[✔] 1. DEAR J

By tx421cph

48.2M 4.2M 4.2M

[Telah Dibukukan, Tidak tersedia di Gramedia] ❝Untukmu, Na Jaemin. Laki-laki tak sempurna Sang pengagum hujan... More

00
Attention
01. Something Bad
02. I Called You, Nana
03. Friends?
04. Keychain
05. I'll be Loving You (Forever)
06. The Rain
07. I Told You
08. Fallin' to You
09. I'm Not
10. Between Rain and Rhyme
11. Close to You
12. No Longer
13. Getting You
14. November Rain
15. Who Are You
16. Unfathomable
17. Talking To The Moon
18. The Reason Why
19. The Truth Untold
21. Through The Night
22. Love Bomb
23. Hello Stu P I D
24. Our Moment
25. My One And Only
26. Revealed
27. Will You Hold On?
28. Dear Mom
29. Dear God
30. End Of A Day
30.5 Dear J
How To Order?
What's Next?

20. Stay With Me

1M 110K 167K
By tx421cph

Aku sayang kak jaehyun ! ♡

Song recommendation in this chapt
Taeyeon - Circus
Huhuu sumpah sih parah lagu ini 😭

• Dear J •

Happy Reading ! ♡

"Jawab aku, darimana bekas jahitan ini?"

Anak itu tidak langsung menjawabku. Dia masih menatapku dengan terkejut sementara posisi kami masih ambigu dan aku yang masih menatapnya tajam sambil mengangkat bajunya keatas.

Jaemin setengah tertidur, sementara tangan kananku meremat bajunya, dan tangan kiriku berada di sisi tubuhnya.

Hei, janganlah kalian berpikir macam-macam.

Aku bahkan hanya terfokus pada bekas jahitan besar di perut anak itu.

"Astaga kalian ngapain woy! Ini rumah sakit!"

Kami berdua terkejut. Kak Jaehyun yang mengejarku di belakang, muncul dari arah pintu dan tercengang.

Aku mundur seketika saat menyadari posisi kami, kemudian Jaemin membenarkan pakaiannya dengan gugup. Kami berdua entah kenapa mendadak canggung.

"Ckck dasar bocah" Kakakku menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa sih kak!" dengusku, "Udah sana keluar, mau ngobrol dulu privasi sama Jaemin!"

Kakakku mendelik, "Dih ngusir?! Hayo mau ngapain kalian berdua?!" 

"Kakk!!" seruku kesal, "Udah sana pulang aja!!"

"Lah terus ntar kamu pulangnya gimana kambing!" gemas Kak Jaehyun.

"Aku bisa nginep disini onta! Lagian juga udah gak sekolah!" sungutku, mendengus sebal.

Mendengar kata-kataku, Jaemin melotot. Dia tercengang menatapku dan Kak Jaehyun bergantian.

"Sudah tidak sekolah bagaimana maksudnya?!"

"Gue keluarin, mau gue tuntut sekolahnya. Lo juga jangan sekolah disana lagi" jawab Kak Jaehyun.

Aku lupa bahwa Kak Jaehyun lebih jago bahasa isyarat dariku. Dia menguasai semua jenis bahasa isyarat.

"Apa terjadi sesuatu kak?"

Kakakku menghela, "liat aja noh dari atas sampe bawah kesayangannya ngana"

Jaemin menurut, dia beralih memandangku, dan malah aku yang salah tingkah karena dia menatapku lamat-lamat seperti itu.

"Kak Jaehyun apaan sih! Udah sana pergi!"

Aku mendorong tubuh bongsor Kak Jaehyun sekuat tenaga, walaupun dia sempat mengomel-ngomel mengatakan bahwa betapa tega aku mengusir dia yang sudah berlarian kesana kemari demi aku.

Bukan itu maksudku, tentu saja aku sayang Kak Jaehyun. Bedanya dia pandai sekali memperlihatkan perasaan sayangnya, berbeda denganku.

Setelah menutup pintu ruangan Jaemin, aku kembali ke sisi anak itu. Dia masih mengekoriku dengan matanya.

"Mereka mengganggu kamu lagi" katanya.

Aku tersenyum tipis, kemudian mengambil satu tangannya. Menggenggamnya erat.

"Nggak apa-apa, kamu harus cepet sembuh ya" suaraku, "aku sedih nggak ada kamu"

Anak itu tersenyum mengangguk. Sebuah senyum lebar yang menjadi favoritku. Sebuah senyum manis yang menjadi canduku.

Senyuman seorang Na Jaemin.

"Kamu terluka" katanya lagi, kemudian dia menyentuh beberapa luka di tangan, wajah, dan leherku.

"Aku bilang aku nggak apa-apa" jawabku.

Tentu saja aku tidak apa-apa, walaupun ada sedikit perasaan trauma setelahnya. Ini semua bukan apa-apa jika aku berada di hadapan Na Jaemin saat ini.

"Jadi, bisa jelasin yang tadi?"

Anak itu mendongak, menatapku. Karena posisiku yang berdiri di samping bangsalnya, lebih tinggi.

Jaemin mengangkat kedua alisnya.

