang lain, plus kalau perlu me- meriksa data Mbak Saras. Minimal Mas tidak perlu kecewa lagi untuk kesekian kalinya." Apa yang dikatakan Christine memang masuk di akal- nya, dan Hendri berencana dalam hatinya untuk me- nyelidiki hal itu. Sementara Hendri kemudian menyelidiki hal itu. Christine sendiri melakukan penyelidikan tentang ke- beradaan Saras. Hendri mengatakan bahwa Saras pernah membawanya ke tempat orangtuanya, dan Christine mulai melakukan penyelidikan ke tempat itu, baru kemudian ia mendekati kolega-kolega Saraswati di kantornya, dan hasil dari penyelidikannya itu membawa langkah kakinya ke sebuah toko buku. "Selamat sore. Bisa saya bertemu dengan pemilik toko ini?" tanyanya pada seorang pria yang sedang melayani dua orang pembeli. "Ya, ada perlu apa kira-kira?" sahut Kusno balik ber- tanya. Ada keperluan pribadi. Saya Christine, mungkin beliau

pernah mendengarnya." "Sebentar, ya." Kusno melayani kedua pembeli itu, baru kemudian masuk ke dalam, dan tak berapa lama Anjar keluar dari ruangan yang tadi dimasuki Kusno. Wajahnya tidak begitu kaget ketika melihat kehadiran gadis itu. "Hai!" sapa Christine. Anda pasti tidak lupa dengan saya, bukan?" Anjar tersenyum sambil menggeleng. "Tentu saja. Ada sesuatu yang bisa saya bantu?" "Kelihatannya begitu, tapi... saya ingin membicarakan sesuatu yang sifatnya empat mata." sahut gadis itu sambil mengerling ke arah Kusno. "O. begitu. Baiklah. Mari ikut saya ke dalam." ajak Anjar, membawa tamunya ke sebuah ruangan kecil. Di situ cuma ada sebuah meja berikut kursinya serta dua buah kursi di depan meja itu. Dan yang lainnya adalah lemari arsip serta kulkas kecil. "Silahkan duduk." kata Anjar seraya membuka isi kulkas dan mengeluarkan dua gelas kecil air mineral dan meletak- kannya di atas meja, sementara ia sendiri duduk di belakang meja itu. "Sambil diminum, apa kira-kira yang bisa saya bantu?" "Terima kasih." Christine menyeruput sedikit air mineral, dan sekilas memandang pria di hadapannya itu. Sepasang matanya agak sipit dan dahinya lebar menandakan kalau pria ini pintar. Secara keseluruhan wajahnya tidak me- ngecewakan. Postumya pun tidak tinggi tapi bukan berarti pendek. Untuk ukuran rata-rata orang kita dia termasuk golongan sedang. "Saya ingin menanyakan hal yang barangkali sifatnya pribadi, kalau Anda tidak keberatan..." "Soal yang mana?" "Apakah Anda mengenal Saraswati?" "Saraswati yang wartawati itu?" "Betul." "Ng, ya tentu saja. Kami teman baik." "Sekedar teman?'

Anjar tersenyum. "Ya, sekedar teman. Apakah ada se- suatu yang aneh?" "Memang, sebab Mbak Saras mengatakan kalau anda pernah menjadi kekasihnya. "Benarkah?" Anjar pura-pura kaget. "Hubungan kami belakangan ini akrab sekali, dan kami suka cerita hal-hal yang sifatnya pribadi." lanjut Christine. "O, jadi Saraswati berkata begitu kepada Anda? Hm, kalau memang benar begitu saya termasuk orang yang beruntung. Yang jadi masalah, mengapa ia tidak berterus- terang pada saya waktu dulu bahwa ia menganggap saya sebagai kekasihnya" kata Anjar pura-pura bingung. "Mengapa Anda berpura-pura begitu?" "Pura-pura? Mengapa saya tidak boleh mengikuti se- andainya lawan bicara saya pun berpura-pura mengetahui sesuatu yang dia sendiri tidak yakin akan kebenarannya?" "Anda menuduh saya berpura-pura? Dalam soal apa?" "Nona, ketahuilah. Saraswati tidak akan pernah ber- cerita pada siapa pun soal rahasia pribadinya. Saya kenal betul wataknya. Dan dia tidak akan pernah mau terbuka pada orang yang baru dikenalnya. Berapa lama Anda me- ngenalnya? Belum ada satu tahun. Itu melebihi waktu per- kenalan saya dengannya, dan sejauh itu sedikit sekali ia mau menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada saya." Christine agak gelagapan mendengar tuduhan itu, tapi sebisa-bisanya ia menjawab. "Anda tidak bisa meyakini hal itu sebab sifat seseorang bisa saja berubah karena suatu sebab. Mungkin selama ini dia tidak mempercayai Anda seratus persen." "Kalau Anda menyangka kami pernah berhubungan cinta, lalu apakah ada orang mencintai lawan jenisnya tanpa ada saling percaya?" Christine kembaii gelagapan. Untuk beberapa saat ia tidak tahu harus bicara apa. "Baiklah. Aku hargai usaha anda, dan tidak perlu ber- belit-belit segala. Apa sebenarnya yang Anda ingin ketahui?" tanya Anjar.

Christine menghela nafas. "Aku cuma tidak ingin per- soalan ini berlarut-larut. Secepatnya dicari titik terangnya maka akan lebih baik." "Lantas apa yang Anda inginkan?" "Pembunuh itu." sahut Christine tegas. "Aku mem- percayai cerita legenda yang diceritakan teman Anda. Kalau benar Putri Dayang Sari membunuh korbannya me- lalui orang keliga, maka perlu kita ketahui, siapa gerangan orang ketiga yang akan dijadikan alat untuk membunuh Mbak Saraswati." "Anda sungguh-sungguh ingin tahu orangnya?" "Tentu saja!" Anjar tersenyum. "Anda orang yang polos, dan saya khawatir bila diceritakan maka akan sampai pada orang ketiga itu." "Saya berjanji unluk tutup mulut sahut." Christine sambil mengangkat dua jarinya. Anjar menghela nafas sesaat. "Ya, Saraswati memang mantan kekasih saya..." sahutnya berat. "'Saya tahu per- selingkuhannya dengan Hendri sebelum dia mengeluarkan pernyataan bahwa hubungan kami bubar." "Jadi... jadi, dengan kata lain, bila apa yang diceritakan teman Anda itu benar maka Putri Dayang Sari akan meng- gunakan Mas Hendri untuk membunuh Mbak Saras?" tanya Christine kaget. "Kalau Anda mempercayainya, maka berhati-hatilah. Dalam keadaan telah dimasuki roh Putri Dayang Sari maka ia akan membunuh siapa saja yang menghalangi niatnya." Christine diam sejenak, sebelum memandangi wajah pria itu dalam-dalam "Apakah Anda pun merasa yakin dengan kebenaran cerita itu?" tanyanya ragu. Anjar tersenyum. "Yakin? Tentu saja. Kenapa tidak? Kami telah melihatnya sendiri." "Ka... kalian, maksud Anda bersama teman Anda itu?" Anjar mengangguk. "Mengapa kalian tidak menceritakan hal ini ketika di pertemuan pertama kita?"

"Kami merasa orang Timur, dan tidak layak men- ceritakan sesuatu kepada seseorang yang punya hubungan baik dengan orang yang hendak diceritakan." jelas Anjar. "Lagipula pada saat itu kami belum merasa yakin apakah Anda percaya atau tidak dengan cerita itu. Salah-salah nantinya kami akan dituduh memfitnah." Christine kembali terdiam, masih sulit mempercayai cerita itu, meski di sisi yang lain ia bisa membenarkannya. "Anda katakan kalian pernah melihatnya sendiri, di mana?" "Ingatkah Anda ketika kita bertemu di rumah sakit?" Dan ketika dilihatnya gadis itu mengangguk. Anjar melanjutkan "Di situ kami betul-betul melihat sepupumu itu hendak membunuh Saraswati. Aku tidak bisa membiarkannya, se- hingga kami coba menghalangi." Christine bergidik ngeri. "Lalu?" "Saraswati keburu sadar, lalu lampu kunyalakan, dan se- telah itu Saraswati mengusir kami keluar, dan akhirnya ber- temu dengan Anda." "Jadi waktu itu alasannya bohong?" Anjar tersenyum mengangguk. "Ya, aku bisa mengerti." Christine ikut mengangguk. "Kini persoalannya semakin terang, meski tetap saja bingung apa yang mesti dilakukan untuk mencegah Hendri mem- bunuh Saraswati." "Kami akan berusaha terus mengawasinya." "Mengawasi siapa?" "Saraswati." Christine kembali memandang wajah pria itu lekat-lekat. "Apakah Anda masih mencintainya?" tanyanya tiba-tiba, karena pikiran itupun datangnya tiba-tiba. Anjar tersenyum, dan tidak langsung menjawab. Ia menyeruput air mineral, lalu diam seperti berpikir sebelum balas memandang gadis itu. "Sedikit sekali yang kuketahui tentang cinta. Kalau kukatakan masih cinta, mungkin ber- tentangan dengan akalku yang selalu mengingatkanku bahwa hubungan kami sudah putus, dan tidak perlu

cengeng mengharapkan dicintai atau ngotot mencintai, sebab itu tiada guna dan hanya melemahkan perasaan." "Lalu mengapa kelihatannya Anda menaruh perhatian besar terhadap keselamatan Saraswati?" "Itulah susahnya. Aku masih saja merasa kalau kami teman dekat, dan sebagai teman dekat aku seperti punya kewajiban untuk membantunya." "Anda tidak jujur dengan perasaan Anda." tuduh Christine sambil tersenyum. "Tidak jujur, ya?" ulang Anjar tersenyum geli. "Seandainya benar, maka ketidakjujuranku itu tidak akan membawa kemujuran buatku, dan seandainya aku di- anggap bicara jujur maka dunia mentertawakanku. Hm, pilihan sulit. bukan?" Christine tidak tahu harus menjawab apa, hanya saja ia bisa merasakan kalau Anjar sedang nenghadapi dilema. Mungkin perasaan kecewa akibat penyelewengan kekasih- nya masih belum sirna dalam hatinya, dan menurutnya itu wajar saja, karena toh pria itu bukan robot. Ia manusia normal yang memiliki hati nurani, perasaan, dan memori akal. Sehingga bila melintas wajah gadis itu dalam benaknya, memori segera bekerja mengenang kisah-kisah mereka, tapi berakhir dengan "sad ending" karena menyadari cerita telah berlalu.

