SIGNAL: 86

By Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... More

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
36. Rahasia Gambar dalam Gambar
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

19. Graveyard (?)

2K 299 44
By Arabicca69

Hari ketiga pasca ditemukannya kerangka milik Santini, Olah TKP akhirnya kembali dilanjutkan.

Penyisiran di area halaman rumah reyot itu rasa-rasanya haruslah diperluas ke semua titik.

Kapten Depari memiliki sebuah firasat tidak menyenangkan yang memaksanya mengambil keputusan tersebut. Dia sudah memikirkan matang-matang tentang hal ini begitu laporan dari seorang perwira lapangan yang ikut melakukan olah TKP sampai ke telinganya. Perwira tersebut sebelumnya menjelaskan, saat dia hendak melakukan pengecekan di area belakang rumah reyot tersebut, dia mendapati ada sebuah keanehan di sana. Matanya menangkap lubang galian, yang jika dilihat sekilas memang tidak terlalu dalam. Namun, begitu perwira itu mendekat, dia justru mendapati jantungnya nyaris melompat keluar. Pasalnya, benda panjang yang menyembul dari dalam lubang galian tersebut, yang semula dia kira mirip ranting itu, ternyata adalah kerangka ruas jari manusia yang mencuat di balik kain hitam. Perwira itu lantas lari tunggang langgang ke depan untuk melapor pada anggota Tim Inafis yang bertugas.

HS Land and Building bersedia meminjami tenaga untuk membantu proses olah TKP yang dilakukan, dengan menurunkan sejumlah alat berat juga truk guna mengangkut sampah untuk dipilah kemudian dipindahkan ke TPA.

Agus Sinar dan Kapten Depari bertemu secara langsung pagi itu. Kedua pria yang jarak usianya tidak begitu jauh itu tampak sedang berbincang serius. Beberapa kali Agus Sinar menanyakan langkah apa yang akan diambil pihak kepolisian untuk menyelidiki kematian Santini alias Joseph Judith. Kapten Depari tentu saja merasa enggan untuk menjawab, sebab ini menyangkut rahasia penyelidikan. Selain itu, dia juga tahu bahwa dulunya Agus Sinar adalah mantan jurnalis. Membawa pria itu masuk ke dalam ladang ini saja sudah cukup berisiko. Semua ini di luar perkiraannya, Agus Sinar terpaksa ikut terlibat, sebab tanah ini secara sah sudah berpindah ke tangannya.

"Terima kasih karena Anda sudah menjaga Dimas dengan baik," ucap Agus Sinar tulus.

Kapten Depari mengulum senyumnya. "Anak itu sangat sulit diatur. Makan apa dia sebenarnya."

Seketika tawa Agus Sinar pun pecah. "Saya sangat setuju. Dia memang anak yang merepotkan."

Setelah dirasa cukup berbasa-basi, Kapten Depari lantas menanyakan alasan pria itu membeli tanah ini dengan harga yang cukup fantastis.

Agus Sinar kemudian bercerita sembari menunjuk area barat nun jauh di sana, yang merupakan lahan kosong yang banyak diselimuti tanah merah. "Proyek pembangunan rumah dengan konsep seribu kanal. Lokasinya cukup strategis. Tim saya sudah memikirkannya matang-matang. Pengerjaan susunan kanal masih dalam tahap penggalian. Rancang bangun sudah selesai dikerjakan, sayang sekali masalah kerangka ini justru menghambat kinerja kami."

Kapten Depari memicing. "Lahan di seberang sana memang lokasi yang cukup bagus untuk dijadikan hunian, dekat dengan wilayah perairan di mana air bisa di-supply langsung dari sana. Lalu kenapa Anda juga membeli tanah ini? Bukankah lokasinya cukup jauh dan juga terpisah jalan besar?"

"Ini strategi bisnis, Kapten," jawab Agus Sinar kemudian. Namun, pria paruh baya yang wajahnya masih tampak segar itu dengan senang hati menceritakannya pada Kapten Depari. Dia merentangkan kedua tangannya. Menunjuk area barat dan timur sekaligus. "Saya membayangkan gerbang utamanya ada di seberang jalan itu."

Kapten Depari menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti.