"Bekas jahitan itu" lanjutku, "darimana..."

Mendengar itu, Jaemin tersenyum menghela.

"Apa kamu benar-benar mau mendengarkannya?"

"Iya jelas!"

"Duduklah dulu"

Dia menarik tanganku, menggiringku untuk duduk di kursi dari stainless yang ada di dekat bangsal.

Aku duduk di dekatnya, kemudian memandang Jaemin yang kepalanya di perban saat itu. Aku sangat lega ketika tahu dia tidak sampai gegar otak.

"Aku pikir kamu jangan mendengarnya dulu"

"Kenapa?!"

"Aku akan menceritakannya nanti, sungguh" dia tersenyum teduh kemudian, lalu mengelus rambutku.

Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Kuharap firasatku tidak benar. Semoga itu hanya firasat kosong saja.

Kulihat, Jaemin memegangi perutnya. Dia diam sejenak sambil menekan perutnya dengan ekspresi kaku. Dia seperti menahan sesuatu.

"Kenapa Na?! Sakitkah? Dimananya?!'" panikku.

Dia menjauhkan tangannya, kemudian tersenyum menggeleng.

"Bener?! Jangan bohong!" cercaku.

Dia tertawa kecil, "Jangan panik begitu, aku tidak apa-apa"

Aku akhirnya kembali duduk sambil mendengus pelan. Walaupun sebenarnya tidak terlalu percaya karena Jaemin selalu mengatakan baik-baik saja walaupun sedang sakit.

"Boleh aku minta tangan kamu?"

Kalimat dari Jaemin membuatku terkejut. "H, hah? Gimana gimana?"

"Aku mau genggam" katanya.

Ah, ku pikir dia mau meminta tanganku utuh-utuh. Aku sempat merinding tadi. Bodoh sekali.

"Boleh?" tanyanya lagi.

"Kenapa mau genggam? Genggam aja tangan kamu sendiri" kataku, sengaja.

"Kenapa aku harus menggenggam tanganku sendiri jika ada kamu? Lagipula yang aku mau itu kamu, bukan yang lain"

Baik, aku sedang mencoba untuk bersikap biasa saja walaupun dalam hati sudah ingin berteriak.

Sesaat kemudian, Jaemin tampak mengerutkan keningnya sambil memerhatikanku.

"A-apa?" tanyaku gugup.

"Kenapa wajah kamu selalu merah setiap aku selesai bicara sesuatu?"

Kedua mataku melotot. Apakah wajahku benar-benar merah?!

Dan apa tadi kata Jaemin?!

Astaga dia ini pintar tapi kenapa begitu bodoh? atau dia hanya terlalu polos saja?! Rasanya aku ingin menggigit pintu. Sungguh!

"Apa sih! Mana!" seruku salah tingkah. Memalingkan wajah.

Anak itu tertawa tanpa suara, kemudian tangannya mengambil wajahku dan kembali di palingkan lagi kearahnya.

"Kamu lucu, dan kamu milikku" dia tersenyum.

Bunda! Ayah! Kak Jaehyun! Tolong aku Ya Tuhan!!

"Aku rindu kamu, tetap disini ya? Aku berjanji tidak akan menyuruh kamu pergi lagi seperti waktu itu"

Aku menatap Jaemin, tepat pada kedua matanya dengan tubuh kaku.

"Naㅡ"

"Setelah menjadi hujan yang tidak berdaya, aku kini ingin menjadi sebuah payung... untuk kamu"

Anak itu memotong kalimatku, membuatku terdiam setelah membaca bahasa isyaratnya.

"Kenapa?"

"Payung memang tidak bisa menghentikan hujan, tapi payung dapat membantumu berjalan melalui hujan"

Aku tercekat.

"Karena itu aku tidak bisa menghentikan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi nanti, tapi aku akan melindungi kamu sampai saat itu akan datang"

"Saat apa?"

Dia tersenyum, sampai akhirnya berkata "Saat dimana kamu benar-benar bahagia dan hidup dengan tenang"

-----oOo-----

Coba tebak apa yang terjadi sehari setelah Kak Jaehyun mengancam akan membawa kasus pembullyan sekolahku ke pengadilan?

Tidak, sebenarnya Kak Jaehyun tidak sekedar mengancam karena dia sudah menelepon beberapa orang hukum kenalannya.

Well, pihak sekolah menandatangi rumahk dan memohon agar tuntutan itu di cabut dan aku kembali ke sekolah.

Kak Jaehyun tentu saja menolak mentan-mentah, dan dia sempat memaki kepala sekolahnya dulu berakhir dengan ayah yang memarahinya.

Ayahku yang terlalu baik, tentu saja menuruti permintaan pihak sekolahku. Dia sebenarnya juga tidak terima saat tahu aku menjadi korban penindasan bahkan kekerasan fisik disana. Tapi karena Ayah Yunho adalah tipe orang pemaaf dan tidak mau membesar-besarkan masalah, dia memaafkan sekolahku.

Gosh, padahal itu sama sekali tidak cukup hanya dengan maaf saja!

Mereka tidak tahu bagaimana rasanya lukaku yang masih basah di injak dengan sepatu, punggungku yang di tendang sampai mau patah rasanya, hingga tubuhku yang dicakari sampai berdarah.

