MAHKOTA KERTAS [tamat]

By fatayaable

28.4K 4.3K 2K

Hai, Pembaca. Perkenalkan namaku Sabrina. Sekarang aku kelas XI di SMA Arcapella. Ya... hidupku biasa saja. A... More

PROLOG
SATU
DUA (a)
DUA (b)
EMPAT
PERKENALAN
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
Trailer
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
EPILOG

TIGA

1.2K 192 144
By fatayaable

Kami tiba di kafe Ice Cream sekitar lima belas menit kemudian. Kafe ini terletak beberapa meter dari sekolah kami, SMA Arcapella. Jangan ditanya bagaimana cara Sadam memangkas waktu normal empat puluh lima menit menjadi lima belas menit.

A-KU I-NGIN MUN-TAH.

Argh....

Aku segera turun dari motor bahkan sebelum motor dimatikan. Aku lari ke sudut pohon dan memuntahkan semuanya.

"Aduh, Bri.... " Sadam berlari ke arahku. Dia menepuk-nepuk punggung dan mengusap tengkuk leherku. "Maaf. Maaf banget, Bri. Gue enggak sengaja."

Aku mengelap mulut dengan baju olahraga. "Sial banget sih hidup gue hari ini, Dam."

Sadam meringis. "Sorry, Bri. Ini salah gue. Gue ngebut banget tadi."

Aku memegang kepala bagian kiri. Migrainku kambuh. Mataku terpejam sesaat untuk menahan rasa sakit.

"Sakit banget, ya? Kita pulang aja, ya!"

Kubuka mata dan terlihatlah wajah bersalahnya.

"Entar gue dimarahin bokap lo gara-gara gagal jaga anaknya."

"Enggak apa-apa, Dam."

"Tapi lo pucet banget, Bri. Gue enggak mau lo kenapa-napa."

Aku terkekeh. "Jangan lebay gitu, ah. Gue kan cewek kuat. Tadi tuh muka gue kedinginan diterpa angin badai pas lo bawa motor."

Sadam tersenyum tipis. "Iya, lo cewek kuat yang gue kenal." Dia melepaskan jaketnya. "Saking kuatnya, kelihatan banget kelemahan lo."

Aku memberengut.

Sadam memberikan jaketnya kepadaku. "Nih, ganti dulu."

Beberapa saat kemudian, aku sudah tampak lebih baik. Aku mengganti bajuku dengan jaket Sadam. Hangat.

Aku juga sudah mencuci muka agar tidak terlihat pucat seperti apa yang dikatakan Sadam tadi. Rambut kuikat tinggi-tinggi. Setelah itu, aku meninggalkan toilet dan menemui Sadam.

Cowok itu masih tampak asyik rupanya dengan ponselnya ketika aku duduk di kursi. Tapi dia sudah memesan minuman. Satu cappucino dengan latte art kesukaannya dan satu susu cokelat panas.

"Mana es krimnya?" tanyaku.

"Lo lagi sakit. Enggak boleh es krim," jawabnya masih dengan posisi yang sama.

"Tapi kan gue mau dinginin kepala, Dam."

Sadam melihatku. Dia menaruh ponselnya di meja. "Dinginin kepala enggak harus pakai es krim, Bri." Dia menggeser susu cokelat ke arahku. "Coba tenangin diri lo dulu. Habis itu lo ceritain ke gue."

Aku mengela napas perlahan. Kupejamkan mata dan kupijit kedua pelipis. Positif thinking, Bri! Come on!

Untuk sepersekian detik aku hanya melakukan hal serupa. Menunggu hatiku tenang itu sulit ternyata.

"Udah?"

Aku mendongak, menemukan tatapan Sadam yang teduh. Kuhela napas sekali lagi, lalu meminum susu cokelat.

"Sekarang cerita." Sadam membenarkan posisi duduknya.

"Lo dulu yang cerita! Siapa Angel?" Nadaku lebih terdengar seperti cewek yang memarahi cowoknya karena kepergok jalan sama cewek lain.

Sadam tergelak. "Lo nanya apa introgasi gue?"

Nah, kan. Wajahku memanas.

"Pipi lo merah, Bri! Lucu!"

