Pelangi Tengah Malam

By naiqueen

428K 59.6K 6.8K

Annamaraluna Tejakusuma tidak pernah ingin menjadi penerus Tejan Investama, namun perusahaan rokok keluarga y... More

1. Menjelang Ajal
2. Mimpi buruk
3. Pertemuan kembali
4. Saran
5. Sumber kebencian
6. Masa yang terlewati
7. Yang lebih baik
8. Serangan
9. Si Cantik
10. Presumption
11. Between Camouflage and Allegation
12. Miliknya
13. Confession
14. Hati ke hati
15. Bangga
16. Menyambut badai
17. Ice Cream Monsters
18. Wanita Ular
Duuuuuh!!!
19. Gosip
21. Rahasia
22. Sesederhana itu
23. The Deal
24. Kegemparan (1)
25. Kegemparan (2)
26. Confrontation
27. Past and Future

20. Ingin menyerah

12.6K 2.1K 258
By naiqueen

Minim edit karena lagi gak sempet. Bahkan part ini terpaksa dibagi jadi dua judul saking gak sanggup ngerapihin. Tetep ya target vote 1k keatas baru unggah.

Luna duduk di ruang kerjanya menghadapi tiga lelaki yang terlihat hampir seumuran dengannya.

Direktur divisi marketing Marshello Andika direktur SDM Agadera Tandjung, dan direktur bagian umum Esfahan Naezra.

Ketiganya adalah talenta muda hasil didikan tangan dingin Handoko Tejakusuma yang sengaja dipersiapkan untuk mendukung kinerja Luna saat mengambil alih TIV dan memang terbukti diantara direktur lain ketiganya lah yang paling dapat diandalkan dalam mengerjakan apa yang Luna inginkan.

“Saya baru saja menerima hasil analisis pasar dari tim intelijen perusahaan, selama dua bulan terakhir Halatara berhasil menjual 47 miliar batang rokok, ditambah 51 miliar batang dari penjualan kuartal pertama saja total perkiraan penjualan mereka di tahun ini kemungkinan bisa mencapai 200 miliar batang, coba bandingkan dengan penjualan kita,” Luna kemudian membagikan fotocopi hasil laporan yang diterimanya pagi tadi dari Kalasina, sekretarisnya.

“Di kuartal pertama kita menjual 30 miliar batang dan dikuartal ini bahkan kurang dari 25 miliar batang,” Luna kemudian menatap tiga lelaki di hadapannya satu persatu, “menurut kalian dengan hasil penjualan yang seperti ini apakah akan masuk akal kalau target penjualan 150 miliar batang kita masih bisa terealisasi?”

“Mengingat waktu yang tinggal sedikit, jujur saya akan bilang ini mustahil,” sebagai pihak yang paling bertanggung jawab soal urusan penjualan Marshel memberikan jawabannya.
  
Luna tersenyum tipis, tatapannya teralih ke Aga Tandjung, “Dan siapa yang bisa menjelaskan alasan mengapa dengan jumlah pekerja TIV yang mencapai 75.000 orang kita tidak berhasil menjadi pemain utama dibisnis ini, dan justru dikalahkan perusahaan yang bahkan jumlah karyawannya tidak mencapai setengah dari jumlah karyawan kita?”

Punggung Aga Tandjung langsung tegak, meski tidak ditujukan langsung akan tetapi dirinya tahu jika ini menjadi urusannya.  “Halatara pemain utama di sektor rokok putih dan sigaret low tar nicotine yang diproduksi sepenuhnya dengan bantuan mesin sementara produk andalan kita adalah kretek dan sigaret kretek tangan yang diproduksi secara manual. Sehingga jumlah karyawan terbanyak kita berasal dari buruh tujuh pabrik sigaret kretek tangan dan tiga pabrik kretek.”

Luna menghela nafas sejenak, keputusan yang akan diambilnya berat tapi dia terpaksa harus melakukannya, “Kalau begitu dengan menyesal saya terpaksa harus melakukan efisiensi terhadap tujuh pabrik SKT kita."

Tiga pasang mata menatapnya terperangah. Efisiensi bukan hanya jadi hal yang sangat ditakuti oleh banyak pekerja swasta, tapi juga oleh pengusaha. Melakukan efisiensi berarti memunculkan kewajiban untuk mengeluarkan uang lebih untuk membayar pesangon karyawan yang dirumahkan.