Aku mau menangis saja rasanya saat mengingatnya lagi.

"Kamu beneran yakin mau balik ke sekolah?" tanya Kak Jaehyun, dia sedang mengganti perban-perban pada lukaku saat itu.

"Ya gimana..." gumamku, "Aku masih takut"

Kakakku menghela, "Yaudah kakak bilangin sama ayah kalo kamu beneran pengen pindah" 

"Tapi Jaemin..." aku murung.

Kak Jaehyun seketika menyentil dahiku, "Bucin"

"Dih apaan sih!" kesalku, memegangi dahi. Hei, itu sakit!

"Ya suruh aja dia pindah bareng kamu, kok ribet" entengnya, sambil menempelkan plester diatas kain kasa-ku.

"Om Donghae gimana... aku takut Jaeminㅡ"

"Tenang aja, kayanya dokter yang pernah kamu temuin itu bakal jagain Si Jaemin"

Oh, Dokter Siwon ya. Jika memang benar seperti itu aku akan tenang, jika tidak? Aku tidak mau Jaemin terus tersiksa di rumah yang isinya manusia-manusia tidak tahu diri itu.

Aku benar-benar tidak pernah menyangka bahwa semuanya akan seperti ini.

Maksudku bagaimana mungkinㅡ

Jaemin dan Jeno adalah saudara tiri

Aku, Donghae, Yoona, dan Tiffany adalah teman dekat

Donghae menghamili Yoona di luar nikah

Na Jaemin itu hidup untuk Lee Jeno

Ah! Sial kepalaku pusing memikirkan segala kenyataan yang terus bermunculan dari hari ke hari.

"Udah jangan di pikirin, kamu tuh masih muda, jangan habisin waktu kamu buat mikirin urusan orang dewasa"

Aku melotot mendengar kata-kata Kak Jaehyun, "Kok tau aku lagi mikirin itu?!" hororku.

"Kebaca" dia tertawa kecil.

Kadang aku merinding dengan Kak Jaehyun yang seringkali dapat menebak isi pikiranku.

"Udah selesei, gih tidur" sambung kakakku.

"Kak, kok bisa mendadak di sekolah sih?"

"Hm?"

"Yang kemaren lusa"

"Oh..." dia menggumam, kemudian membereskan kotak P3K-nya.

"Kok oh doang?"

"Terus apa?"

"Kan aku nanya!!" gemasku.

"Oh iya ya" Kak Jaehyun malah nyengir.

Demi Tuhan sepertinya pria yang kemarin menggebrak sekolahku bukanlah Jung Jaehyun yang ini. Aku tidak percaya!

"Jadiiiiii?" aku lama-lama merasa kesal.

"Kakak nggak langsung pulang abis nganter kamu" jawabnya.

"Terus?"

"Nabrak pohon toge"

"Meninggal kek lo kak!!"

Aku menjitak kepalanya, membuat dia limbung dan nyari saja jatuh ke lantai.

"Jahat amat sih!" cebiknya.

"Serius dong!"

"Eh eh ehhh jangan, ntar baper sama kakak sendiri kan gak lucu, jadi brother complex"

Aku sudah kehabisan kata-kata menghadapi kakakku. Sungguh. Tolong seseorang bawa saja dia pergi.

"Serah lo kambing! Sana keluar!!"

Berbalik, kemudian membanting diri ke atas kasur, aku membelakangi Kak Jaehyun sambil menyelimuti diri sendiri dengan kesal.

Terserah, aku tidak mau bicara dengan dia. Mengobrol dengannya hanya menghabiskan tenaga dan menambah dosa. Menyebalkan sekali, obrolan kalian akan mendadak rancu karenanya.

Lebih baik aku tidur.

Namun belum sampai aku terlelap, kurasakan sebuah tangan besar bergerak halus di atas rambutku. Tangan itu mengelus kepalaku dengan lembut.

"Kakak bahkan rela bunuh orang demi kamu"

Aku terpaku mendengar suara berat Kak Jaehyun. Kedua mataku tetap terpejam.

"Good night, adikku"

Kurasakan, dia mencium pelipisku. Kemudian pergi setelah mematikan lampu kamar.

-----oOo-----

Aku tidak mau mengakui ini, tapi ya... Aku sekolah. Aku kembali... ke sekolah yang seperti neraka itu.

Setelah pihak sekolahku menjanjikan bahwa tidak akan ada lagi kasus penindasan dan kekerasan fisik ㅡ walaupun aku sulit untuk memercayai itu ㅡ akhirnya ayah dan bunda meyakinkan itu untuk kembali ke sekolah dan menjamn bahwa aku akan baik-baik saja.

Oke, awas saja jika ada yang berani menyentuh Jaemint terutama!

Oh! Ngomong-ngomong ada kabar gembira. Jaemin sudah keluar dari rumah sakit dan hari ini dia sekolah. Saat ini dia sedang di sampingku.

Benar, kami sedang berjalan bersama masuk ke dalam gedung sekolah dengan perasaan berkecamuk. Sungguh, sepertinya bukan hanya aku saja. Tapi Jaemin juga, walaupun dia terlihat tetap tenang.