*** Anjar membuatnya bergidik saat berdekatan dengan Hendri. Baginya sepupunya itu seperti bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Atau jangan-jangan ia bisa melenceng dari target, sehingga orang lain yang menjadi korban. "Kamu kenapa?" tanya Hendri ketika malam ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit di mana Saraswati dirawat. "Nggak kenapa-kenapa?" "Kok dari tadi diam saja?"

Gadis itu tersenyum. "Ada yang dipikirkan?" "Setiap manusia yang masih bernyawa tentu saja ada yang dipikirkan." "Maksudku ada yang serius sehingga menyita begitu banyak perhatian." Christine kembaii tersenyum. "Ada apa? Ceritakanlah. Atau ada sesuatu yang dirahasiakan?" "Nggaaak. Aku cuma memikirkan nasib Mbak Saras. Apa Mas kira-kira punya penyelesaian tentang masalah yang dihadapinya?" "Sementara ini aku cuma bisa menjaganya dari segala kemungkinan yang terburuk." "Menjaga?" gumam Christine dalam hati. Mana mungkin, sebab justru dia yang perlu dijaga untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan. Tapi...ah, bagaimana caranya untuk memberi peringatan pada sepupunya ini? Sejauh ini ia belum punya cara yang tepat untuk mengungkapkannya. "Eh, tahun ini Mas sudah ambil cuti belum?" "Belum, dan rasanya tidak sempat." "Mas sudah bekerja kelewat ekstra, dan ada baiknya mengambil cuti. Aku punya brosur tentang wisata ke Selandia Baru. Kayaknya suasana di sana menyenangkan deh." "Hendri tersenyum. Kamu ini ada-ada saja. Memangnya ke sana cukup naik becak atau bis kota. Lagipula ngapain kita menghambur-hamburkanu ang ke negeri orang sementara di negeri sendiri pun masih banyak obyek wsata yang tidak kalah indahnya." "Ya, boleh saja. Mas kan belum pernah ke Danau Toba. Bagaimana kalau kita pergi ke sana?" "Menarik juga, tapi aku tidak sempat. Dan sampai detik ini belum terpikirkan untuk minta cuti," sahut Hendri menegaskan, dan sekaligus mengecewakan lawan bicaranya.

Christine kembali terdiam. Entah apa yang mesti ditawarkannya untuk menjauhkan Hendri dari Saraswati? "Mas..." "Hm. Ada apa?" "Mas mencintai Mbak Saras?" "Mengapa hal itu kau tanya kan lagi?" "Sekedar ingin tahu saja." Hendri tidak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya. Mestikah pertanyaan seperti itu dijawabnya? Apakah itu bukan pertanyaan yang kanak-kanakan? Melihat perhatiannya yang begitu besar terhadap Saraswati mestinya Christine bisa menduga apakah ia mencintai Saiaswati atau tidak. "Anggap saja benar." akhirnya Christine sendiri yang menjawab pertanyaannya. "Ini seandainya, ya!' lanjutnya menekankan, takut sepupunya itu tersinggung. "Seandainya Mbak Saras itu sudah punya kekasih sebelum berhubungan dengan Mas, bagaimana?" "Kenapa kamu berpikir begiitu?" "Hanya ingin tahu reaksi Mas saja," sahut gadis itu enteng. "Jaman sekarang ini sulit lho mencari gadis yang baik, eh maksudku gadis yang betul-betul setia dan jujur." '"Setahuku Saraswati tidak pernah menyinggung soal itu, dan gelagatnya pun menunjukkan kalau dia belum punya kekasih." "Mas jangan salah, lho! Wanita bisa menyembunyikan rahasianya dengan rapih." "Kenapa? Kamu menduga dia sudah punya kekasih?" "Aku tidak menduga begitu, hanya mencari hubungan antara rahasia pribadi Mbak Saras dengan ancaman yang sedang dihadapinya. Eh, Mas sudah mencari informasi tentang korban-korban yang lain belum?" "Sudah." sahut Hendri lesu. "Bagaimana hasilnya?" kejar Christine antusias. "Dugaanmu memang benar." "Jadi memang ada hubungannya dengan cinta segitiga?" Hendri mengangguk.

"Semuanya?" "Semuanya." sahut pria itu menegaskan. "Nah, apa Mas tidak mencari tahu tentang rahasia pribadi Mbak Saras? Kalau memang teori itu benar, dan kini Mbak Saras mendapat ancaman, mestinya ada cinta segitiga diantara kalian. Dan yang menjadi korban adalah dia yang diperebutkan sedangkan yang menjadi ancaman adalah pihak yang terakhir menjalin hubungan." "Menurutmu siapa orang itu?" Christine angkat bahu. Ia sengaja tidak mau berterus- terang. Selain janji dengan Anjar, juga menjaga perasaan sepupunya ini. Sebenarnya Christine takut juga bila apa yang dikatakan Anjar itu benar terjadi saat mereka berada di kamar Saraswati. Bagaimana bila tiba-tiba roh Putri Dayang Sari datang dan menyusup ke dalam tubuh Hendri, maka dia akan langsung membunuh Saraswati tanpa siapa pun bisa menghalangi. Kalau Christine coba-coba menolong, bukan tidak mungkin ia juga akan ikut menjadi korban benkutnya. Tapi untunglah hal itu tidak terjadi sampai mereka pulang dari rumah sakit itu bertiga. Sebenarnya sore tadi pun Saraswati sudah diperbolehkan pulang, hanya saja Hendri memintanya untuk menunggu sampai malam, karena begitu tugasnya di kantor selesai, ia akan menjemput gadis itu. Dan Saraswati hanya menurut saja. "Mbak sungguh-sungguh sudah merasa lebih baik?" tanya Christine yang duduk di jok belakang mobil kijang yang dikemudikan Hendri. Saraswati melirik sekilas, kemudian mengangguk. "Gimana? Nggak ada rencana untuk istirahat dulu, atau mau langsung bekerja?" "Dalam soal kerja, prestasi Saraswati hanya bisa ditandingi oleh orang-orang Jepang. Dia itu gila kerja." kata Hendri memberi komentar. "Baginya tiada waktu yang terbuang selain diisi dengan kerja." "Itu tidak benar," tangkis Saraswati. "Jangan dengarkan pendapat ngawur itu. Aku toh manusia biasa yang butuh

makan, tidur, istirahat serta rekreasi." Christine tertawa kecil. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti ketika mendengar suara mendesis Hendri. "Ada sebuah jip yang mengikuti kita sejak keluar dari rumah sakit." Kedua gadis itu reflek menoleh ke belakang, dan ternyata apa yang dikatakan Hendri memang benar. Sebuah jip dalam jarak kurang lebih seratus meter mengikuti mereka. Tapi benarkah jip itu mengikuti mereka? Jangan-jangan hanya searah saja dengan jalan yang mereka tempuh sebab selain mobil jip itu masih ada beberapa mobil serta motor yang berada di belakang mereka. "Kenapa kau yakin jip itu mengikuti kita?" "Aku mengenalinya sejak diparkir di rumah sakit." sahut Hendri tetap bersikap tenang. "Begitu kita keluar, maka jip itupun ikut keluar dan aku terus mengamatinya lewat kaca spion. Jip itu memang mengikuti kita." sambungnya yakin. "Siapa kira-kira, ya?" tanya Saraswati. Saraswati masih terus menoleh dan mengamati jip di belakang mereka dengan seksama. "Sepertinya aku kenal..." ujarnya ragu-ragu. "Aku memang pernah mengenalnya. Jip itu milik temanmu." tukas Hendri. "Temanku?" "Ya, yang bernama.... Anjar, kalau tidak salah," sahut Hendri. "Aku pernah melihatnya memakai jip itu saat datang ke rumah sakit menjengukmu, dan aku hapal betul mobil itu." "Brengsek!" umpat Saraswati. "Mau apa dia mengikuti kita? Coba hentikan mobil ini, kita tunggu dia dan biar kutanyakan apa maunya?" dengusnya geram. "Jangan sekarang. Nanti saja bila sudah berada di tempat yang lalu lintasnya agak sepi." sahut Hendri mengingatkan Sebagai seorang polisi tentu saja dia merasa curiga. Bukan saja soal mengapa mereka dikuntit jip itu, tapi soal

keberadaan Anjar yang oleh Saraswati dikatakan temannya. Sesungguhnya Hendri tidak percaya begitu saja. Hanya dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu. Kalau memang Saraswati mcngataikan pria itu adalah temannya, Hendri tidak mau rewel untuk membantahnya. Baginya itu tidak perlu. Dua puluh menit kemudian mereka telah tiba di tempat yang suasana lalu lintasnya sepi. Namun jip itu tidak terlihat di belakang mereka. Saraswati gondok bukan main. "Coba tolong berhenti. Kita tunggu sebentar di sini." katanya. Hendri mengikuti apa yang diinginkan gadis itu. Begitu mobil berhenti. Saraswati langsung keluar, diikuti oleh Christine. Sementara Hendri tetap berada di belakang kemudi. "Memangnya siapa, Mbak?" tanya Christine pura-pura tidak mengerti. "Cuma seorang teman." "Kok kayaknya Mbak begitu sewot?" "Teman yang menjengkelkan." lanjut Saraswati. "Apa dia memang sering mengganggu?" Saraswati diam tak menjawab. Christine mengangguk sendiri. "Terkadang memang ada teman yang sangat menjengkelkan, dan saya pun pernah mengalaminya. Tapi biasanya mereka punya alasan. Entah sekedar mempermainkan, bercanda, atau punya motif tertentu yang alasannya cukup kuat, misalnya dia naksir pada kita, lalu merasa cemburu melihat kita berdua dengan pria lain..." Ia tidak melanjutkan ucapannya ketika Saraswati memandangnya dengan sorot mata tajam. "Menurut kamu bagaimana?" tanya Saraswati dengan nada datar. Pertanyaan itu sebenarnya tidak meng- harapkan jawaban, hanya sekedar ingin mengetahui apa yang ada di benak Christine soal ucapannya tadi. Tapi agaknya Christine cukup cerdik, karena ia langsung melihat kalau itu suatu peluang baik untuk melanjutkan sesuatu yang ingin diketahuinya tentang wartawati ini.