"Masalah terbesarnya adalah sampah-sampah ini. Tidak mungkin saya membiarkan para penghuni rumah menatap pemandangan mengerikan semacam ini begitu mereka keluar dari gerbang."

Penjelasan rinci dari Agus Sinar dibalas tawa renyah oleh kapten itu. "Hmm ... masuk akal juga."

"Jadi, saya harap penyelidikannya cepat dilakukan."

"Saya juga berharap begitu."

Tiba-tiba saja Fred datang menginterupsi pembicaraan mereka.

"Kapten, ini ... gawat," lapornya sembari melirik ke arah pria paruh baya berkaca mata emas di samping Depari.

"Ada apa?" tanya Depari cemas.

Fred enggan untuk menjawab. Dia hanya mengedarkan pandangannya ke area halaman yang kini sudah hampir bersih oleh gundukan sampah. Kode darinya langsung diterima oleh Kapten Depari. Pria itu tercenung dengan rahang mengatup rapat. Lima, enam, tujuh, bahkan lebih. Setidaknya ada sepuluh lubang galian yang berhasil Tim Inafis dan perwira lapangan temukan.

Kapten itu nyaris tidak percaya melihat pemandangan di hadapannya. "Ini ... persis seperti ladang kematian."

___________

"Sudah kuduga si Rudi itu akan kabur. Sial! Dia tidak ada di mana pun," ucap Dimas jengkel, saat Evan—rekan satu timnya di Divisi Pembunuhan—datang menanyainya. "Di kosannya tidak ada, di tempatnya mengajar juga tidak ada."

Evan ikut mendesis jengkel, kemudian melaporkan hasil penyelidikannya, "Aku sudah meminta Joana untuk melacak posisinya, tapi sayang ponsel Rudi di-nonaktifkan sejak dua hari yang lalu. Selain itu, tidak ada tanda-tanda kalau dia pernah menyetorkan uang hasil penjualan lahan itu dalam transaksi rekening tabungannya."

Dimas sempat berhenti melangkah, sesaat kemudian dia kembali berjalan menuju ruangan mereka di lantai tiga. Evan mengikuti di sampingnya. "Benarkah?" Dimas tersenyum miring. "Aku yakin dia pasti tersangkut di bandara kalau membawa uang sebanyak itu dalam tasnya."

Evan mengangguk setuju. "Tapi bagaimana kalau dia justru kabur lewat pelabuhan tikus, Dim?"

"Itu berarti kita sedang sial—"

Dimas dan Evan seketika mematung. Baru saja sampai di ambang pintu ruangan, kedua perwira polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu dibuat ternganga mendapati ruangan divisi mereka telah dipenuhi banyak orang. Bau keringat, bau apak, serta bau-bau lainnya bercampur aduk menjadi satu membuat keduanya langsung mengernyit hidung.

"Ada apa ini ...?" tanya Dimas penasaran. "Bram ...?" Dia lantas menagih penjelasan begitu mendapati wajah Bram menyembul di antara anak-anak berseragam coklat muda. Untuk apa orang dari Satuan Jatanras masuk ke ruangan mereka?

Evan terkekeh di sebelahnya. "Kau kira ruangan kami ini kamp pengungsian apa?" Kemudian buru-buru menghambur ke sudut ruangan, di mana papan kaca berisi hasil penyelidikan kerangka Santini terpampang. Dengan sigap Evan memutarnya ke sisi dinding lain agar rahasia penyelidikan mereka tidak dilihat sembarang orang.

Bram mengeluh di balik meja. Dia tampak kesulitan menghadapi tingkah menyebalkan anak-anak SMA yang dia interogasi. "Anak-anak Dharmawangsa sudah memenuhi ruangan kami. Jadi, aku terpaksa membawa pasukan tempur Yayasan Shandi Putra II ke sini."

"Astaga, kurang besar apa ruangan kalian?" Evan terkekeh sinis, lalu beralih menatap satu per satu wajah para cecunguk gila yang duduk tidak karuan di hadapan Bram dan dirinya. "Bukannya belajar malah asyik tawuran di siang bolong! Apa kalian ingin jadi preman pengkolan, hah?"

Anak-anak itu lantas membuang muka serempak.