Kami berdua masih berdiri di depan gedung. Aku menarik napas panjang, kemudian menoleh kearah Jaemin yang rupanya memandangiku sejak tadi.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

"Takut" keluhku. Jujur, aku benar-benar masih sangat takut untuk masuk. Rasanya kejadian hari itu terus membayangi.

Jaemin tersenyum, "Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti kamu"

"Tapi kamu kenapa diem aja waktu di tindas?!" kesalku.

Anak ini jago berkelahi, tapi saat di tindas dia diam saja dan pasrah.

Hei Jung Jeha berkacalah.

"Aku tidak masalah mereka menyakitiku, tapi tidak dengan kamu"

Aku terdiam seketika.

"Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh kamu walau seujung kuku. Maaf kemarin aku malah terbaring di rumah sakit, sedangkan kamu kesakitan disini"

Wajah Jaemin berubah sedih. Dia terlihat sangat menyesal, bahkan kulihat kedua matanya mulai basah.

"Maaf jika tanganku kasar dan membuat kamu tidak nyaman, tapi kamu jangan lepas dari aku"

Setelah mengatakan itu, Jaemin mengambil tanganku dan menggenggamnya. Memang benar, memang benar tekstur tangannya begitu kasar. Efek karena kerja keras sekaligus luka-luka yang dia dapatkan.

Sial, kenapa aku berdebar seperti ini?

Tidak bukan gugup karena berjalan dengan Jaemin, tapi takut karena kami sudah mulai masuk ke dalam gedung.

Rasanya seperti sedang masuk ke pengadilan dan akan di hakimi.

Sesuai dugaan, semua pasang mata langsung tertuju pada kami berdua. Rasanya seperti di tatapan puluhan pasang mata serigala.

"Eh eh liat tuh yang abis ngadu"

"Balik lagi dong, katanya pindah"

"Sekolah kita di ancem tau ga"

"Kakaknya serem banget, kaya preman"

"Tapi ganteng dong kakaknya"

"Apaan sih segala pake lapor polisi"

"Ya gitu manusia baperan"

Telingaku panas mendengar gunjingan-gunjingan para murid yang bertebaran di sana-sini. Aku sudah berusaha menulikan pendengaran, tapi yang namanya telinga tentu saja tetap dapat mendengar, kecuali kau tuli betulan.

Jaemin mengeratkan genggamannya kemudian, dia membawaku pergi melewati murid-murid tidak tahu diri tersebut.

"Jeha astaga!"

Aku terkejut ketika dari arah depan datang dua sosok perempuan yang berlari ke arahku.

"Kangen banget gila gak ngerti lagi!!"

Yuqi menerjangku, memelukku dengan erat. Dia meraung. Berlebihan sekali, tapi aku tetap saja tersenyum.

Herin di belakangnya, tersenyum kalem.

"Kangen kalian juga" aku menahan tangis, kemudian Herin bergabung dengan kami.

Jadilah kami berpelukan di koridor, tidak peduli walau banyak yang memandangi kami bertiga.

Jaemin yang telah melepaskan tangannya dariku, hanya tersenyum.

"Huhuuu kirain lo pindah beneran!" Yuqi melepaskan pelukannya, dan ternyata dia benar-benar menangis.

"Ih apaan sih kok nangis!" aku mengusap air matanya.

"Maaf kita waktu itu nggak ada waktu kamu di ganggu, seharusnya kita disana" Herin tampak menyesal.

"Udah, nggak apa-apa"

"Jahat banget Kak Jaehyun kalo sampe beneran mau mindahin lo!" Yuqi masih terisak. "Tapi emang jahat mereka sih... pokoknya ntar liat aja kalo mereka berani gangguin lagi, gue maju paling depan!"

Aku tertawa.

Mereka teman-teman yang sangat baik.

"Jaemin, kamu udah nggak apa-apa? Katanya kecelakaan?" tanya Herin.

Jaemin ber-oh kecil, kemudian tersenyum mengangguk.

"Beneran nggak apa-apa?" kali ini Yuqi yang bertanya.

"Udah nggak apa-apa kok, kemaren untungnya cuma cedera ringan" aku membantu Jaemin menjawab.

"Syukur deh, tapi sumpah itu Jeno?" tanya Yuqi lagi.

Mendengar kalimat itu, Jaemin melebarkan matanya.

Iya, dia tidak tahu menahu siapa yang menabraknya dan aku belum memberitahunya kemarin. Karena Jeno pun masih menyangkal.

Tapi Demi Tuhan aku yakin itu Jeno, aku hafal sekali body motor Jeno sekaligus nomor platnya.

Jaemin menoleh dengan cepat kearahku. Dia menatapku dengan tatapan menuntut penjelasan.

Aku bingung harus menjelaskannya darimana.

"Sebenernya Naㅡ"

"Ayo buruan!"

"Dimana sih dimana!"

"Depan ruang siaran!!"

Kami berempat terkejut ketika mendengar suara derap langkah para murid yang mendadak berhamburan. Mereka terlihat begitu heboh dan ribut sendiri.