Belum lagi jika terdapat penolakan dari serikat pekerja terlebih sudah sejak satu dasawarsa yang lalu oleh mendiang Handoko Tejakusuma mengalihkan kepemilikan atas sepuluh persen saham miliknya untuk diberikan pada pihak serikat pekerja perusahaan yang justru sebenarnya terasa bagai memberi amunisi pada pihak karyawan untuk dapat memberontak terhadap kebijakan perusahaan.    

“Mbak yakin akan melakukan efesiensi?” Agadera bertanya ketika sudah bisa menguasai keterkejutannya. “Ini bukan langkah popular untuk dilakukan saat ini, setiap guncangan bisa menyebabkan saham kita,”

“Saya paham itu,” Luna memotong apapun yang hendak dikatakan Aga. “Tapi yang paling TIV butuhkan untuk saat ini adalah keseimbangan rasio antara biaya produksi dan distribusi dengan nilai penjualan dan besaran cukai yang naik setiap tahunnya.

Kita bisa terus memakai kebijakan lama seperti yang dilakukan oleh mendiang Papi, tapi itu artinya meracuni TIV tanpa berusaha mencari obat.
Saya tahu ini keputusan yang sulit … tapi dengan mengumumkan efisiensi pemerintah akan tahu kita tidak sedang baik-baik saja.”

Marshel mendengus keras tapi bibirnya membentuk senyum geli tertahan, “jadi ini lebih seperti usaha CEO kita untuk menunjukkan pada pemerintah kalau TIV sedang ngambek!”

Dalam kondisi normal komentar itu tidak sepantasnya ditujukan pada CEO TIV, akan tetapi tentu saja dalam keadaan santai Marshel tidak akan menahan diri untuk mengomentari apapun yang ingin dikatakannya.

“Apa yang kamu harapkan dengan melakukan efisiensi! Apa kamu ingin pemerintah benar-benar melakukan ancamannya untuk menaikkan pajak tembakau impor sekaligus mengenakan cukai lebih mahal 30 persen pada rokok berbahan baku impor?”

Luna menggeleng tegas, “kita semua tahu kalau itu bukan ide yang bagus meskipun hanya 30 persen tapi rokok putih dan sigaret LTN tetap menyerap bahan baku lokal, hanya saja kita perlu membuat mereka mengendurkan kewaspadaan mereka terhadap kita saat isu ini mulai dibahas.”

“Dan tujuanmu yang sebenarnya apa?” desak Marshel dengan ingin tahu, sementara dua rekannya hanya mampu menatap atasan langsung mereka dengan beragam spekulasi di benak masing-masing.

Luna tidak dapat mengakui kebenaran pada bawahannya, tapi goyahnya kepercayaan dewan komisaris Halatara terhadap CEO mereka adalah apa yang diincarnya. Waktunya tinggal sedikit, dia harus bergegas mendapatkan El dan mendiversifikasi bisnis TIV.

“Halatara dan juga APT harus tahu kalau bahkan jika aku memotong tanganku sendiri dan membawa TIV ke titik nadir bisnis tembakau … maka mereka terpaksa harus mengikuti.”

Senyum Luna yang tenang usai mengatakan itu anehnya mendatangkan rasa dingin di tulang belakang ketiga lelaki dihadapannya. Sama sekali tidak menyangka kalau CEO yang sempat mereka ragukan kemampuannya ternyata memiliki pemikiran setajam pedang damaskus, dan itu semakin membuat mereka menaruh rasa hormat yang mendalam pada Luna.

“Jadi setelah berbagai pemanasan itu … akhirnya kita benar-benar akan masuk ke dalam fase business war?” tebak Marshel antusias.

Luna menggeleng pelan. Ketimbang perang bisnis apa yang akan dilakukannya lebih seperti usaha untuk menyelamatkan diri. Ini akan mengguncang stabilitas industri rokok dalam skala luas dan TIV dalam skala yang lebih kecil, tetapi dia harus melakukannya sekarang sebelum semuanya terlanjur memburuk.

“Untuk itu aku punya tugas untuk kalian, yang pertama Aga harus membuat penawaran yang menarik untuk karyawan yang bersedia pensiun dini atau mengundurkan diri dengan sukarela … tawarkan program pembinaan, permodalan dan mitra kerja untuk karyawan yang tertarik memulai usaha.

Ezra, sebagai direktur umum perintahkan tim purchasing untuk membentuk unit baru yang bertugas melakukan pembelian hasil tanaman buah berlebih milik karyawan dan warga penerima program penghijauan tanaman buah … bukankah selama dua puluh tahun ini program penghijauan kota dengan pohon buah mangga, alpukat dan sirsak yang diberikan secara cuma-cuma oleh perusahaan tampaknya sudah berhasil, masyarakat dan eks karyawan TIV bisa mendapat pemasukan dari menjual buah-buahan mereka.”