Berita soal tawuran itu sendiri sudah masuk media daring dan ramai diperbincangkan. Banyak selentingan mengatakan bahwa kedua SMA itu melakukan aksi tawuran demi memperebutkan kepemilikan lapangan di Perempatan Sudirman, yang jelas-jelas bukan milik sekolah mereka.

Sementara itu Dimas hanya memerhatikan saja dari tempatnya berdiri. Dia merasa sangat haus. Dituangnya satu gelas air dari dalam dispenser kemudian dihabiskannya dalam sekali tenggak. Dia melihat Nala duduk persis di tengah-tengah. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang sekarang. Sedetik tatapan mereka saling bertumbukan. Dimas pun buru-buru membuang muka ke arah lain.

"Tapi aku mendapat pengakuan mengejutkan dari anak-anak ini, bro," ucap Bram tiba-tiba, menggugah kesadaran Dimas untuk kembali melirik.

"Mengejutkan? Apa itu? Apa mereka membunuh seseorang?" sergah Evan penasaran.

Bram menggeleng ragu. Dahinya tampak mengernyit saat menjelaskan. "Alasan lain, yang mendasari anak-anak ini melakukan aksi tawuran dengan anak-anak SMA Dharmawangsa," katanya misterius. "Narkoba."

Dimas yang semula merasa tidak tertarik langsung mendekat ke deretan meja kubikel. "Narkoba?" Firasatnya tidak enak mengenai ini. Tiba-tiba saja dia teringat pada Eja.

"Maksudmu mereka tawuran untuk memperebutkan berkilo-kilo gram narkoba, begitu?" Evan ikut menimpali.

Suara kasak-kusuk langsung terdengar memenuhi ruangan. Beberapa anak Yayasan Shandi Putra II yang merasa tidak terima dengan tuduhan Evan segera memprotes. Ucapan seperti, apa-apaan Pak Pol ini, enak saja main tuduh, terlontar dari mulut mereka-mereka yang raut wajahnya terlihat jengkel.

"Enak saja Bapak bilang," serobot seorang anak berambut cepat ABRI, yang pada dadanya terajut nama Arjuna Raga.

Dimas juga tidak percaya sebenarnya. Notabenenya, Yayasan Shandi Putra II adalah sekolah yang dikhususkan untuk siswa laki-laki saja. Peraturan di sana juga cukup ketat, tidak sembarang orang diijinkan masuk ke dalam area sekolah tersebut. Untuk bisa lulus ke sekolah itu saja harus menjalani tes yang cukup berat. Pihak yayasan telah bekerja sama dengan anggota militer untuk menempa murid-muridnya. Sekolah itu bahkan dijadikan semacam tempat latihan untuk para pemula anggota militer. Kabarnya, mereka bahkan memiliki lapangan tembak sendiri.

"Kami memang kekurangan lapangan pada saat jam pelajaran olahraga, karena sering dipakai untuk latihan oleh anggota militer. Tapi bukan itu masalahnya." Anak bernama Ragil ikut menjawab sangking tidak sabarannya melihat kinerja polisi-polisi itu.

Saat itu Nala pun berinisiatif memotong. "Sekolah kami sangat ketat kalau sudah menyangkut hal-hal semacam itu. Orang yang ketauan memakai narkoba akan langsung dikeluarkan. Tes urin bahkan diadakan enam bulan sekali." Padangan Nala menerawang jauh kali ini, seperti sedang berusaha menggali sebuah peristiwa. "Suatu hari, salah seorang junior kami kedapatan sedang sakaw di dalam toilet. Esoknya dia langsung di DO tanpa negosiasi. Satu, kemudian dua, tiga, bahkan empat. Setelah kami selidiki ternyata mereka mendapat barang haram itu dari murid SMA Dharmawangsa."

"Masa depan itu memang kita yang menentukan sendiri-sendiri. Tapi rasanya sudah sangat kelewatan, sebab salah seorang teman kami sampai ada yang meninggal akibat mengonsumsi barang haram itu!" Ragil kembali menyuarakan orasinya yang sempat tertahan.

"Kami sudah menandatangani petisi, tapi tidak ada kejelasan soal kasus ini!" Si cepak ABRI pun ikut menimpali. "Apa karena dia anak seorang wali kota makanya bebas bertindak sesuka hati? Sialan memang si Baron itu!"