Ada apa lagi?

"Eh apaan sih?!" Yuqi kebingungan.

"Nggak mungkin kan..." Herin menatap Yuqi.

Sementara aku tidak tahu apa yang sedang mereka maksud disini.

"Woy Chan ada apaan sih?!"

Gadis berambut keriting itu mencegat Haechan yang kebetulan lewat sambil berlari bersama tiga temannya yang lain.

"Apaan dah lo sentuh-sentuh" Haechan mengibaskan tangannya.

"Gue nanya setan!" Yuqi kesal.

"Guanlin sama Jeno berantem noh, sayang kalo gak di tonton" jawab anak laki-laki berkulit gelap tersebut.

Sepertinya yang terkejut hanya aku dan Jaemin karena Yuqi dan Herin hanya saling pandang.

"Cam record lo udah siap belom Le?!" tanya Woojin menoleh ke belakang.

"Bentar ini gue nyalain" suara Chenle yang sedang berjalan di belakang sambil mengutak-atik barang elektroniknya yang ku duga mahal itu.

"Dah cus!"

Keempat anak laki-laki itu berlari bersamaan meninggalkan kami. Aku habya termenung di tempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi diantara Jeno dan Guanlin.

"Sarap lo semua" kata Yuqi.

Walaupun dia mengatai anak-anak nakal itu, tapi Yuqi tetap berlari mengikuti para murid lain yang bergegas menuju area ruang siaran. Begitu pula aku, Herin, dan Jaemin.

Dan sepertinya anak laki-laki itu yang paling panik.

Jaemin terlihat cemas, aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajahnya.

Seperti dugaan. Area depan ruang siaran yang luas itu ramai. Mereka semua menonton Jeno dan Guanlin yang katanya tengah berkelahi.

Aku menerobos kerumunan itu dengan susah payah, sementara aku tidak tahu kemana Jaemin karena kami terpisah di tengah jalan.

Ketika berhasil melihat perkelahian itu dengan jelas, aku menutup mulutku tidak menyangka.

Kupikir Guanlin-lah yang sedang menghajar Jeno, si anak tidak tahu diri yang brengsek itu. Tapi sekarang aku terkejut karena fakta yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya.

Jeno menghajar Guanlin habis-habisan.

Dan anehnya, aku tidak tahu kenapa Guanlin tidak melawan. Dia hanya limbung, terjatuh, kemudian bangkit lagi dan begitu seterusnya.

Sementara itu, warga sekolah hanya menonton perkelahian mereka.

"Iya gitu terus Jen! Hajar lah!"

Aku mendengus tidak menyangka ketika Haechan malah mengompori sambil melihat perkelahian mereka melalui layar cam recorder Chenle.

Baru saja aku hendak melangkah untuk melerai mereka, Jaemin sudah mendahuluiku. Dia berlari dari arah kananku dan menerjang tubuh Jeno, mendorong saudara tirinya itu menjauh dari Guanlin.

"Lo apa-apaan bangsat! Ngapain lo disini!!" seru Jeno marah.

Jaemin menghalangi Guanlin dari Jeno. Dia menatap Jeno dengan memohon, berharap agar saudaranya itu menghentikan tindakannya.

"Minggir lo bisu, jangan sok jadi pahlawan gue" Guanlin bersuara dengan napas tersengal.       

Mendengar itu, justru Jeno yang mendecih. Dia tertawa.

"Bukannya lo yang sok jadi pahlawan? Gimana dah ini? Kayanya kalian emang udah temenan deket banget ya?" Jeno yang berdiri dengan menjulang, menatap Guanlin yang masih terduduk dengan mulut berdarah.

Sekarang Guanlin yang tertawa sarkas, "gue temenan sama si bisu ini? Ogah, najis"

Aku membuang napas tidak percaya mendengar kata-kata Guanlin, sementara Jaemin terdiam diantara kedua laki-laki yang malah memakinya.

"Najis ya" Jeno tersenyum sarkas.

"Gimana? Mumpung udah rame, mau gue umumin sekarang kalo lo pelaku yang bikin si bisu ini masuk rumah sakit?"

Aku terkejut setengah mati. Tapi tentu Jaemin jauh lebih terkejut dariku, dia terkejut yang benar-benar terkejut sambil memandang Jeno dan Guanlin bergantian.

"Bangsat"

Buagkh!!!

Jeno kembali menghajar Guanlin. Dia melayangkan satu tinjuan yang membuat anak laki-laki yang lebih tinggi itu tersungkur.

Guanlin malah tertawa.

"Kenapa? Takut kebongkar? Lo mau gue bongkar yang lebih heboh lagi?" anak laki-laki jangkung itu menyeka darah di wajahnya.

"Keparat lo emang" desis Jeno tajam.

Duagkh!!

Bugkh!!

Dia menendang tubuh Guanlin, memukulinya lagi. Menghajarnya hingga dirinya merasa puas.

Jeno seperti orang sakit jiwa.

Jaemin tidak diam saja, dia menarik-narik tubuh Jeno yang berada di atas Guanlin. Menyuruhnya untuk berhenti. Tapi percuma, Jeno tidak akan pernah mendengarkannya. Dia malah mendorong tubuh Jaemin kasar.