Tatapan Luna kemudian teralih pada Marshel, “Sebenarnya ini bukan tugasmu tapi aku ingin kau menunjuk salah satu orang kepercayaanmu untuk melakukan penawaran kerjasama dengan jaringan toserba dan pengelola pasar daring khusus untuk penjualan lakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk tetap membuat karyawan yang memilih efisiensi tetap berada dalam taraf hidup seperti saat mereka masih bekerja untuk TIV, mulai sekarang kita harus membuat banyak orang menggantungkan hidup terhadap industri tembakau melirik sektor lain."

Keputusan sudah diambil dan Luna tidak punya pilihan selain terus maju dengan rencananya.

"Dan jangan lupa … ini harus berhasil,” tambahnya penuh keyakinan.
 
*****

El membuka pintu mobilnya dengan senyum lebar menghias wajah, Valeraine yang sedang bermain di halaman menyadari kedatangan laki-laki yang dipanggilnya sebagai Daddy itu dan bergegas berlari dan melompat ke pelukan El.

“Sudah mandi Sayang?” tanya El seraya memperhatikan wajah gadis kecil yang merupakan duplikasi sempurna sang ibu.

“Sudah Dad, tapi Vale belum makan.”

“Hum … pinternya kesayangan Daddy, tapi kok belum makan?”

“Mommy suruh Vale habisin sayur brokoli, Vale nggak suka,” gadis kecil itu mengadu sambil memasang wajah cemberutnya yang menggemaskan, membuat El tidak sanggup menahan diri untuk tidak memberi satu kecupan singkat di pipinya yang tembam.

“Dad juga nggak suka brokoli, tapi Dad tetap makan sayur yang lain … Valeraine kesayangannya Daddy juga harus makan sayur loh.”

“Oke! Asal bukan sayur brokoli tapi,” El tertawa gemas, puterinya ini sungguh mirip Luna, ahli bernegosiasi bahkan sejak balita.

“Oh iya Mommy mana? Kok Vale main cuma sama Tante Risa?”

“Mommy lagi kerja,” Vale menunjuk kearah dalam rumah. “Kata Tante Risa, Vale nggak boleh ganggu.”

“Mbak Luna lagi meeting sama Pak Marshel, Pak Aga sama Pak Ezra, Mas,” Risa menjelaskan tanpa diminta. “Sudah dari jam tiga tadi, tapi sepertinya masih belum selesai.”

Mata El menyipit mendengar penjelasan itu. Dia tahu totalitas Luna saat sedang mengerjakan sesuatu, dan dirinya suka sikap serius Luna saat bekerja, tetapi  El merasa tidak benar kalau demi pekerjaannya Luna sampai mengurangi waktu bersama Vale.

“Apa hari ini sudah ada calon pengasuh yang datang ke sini?” kembali El bertanya.
“Belum ada Mas.”

El menghela nafas panjang dengan berat, tatapannya kembali teralih kearah Valeraine, “Vale kamu sudah pernah makan selat solo nggak?”

“Selat?” ulang Vale heran. “Selat itu apa Dad?”

El tersenyum, “makanan khas Solo, Sayang … ada kentang goreng, wortel, buncis, telur, terus disiram pakai kuah kaldu sapi pokoknya enak deh.”

“Oh!”

“Kita makan selat solo yuk?” ajakan El langsung ditanggapi Vale dengan anggukan.

“Tapi Mas, Mbak Luna pesan kalau Vale nggak boleh kemana-mana,” Risa memperingatkan ragu-ragu.

“Dia nggak akan marah,” dengan yakin El memberi jaminan. “Yok kamu juga ikut aja deh,” ajakan El membuat Risa membelalakkan mata kaget.

“Sekalian ajak Deryl sama Ikhsan juga,” El mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik pesan singkat yang pastinya akan langsung diterima Luna. “Mulai sekarang kita harus membiasakan Vale makan sayur-sayuran jadi kita harus temani Vale makan sayur.” Vale mengangguk senang. Risa memanggil dua pengawal Luna untuk turut serta, tetapi cuma Ikhsan yang bersedia ikut bersama mereka.

Mobil El baru masuk ke dalam area parkir resto saat ponselnya berbunyi, lelaki itu cepat mengangkatnya karena itu panggilan dari Luna.