Oh, God! Aku langsung menutup kedua pipi dengan kedua tangan. Dan dia semakin terbahak-bahak.

"Oke. Gue pulang." Aku berdiri dan memakai tas. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh, kok pergi?" Sadam menarik tanganku. "Sorry, Bri. Sorry...."

Aku memasang tampang marah. Kalau bisa, ada tanduk merah yang muncul di kepalaku biar dia tahu kalau aku benar-benar marah.

"Sini, Bri. Duduk sebelah gue."

Apa? Aku tak salah dengar, kan?

"Kenapa? Kan di kelas kita duduk sebelahan juga."

Oh, iya. Lupa.

Aku berpindah tempat duduk, tepat di sisi kirinya.

"Udah makan?"

"Udah. Kentang goreng. Terus tadi keluar semua pas muntah."

"Yah, Bri." Sadam menggaruk-garuk kepalanya. "Makan lagi, ya! Gue yang traktir."

"Udah buruan cerita. Enggak usah sok perhatian gitu deh. Pacar juga bukan."

 "Kok gitu ngomongnya, Bri? Jadi, enggak boleh perhatian gitu ke sahabat sendiri?"

Aku terdiam beberapa saat. Bukan memikirkan perkataan Sadam, tapi memikirkan masalahku.

"Lo ngelamun?"

"Dam, kayaknya gue bukan anak kandung dari keluarga Anugerah deh." Aku mengatakannya sambil menatap kosong gelas milik Sadam.

"Ha? Maksud lo?"

Tatapanku beralih ke arah Sadam. "Iya, Dam. Gue tuh ngerasa kayak Cinderella tanpa sepatu kaca."

Sadam menggeleng. "Gue enggak ngerti, Bri. Maksud lo Cinderella gimana? Tapi perasaan hubungan lo sama Om kayaknya baik-baik aja deh."

"Bukan sama Ayah." Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Tapi sama Mama."

Sadam duduk bersandar dan menatapku.

"Gue mulai sadar pas gue masuk SMA. Mama lebih perhatian ke Kak Mia. Sedangkan gue, cuma dipanggil pas Mama butuh sesuatu."

Sadam menarikku dalam rangkulannya. Dia juga membimbing kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Dan aku menangis tanpa suara.

"Gue harus gimana, Dam? Gue mau juga dapet kasih sayang dari Mama. Gue pengin pergi jalan-jalan sama Mama." Air mataku mulai deras. Mungkin Sadam tahu kalau aku menangis.

Sadam memelukku. "Lo harus kuat, Bri. Ada gue di sini. Gue enggak percaya, lho. Enggak mungkin lo bukan anak mereka. Buktinya mirip banget sama Om Anugerah."

Tangisanku tiba-tiba terhenti. Kulepaskan pelukan Sadam. Kuusap pipi secara kasar. "Mirip?"

"Iya. Sikap lo yang mirip banget sama Om Anugerah."

Bahuku merosot. Kata-katanya tidak membantu memperbaiki mood-ku.

"Lo baik, periang, manis, terus—"

Kepalaku tertunduk. "Makasih, Dam. Kata-kata lo udah menghibur gue. Gue capek. Mau istirahat aja di rumah."

"Bri, pokoknya lo harus kuat. Tunjukkin ke nyokap lo kalau lo bisa."

Aku kembali menatapnya.

Sadam menepuk punggung telapak tanganku. "Lo beruntung, Bri. Dan lo harusnya bersyukur karena lo masih punya keduanya. Bokap gue udah enggak ada, Bri."

"Sorry, Dam. Gue lupa." Sebaiknya kusudahi saja percakapan ini. Karena kalau diteruskan, Sadam bisa teringat lagi kejadian yang sempat membuatnya trauma dan aku pun yang melihat kejadian itu shock sampai tak bisa berkata apa pun.

Sekitar satu setengah tahun yang lalu, Om Baruna—ayahnya Sadam—mengalami kecelakaan. Saat itu, beliau sedang menjemput kami ke sekolah. Namun, Sadam bersikap cuek terhadap Om Baruna lantaran sedang ada masalah di antara mereka. Om Baruna melarang Sadam membawa motor sebelum Sadam berusia 17 tahun. Tapi Sadam tetap memaksa untuk membawa motor. Dia berkata kalau dirinya merasa malu karena masih di antar-jemput orang tuanya.