Sialan, karena murid-murid bedebah itu hanya asyik menonton, terpaksaㅡ

"Jeno! stop Jeno!!! Lo gila ya?! Stop!!" seruku, berlari kearah mereka dan mendorong tubuh Jeno ke samping.

"Lo lagi lo lagi!" balasnya. "Muak gue!"

"YA LO PIKIR GUE GAK MUAK LIAT LO BIKIN KERIBUTAN DIMANA AJA ANJING?!"

Aku histeris, mengerahkan seluruh tenagaku untuk berteriak di depannya.

Ya Tuhan, ini deja vu. Aku sangat takut berada di posisi seperti ini, sama persis seperti beberapa hari lalu.

Tapi Jaemin disini. Ya, aku harus tenang.

"Lo mau tau sesuatu ga?"

Itu Guanlin yang kembali menarik perhatian kami. Wajahnya babak belur dan berdarah disana-sini, kemudian dia bangkit dengan sisa-sisa tenaganya.

Keningku berkerut.

"Sini lo bisu"

Anak itu mengayuhkan tangannya kearah Jaemin, membuat Jaemin mengangkat alisnya bingung.

"Lo mau ngapain?!" tanyaku was-was.

Tapi pada akhirnya Jaemin juga menghampiri Guanlin. Saat dalam jarak yang dekat, dia menarik seragam Jaemin tiba-tiba. Membuatku terkejut.

"Guanㅡ!"

"Berisik amat sih lo, orang gue cuma mau pegangan. Gue gak kuat berdiri sendirian"

Guanlin saat itu memang mengulurkan tangannya dan mengalungkan lengan kirinya di bahu Jaemin. Dia benar-benar "berpegangan" pada Jaemin dalam artian sesungguhnya.

"Kudu gitu pegangan sama Jaemin?! Ke tembok kek!" kesalku.

"Bacot mulu lo, sini lo aja yang pegangin gue"

Aku melotot, kemudian mendecih. Lagi-lagi dia bicara melantur.

"Udah mending kalian bubar! Balik ke kelas! Lo juga Jeno! gak usah sok cogan!" aku sudah menahan kekesalan yang menggumpal di pucuk kepalaku.

"Gue emang cogan!" sungut Jeno.

"Ga ada apa-apanya lo ketimbang gue" Guanlin tidak mau kalah.

"Ngajak berantem ya lo?!"

"Lah kita kan udah berantem dari tadi nyet!" 

Sebenarnya disini yang bodoh siapa?!

Mereka yang berdebat tapi aku yang sebal.

Jaemin dan aku, kemudian menonton perdebatan tidak penting kedua laki-laki itu.

"Lai Guanlin! Lee Jeno!"

Entah sejak kapan, kerumunan itu terbelah menjadi dua dan di tengah-tengahnya ada guru paling killer di sekolah kami yang menatap kami berempat ㅡ terutama Jeno dan Guanlin ㅡ dengan tatapan tajam.

Entah memang benar atau hanya perasaanku, Guanlin tersenyum penuh kemenangan.

"Ikut saya ke ruang BK sekarang! Terutama kamu Lee Jeno! Panggil orang tua kamu dalam 7 hari ini!"

Pak Dongho menuding Jeno dengan kayu rotan yang selalu dia bawa kemanapun. Kata-kata itu membuat Jeno terkejut.

Tidak hanya Jeno sebenarnya, tapi semua orang yang ada disana termasuk aku.

"Lah pak kenapa?! Kok saya aja?! Dia nggak?!"

"Kamu telah melakukan percobaan pembunuhan pada Na Jaemin!" bentak Pak Dongho keras.

Lagi. Kembali di buat terkejut.

Jadi itu benar Jeno?!

"Pak! Bapak jangan ngawur ya! Mana adaㅡ"

"Diam dan ikut saya sekarang karena saya punya video bukti yang di berikan oleh Lai Guanlin!"

Jeno menoleh dengan cepat kearah Guanlin yang masih tersenyum miring. Senyum mengejek.

Jaemin tentu sangat terkejut. Dia menatap Jeno tidak menyangka dan seluruh tubuhnya membeku. Tentu saja dia tidak akan menyangka bahwa saudaranya sendirilah yang tega mencelakakannya.

Di mata Jaemin, Lee Jeno tidak pernah salah.

"Bajingan lo Guanlin" Jeno menggeram rendah dengan kedua tangan yang terkepal erat.