Bram, Evan, dan Dimas hanya bisa saling pandang.

"Apakah informasi ini valid?" Rasanya sulit bagi Evan untuk percaya.

Nala mencebik sinis. "Tidak masalah sebenarnya siapa yang jadi target mereka. Kami tidak peduli jika itu sekolah lain. Tapi kami tidak bisa tinggal diam kalau mereka sampai menganggu, bahkan menginjak teritorial sekolah kami, apalagi kalau sampai menyentuh orang-orang ... yang tentunya sangat berharga bagi kami."

Dimas tersentak tatkala mendapati kedua mata Nala terpancang ke arahnya. Sewaktu mengucap bagian kalimat terakhirnya, Dimas merasa, secara tidak langsung, Nala seolah-olah menyuarakannya untuk Eja.

"Bocah tengik ini berani melotot rupanya?" tegur Bram kemudian, memutus kontak mata Dimas dan Nala. "Tunggu dulu, Kalau dipikir-pikir wajah bocah satu ini kenapa sangat mirip ya dengan Agam?" Bram tampak berpikir keras. "Ya, 'kan? Makin emosi saja aku dibuatnya!"

_______________

Agam bersin-bersin. Sarung tangan karet yang dia gunakan telah berlumuran tanah, membuatnya tak dapat leluasa mengusap hidungnya yang luar biasa gatal.

"Sepertinya ada seseorang yang sedang membicarakanmu di suatu tempat."

Agam mendengus. "Apa kau percaya dengan hal-hal semacam itu?" tanyanya geli, sementara dilihatnya Fred hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari mengangkat bahu.

Fred mulai membuka topik pembicaraan. "Aku penasaran," katanya. "Sapa kira-kira orang yang tega melakukan ini semua?"

Agam kembali mengambil gambar, saat Fred mengangkat sedikit demi sedikit kain hitam yang menutupi bagian ruas dada kerangka, lalu membersihkannya dari jejak tanah menggunakan alat mirip kuas. Fred terlihat sangat berhati-hati sewaktu memperlakukan tulang belulang yang menyusun jalinan kerangka tersebut.

Agam tercenung selama beberapa detik, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru lahan, yang kondisinya kini terlihat jauh lebih layak dari sebelumnya.

Banyak anggota Tim Inafis yang dikerahkan untuk melakukan olah TKP. Sejauh ini sudah ada tujuh kerangka manusia yang berhasil mereka angkat keluar dari dalam tanah.

"Psikopat gila," maki Fred tiba-tiba.

Agam tidak bisa mengingat, seberapa banyak dia tersedak debu tanah dan terbatuk-batuk. Baru kali ini dia berurusan dengan kerangka manusia yang sudah terkubur selama bertahun-tahun. Dan, lagi—jumlahnya bukan hanya satu, melainkan sepuluh, ditambah kerangka milik Santini alias Joseph Judith, maka toal keseluruhannya adalah sebelas. Lokasi penguburan masing-masing kerangka berjarak kurang lebih sepuluh meter. Dari semua bukti yang berhasil Agam observasi, hal yang patut dipertanyakan adalah, bagaimana bisa kesebelas kerangka tersebut di kuburkan di ladang yang sama? Apakah tidak ada satu orang pun yang tahu atau menyadarinya? Pemilik kerangka-kerangka ini pastilah memiliki keluarga yang masih menunggu mereka di rumah, apakah mereka tidak merasa kehilangan atau setidaknya berusaha mencari?

"Gam, apa menurutmu ini pembunuhan berantai?"

Agam terdiam cukup lama, berusaha menyaring kata-kata yang diucapkan rekannya itu. "Belum semua kerangka berhasil diangkut. Tapi firasatku berkata, sepertinya memang iya."

Mereka saling berpandangan.

"Mengerikan sekali," komentar Fred singkat sembari membawa tulang-belulang itu naik ke atas dan menyusunnya di atas kain hitam tebal. "Beritanya pasti akan gempar, terus ujung-ujungnya kepolisian yang diaggap tidak becus. Korbannya saja sampai sebanyak ini."

Agam mengernyit dahi. "Sejauh ini semuanya sama, bukan?"