"Melihat profil Mbak, rasanya tidak mungkin dia mau bercanda." "Jadi?" "Jadi, ya dia pasti punya alasan tertentu. Dan jangan tanya padaku alasan apa, yang jelas pasti Mbak yang lebih tahu." Saraswati tidak bereaksi. "Saya pernah punya sahabat, cantik dan menarik, juga cerdas. Dia punya seorang kekasih dengan pekerjaan, eh usaha yang telah mapan. Orangnya tampan, dan... menurut saya menarik. Suatu ketika teman saya itu bertemu pria lain, dan entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa tertarik dengan pria itu. Mungkin juga karena mereka sering ber- sama-sama, mungkin pula ada urusan yang membuat mereka sering bertemu. Teman saya itu meninggalkan kekasihnya yang lama, yang saya tahu mencintainya dengan tulus. Saya tidak mengerti, mengapa teman saya itu meninggalkannya, sebab kalau melihat ketampanan maka kekasihnya tidak kalah tampan, melihat kekayaan, justru kekasihnya lebih kaya, melihat kepribadian ke- kasihnya itu bukan termasuk pria buruk. Heran, bukan? Saya sendiri sebagai seorang wanita tidak mengerti, kriteria apa yang dibuat teman saya itu sehingga me- ninggalkan kekasihnya? Apakah itu yang disebut cinta? Lalu kalau benar, apa gunanya cinta tanpa kesetiaan?" Christine tidak peduli ketika bercerita itu Saraswati me- mandangnya kembali dengan sorot mata tajam. Dia malah sengaja terus bercerita untuk membangkitkan emosi Saraswati. "Siapa teman kamu itu?" tanya Saraswati curiga. "Aku merasa tidak perlu memberitahukannya karena temanku banyak sekali. Disa jadi Mbak tidak mengenal- nya." Saraswati sudah mau mendesak ketika tiba-tiba ter- dengar lolongan anjing dari kejauhan. Keduanya merasa kalau bulu kuduk mereka merinding seketika. "Jip itu agaknya tidak mengikuti kita lagi. Sebaiknya kita

masuk saja." ajaknya dengan nada dengan dan terus mem- buka pintu mobil, sementara Christine akhirnya pun meng- ikuti. "Kita langsung pulang saja. Hen." katanya lagi. Tapi pria itu tidak menjawab. Kepalanya tertunduk mencium kemudi. "Kita pulang saja. Hen." ulangnya sambil menepuk lengan pria itu. Perlahan Hendri mengangkat kepalanya, kemudian me- noleh pada Saraswati. Gadis itu terperanjat kaget ketika melihat sepasang mata pria itu memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. "Hendri, kamu kenapa?" tanyanya kaget. Christine yang melihat keadaan itu, kaget luar biasa. Apa yang dikhawatirkannya kini telah terbukti. Putri Dayang Sari telah datang dan menyusup ke tubuh saudara sepupunya itu. "Mbak, cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya seraya membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu. Reflek Saraswati keluar. Mestinya ia tidak percaya begitu saja dan meyakinkan dulu apa yang terjadi dengan pria itu, namun perasaannya mengatakan ada bahaya mengancam di depan mata, dan ia harus menghindarinya. Keduanya bergandengan dan siap kabur sekencang- kencangnya dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja sosok Hendri telah berdiri di hadapan mereka dalam jarak sekitar empat meter. Muncul begitu saja dalam gerakan secepat kilat. "Kau tidak akan bisa lari ke mana-mana..." ancam pria itu dengan suara parau, mirip dengan suara wanita. Kemudian mendekat kedua gadis itu perlahan-lahan. Saraswati mundur ke belakang, diikuti oleh Christine. "Hendri, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi padamu? Sadarlah, apakah kau tidak mengenali kami?" Pria itu diam tak menjawab. Hanya langkah-langkah kakinya saja yang kian mendekat. Kedua gadis itu tidak tahu harus ke mana ketika punggung mereka menempel

ke bodi mobil. "Siapa sebenarnya kau? Apa yang kau inginkan?" tanya Christine memberanikan diri. Pria itu tidak peduli, bahkan tidak memalingkan per- hatiannya sedikit pun. "Kaukah Putri Dayang Sari itu?" tanya Christine. Mendengar itu baru Hendri memalingkan perhatian kepadanya, dan gadis itu bergidik ngeri saat mata mereka beradu pandang. Ketakutannya begitu kuat menyusup ke dalam hati, dan semangatnya seperti terbang entah ke mana. Sementara itu Hendri telah kembali mencurahkan per- hatian pada Saraswati sambil terus melangkah mendekati. "Hari ini kau tidak akan lolos lagi." katanya menggeram. Saraswati bergeser ke kanan, dan ketika lengan kanan Hendri melesat ke arah lehernya, ia merunduk menghindar. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke arah dada pria itu. Cuma terdengar suara gedebug pelan namun tidak mampu menggoyahkan pria itu. Sebaliknya Hendri kelihatan marah. Kedua tangannya diayunkan untuk men- cekik leher gadis itu yang lelah melompat mencari tempat yang lega. Saraswati melompat ke kanan, bermaksud menghindari, tapi pria itu mengejar dengan kaki kanannya yang menghantam salah satu lutut kaki bagian belakang gadis itu. Saraswati menjerit kesakitan. Pria itu langsung me- nerkam, dan dalam keadaan begitu ia masih sempat meng- hindarkan diri sambil bergulingan dan berusaha bangun meski dengan posisi kedua kaki yang belum begitu kokoh, dan belum siap menghadapi serangan pria itu yang cepat dan ganas. Hendri cepat bangkit dan berdiri, dan menghampiri gadis itu perlahan-lahan. Tangannya terjulur ke arah leher korban, dan kali ini Saraswati kembali coba berkelit. Dia tidak mau mengambil resiko dengan menangkis karena dianggapnya itu lebih berbahaya. Saat gadis itu bergeser ke belakang, Hendri menerkamnya dengan gesit. Saraswati

coba menjatuhkan diri, namun sebelah lengannya kena di- cekal dan langsung ditarik. Tenaga pria itu kuat luar biasa, karena dengan sekejap saja gadis itu telah berada dalam cengkramannya. "Jangan...!" teriak Christine ketika melihat tangan pria itu yang kini telah ditumbuhi kuku-kuku yang panjang, dan entah bagaimana bisa begitu siap menghunjam leher Saraswati. "Aku akan menghajarmu dengan kayu ini," Lanjutnya mengancam dengan sepotong kayu di tangan- nya, dan perlahan mendekati pria itu. Pria itu menoleh padanya dengan sorot mata meng- ancam. "Lepaskan dia! Aku bersungguh-sungguh akan meng- hajarmu!" bentaknya seraya terus mendekat dengan hati- hati. Hendri menggeram, dan tanpa mempedulikan ancaman gadis itu dia mengayunkan kuku-kuku jarinya ke leher Saraswati yang sudah tidak berdaya. Dengan memompakan keberaniannya Christine lang- sung menghantamkan kayu di tangannya ke tengkuk sepupunya itu. Hendri menggeram dan menangkis kayu itu sampai patah. Bukan cuma itu, ia kembali menggeram marah dan tiba-tiba saja tangannya telah mencengkeram leher baju Christine dan menghempaskan gadis itu sampai tersungkur ke belakang. "Aku telah memperingatkanmu. Kalau kau coba lagi halangi, maka kau akan mati lebih dulu!" ancam pria itu dengan suaranya yang parau. Christine yang merasa tulang-tulangnya linu, tak mem- perdulikan keadaannya, juga ancaman pria itu. Kembaii dia meraih sepotong kayu yang lebih besar yang terdapat di sekitar situ, dan dengan bernafsu bermaksud menghajar saudara sepupunya itu. "Kau mau mampus lebih dulu rupanya!" geram pria itu seraya menghempaskan tubuh Saraswati dan bersiap menghadapi serangan Christine. Bersamaan dengan melesatnya kayu di tangan gadis itu,

maka saat itu pula meluncur sebuah jip yang langsung berhenti di dekat mereka pada jarak tiga meter. Lampu mobil yang terang benderang menyilaukan pria itu sehingga terpaksa ia menghalangi matanya dengan sebelah tangan. "Prak! Kayu yang dihantamkan Christine tepat meng- hajar kepalanya. Pria itu terhuyung-huyung ke belakang untuk sesaat, namun tidak terlihat sedikit pun darah dari kepalanya. Bahkan sedikit pun ia tidak merasa sakit. Agaknya pukulan kayu itu cuma sekedar mendorong tubuh- nya saja. "Christine, cepat menyingkir dari situ!" teriak salah seorang pengendara jip yang tak lain dari Anjar dan sobatnya Danang. Keduanya langsung keluar dari mobil begitu jip itu berhenti. Anjar mendekati Christine, sementara Danang membantu Saraswati. Melihat kehadiran kedua pria itu. Hendri kelihatan marah sekali. Sorot matanya bersinar terang, seperti mengancam mereka berempat. Untuk menghabisi korban yang satu ini agaknya ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat, tidak seperti korban-korban yang lain. Korban kali ini harus tertunda beberapa lama, dan selatu terhalang setiap kali ada kesempatan untuk menghabismya. Tapi kali ini agaknya kesabarannya tidak bisa menenangkannya lagi. Keempat manusia harus ikut menjadi korban. Anggap saja sebagai tumbal dari pekerjaannya yang sulit. "Bagus! Kalian selalu menghalangi pekerjaanku, maka jangan salahkan kalau kalian pun harus mati sia-sia."