Kemudian, kepalaku terasa pening.

~~~

"Aku masih tidak percaya jika itu Jeno"

Jaemin terlihat sangat murung sejak tadi pagi pasca perkelahian JenoㅡGuanlin. Bahkan ketika Pak Dongho katanya memiliki bukti yang di berikan oleh Guanlin, Jaemin masih tidak dapat menyangkanya.

"Jeno itu jahat tau nggak!" kesalku.

"Dia itu saudaraku"

"Udah tau, nggak usah di ingetin" aku bersungut.

Usut punya usut, rupanya yang menabrak Jaemin waktu itu memang bukan Jeno karena anak itu bersama Mark dan Lucas sejak sore hingga malam seperti yang dia katakan.

Tapi dia menyewa orang lain untuk melakukan kejahatan itu. Menggunakan motornya sendiri, tapi bukan dia yang melakukannya.

Jeno sangat licik.

Rupanya Guanlin merekam kejadian dimana Jeno sedang berbincang dan mengobrolkan tentang rencana kejinya dengan orang suruhannya itu.

Aku ingin berterima kasih pada Guanlin, tapi dia tetap saja menyebalkan.

Baiklah, impas.

Saat mataku mengitari kelas, aku tak sengaja menangkap kalender dinding di dekat papan tulis.

Aku terdiam sejenak. Berpikir karena sepertinya ada sesuatu yang janggal.

Sampai akhirnya saat itu aku harus menahan rasa terkejutku agar tak di sadari oleh Jaemin. Aku melotot menatap kalender dengan bibir yang terbuka.

Hari ini tanggal 29 desember.

Lusa adalah tahun baru 2017.

Ulang tahun Na Jaemin.

"Emm, Na" panggilku.

Anak itu menoleh, kemudian mengangkat kedua alisnya.

"Lusa kemana?"

Jaemin malah mengerutkan keningnya. Dia tidak paham.

"Tahun baru, kamu kemana?"

"Tanggal 1 ya? Aku kerja saja sepertinya"

Aku menghela napas, "Bukan, maksudnya malem tahun baru. Nggak ngerayain tahun baru gitu?"

"Aku tidak pernah merayakan tahun baru"

Astaga.

Aku mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, kemudian tersenyum kearahnya, yang sempat membuat anak itu bingung.

"Lusa aku bisa minta waktunya? Aku mau rayain tahun baru sama kamu, ya?"

-----oOo-----

"Lah kok tahun baruan sendiri?! Dadakan banget lagi bilangnya!"

Aku hanya diam saja mendengar Kak Jaehyun yang terus mengomel sejak tadi. Dia mengekoriku kemana pun. Bahkan kini ke dapur.

"Nanti kamu ilang gimana?!" serunya ketika aku mengambil susu kotak kecil dari kulkas.

Aku mendecak, kemudian membalikkan badan "Kak plis aku udah 3 SMA dan bentar lagi lulus, gausah lebay ah"

Kemudian, berlalu dari hadapannya. Dia kembali membuntutiku.

"Dih dih liat siapa yang di katain lebay!" sungutnya.

Setelah memakai ransel kecilku yang berwarna ungu, aku bergegas memakai sepatu kets berwarna salmon. Benar, aku sudah siap berangkat. Ini jam 8 malam, Jaemin sudah di depan gerbang rumahku dengan sepedanya. Dia baru saja mengirimiku chat begitu.

"Udah Kak biarin, orang adeknya mau pacaran kok dilarang" ayah yang sedang duduk sambil menyesap kopinya, menyahut.

"Ayah! Dia ini masih suka kesasar!"

"Kan ayah bilang dia sama pacarnya, nggak sendirian. Kamu mending sana cari pacar yang baru, biar nggak ngurusi adekmu melulu" katanya.

"Tuh dengerin!" sahutku.

"Gausah pulang sekalian!" ketus Kak Jaehyun.

Aku baru menyadari bahwa Kak Jaehyun seprotektif itu.

"Emang, mau pulang tahun depan. Bye!"

Aku sudah berlalu dari sana. Berlari menuju pintu utama, keluar dari rumah sebelum kakakku mengomel lagi.

Dia laki-laki tapi sangat cerewet seperti wanita.

"Na!"

Aku melambai kearah Jaemin dari balik pagar, kulihat dia tersenyum lebar. Kemudian turun dari sepedanya, membantuku membuka gerbang.

"Maaf ya lama" aku meringis.

"Tidak kok" dia tersenyum.

"Berangkat yuk!"

Dia mengangguk senang, kemudian aku segera naik keatas sepedanya dan  melaju meninggalkan pelataran rumahku.

Kami pergi ke daerah Namsan. Aku mengatakan Jaemin bahwa aku ingin melihat kembang api dari tempat tinggi, kemudian dia menyarankan ntum datang ke Namsan yang terkenal akan menaranya itu.

Ngomong-ngomong biasanya aku dan Kak Jaehyun merayakan tahun baru bersama dan beramai-ramai dengan teman-temannya juga di tambah Jeno.

Tapi sekarang selain hubunganku dengan Jeno seperti itu, aku punya alasan yang lebih penting.

Aku ingin merayakan ulang tahun Jaemin hanya berdua dengannya. Tanpa gangguan siapapun.

Malam itu, kami berdua menghabiskan banyak waktu bersama. Banyak sekali orang berjualan pernak-pernik lucu, jajanan jalanan yang lezat, dan berbagai macam maupun jenis kembang api dari yang paling kecil, hingga yang paling besar.