“Kata Deryl kalian pergi makan selat solo?”

“Nggak terlalu jauh dari rumah kamu Luv, begitu Vale selesai makan kami segera pulang.”

“Seharusnya nggak perlu repot-repot makan di tempat, kalian bisa pesan saja kan … jadi kamu nggak harus membawa Vale keluar.”

“Nggak masalah aku suka menghabiskan waktu bersama Vale.”

“Baru beberapa hari yang lalu kita menjadi berita di akun gosip, El. Aku cuma nggak ingin Vale terlalu banyak di-ekspos oleh media.”

El mendengus meremehkan seraya keluar dari mobil, Risa mengambil alih Valeraine dan patuh saat melihat El memberi kode agar mereka masuk ke dalam resto lebih dulu, “kalau itu terjadi lagi siapapun yang melakukannya harus bersiap-siap masuk ke dalam penjara.”

“Lebih baik waspada sebelumnya,  ketimbang harus buang-buang waktu untuk mencegahnya saat itu sudah menyebar.”

“Aku tahu, Schatzi! Oh ya kamu mau dibawakan apa, mumpung kami masih di Waroeng Solo, mau urap atau lontong sayur?”

“….”

“Luv!?” El mengulang pangggilannya lagi. Tidak ada jawaban meski El tahu Luna masih ada diseberang, terhubung dengannya. Yang tidak El tahu adalah dampak panggilan sayangnya terhadap Luna nyatanya luar biasa dahsyat. 

“Maaf,” sahut suara di seberang, “kamu bilang apa tadi?”

“Kamu mau dibawaain apa? Urap atau lontong sayur?"

“Hmm … dua-duanya boleh.”

El tertawa menyadari beberapa hal dalam diri Luna tidak pernah berubah, salah satunya adalah kesulitan untuk memutuskan pilihan makanan karena pada dasarnya Luna tidak pernah harus memilih … Luna selalu bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan.

“Oke, aku akan bawa dua-duanya … kamu tunggu di rumah ya, aku mau urus Vale dulu.” El tidak mendengar jawaban lain selain gumam persetujuan Luna sebelum percakapan berakhir.

Tatapannya teralih pada Vale yang tampak asyik mencicip serabi solo bersama Risa. Dia baru saja hendak mendekati meja yang sama saat melihat dua orang yang familiar tengah mengobrol santai di salah satu meja luar ruangan. Langkah El terhenti, dan untuk beberapa detik nafasnya juga.

Wanita dan pria yang tampak tengah berbicara itu tidak menyadari kehadirannya. Dimata orang lain keduanya terlihat layaknya pasangan paruh baya normal yang sedang menikmati aktivitas sore dengan mencicipi kuliner nostalgia. Tapi El menyadari jika ekspresi tegang menghias wajah keduanya, apapun yang mereka perbincangkan tentulah bukan hal yang baik.

El mendengus sebelum berbalik menuju ke meja tempat dimana keluarganya menunggu. Ya, keluarganya hanya Vale dan Luna serta siapapun yang mereka berdua sukai. Wanita dan pria yang baru saja dilihatnya tidak berada dalam lingkaran itu.

Tidak akan pernah. Karena faktanya keduanya telah membuangnya sejak dia masih bocah kecil tak berdaya.

*****

Luna menyambut kedatangan El dan Vale sambil tersenyum tipis.

“Sudah tidur ya?” katanya seraya bangkit dari sofa dan mengiringi langkah El menuju ke kamar tidur Valeraine.

“Vale kekenyangan,” jelas El. “Dia suka makan selat solo sampai minta tambah, dan dia makan sendiri nggak minta suap.”

“Tumben!” gumam Luna sedikit heran, “biasanya susah minta ampun kalo disuruh makan sayur.”

“Kamu kurang pinter bujuk sih Luv,” timpal El seraya mengecup dahi Vale kemudian menyelimutinya. Tatapannya teralih pada Luna yang menyaksikan tindakannya dari pintu kamar, El menghampiri kemudian merengkuh bahu Luna dengan lengannya, skinship yang kasual tapi nyatanya Luna bisa merasakan kejanggalan pada emosi El.

“Are you ok?”

“Fine,” El menyahut pelan.

“Tapi aku merasa kamu lagi sedih.”

“….”

“El! Kamu mau cerita sesuatu.”

El mengangkat wajahnya dan menatap Luna, tanpa senyum ekspresinya semuram langit di musim penghujan. “Aku melihatnya.”