"Apa maksudmu?" Fred bingung dengan kata-kata Agam.

"Korban dikubur dengan sangat rapih menggunakan kain mirip kafan berwarna hitam, simpul pocongnya bahkan masih ada."

Fred memaki, "Pocong? Kau membuatku merinding, sialan!"

"Kita sudah sering berhadapan dengan mayat membusuk, dan sekarang kau mau meributkan soal pocong?" sergah Agam cepat.

Merasa kesal, Fred tidak lagi menghiraukan ucapan Agam. Dia memilih fokus pada tugasnya menyusun tulang. Di sebelahnya, terpampang beberapa barang bukti berupa potongan kain hitam yang sudah rapuh, yang segera diabadikan oleh Agam lewat kameranya.

Agam kemudian kembali berkata di sela-sela kesibukannya. "Yang membuatku penasaran adalah, kenapa hanya kerangka milik Santini saja yang dikuburkan dengan cara berbeda?"

Alis Fred terangkat sebelah. "Mana aku tau. Memangnya aku yang membunuh mereka?" Fred ingin berkata seperti itu, tapi rasanya tidak mungkin sebab mereka sedang sibuk sekarang.

"Benar juga." Menimbang cukup lama, Fred akhirnya menyetujui ucapan Agam. "Saat kita membongkar makamnya, kerangka Santini memang tidak dibalut kain hitam."

"Kira-kira apa sebabnya?" gumam Agam misterius.

_______________

Dimas meminta ijin pada Bram untuk menanyai Nala tentang beberapa hal. Dia ingin memastikan sesuatu. Homo sialan itu pasti tahu mengapa Eja bisa sampai kecanduan heroin.

Bram yang awalnya merasa Dimas tidak ada sangkut pautnya dengan kasus tawuran ataupun narkoba, tentu saja menolak. Namun, lama-kelamaan dia luluh juga—mengingat Dimas dulu sering mencuci kaus kakinya saat mereka masih sama-sama belajar di Akademi Kepolisian. Siapa yang tahu kalau takdir justru membawa juniornya itu lebih dulu melangkahinya.

Dimas akhirnya berinisiatif membawa Nala masuk ke dalam ruangan interogasi. Mereka duduk berhadapan. Jari telunjuk Dimas meraba bagian bawah meja, kemudian menekan sebuah tombol di sana, agar percakapan yang mereka lakukan ini tidak terekam dalam kamera pengawas ruang observasi di sebelah.

"Baron dan Randi, mana di antara mereka yang mengenalkan narkoba pada Eja?" tanya Dimas to the point.

Nala terlihat sangat marah saat nama dua orang itu dibawa-bawa ke atas meja interogasi. "Mereka berdua itu sama bajingannya." Namun, dia berhasil mempertahankan nada bicaranya agar tetap terdengar tenang, nyaris tidak menampakkan wujud emosi yang menggelegak di retina matanya.

Dimas tertawa masam. "Lihat dirimu!" sentaknya tajam. "Homo sialan!"

Hening merayapi ruangan selama beberapa saat sebelum Dimas berkata lagi, "Jadi, ada dendam pribadi di balik aksi tawuran ini? Kau hampir membunuh anak berjaket itu, apa semua karena Eja? Bagaimana kalau teman-temanmu tahu soal ini, Nala?"

"Oe, Abang Ipar, siapa sebenarnya yang kau khawatirkan di sini? Eja atau aku?"

"Ha?! Gila, apa kau cari mati?!" bentak Dimas emosi, tidak sudi dipanggil 'Abang Ipar' oleh homo sialan itu.

Nala menggaruk belakang kepalanya, yang Dimas yakini pastilah tidak gatal.

"Eja itu sangat penurut. Tidak mungkin dia memakai narkoba hanya karena ...." Karena merasa Dimas tidak menyayanginya. Dimas melenguh, merasa tidak perlu melanjutkan kata-katanya itu.

Nala mengangguk setuju, kemudian menatap Dimas tanpa minat. Dimas langsung terbayang wajah Agam saat balik menatap. Bram benar, homo sialan ini memang mirip dengan Agam, hanya saja bentuk wajah Nala terlihat lebih oval.