Kami memborong banyak makanan, memakannya bergantian, terkadang saling menyuapi, dan sesekali aku menjahili Jaemin. Mengotori ujung hidungnya dengan es krimku.

Tidak pernah sebahagia itu aku dalam hidupku. Berada di bawah langit malam, kami berpegangan tangan kemanapun kami pergi, kemanapun kami melangkah.

Jaemin tidak perlu melakukan apapun untuk membuatku merasa aman. Dia tidak perlu berlagak sok jagoan untuk menjagaku disertai kalimat-kalimat yang tinggi.

Hanya dengan berada di sisinya saja, aku sudah merasa sangat aman. Hanya dengan dia menggenggam tanganku, aku merasa tak akan ada yang bisa menyakitiku lagi.

Tangan kasarnya, tangan yang sangat ku sukai. Tangan kasar yang begitu membuatku nyaman. Tangan kasar yang begitu membuatku aman.

Sebuah tangan yang menyimpan cerita akan kekelaman dan kekejaman dunia.

Saat ini, kami duduk berdua. Berdampingan. Menghadap kota Seoul dari atas menara Namsan. Aku bersandar di bahunya, memejamkan mata sejenak. Merasakan dinginnya angin malam.

Kami memutuskan untuk duduk dan menunggu kembang api besar di lesatkan keatas langit saat pukul 00.00 nanti.

"Na" panggilku pelan. Dia menoleh kearahku, "Kamu kenapa sayang banget sama Jeno? Padahal dia udah jahatin kamu" pelanku.

Mendengar pertanyaanku, anak laki-laki itu tersenyum tipis.

"Dia saudaraku, aku tentu sangat menyayanginya"

Aku mengulum senyum melihat ketulusan di kedua mata Jaemin.

"Sesayang apa kamu sama Jeno?" tanyaku lagi.

Jaemin terlihat diam beberapa saat, kemudian dia menghela sambil tersenyum.

"Bahkan jika aku harus menukar nyawaku demi Lee Jeno, aku akan melakukannya saat itu juga"

Kata-kata itu demi apapun sangat menohok hatiku.

Sebegitu sayangnya dia dengan saudara tiri yang bahkan berniat untuk membunuhnya.

Mataku mulai basah.

"Tapi jika itu kamu..." Jaemin kembali menggerakkan tangannya, "Akan ku tukarkan semesta dan dunia jika aku bisa melakukannya"

Aku membatu, menatap Jaemin yang juga memandangku manik hitamnya yang indah. Sebuah netra legam yang begitu luas, sebuah netra dimana dunia ada di dalamnya.



Psiuuuu!

Dorrr!!!

Dorrr!!!

Dorrr!!!!






Bersamaan dengan itu, kembang api telah di lesatkan secara besar-besaran keatas langit.

Itu adalah moment yang luar biasa indah dalam hidupku.

Aku tersenyum, menggenggam tangan Jaemin.

Pukul 00.00

"Selamat ulang tahun yang ke-19, Nana-ku"

Kata-kataku membuat Jaemin membeku di tempatnya. Dia seperti tercekat ketika memandangku setelah aku mengucapkan ucapan selamat ulang tahun untuknya.

"Ulang tahunmu hari ini, kamu nggak lupa kan?" aku tertawa kecil. Kemudian mengeluarkan tart berukuran sedang yang tadi sempat ku beli saat aku mengatakan pada Jaemin bahwa aku ingin ke toilet.

Memasang lilin dengan bentuk angka 19 diatasnya, kemudian menyalakannya dengan korek api yang kubawa.

Jaemin masih tak berkata-kata.

"Tunggu apa? Ayo tiup, eh tapi make a wish dulu dong!" aku meringis.

Kulihat mata Jaemin berair, dia tertawa kecil. Kemudian mengusap rambut belakangku.

"Demi Tuhan, kamu adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku selama 19 tahun aku hidup" katanya, membuatku tercekat.

Jaemin mendekat, dia meniup lilinnya begitu saja hingga padam. Walaupun aku sempat ingin protes kenapa dia tidak menyebutkan keinginannya sebelum meniup lilin.

Namun tindakan Jaemin selanjutnya membuatku urung membuka bibir.

Na Jaemin mencium keningku.

"Tuhan lebih tahu, bahwa aku ingin bersama kamu lebih lama"









To be continued...

.
.
.

Astaga saya ngantuk
Mana mata udah bengkak duluan
Dan sekarang nggak bisa tidur

Syukurlah nggak terlalu malem ya?

Aku ngebut, maaf kalo aneh dan banyak tipo :"

Continue Reading

You'll Also Like

79.4K 11.8K 15
[ON DIFFERENT UNIVERSE] ❝Untukmu, Haruto. Yang kucintai sepanjang umur, yang kucintai sampai hatiku hancur.❞ 2020 © nonabinar
16.2K 982 15
"sal,bagaimana kabarmu?aku merindukanmu setelah semua usai,kamu janji akan kembali padaku bukan?" "ron.. aku juga menabung celengan rindu,mungkin saa...
94.8K 7.3K 12
Gw ga mau deskripsiin #4- Sing 5.4.19 #3- sing 7.4.19 #2- sing 9.4.19 #4- SingKrist 9.4.19
1.6K 106 22
Menjadi makhluk demigod bukanlah hal yang menyenangkan, terlibat dengan pertarungan yang menyebabkan kematian. 13 remaja laki - laki ini harus melewa...