***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II 5

endri tegak berdiri mengawasi mereka satu persatu. Di antara keempat orang itu yang dipandangnya paling lemah adalah Christine yang saat itu berada dekat dengan Anjar. Dia telah mengetahui kalau Danang mempunyai kemampuan yang cukup lumayan. Begitu juga halnya dengan Saraswati. Meski keadaan gadis itu saat ini agak lemah, tapi dia pasti sedikit banyak mampu memberikan perlawanan. Sedangkan Anjar sama sekali tidak diketahuinya, yang jelas dia menyadari kalau pemuda itu tidak memiliki kemampuan ilmu batin seperti temannya. Kini kedua orang yang dianggapnya terlemah di antara keempat orang itu berada dalam posisi yang saling berdekatan, maka dengan sekali hajar mereka pasti tewas. "Anjar, awas..." teriak Danang memperingatkan ketika Hendri melompat menerkamnya. Anjar mendorong tubuh Christine ke samping sementara dia siap-siap menyambut serangan lawan. Begitu kedua tangan Hendri hendak mencengkeram lehernya, dengan berani ditangkapnya kedua pergelangan tangan lawan, dan sambil menjatuhkan diri ke tanah, kedua kakinya me- nendang ke ulu hati lawan hingga membuat Hendri terpental ke belakang. Mahluk itu sama sekali tidak menduga gerakan lawan tadi. Dengan gusar ia cepat bangkit dan berbalik serta kembali melompat menerkam Anjar dengan penasaran. H

Tetapi kali ini agaknya Danang tidak tinggal diam. Dari arah samping ia melayangkan tendangan ke perut lawan. Hendri menangkisnya dengan menekuk sebelah lututnya pada saat melayang itu kemudian langsung berbalik sambil mengayunkan cakar ke muka lawan. Sementara Danang yang sedang jumpalitan dengan memanfaatkan benturan antara telapak kakinya dengan lutut lawan tadi menyilang- kan kedua tangan menutupi wajah dan bagian dadanya. Gerakan mahluk itu cepat bukan nain. Kalau saja pada saat itu Anjar tidak bergerak cepat dengan mengayunkan tendangan memutar ke pinggang lawan mungkin sobatnya itu kena dicakar oleh Hendri. Untuk kedua kalinya mahluk itu terhuyung-huyung akibat tendangan Anjar. Sepasang matanya memandang buas ke arah pemuda itu. Penuh dendam dan amarah. Pemuda yang dianggapnya lemah itu ternyata boleh juga, dan tidak bisa dibuat main-main. Kalau lawan merasa heran, maka demikian pula halnya dengan Anjar. Dua kali tendangannya tadi kuat sekali, dan kalau orang biasa, mungkin bisa jadi tulang-tulangnya akan patah. Tapi mahluk yang dihadapinya sama sekali tidak merasa kesakitan. "Hebat juga kau. Kukira kau sama sekali tidak berisi." Puji Danang ketika mereka merapat dan siap menghadapi serangan mahluk itu berikutnya "Lumayanlah. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo, meski belum sampai Dan III." "Pantas..." Ucapan Danang terhenti ketika Hendri telah melompat menerkam mereka berdua. Kali ini gerakannya semakin cepat, dan terasa hawa amarah yang begitu hebat. Sebelah tangannya menyapu kedua wajah pemuda itu, dan saat kedua lawan melompat ke belakang untuk meng- hindar, ia terus menerkam Anjar, lawan yang dianggap telah mempermainkannya. Anjar terus melompat dan menghindar dari serangan lawan sebisa-bisanya. Seolah-olah ia tidak diberi kesempat-

an sedikit pun untuk bernafas. Kedua tangan lawan ber- kelebat menyambar-nyambar wajah dan dadanya, sehingga ketika suatu saat ia tidak sempat berkelit, maka dengan untung-untungan ia coba menangkap pergelangan tangan lawan, kemudian bermaksud menjatuhkan diri untuk mem- banting lawan. Namun yang terjadi justru pergelangan tangannya langsung ditangkap oleh tangan lawan yang sebelah lagi, dan tanpa diduganya sama sekali tubuhnya terbetot kuat dan melayang deras menghantam tanah. Sementara Danang yang coba mencuri kesempatan itu dengan mengirimkan tendangan malah menjerit kesakitan pahanya justru yang dihajar lebih dulu oleh lawan saat Hendri berbalik ke arahnya dengan tiba-tiba. Hendri kemudian langsung mengejar Anjar yang belum sempat bangun. Pemuda itu terkesiap lalu bergulingan, namun betis kirinya sempat kena cakar lawan. Sambil me- ringis kesakitan ia berusaha melakukan koprol ke belakang menghindari serangan lawan berikutnya. Tapi lagi-lagi ia mengaduh kesakitan saat kuku-kuku lawan yang panjang dan runcing sempat menggores punggungnya. Dan Hendri yang gerakannya semakin cepat saja langsung melompat ke arahnya, padahal posisi Anjar sama sekali tidak menguntungkan. Melihat keadaan itu, meski dengan ter- tatih-tatih, Danang memberanikan diri melompat dan me- meluk Hendri dari arah belakang. "Hiih!" Mahluk itu membungkuk dan membanting tubuh Danang ke tanah sampai terdengar suara bergedebum se- perti nangka jatuh, kemudian secepat kilat mengangkat se- belah kakinya untuk menginjak dada lawan. "Jahanam!" Anjar menggeram marah. Tanpa mempeduli- kan keselamatnya dia menyeruduk lawan seperti banteng mengamuk. Injakan lawan memang luput dari sasaran karena tubuh Hendri terdorong ke belakang, namun akibat- nya sungguh fatal bagi Anjar karena seketika itu juga makhluk itu mencengkeram kedua pinggangnya sampai kuku-kukunya melesak ke dalam tubuhnya. "Anjaaaar...!" teriak Danang dan Saraswati hampir ber-

samaan ketika terdengar keluh kesakitan dari mulut Anjar. Tubuhnya dibanting dengan keras dan melayang ke belakang lawan. "Periksa lukanya dan bantu sebisa mungkin!" teriak Danang pada Saraswati saat gadis itu berlari mengejar tubuh Anjar. Sementara ia sendiri mencabut sebilah kujang dari balik bajunya dan lompat menyerang Hendri yang ber- siap hendak membunuh Anjar yang sedang tidak berdaya. Kali ini Danang tidak main-main lagi. Dia mengerahkan semua kemampuan yang dimilikinya untuk melawan mahluk itu. Yang ada di benaknya saat ini bukan lagi menyelamatkan Saraswati dari incaran mahluk itu, tapi bagaimana caranya dia membunuh mahluk itu agar mereka tidak terbunuh lebih dulu. Sementara itu Saraswati agak panik melihat tubuh Anjar yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih dan dari kedua pinggangnya mengucur darah segar. "Anjar, kau tidak apa-apa bukan? Kau tidak apa-apa, kan?!" Pemuda itu masih menggelepar kesakitan. Seluruh tulang tubuhnya terasa remuk akibat bantingan Hendri dan kedua pinggangnya terasa nyeri sekali. Saraswati me- ngeluarkan sapu tangan untuk menutupi luka itu, dan merogoh sapu tangan Anjar di saku celananya untuk me- nutupi luka yang satu lagi. "Maaf aku terpaksa merobek bajumu untuk menutupi dan mengikat lukamu." katanya seraya merobek baju pemuda itu. Selesai mengikat kedua luka di pinggang pemuda itu, ia bersimpuh di tanah dan memangku kepala Anjar di alas pahanya. "Anjar, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!" isaknya dengan air mata yang mulai menggenangi kedua kelopak mata. "Maafkan aku, maafkan aku, Sayang." lanjutnya sambil membelai-belai rambut pemuda itu. Anjar yang merasa denyut nafasnya terasa berat dan pandangannya agak sedikit kabur dan sukmanya seperti hendak melayang dan tubuhnya, menguatkan diri men-

dengar isak tangis gadis itu. "A--Aku minta maaf..." katanya dengan suara berat dan perlahan. "Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu." sahut Saraswati cepat. "Tentang... foto itu... memang aku yang mengambil. Ta- Tapi... aku punya alasan..... karena Hendri ada dalam fo... foto itu. A-Aku ti.. tidak ingin hubungan ... kalian rusak... gara-gara itu..." "Kau...?!"Saraswati tersentak kaget, dan itu mem- buktikan bahwa ia belum melihat jelas siapa orang yang kena jepret kameranya tempo hari, dan yang jelas orang itulah yang bermaksud membunuh Maya. "Jadi... Hendri? Kenapa? Kenapa tidak kau beritahukan padaku?!" Anjar tidak menjawab hanya berusaha tersenyum. Tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Danang. Tubuhnya terhempas di dekat Anjar, dan kujang yang tadi ada dalam genggamannya terpental dekat kaki Saraswati. Keduanya bisa melihat kalau perut Danang merah oleh darah. Pemuda itu meringis kesakitan dan merobek baju untuk mcmbalut lukanya sambil duduk bersila. Hendri tegak berdiri memandangi mereka. Tawanya mengema membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang mendengar. "Hi hi hi...! Tidak seorang pun yang boleh menghalangi sumpahku. Kalian mahluk-mahluk nista, tak pantas hidup lebih lama. Bersiaplah untuk mati." Wajahnya mendadak berubah kelam dan menakutkan. Kedua tangannya diangkat memperlihatkan kesepuluh jari yang kini memiliki kuku yang panjang dan runcing. Dengan sekali lompatan ia mampu membabat mereka semua tanpa mengalami kesulitan. Tapi mendadak ia menghentikan niatnya sesaat ketika melihat perubahan pada diri Danang. Sebenarnya tidak tepat dikatakan perubahan. Pemuda itu menggerak-gerak- kan kedua lengan, dan perlahan lahan bertiup angin di se- keliling tubuhnya yang semakin lama semakin kencang.

Tubuhnya bergetar dan mulutnya komat-kamit seperti me- lawan dengan sorot tmta setajam pisau. Siapa pun sepertinya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh terjadi pada Danang, hanya mereka tidak bisa menjelaskan selain Hendri yang saat ini sedang dikuasai roh Putri Dayang Sari. "Hm, kau boleh juga, Anak Muda. Tapi pembantumu itu tidak akan bisa berbuat banyak terhadapku." Dan Putri Dayang Sari membuktikan kata-katanya ketika tubuhnya melompat laksana kilat menerkam lawan. Pada saat yang bersamaan tubuh Danang pun melesat tak kalah cepatnya menyambut serangan. Gerakan yang di- lakukan keduanya begitu cepat sehingga mereka seperti gasing yang sedang berputar saat saling pukul dan hantam. Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama ketika ter- dengar teriakan Danang, bersamaan dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang sejauh kurang lebih lima meter. Masih sempat terlihat luka di bagian dadanya yang memerah berbentuk telapak tangan akibat pukulan lawan. Danang berguling-gulingan ke sana-kemari sambil men- jerit-jerit kesakitan. Anjar dan Saraswati yang coba men- dekat, malah terjerembab terkena hajaran kakinya tanpa disengaja. "Danang, kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Anjar mendekat sobatnya itu dengan muka pucat dan hati khawatir. Dilihatnya Danang amat menderita sekali. "Panas...! Panaaas...!" keluh Danang sambil terus kelojotan seperti cacing dibakar. "Cari air, cepat! Basahi tubuhnya dengan air!" teriak Anjar pada Saraswati. Gadis itu mengangguk, dan langsung berdiri. Tapi langkahnya dihadang Hendri. "Kau tidak akan pergi kemana-mana." dengusnya dengan sorot mata mengancam, dan perlahan mendekati gadis itu yang membuat langkah Saraswati terhenti, bahkan perlahan mundur mendekai Anjar.