Sadam malah pernah menghilang beberapa hari sebelum kejadian. Seharian dia tidak pulang ke rumah padahal orangtuanya ingin mengajak Sadam bepergian. Aku tahu karena Om Baruna mengajakku. Beliau sampai khawatir takut terjadi apa-apa dengan anak semata wayangnya. Pun Tante Gina—ibunya Sadam—sampai menghubungi polisi lantaran Sadam tidak bisa dihubungi semenjak siang.

Mau tidak mau aku sendiri yang harus mencarinya. Aku mendatangi semua tempat yang suka didatangi Sadam menggunakan sepeda. Selain sekolah, biasanya Sadam akan mendatangi lapangan kompleks, rumah teman lamanya—Neo, atau ke perpustakaan untuk tidur. Tapi untuk apa hari Minggu dia tidur di perpustakaan?

Jadi setelah aku mencarinya di lapangan kompleks, aku mendatangi rumah Neo yang letaknya cukup jauh dari sekolah pukul lima sore. Hasilnya? Nihil! Sadam tidak ada di sana.

Rasanya aku ingin berteriak saat itu juga. Kayak anak kecil banget kan dia? Parah....

Aku sampai berniat untuk menghentikan pencarian ketika aku sudah lelah sekali. Bayangkan saja, aku mengayuh sepeda dari rumah sejauh ribuan meter. Bahkan aku menangis di pinggir jalan raya, yang entah di mana, karena kelelahan.

Malam semakin larut dan Ayah saat itu juga sudah meneleponku berkali-kali sampai akhirnya aku enggan mengangkatnya. Aku sudah janji kepada Om Baruna dan Tante Gina kalau aku akan membawa pulang Sadam. Itu berarti aku takkan pulang tanpa Sadam.

Tangisanku berhenti saat ada seseorang yang menyentuh bahuku. Jantungku seakan berhenti saat itu juga. Bayangan tentang penculik berkedok hitam dengan membawa karung hitam yang akan digunakan menyekapku.

"Bri? Eh, enggak usah ngelihatin gue ampe segitunya."

Aku berkedip pelan. Aku mendengarnya. Tapi pikiranku belum sampai ke tempat ini.

"Wah, parah, nih! Lo beneran sakit." Sadam memegang dahi, lalu turun ke leher. Dia menggeleng. Jemarinya meremas jemariku. "Gue kasih tahu Om Anugerah, ya!"

"Sadam."

"Ya?"

"Lo jangan ngilang lagi, ya." []


♡♡♡

Holaaa 💕

Puas enggak? Part khusus Sadam, nih. Hehehee 😂

Masih kurang? Hmm... 🤔

Sampai jumpa di bab selanjutnya... *tebar lope

Oh ya, aku mau sekalian kasih info ya tentang novel terbaruku. Kali ini diterbitkan oleh Grasindo.

Novel ini sudah ada di seluruh toko buku, lho! Jadi buat kamu yang pengen tahu tentang cerita apa sih ini? Kok judulnya "Athaya & Elgra"? Yukk, langsung aja ke toko buku... 😆

Kalau enggak ada, kamu bisa menemukannya di Shopee or Gramedia.com.

Okay!

Aya

Continue Reading

You'll Also Like

Zero By ASH

Teen Fiction

7.4K 1.6K 45
Saat berumur delapan tahun, Trista mengalami kecelakaan traumatis yang membuatnya kehilangan ingatan. Bertahun-tahun terpisah dengan kedua orangtuany...
175K 33.7K 50
(Tamat) Nama Nindya dianggap terlalu indah untuk gadis berwajah buruk. Kadang kala ada segelintir orang yang menyarankan untuk mengubah namanya menj...
434K 55.6K 36
Campus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona F...
18.3K 2.8K 60
Kinara ingin merasakan dikejar cowok semasa SMA. Dia ingin tahu bagaimana rasanya dicintai. Masalahnya dia tidak menarik dan tidak cantik. Jadi mana...