“Siapa?”

“Perempuan yang melahirkan aku.”

Luna terperangah. Tidak menyangka. Sejak dulu—dari Marshel—dia tahu asal usul El. El tidak menghuni panti asuhan sejak lahir seperti halnya Marshel yang diserahkan oleh neneknya—alias nyonya besar keluarga Halim terdahulu—setelah kematian Laksmi, ibu kandungnya.

Luna membawa El untuk duduk di sofa terdekat, membiarkan lelaki itu sandar di sofa sambil memejamkan mata saat menceritakan semuanya. Tentang masa kecil juga rahasia-rahasia yang dia simpan.

El menghuni panti setelah berusia tujuh tahun, diserahkan oleh pihak kepolisian setelah ditemukan terlantar di sebuah mall tanpa sedikitpun informasi siapa kedua orangtuanya.

El sudah cukup besar untuk dapat mengingat siapa ibu kandungnya, akan tetapi semua orang menertawakannya saat menunjuk Ariadne Belinda, seorang aktris papan atas Indonesia, sebagai ibu kandungnya. Hanya karena kebetulan sama-sama memiliki tampang campuran tidaklah membuktikan kalau dia anak seorang aktris ternama. Terlebih reputasi Ariadne selalu positif di mata publik.

Selama bertahun-tahun El memendam beban itu sendiri, tapi dia tidak berhenti mencari tahu kenyataan yang sebenarnya dan semua bukti-bukti yang berhasil dia kumpulkan sewaktu dia bekerja untuk Luna menjelaskan hubungannya dengan Ariadne namun sayangnya tidak hanya nama Ariadne yang muncul begitu dia menyelidiki masa lalu.

Mengetahui nama pria penyumbang DNA itu hanya membuatnya merasakan kebencian yang lebih besar lagi. Tapi El kemudian memilih untuk menutup semua akses informasi tersebut dari siapapun dan melanjutkan hidup seolah-olah dia tidak mengetahuinya.

“Kamu … tidak ingin menemui mereka?” tanya Luna pelan.

“Untuk apa! Mereka bahkan sudah membuangku.”

“El, aku tahu tidak berhak mengatakan ini tapi kadang luka hati bisa sembuh dengan cara dihadapi bukan dihindari, jika memang kali ini mereka mencarimu maka hadapi, jangan sembunyi. Kamu tidak berhutang apapun sebaliknya merekalah yang berhutang padamu.”

El menyunggingkan satu senyum tipis sebelum dengan tak tahu malu merebahkan kepalanya kepangkuan Luna.

“Pernah, aku bilang sejak kapan aku jatuh cinta sama kamu?”

Luna menggeleng perlahan, itu hal yang selamanya mungkin akan jadi misteri untuknya.

“Saat usiaku 14, aku melihatmu,” suara El terdengar menyerupai bisikan.

“Kamu datang kesekolahku sebagai perwakilan sekolahmu untuk mengikuti kualifikasi pelajar teladan se-Jakarta,” El ingat ketika seorang gadis berseragam sekolah  elit yang turun dari sebuah sedan mewah bersama pengawalnya.

Gadis itu berhasil mencuri rasa kagum banyak mata. Tapi El jatuh cinta bukan karena apa yang dilihatnya secara kasat mata.

“Saat lomba selesai dan kita semua mau pulang aku melihat seorang laki-laki dewasa menghina seorang siswi sekolah lain. Aku nggak terlalu ingat masalahnya … mungkin cuma ketidaksengajaan, tapi laki-laki yang sepertinya preman itu menghina siswi itu dengan kata-kata yang nggak sopan”

Luna menahan nafas. Adegan itu masih terekam jelas dalam benaknya. “Orang itu bilang kalau gadis itu lebih murah dari daging sapi, nggak sebanding sama harga sepatunya yang nggak sengaja ketumpahan air minum anak perempuan itu.”

El tersenyum, “dan kemudian kamu lewat, dengan sengaja justru menumpahkan minuman coklatmu ke tubuh laki-laki itu lalu berkata kalau laki-laki yang bisa menghina harga diri perempuan pastilah dibesarkan oleh perempuan yang nggak punya harga diri juga.”

Luna menahan senyuman malu, “itu bukan hal yang baik dan layak diingat, El.”

“Tapi apa yang sudah dilakukan oleh lidah tajammu mengagumkan,” El menarik tangan Luna, menggenggamnya dan membawanya ke dada kirinya. “Lebih menakjubkan lagi saat aku merasakannya sendiri.”