"Kurang ajar!" Anjar menggeram marah. Diraihnya senjata Danang yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya, dan dengan sudah payah sambil menahan nyeri di bagian parut ia bangkit berdiri dengan sikap menantang kepada Putri Dayang Sari. "Iblis terkutuk! Hari ini akan kita tentukan apakah aku yang mati atau kau yang bakal mampus" dengusnya dengan kemarahan yang meluap sambil mengacungkan kujang di tangannya ke atas. Tak lama terdengar suara yang parau dengan nada tinggi. "Oh, nenek moyangku Eyang Wanara Bodas. Dengan perantara senjata pusakamu ini berkatilah cucumu untuk membasmi iblis ter- kutuk ini!" Putri Dayang Sari sesaat tercekat. Dahinya berkerut dan matanya seperti tidak berkedip memandang pemuda di hadapannya. Entah dari mana Anjar menemukan akal-akalan seperti itu. Ia sendiri tidak yakin kalau lawan akan menggigil ke- takutan bila ia mengaitkan dirinya dengan Wanara Bodas. Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri, maka untuk itu ia harus berspekulasi. Dan sesaat ia merasa spekulasinya mendatangkan hasil melihat perubahan mimik lawan. Tapi hal itu hanya sebentar, karena selanjutnya terdengar suara tawa Putri Dayang Sari yang melecehkan. "Hi hi hi...! Dasar anak tolol. Kau kira bisa menakutiku dengan senjata rongsokan itu? Ketahuilah sesungguhnya Wanara Bodas tidak pernah memiliki senjata apapun selama hidupnya. Jadi mana bisa kupercaya bila sekarang kau menakutiku dengan benda itu." Anjar terkejut, tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kenyataannya akan begitu. Dan mana mungkin ia tidak mempercayai penjelasan roh Putri Dayang Sari kalau pada kenyataan pengetahuannya tidak ada seujung kuku tentang Wanara Bodas dibanding lawan. Kini habislah mereka. Tak ada yang bisa dilakukan lagi untuk menyelamatkan diri

"Bersiaplah untuk mampus!" desis roh Putri Dayang Sari yang ada dalam raga Letnan Hendri. Kedua tangan dengan kuku kuku runcing yang tadi sempat diturunkan, kembali diangkat. Sepasang matanya yang berkilau mcmancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Tapi bersamaan dengan itu mendadak bertiup angin kencang di sekitar mereka. Bulan yang tadi coba mengintip di balik awan kini ter- tutup kabut tebal, disusul menggelegarnya suara petir. Angin kembali menderu-deru, menggoncangkan dahan- dahan pohon serta menggugurkan sebagian daun-daunnya dan menerbangkannya ke segala arah bersama dengan debu-debu tanah serta kerikil-kerikil. Saraswati yang berada di belakang tubuh Anjar kelihatan semakin bingung dan ketakutan. Sementara Christine perlahan-lahan mendekati mereka. Sedangkan Danang, dalam keadaan sakit yang bukan kepalang, merasakan suatu keanehan. Hanya saja ia tidak bisa menduga dari mana datangnya kekuatan itu. Bisa jadi tenaga itu dikerahkan oleh roh Putri Dayang Sari untuk membunuh mereka dalam sekali tepuk. Kalau mereka merasa bingung dan ketakutan, agaknya kekhawatiran itupun dirasakan oleh roh Putri Dayang Sari. Ia bisa merasakan kekuatan lain yang hadir di tempat mereka, meski belum bisa memastikan dan mana datangnya. Kilat kembali muncul. Datang seperti dari perut langit, dan membelah bumi diikuti oleh suara guntur yang menggelegar. "Aaaargh...!!" Anjar yang masih berdiri tegak, tiba-tiba saja berteriak keras sekali dengan tubuh mengejang seperti disengat aliran listrik berdaya tinggi. "Anjar? Anjar...!" panggil Saraswati khawatir. Ada apa denganmu?" Pemuda itu tidak mempedulikannya, ataupun mungkin tidak mendengar. Tubuhnya kejang-kejang sambil terus berteriak. Bersamaan dengan itu menderu angin kencang mengelilingi tubuhnya seperti angin puting beliung dan

melemparkan Saraswati, Christine serta Danang yang berada di dekatnya. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Begitu angin kencang yang mengelilingi tubuhnya reda. Anjar tegak ber- diri di tempatnya semula dengan sepasang mata me- mandang tajam ke arah lawan laksana sembilu yang meng- iris jantung. "Bagus. Kau punya ilmu simpanan rupanya. Akan kulihat sampai di mana kemampuanmu." dengus roh Putri Dayang Sari terus melompat menerkam lawan diiringi teriakan yang menggetarkan bulu roma. Anjar membalas dengan menghantamkan telapak tangan kirinya ke depan. Pada saat itu juga menderu angin laksana badai topan yang langsung menghantam lawan. Putri Dayang Sari terkejut bukan main. Tubuhnya ter- pental jungkir balik ke belakang sambil mengeluarkan jerit kesakitan. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Anjar melesat bagai anak panah lepas dari busur mengejar lawan. Putri Dayang Sari bukan tidak menyadari bahaya yang mengancam. Ia mengibaskan sebelah tangan sebelum kakinya menyentuh tanah, dan sebentar saja terlihat asap hitam tebal menyelimuti tubuhnya dalam radius kira-kira dua meter lebih. "Heaaa...!" Anjar membentak keras sambil hantamkan telapak tangan kirinya ke depan. Angin badai yang didatangkannya langsung membuyarkan asap hitam itu sampai tidak bersisa. Tapi lawan tidak terlihat. Raib seperti ditelan bumi. Ia mematung sesaat lamanya sambil melirik ke segala arah lewat sudut matanya. Setelah ditunggu sesaat tidak juga muncul. Anjar mem- buat lingkaran di tanah berdiameter satu meter setengah lewat ujung kujang yang masih dalam genggamannya. Kemudian setelah itu membagi lingkaran ke dalam empat buah garis yang sating berpotongan. Tiap ruang dalam potongan garis itu dicorat-coretnya dengan gambar sesuatu yang tidak begitu jelas. Kemudian sesudahnya ujung

kujang ditancapkannya tepat di tengah-tengah lingkaran hingga melesak lebih dari separuh panjang senjata itu. "Hiih!" Tanah di sekitar mereka bergoncang seperti dilanda gempa tak lama setelah senjata itu dibenamkan ke bumi. Persis dari tiap-tiap diagonal garis yang diguratkan dalam lingkaran itu bergerak memanjang. Seolah-olah dari dalam tanah ada mahluk-mahluk yang bergerak cepat ke segala penjuru. Saraswati, Christine, dan Danang merasakan hal itu. Namun tidak berakibat fatal bagi mereka. Demikian pula ketika gerakan-gerakan di bawah permukaan tanah itu menghantam batu atau pepohonan. Tidak ada suatu kejadian istimewa. Namun mendadak terdengar jerit kesakitan dari balik rerimbunan pohon di belakang Anjar, yang disusul melesatnya bayangan hitam ke arahnya. Pemuda itu tidak berusaha menghindar, tapi berbalik cepat dan hantamkan kedua telapak tangannya ke arah tubuh Putri Dayang Sari. Terdengar suara berdentum pelan dua kali diikuti oleh terhempasnya tubuh Letnan Hendri ke belakang. Samar-samar terlihat bayangan perempuan berambut panjang yang keluar dari punggung letnan polisi itu. "Keluar!" bentak Anjar sambil lepaskan pukulan yang ketiga ke arah lawan. Tubuh Letnan Hendri terhcmpas seperti sehelai bulu tertiup angin. Sementara bayangan perempuan yang tadi terlihat samar-samar di punggungnya melesat ke atas, lalu dengan gerakan berputar turun ke bumi dan tegak berdiri di hadapan Anjar pada jarak sekitar tujuh meter. Kini bayangannya yang samar tadi kelihatan lebih jelas. Wajah perempuan cantik itu berbentuk bujur sirih dan mengenakan pakaian keraton jaman dahulu yang terbuat dari sutera. Rambutnya panjang sekali hingga ujungnya sampai menyentuh tanah. Pandangannya tajam saat beradu pandang dengan pemuda itu, dan raut wajahnya diliputi perasaan heran. "Kakang Wanara, aku yakin. Cuma engkau yang memiliki

ajian Tapak Angin," katanya pelan, namun tetap bisa di- dengar oleh mereka yang berada di situ. "Mengapa? Mengapa kau lakukan ini padaku?" "Tindakanmu sungguh keterlaluan Dayang Sari. Dan aku tidak bisa membiarkanmu berbuat sekehendak hatimu." sahut Anjar dengan suara yang tidak kalah halusnya. "Kau hampir saja membunuh cucuku." Paras wanita itu semakin heran saja mendengar jawaban Anjar. "Cucumu? Bagainana mungkin?" "Kau mungkin lupa. Sebelum berkenalan denganmu aku telah menikah dengan putri Begawan Sapta Waringin, dan punya seorang putra sebelum istriku meninggal saat me- lahirkan putra kami," jelas Anjar. Perempuan itu terdiam untuk bebecrapa saat, kemudian tersenyum lalu tertawa halus "Hi hi hi...! Malang benar nasibku. Kukira nasibmu sama malangnya dengan diriku, tapi siapa nyana ternyata engkau pernah mengecap ke- bahagiaan." Mendadak wajahnya menjadi kaku saat kembali me- mandang pemuda itu. Bahkan terbias hawa dendam dan amarah. "Kakang, aku salah menilaimu. Ternyata kau sama saja dengan lelaki lain. Kau pengkhianat, dan tidak sepenuh hati mencintaiku. Di mulut kau katakan mencintaiku, tapi hatimu tetap untuk istrimu yang telah tiada itu. Bahkan sampai sekarang kau masih menunjukkan cintamu dengan membela anak cucumu." dengus Putri Dayang Sari. "Itu tidak benar," tangkis Anjar yang saat ini raganya sedang disusupi roh Wanara Bodas. "Aku cuma tidak suka dengan caramu main bunuh sembarangan. Mereka tidak punya sangkut-paut denganmu, dan sama sekali tidak kenal denganmu. Mengapa kau lampiaskan dendammu kepada mereka?" "Aku justru berbuat kebaikan dengan memberi pelajaran pada orang-orang yang berhati buruk dan tidak mengenal cinta yang lulus." "Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah yang