"Randi adalah orang yang menjual heroin pada Eja, sedangkan Baron, dia adalah dalang kenapa Eja bisa sampai terjerumus barang haram itu." Dahi Dimas tampak berkerut dalam. Nala mendesah, kemudian mulai bercerita.

"Satu tahun yang lalu ... adalah kali pertama aku bertemu Eja."

Tepatnya di sebuah kafe, yang letaknya bersebelahan dengan YM karaoke. Untuk menuju ke sana dari pusat kota hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Saat Nala, Arjuna, dan Ragil tiba, kafe tersebut terlihat cukup sepi padahal malam itu adalah malam yang pas untuk anak muda mencari tempat tongkrongan. Rupanya tempat itu sudah di-booking oleh seorang anak walikota. Dompetnya pastilah tebal untuk ukuran anak SMA. Nala bertanya pada seorang pelayan di balik meja konter dan pelayan itu berkata, "Acara yang tidak begitu penting. Anak walikota itu memang sering booking tempat di sini." Sambil mengedik ke arah Baron yang sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya.

"Bisa-bisanya dia enak-enakkan di sini sementara Alex ada di dalam kuburan!" Ragil yang telanjur emosi hendak menyerbu Baron, tetapi dia justru limbung saat seorang anak lelaki tiba-tiba datang dari pintu masuk dan menubruk tubuhnya.

"Baron!" teriak anak lelaki itu sembari menarik kerah kemeja Baron. "Kau 'kan yang mengambil peluit itu dari dalam lokerku? Kembalikan sekarang juga!"

Wah ....

Seisi kafe berdecak melihat keberaniannya menantang Baron.

"Mau main-main rupanya ...."

"Hajar! Hajar!"

Baron segera menghempas tangan anak lelaki itu dengan kasar. Kemudian, bertingkah menjilati sudut bibirnya sendiri. Emosinya mulai terpancing.

"Hei, Pendek! Kenapa kau tidak pulang saja dan kerjakan PR-mu di rumah? Anak SMP tidak boleh main terlalu malam, loh," ucap Baron meremehkan, sembari menatap lawannya yang ternyata tidak jauh lebih tinggi darinya.

Orang-orang pun mulai berkerumun.

Nala lantas merogoh dompetnya dalam saku lalu menyaut sebuah kartu kredit. "Aku booking tempat ini dua kali lipat dari harga yang dibayarnya." Nala menunjuk Baron. Pelayan itu tampak kebingungan. "Jangan biarkan satu orang pun masuk atau keluar dari sini," perintah nya tegas.

Pelayan itu langsung mengangguki, kemudian menyerahkan kembali kartu kreditnya. Saat hendak memasukkan benda tipis itu ke dalam dompet, Nala sempat terkesiap. Kedua matanya terpentang lebar, menyadari foto seorang anak kecil, yang selama ini dia simpan baik-baik dalam dompetnya, ternyata mirip dengan wajah orang yang nekat mencari gara-gara dengan Baron.

Tiba-tiba Nala terkekeh. Rasanya seperti memenangkan sebuah lotre. Dunia ini memang sangat sempit rupanya. Anak kecil dalam foto yang dia cari-cari sejak dulu mendadak muncul di hadapannya.

... Namanya Raiza Arieh. Tolong jaga dia dengan baik ....

_____________

Notes:

Satuan Jatanras = Satuan Kejahatan dan Kekerasan.

Continue Reading

You'll Also Like

148K 18.1K 16
Book 2 Sekuel I'm not Stupid! "KAMI ADA DAN BERLIPAT GANDA!" __Basis New Generation. 3 tahun sudah kasus tenggelamnya Anarkali di danau Magnesium Hig...
4.2M 513K 80
Pembelian Novel Version bisa di shopee momentous.publisher❤ Elbiana Angelista Dewaga, siswi cantik SMA Cendrawasih yang terkenal bersikap dingin dan...
93.3K 3.4K 49
Will you still love me when I'm be a monster? --------------- Shella yang dituntut sempurna oleh orang tuanya hanya dikenal sebagai cewek paling popu...
50.2K 6.7K 38
Nera adalah anak yang tumbuh di lingkungan kriminal pinggiran kota. Keputusannya menyelamatkan seorang pria tua yang terkena luka tembak membawanya m...