Meski Luna tidak yakin kalimat El ditujukan untuk aksinya yang mana, tak urung kalimat itu membuat pipi Luna terasa memanas.

“Aku belum pernah bilang terima kasih sama kamu.”

Luna menatap tidak mengerti “Untuk?”

“Mencegahku jadi sampah masyarakat.”

“Antara teman tidak perlu saling mengucapkan terimakasih.”

“Oh! Jadi aku temanmu?”

Luna tersenyum tulus, “satu-satunya.”

“Aku ingin status yang lebih permanen.”

Luna tahu apa yang El maksud, “aku nggak yakin bisa kasih.”

“Kita bisa mencoba,” ketegasan dalam suara El tak terbantahkan, mempengaruhi Luna untuk memikirkan tawaran itu lebih jauh lagi.

“Masih ada perjanjian yang harus kita penuhi, El.”

“Kita bisa membatalkannya, tinggalkan semua ini kita bisa hidup tinggal di luar negeri … kamu bisa kembali bekerja di laboraturium riset teknologi kesehatan seperti yang selama ini kamu lakukan di Belanda, aku bisa kembali jadi pialang saham sambil mengasuh Vale di rumah.”

Luna menarik nafas dalam-dalam, ini mungkin keinginan terpendam laki-laki itu atau justru pelarian dari beban yang selama ini ditanggungnya … hanya saja disaat normal, dalam beban pikiran yang tidak seintens saat ini Luna tahu kalau El lebih memilih untuk meninggalkan rasa aman untuk ambisinya yang lain.

Karena El yang dia kenal terlahir untuk berkuasa, bukan menyerah dan mengabaikan dunia.

“Kalau aku mengundurkan diri dari APT, apa tawaranmu yang dulu masih berlaku Luv?”

“Apa maksudmu?”

“Aku lelah jauh darimu … aku juga lelah merasa sendiri. Aku butuh kamu dan Vale," suara El terdengar berat dan gemetar, benaknya dipenuhi ingatan hari terburuk dalam hidupnya.

Saat pengasuhnya meninggalkannya sendirian di depan pintu toilet wanita. Membuat El menunggu dengan rasa lelah dan takut hingga tiga jam lamanya.

“Aku akan melakukan apapun asal kamu tetap bersamaku, menyerah pada ambisiku, bekerja untuk TIV, bahkan jika itu artinya aku harus selamanya jadi budakmu ... Akan kulakukan.”

El menyerah! Apa mungkin memang bisa semudah dan sesederhana itu.

"El kalau kamu lelah kamu bisa beristirahat sebentar ... Tapi kita sama-sama tahu kalau pilihan untuk menyerah itu tidak pernah ada dalam kamus kita." Tangan Luna terulur mengelus rambut lelaki yang hanya padanya Luna berani menggantungkan harapan.

"Kalau kamu masih ingin melanjutkan pertaruhan kita, aku akan bertahan ... Tapi jika kamu memang ingin menyerah pada ambisiku dan APT  kamu bisa datang padaku kapan saja, aku selalu punya tempat untukmu disisiku.

Tapi untuk menyerah ... Aku tidak akan bisa melakukannya," bukan karena tidak mau tapi tidak bisa, batin Luna dalam hati.

"Karena bahkan untuk menyerah kita masih harus berusaha,” bisik Luna muram. “Karena dunia nggak pernah memberi kemudahan untuk kita,”

"Kenapa tidak bisa?" Potong El getir.

"Karena aku baru saja memulainya," Luna menatap lelaki itu dengan gurat penyesalan lekat pada ekspresinya. "Permainan yang mungkin akan membuatmu semakin membenciku."

tbc

Si babang lagi cengeng, lagi tekanan batin  takut dibuang sampe pengen nyerah aja. Si Mbak juga nyerah (walo gak terlihat) untuk tetep mengikuti cara bisnis pendahulunya.

Udah tau kan kenapa El bisa punya tampang bule kampung  ... Tau juga kan kenapa dia bisa ganteng banget banget! Emak kandung doi aktris jadul cyyyn 🤣🤣


Continue Reading

You'll Also Like

609K 97.1K 39
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
939K 46.1K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.4M 32.3K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
5.4M 449K 63
"Allahuakbar! Cowok siapa itu tadi, Mar?!" "Abang gue itu." "Sumpah demi apa?!" "Demi puja kerang ajaib." "SIALAN KENAPA LO GAK BILANG-BILANG KALO PU...