kau perbuat terhadapku bisa dikatakan baik?" "Aku tidak mau berdebat denganmu, Kakang. Minggir- lah! Aku akan tetap menghabisi mereka." "Kalau begitu jangan salahkan kalau aku terpaksa harus memberi palajaran padamu." Dan agaknya Wanara Bodas tidak ingin didahului. Ia mengayunkan tangan dan meng- hantam gagang senjata kujang yang masih tertancap di tengah lingkaran sampai melesak ke dalam bumi. Ber- samaan dengan itu pula terdengar guncangan hebat yang disusul dengan retaknya permukaan tanah di sekitar tempat itu. Saraswati sibuk menyelamatkan diri sambil menggotong tubuh Danang. Sementara Christine yang semula hendak menyelamatkan diri, ingat dengan tubuh Hendri yang masih tergeletak tak sadarkan diri, dan buru-buru mem- bawanya ke tempat yang aman. Sementara itu Putri Dayang Sari tidak tinggal diam. Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah lawan sambil mengayunkan selendang tipis. Senjatanya itu kelihatan remeh. bahkan panjangnya tidak lebih dari dua meter. Tapi begitu menyentuh lawan langsung membelit dan mem- bungkus tubuh Anjar seperti mumi dan membuatnya ber- putar laksana gasing. Yang lebih mengherankan, selendang itu terus bertambah panjang dan seperti tiada habis-habisnya. "Maaf, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin memper- lakukanmu seperti ini. Tapi karena engkau menghalangi niatku, aku tidak punya pilihan." Selendang itu terus membungkus tubuh Anjar, dan membuatnya berputar-putar dalam posisi tetap seperti semula. Tapi kalau Putri Dayang Sari mengira sudah mampu melumpuhkan lawan, agaknya sia-sia belaka, sebab perlahan-lahan tubuh Anjar berputar semakin cepat. Tidak lagi mengikuti irama gulungan selendang itu. Dan tiba-tiba melesat ke atas, masih dalam keadaan berputar. Pada saat yang bersamaan terdengar suara guntur yang menggelegar seperti menghantam tubuh itu. Anjar

berteriak keras. Selendang pembalut tubuhnya hancur berantakan. Putri Dayang Sari tersentak kaget. Meski selendangnya tipis, tapi itu bukan senjata main-main. Senjata keramat itu bekerja seperti karet, semakin diikat kuat maka ia akan menekan benda yang diikatnya sampai remuk, dan selama ini tidak ada yang bisa lolos dari senjatanya. Tapi Wanara Bodas bukan saja bisa melepaskan diri, bahkan meng- hancurkan senjatanya itu. Selarik cahaya kilat kembali muncul. Tubuh Anjar ber- gerak cepat sekali seolah hendak menangkap ujung cahaya itu, lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan. Putri Dayang Sari terkesiap tak sempat mengelak. Cahaya kilat itu seperti berbelok ke arahnya dan meng- hantamnya tanpa ampun. Untuk sedetik terdengar jeritnya tertahan sebelum tubuh itu lenyap meninggalkan debu halus. Anjar tegak berdiri seperti mematung memandangi tempat dimana wanita tadi menghilang. Hal itu dilakukan- nya lama sekali tanpa mempedulikan keadaan di se- keliling. Saraswati tidak berani mendekat. Khawatir ada kejadian aneh lagi di tempat ini. Ia hanya mendiamkan saja sambil memandangi pemuda itu dengan mata tidak berkedip. Sementara itu pelahan-lahan alam kembali tenang. Kabut gelap yang tadi menyelimuti langit, perlahan me- mudar sehingga terlihat bulan yang menyembul, perlahan menerangi tempat itu. Geledek dan petir yang tadi acap terdengar kini menghilang entah ke mana. Sementara angin malam bertiup sepoi-sepoi secara wajar. Keadaan itu membangkitkan keberanian Saraswati. Perlahan ia bangkit berdiri dan mendekati Anjar. "Jar, kamu tidak apa-apa?" sapanya takut-takut. Perlahan pemuda itu membalikkan tubuh. Saraswati sempat melihat muka si pemuda pucat, namun sorot matanya normal seperti biasa. "Kamu tidak apa-apa?"

Anjar tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Sungguh kamu tidak apa-apa?" "Aku baik-baik saja..." Saraswati semakin dekat. Kedua mata mereka saling pandang. Dan entah siapa yang memulai, mungkin juga Saraswati karena sejak tadi hatinya terasa diaduk-aduk oleh kejadian ini. Ia memeluk Anjar erat-erat dan me- numpahkan kekhawatirannya sejak tadi. "Aku takut, takut sekali. Aku mencemaskanmu..." bisik- nya lembut. "Tenanglah. Keadaan sudah aman, dan tak ada lagi yang perlu kau takutkan," bujuk Anjar. Saraswati melepaskan pelukannya dan memandangi wajah pemuda itu dengan kening berkerut. Benarkah kau cucu Wanara Bodas, dan..." Anjar tersenyum. "Aku sendiri baru tahu setelah kejadian ini. Dan kamu tidak perlu takut. Leluhurku itu sudah pergi, beberapa saat sebelum kau menghampiriku." Saraswati bernafas lega. Syukurlah keadaan sudah aman Tapi aku tetap masih merasa takut..." "Aku juga tidak sepemberani yang kau pikirkan. Kita semua merasakan ketakutan itu. Tapi saat ini keadaan sudah aman." sahut Anjar sambil melirik Hendri yang masih belum sadarkan diri dan sedang ditunggui Christine. "Pulanglah. Aku sendiri harus merawat Danang. Hendri tidak apa-apa. Sebentar lagipun dia akan sadar." lanjutnya seraya melangkah mendekati Danang. "Anjar." panggil Saras yang membuat langkah pemuda itu terhenti dan menoleh padanya. Melihat itu Saraswati tidak tahu apa yang mesti diucapkannya selain menunduk- kan kepala bingung bercampur malu. "Ada apa?" tanya Anjar lembut seraya mendekatinya. "Aku... Aku..." Anjar tersenyum sambil pegangi kedua bahu gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir. Hendri tidak apa-apa. Percayalah, menurut Eyang Wanara Bodas ia akan sadar dengan sendirinya..."

"Bukan itu maksudku!" tukas Saraswati. Perlahan diangkatnya kepala dan memberanikan diri untuk membalas pandangan pemuda itu. "Kalau kau mengira diantara kami ada hubungan selain teman kau salah besar, katanya menegaskan "Bagai- manapun aku.....aku masih..." Saraswati tak melanjutkan kalimatnya saat telunjuk pemuda itu menempel di bibirnya. "Sudahlah. Nanti saja kita bahas hal itu. Saat ini ada hal yang lebih penting. Aku harus mengobati luka Danang seperti yang diajarkan leluhurku tadi sebelum beliau pergi. Lalu setelah itu membawanya ke rumah sakit." "Tapi..." Anjar tidak mempedulikan gadis itu. Ia menghampiri sobatnya yang masih meringis kesakitan. Anjar duduk ber- sila didekatnya. Meraup segenggam tanah, lalu mulutnya berkomat-kamit dan setelah itu menaburi dada Danang dengan tanah dalam genggamannya sambil mengusap- usapnya dengan halus. "Bagaimana?" tanyanya setelah beberapa saat kemudian. "Apa ada perubahan?" "Mendingan. Tubuhku terasa sejuk. Panas itu tidak terasa lagi, dan nyerinya perlahan-lahan mulai reda. Bagaimana dengan lukamu sendiri?" "Aku tidak apa-apa. Keadaanmu lebih ku pentingkan. Mana mungkin kau kuabaikan sementara kau telah mem- bantuku mati-matian." Anjar tersenyum dan kali ini mengusap-usap punggung sahabatnya itu. "Aku tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu. Seandainya saja kau tewas, aku akan menyesal seumur hidupku." "Sudahlah. Jangan keterlaluan. Kau adalah temanku, dan sudah sepatutnya aku menolong bila kau mengalami kesusahan. Danang balas menepuk-nepuk pundak sobatnya itu, lalu melirik Saraswati yang berdiri di belakang Anjar, sebelum menoleh pada Letnan Hendri yang sedang ditunggui Christine. Pria itu agaknya belum sadarkan diri. "Kita harus melihat keadaannya." lanjut Danang seraya

bangkit berdiri menghampiri. "Dia tidak apa-apa," sahut Anjar dengan perasaan enggan untuk mengikuti. Sebentar lagi juga siuman." "Akan lama prosesnya kalau tidak dibantu." sahut Danang tak mempedulikan ucapan Anjar. Ada beberapa faktor yang membuatnya harus meng- hampiri Lelnan Hendri: yang pertama, sebagai sesama manusia ia harus menolong mereka yang membutuhkan; kedua, ia merasa ada yang mesti diselesaikan antara Anjar dan Saraswati dan itu sifatnya pribadi, sehingga tak patut ia berada di dekat mereka; dan ketiga, mungkin ada baiknya ia membicarakan sesuatu dengan letnan polisi itu seputar masalah yang menimpa dirinya. Anjar memang mengurungkan niat mengikuti langkah sobatnya itu. Bukan saja karena ia merasa enggan, tapi juga karena Saraswati ikut menahannya. Lagipula Danang lebih tahu soal menyadarkan orang pingsan ketimbang dirinya. "Aku tidak menyalahkan kalau kau membenciku..." ucap Saras lirih. "Aku tidak merasa membencimu." sahut Anjar sambil tersenyum kecil. Saras menoleh padanya. "Aku minta maaf..." "Aku juga salah..." "Tidak. Aku yang salah, terlalu ego dalam hubungan kita. Sekali lagi aku minta maaf..." "Sudahlah." Anjar meraih lengan gadis itu dan Saras membiarkan saja. "Aku sudah memaafkanmu. Bahkan aku sudah berusaha melapangkan dada melihat hubunganmu dengan Letnan Hendri..." "Jangan teruskan!" tukas Saras. "Aku tidak mau kau menganggap aku punya hubungan serius dalam soal asmara dengannya. Hubungan kami biasa-biasa saja. Aku akan bicara padanya." lanjutnya seraya melirik ke arah Letnan Hendri, dan melihat kalau pria itu telah siuman dan sedang ngobrol dengan Danang. Dan tanpa menunggu persetujuan Anjar. Gadis itu me-

langkah ke sana. Anjar melihat Saras menarik lengan pria itu ke tempat yang agak jauh. Mereka ngobrol beberapa saat sebelum keduanya melangkah mendekatinya diikuti oleh Danang dan Christine. Anjar jadi merasa tak enak hati. Dilihatnya wajah pria itu masih pucat, dan sekilas tubuhnya agak lemah. Dalam kepucatan wajahnya itu tergambar kemurungan dan kelesuan. Entah apa yang dibicarakan Saraswati padanya, tapi yang bisa diduga barangkali itu sesuatu yang mengecewakannya. Meski begitu ia berusaha tersenyum saat berdiri di hadapan Anjar. "Aku tak tahu harus bilang apa, kejadian ini membuat kita semua menjadi tegang. Tapi syukurlah semua sudah berakhir, dan kita kembali bisa bernafas lega." Anjar mengangguk. "Ya, aku berharap ini tidak akan ter- ulang kembali. Tentu saja kita berharap setelah ini akan lebih mawas diri, dan tidak cepat-cepat mengambil keputusan untuk menyalahkan seseorang yang sebenarnya tidak bersalah." Letnan Hendri mengernyitkan alisnya sedikit. Ia coba mencerna kata kata lawan bicaranya. Untuk siapakah kata- kata itu ditujukan? Untuk dirinya atau mereka semua? Tapi ia tidak mau berlama lama memikirkannya, seperti ia juga tidak mau berlama-lama setelah pembicaraannya dengan Saraswati tadi. Saraswati telah memilih, dan ia mesti bisa menerima keputusan itu. "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu." katanya pelan. "Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan diriku " "Sama-sama." sahut Anjar. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan." "Suatu saat bila kau butuh bantuanku, jangan sungkan- sungkan datang kepadaku. Aku akan berusaha menolong dengan sekuat kemampuanku." "Terima kasih." sahut Anjar. "Ng... kurasa saat ini aku butuh bantuanmu."

"Soal apa?" Anjar mendekati lotnan polisi itu, dan berbisik di telinganya. Belum lama aku baca di koran salah seorang korban bernama Maya, dan ia dibunuh oleh kekasihnya bernama Boy yang saat ini meringkuk di penjara sebagai tertuduh. Maukah Anda membebaskannya?" Kalimat ter- akhir yang diucapkannya sedikit keras sehingga lapat-lapat Saraswati bisa mendengarnya. Letnan polisi itu mengernyitkan dahi. "Percayalah," sambung Anjar, dan kali ini tanpa berbisik lagi sehingga yang lainnya bisa mendengarkan, ia bukan apa-apaku, dan sama sekali belum pernah kukenal. Alasanku sederhana: yang tidak bersalah tidak boleh dihukum." Hendri diam beberapa saat lamanya sebelum mengangguk. "Baiklah. Akan kuusahakan." katanya. "Terima kasih. Aku tahu Anda orang yang jujur," sahut Anjar sebelum Hendri dan Christine berbalik meninggalkan mereka menuju mobil. Sepeninggal mereka Saraswati jadi penasaran, dan mungkin juga karena kebiasaannya sebagai wartawati, ia ingin tahu apa yang dibicarakan Anjar saat berbisik tadi pada Hendri. "Apakah hal itu perlu?" "Sekedar ingin tahu saja." "Baiklah." sahut Anjar setelah menghela nafas panjang. "Kau kenal dengan gadis bernama Maya?" "Ya. Gadis ilu tewas mengenaskan. Memangnya kenapa?" "Siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus pembunuhannya?" "Seorang pemuda bernama Boy." "Nah, aku meminta Hendri untuk membebaskan pemuda itu." "Lho, memangnya kenapa? Apakah dia masih ada hubungan saudara denganmu?" "Sama sekali tidak!"

"Lalu?" "Karena dia tidak bersalah?" "Mengapa kamu begitu yakin dia tidak bersalah sedang kau sendiri tidak mengenalnya?" "Ingat foto-foto yang kuambil dari rumahmu? Orang yang kau jepret itu adalah Hendri. Fakta itu tidak bisa dibohongi." sahut Anjar. "Ya, kau benar." sahut Saraswati, kemudian menggeleng lemah sambil mendecah karena sulit baginya untuk mempercayai hal itu. Betapa tidak? Hendri yang dianggapnya jujur, pada malam itu memberi alasan yang berbeda. Mengapa dia mesti mengarang cerita? "Tapi dia menceritakan padaku bahwa fakta-fakta menunjukkan kalau Boy itulah pelakunya." lanjut Saraswati untuk memuaskan rasa penasarannya. "Teori pembunuhan yang dilakukan Putri Dayang Sari tidak salah. Orang yang dikhianati selamat, yang berkhianat menjadi korban, dan orang ketiga adalah pembunuhnya. Foto itu menunjukkan kalau Hendri yang sedang kemasukan roh Putri Dayang Sari berusaha membunuh Maya, sehingga dengan begitu kita bisa langsung menebak: Hendri orang ketiga, Maya berkhianat, sedangkan Boy adalah orang yang dikhinati." jelas Anjar. "Ya, aku sempat mendengar selentingan kalau Hendri berhubungan dengan Maya, tapi aku tidak mempedulikannya. Yang kuherankan, mengapa ia mengkambing hitamkan Boy?" "Sudah itu urusannya. Tidak perlu direka-reka maksudnya. Malam semakin larut. Ayo, kita mesti pulang." ajak Anjar seraya melangkah ke mobil diikuti Saraswati dan Danang. Sepeninggal mereka di tempat itu bertiup angin kencang yang diikuti munculnya kilat yang memandang seperti hendak membelah bumi. Bersamaan dengan terdengarnya suara gemuruh, sebatang pohon asam yang batangnya cukup besar roboh dan sebagian besar daun-daunnya gosong disambar petir. Batang pohon asam itu menimpa

sebuah rumah tua yang memang sudah rusak berat, dan membuatnya hancur berantakan!

TAMAT

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI

JONI CARI PENGALAMAN III 3

etelah di turunkan dari bus. Joni celingak-celinguk memandang sekelilingnya Menunggu bus lainnya yang mungkin lewat. Tapi selagi Joni menunggu bus, tiba-tiba sebuah sepeda motor datang menghampiri. Pengendaranya seorang lelaki muda memakai helm dan jaket. "Mau ke mana, Dik? Mari saya antar!" kata si lelaki sambil tersenyum tampangnya ramah. "Ah, nggak terima kasih." "Alah, jangan malu-malu, Dik. Ayo, naik aja. Ke mana sih tujuan adik nanti saya antar." "Saya mau ke lampu merah dekat pos polisi." "Oh, itu. Saya tahu. Ayo naik!" Karena merasa dipaksa Jonipun lalu membonceng motor itu. "Nah, begitu. Nggak usah malu. Tapi, kamu harus pegangan yang kencang. Karena kita akan terbang di atas aspal!" kata si lelaki sambil tancap gas. Sepeda motornya melesat di antara keramaian jalan raya, tanpa peduli diri Joni yang ketakutan setengah mati. "Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti jatuh bagai- mana?" teriak Joni ketakutan. "Jangan takut, Dik. Kalau jatuh paling-paling ke bawah!" "Memang ke bawah, yang bilang orang jatuh itu ke atas, siapa? Tapi kan sakit. Lagi pula kalau sampai jatuh biaya rumah sakit mahal, kasihan Emak saya." S

"Tenang aja, Dik. Nggak bakal kita jatuh, percaya deh!" kata si lelaki sambil tancap gas lagi, sehingga suara tawa si lelaki terdengar, di antara suara jerit ketakutan Joni. "Aduh, Bang! Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti saya bisa pingsan nih!" teriak Joni. "Kalau kamu mau pingsan, ya pingsan aja deh. Asal jangan lupa tetap pegangan agar kamu nggak jatuh!" "Bagaimana mungkin bisa!" "Kalau nggak bisa ya sudah. Kamu tenang aja. Sebentar lagi kita bakal sampai kok." "Sampai?" "Ya, tuh, lampu merahnya sudah kelihatan. Pos polisinya juga sudah kelihatan." "Mana?" "Itu..!" "O, iya betul. Lekas berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Joni tak sabar lagi. Meskipun motor belum berhenti Joni sudah melompat dari atas boncengan mirip Rambo. Hup! Tapi saying, lompatan Joni tidak mulus. Karena terlalu tergesa- gesa akibatnya tubuh Joni jatuh tersungkur di aspal! "Aduh!" teriak Joni kesakitan. Membuat si lelaki pengendara motor itu wajahnya berubah memucat. "Aduh, Dik! Kenapa motor belum berhenti kamu sudah melompat? Untung saja kaki kamu nggak patah, kepala kamu nggak bocor, dan tangan kamu nggak keseleo!" "Tapi, pinggang saya sakitnya minta ampun. Sepertinya tulang saya patah!" kata Joni sambil meringis kesakitan. "Apa? Patah? Gawat! Kenapa urusan jadi begini? Wah, wah, ini sih alamat aku yang bakal kena menanggung ongkos berobatnya!" ujar si lelaki panik. Wajahnya semakin nampak pucat. "Sudah Dik begini saja. Kamu nggak usah bayar ongkos ojeg motornya deh. Saya nggak minta bayaran, sungguh. Saya rela. Saya cuma ngantar saja. Sekarang saya pergi dulu ya..!" kata si lelaki pada Joni yang ternyata adalah seorang tukang ojeg motor. Karena menduga Joni mengalami luka parah lelaki itu ketakutan langsung dia

tancap gas, kabur meninggalkan Joni yang berdiri bengong. "Astaga! Jadi tadi sebenarnya aku harus bayar ongkos naik motor itu? Minta ampun! Uang dari mana? Untung saja tadi aku terjatuh, kalau nggak...?" Joni tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap dirinya tidak mempunyai uang. Bisa jadi juga semua pakaian Joni diambil untuk ganti membayar ongkos. Bila semua itu sampai terjadi, Joni bisa seperti tarzan kota! Aduh malunya minta ampun. Membayangkan semua itu dada Joni jadi sesak, matanya jadi berkunang-kunang, dan akhirnya Joni jatuh pingsan! Tapi sebelumnya Joni mencari tempat yang agak teduh, agar saat dirinya pingsan tidak kepanasan kena sinar matahari! Cukup lama juga Joni pingsan, tidak tahu apa yang terjadi terhadap dirinya. Hanya ketika ia sadar dari pingsannya tubuh Joni berada diatas sebuah tempat tidur yang kasurnya empuk dalam sebuah ruangan kamar yang cukup rapi, tidak seperti kamarnya. Tapi sepintas Joni memandang, ia telah tahu kalau dirinya bukan berada dalam sebuah uang perawatan rumah sakit. Entah di mana, Joni belum dapat memastikan. Membuat dirinya jadi penasaran bertanya-tanya sendiri dalam hati. Atau.. apakah ini yang dinamakan alam akherat? Mendadak bulu Joni berdiri, rasa takutnyapun timbul. Tiba-tiba Joni ber- teriak-teriak. "Tolong...! Tolong...! Aku belum mau mati. Aku masih kepingin hidup lama di dunia. lagipula aku belum pernah kena SDSB! Jadi.....tolonglah aku Tuhan! Aku belum mau matiiiii...!" Joni berteriak-teriak seperti orang kalap, hingga mengakibatkan sprei, bantal dan guling acak-acakan. "Tenang, Nak! Tenang! Rupanya kamu telah sadar. Jangan berteriak teriak seperti itu, malu didengar orang!" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita datang meng- hampiri. Ketika Joni menolehkan kepalanya memandang ke arah suara itu, nampak sepasang suami istri setengah baya sedang memandang ke arah dirinya sambil tersenyum ramah.

"Benar, Nak. Lagi pula lukamu itu masih belum sembuh benar, jadi jangan kamu banyak bergerak dulu." timbal yang lelaki, suami perempuan setengah baya itu. "Di mana saya? Di mana saya? Apakah saya ini sudah berada di akherat?" tanya Joni, matanya masih nampak beringas dan wajahnya seperti ketakutan. Memandang seputar ruangan kamar itu. Mendengar ucapan Joni kedua suami istri itu tersenyum. "Tenang, Nak. Tenang. Kamu berada di rumah kami, bukan di akherat!" kata si ibu sambil tersenyum. "Benar, Nak. Kami telah menemukan dirimu di pinggir jalan dalam keadaan pingsan. Lalu kami membawanya kemari!" timpal si bapak. "Oh, jadi Bapak dan Ibu yang telah menolong diri saya? Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya tidak akan dapat melupakan budi kebaikan Bapak dan Ibu. Semoga aja Bapak dan ibu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!" "Hus, kami belum mati, Nak! "Oh, maaf. Maksud saya, semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu mendapat paha dari Tuhan." "Hus, pahala!" "Oh, maaf lagi. Ya pahala dari Tuhan!" "Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, bukankah kita sebagai manusia hidup wajib harus saling tolong menolong?" "Benar, Bu. Benar, Pak. Tapi... apakah Bapak dan Ibu mau menolong diri saya sekali lagi?" "Tentu saja mau, Nak. Menolong apa? tanya si ibu. Joni tak menjawab cuma garuk-garuk perutnya sambil ccngar-cengir. "Oh, kamu lapar? Astaga, bilang dong! Sebentar ya ibu ambilkan makanan!" kata si ibu yang rupanya mengerti dengan isyarat yang dilakukan Joni. Tak berapa lama si ibu telah kembali lagi sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. "Nah, makanlah biar kenyang. Tapi maaf, seadanya. Karena hari ini secara kebetulan ibu tidak pergi ke pasar."

"Oh, nggak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Malah ada di suatu tempat yang sama sekali sulit untuk mendapatkan makanan!" "Ah, yang benar Jon?" "Benar." "Di mana itu?" "Di Somalia." "Astaga! Ibu sampai kaget. Ibu kira di Indonesia." "Kamu ini mbokya yang benar saja, Bu. Rakyat Indonesia kan semua hidup subur makmur sedikitpun tidak bakal kekurangan sandang dan pangan, iya kan Jon?" "Betul, Bu. Lihat saja saking makmurnya, sawah-sawah sekarang ini sudah banyak yang berubah jadi lapangan golf!" "Apa tidak hebat!" "Karena buat apa susah-susah menanam padi. Lha beli aja mampu kok!" "Ngomong-ngomong tambah lagi nasinya, Jon?" "Nggak usah, Bu! Nggak usah! Cukup, tapi...?" "Tapi apa. Jon?" "Karena Ibu mau ngasih tambah ya nggak apa-apa. Rejeki kan nggak boleh ditolak!" Dasar yang namanya Joni, dikasih hati ya malah minta jantung. Buktinya sudah dikasih sepiring malah minta tambah sampai tiga piring. Apa itu tidak kelewatan. Pasangan suami istri itu saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya! "Tidak kusangka, Bu. Kecil-kecil makannya banyak sekali..." bisik si bapak dan istrinya. Tentu saja tidak sampai didengar Joni. "Betul, Pak. Kalau anak itu lama-lama tinggal di rumah kita bisa gawat. Persediaan beras kita bisa cepat habis!" timpal istrinya. "Bukan gawat-gawat lagi! Sebulan saja anak itu tinggal di rumah kita, percaya deh, rumah kita bakal kejual!" Setelah menghabiskan tiga piring nasi, matanya masih memandang ke kiri-ke kanan. Sepertinya Joni sedang men-

cari sesuatu. "Cari apa. Jon?' tanya si ibu. "Oh, saya sedang mencari buah. Soalnya setiap selesai makan saya harus cuci mulut dengan buah." "Buah? Oh, jangan kuatir. Ibu punya buah, tapi buah kaleng!" "Wah, asyik dong. Maksud Ibu buah kaleng?" "Ya, buah kaleng. Bagaimana, kamu mau?" "Bukan mau-mau lagi!" "Tapi... maaf. Saya baru ingat. Buah kalengnya itu buahnya habis, yang ada tinggal kalengnya. Mau?" "Ah, Ibu! Memangnya perut saya terbuat dari seng!" kata Joni. Wajahnya kelihatan kecewa, tapi yang namanya Joni kecewanya cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian wajahnya sudah kelihatan cengar-cengir lagi. "Jon, betul kan nama kamu itu Joni?" tanya si bapak suami perempuan setengah baya itu. "Betul, Pak. Nama saya Joni. Bukan nama samaran atau nama yang dibuat-buat. Asli dari pemberian orang tua saya. Bukan Jono jadi Joni, bukan Udin jadi Robin!" "Bapak percaya. Begini, Jon. Bapak ingin menanyakan sesuatu terhadap dirimu, bolehkan?" "Bukan boleh-boleh lagi, Pak. Silahkan! Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya. Mau Soal Ekonomi, Politik, Sastra, sampai soal buntut yang banyak digemari dan membuat orang gila. Hanya satu, asal jangan soal rejeki aja, saya nggak sanggup jawab. Soalnya rejeki saya sendiri aja seret kayak air ledeng yang suka macet." "Ah, kamu ini ada-ada saja, jon. Bukan itu. Yang mau bapak tanyakan, sebenarnya kamu ini anak siapa?" "Oh, ya jelas saya ini anak Bapak dan Emak saya." "Bapak tahu, maksud bapak, nama bapak kamu siapa? Juga nama ibu kamu." "Wah, saya lupa, Pak. Pokoknya biar saya nggak tahu nama Bapak dan Emak saya, tapi saya kenal betul dengan mereka." "Jelas. Jadi kamu tidak tahu nama kedua orang tuamu

itu?" Joni menggelengkan kepalanya. "Ya, begitulah. Karena kata kedua orang tua saya itu, apalah artinya sebuah nama." "Baiklah. Sekarang yang bapak ingin tahu, sebenarnya kamu ini mau ke mana dan dari mana?" "Nah,, kalau itu saya bisa menjawabnya. Jelas saya mau ke depan dan dari belakang." jawab Joni membuat pasangan suami istri itu tambah bingung mendengar jawaban Joni yang berbelit-belit seperti kue tambang. "Maksud bapak, kamu mau pergi ke rumah siapa, sehingga kami menemukan kamu dalam keadaan pingsan?" "Begini, Pak. Saya ini sebenarnya mau ke rumah paman saya. Tapi dasar brengsek, tukang ojeg motor yang saya tumpangi ternyata setan jalanan yang membawa kendaraannya ugal-ugalan. Akibatnya saya jatuh." "Ya, bapak tahu itu." "Lalu apakah Bapak tahu siapa paman saya?" "Mana saya tahu. Siapa nama paman kamu, Jon?" "Namanya... kalau nggak salah namanya paman Danu. Tapi bukan Danu Umbara yang sutradara filem itu." "Tempat tinggalnya?" "Itulah yang membuat saya pusing tujuh keliling! Saya nggak tahu di mana tempat tinggal paman saya itu. Cuma yang saya ingat, Paman Danu tinggal dekat lampu merah, nggak jauh dari pos polisi dan bersebelahan dengan toko China!" "Wah, kalau memang itu yang kamu tahu, sulit mencari alamat pamanmu itu, Jon." "Lho, kenapa?" "Di Jakarta ini yang namanya lampu merah dan pos polisi banyak sekali. Jumlahnya tidak terhitung." "Ah, masa. Pak?" "Benar, Jon. Menurut ibu juga kamu pasti deh tidak bakal bisa menjumpai tempat tinggal pamanmu." "Jadi... kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?"

"Kalau kamu mau mendengar saran ibu, sebaiknya kamu pulang saja. Atau kamu tanyakan kembali pada kedua orang tuamu di mana alamat jelas pamanmu itu. Setelah mendapatkan alamat yang jelas, baru kamu pergi mencari alamat tempat tinggal pamanmu itu." "Wah, repot, Bu. Emak saya sedang pulang kampung." "Kalau emakmu sedang pulang kampung, kamu tanyakan saja sama bapakmu. Pasti deh bapakmu tahu." Joni menggelengkan kepala. "Takut, Bu." "Takut? Kenapa? Apakah bapakmu galak tehadap dirimu?" "Nggak sih. Cuma nggak mungkin. Bapak saya nggak bakal mau menjawab meskipun saya menanyakannya sampai mulut saya berbusa." "Apakah bapakmu itu bisu?" "Saya kurang tahu. Dulu sih nggak." "Aduh, Jon. Kamu ini bagaimana sih? Menurut dugaan ibu, pasti kamu bohong mengenai soal bapakmu itu. Tidak mungkin ada orang tua yang ditanya anaknya tidak mau menjawab." "Ibu nggak percaya?" "Tidak." "Saya juga tidak percaya, Jon." "Kalau nggak percaya ya sudah. Justru kalau saya bilang Bapak saya itu bisa menjawab pertanyaan saya, saya yakin Bapak dan Ibu nggak bakal percaya! Bener, deh. Malah Bapak dan Ibu bakal bilang, saya ini adalah pembohong besar!" "Tidak mungkin saya berkata begitu terhadap dirimu!" "Pasti! Soalnya di mana sih ada orang yang sudah mati ditanya bisa menjawab." "Apa??? Jadi Bapakmu itu sebenarnya telah meninggal dunia, Jon???!" teriak keduanya. Pasangan suami istri setengah baya itu langsung wajahnya berubah pucat seperti mayat. Hampir saja keduanya jatuh dari tempat duduknya masing-masing saking kagetnya.

Berbeda dengan Joni. Melihat kedua orang tua itu terkejut. Joni malah umbar tawanya terbahak-bahak. "Apa saya bilang. Iya kan Bapak dan Ibu nggak percaya?"

TAMAT

Continue Reading