Red Bird (Bisa Dipesan di Sho...

By RaveindeRave

32.7K 3.1K 557

TERSEDIA DI SHOPEE MAPLE MEDIA [Pemenang The Watty Awards 2019 kategori Fantasi] [The Best Fantasy 2019 in Fi... More

PRAKATA
Nixoid and Four Kingdom Map
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
SEBUAH UCAPAN
Extra Part: His Side Story
HARAP DIBACA, PENTING!
Pemesanan Online

CHAPTER 6

890 139 21
By RaveindeRave

Setetes air mata mengalir di wajah pucat Cametra, ia terus berlari meninggalkan Emily di belakangnya. Ia masih ingat setiap kata yang dikatakan penyihir berambut merah itu pada orang tuanya, semua kata-kata itu terus berputar di kepalanya bagaikan rekaman tanpa henti. Kini, ia tahu takdirnya. Kali ini ia benar-benar ingin menuntut pada takdir itu sendiri, dengan teganya membuat hidupnya terus menderita. Ia kira masa depannya terbentang luas bagaikan samudera, seperti yang diharapkan banyak orang. Nyatanya tidak seperti itu.

Ia tidak akan pernah bertemu dengan rakyatnya nanti, ia tidak akan pernah bertemu dengan cinta sejatinya, dan ia tidak akan pernah mempunyai keturunan. Lebih parahnya lagi, ia mungkin tidak akan pernah bertemu adiknya. Pupus semua harapan dan cita-cita yang sudah Cametra simpan sejak lama. Kini, semuanya hanyalah angan belaka.

Cametra mengurung dirinya di kamar, mengunci kamarnya dengan membekukan pintunya. Teriakan Emily dari luar tidak membuatnya berubah pikiran untuk membuka pintunya, ia ingin sendiri untuk menangisi nasibnya.

Lagi, suara Emily dari luar kamarnya kembali terdengar, diikuti suara benda yang menghantam es tebal di pintu. Tangisan Cametra semakin menjadi, ia membenamkan kepalanya di bantal untuk meredam suaranya. Memo yang melihat majikannya menangis, segera menghampirinya dan ikut tiduran di sana.

"Pergilah Emily, pergi!" teriak Cametra. Ia lalu kembali menangis seraya menatap Memo yang juga menatapnya dengan mata sayu.

Setelah ia berteriak, suara Emily tidak terdengar lagi. Ia yakin gadis itu sudah menyerah, mungkin memilih untuk meninggalkan Cametra seharian menangis atau mungkin dengan setia menunggu di depan pintu.

Cametra mengelus puncak kepala Memo, betapa beruntungnya anjing itu karena tidak harus mengalami kutukan seperti yang dirasakan Cametra atau harus menghadapi kenyataan bahwa hari kematiannya sudah di depan mata. Cametra iri pada anjingnya, ia bertanya-tanya dalam hatinya kenapa ia tidak dilahirkan menjadi hewan saja atau orang biasa yang hidup di desa.

Semua ini tidak akan pernah terjadi jika bukan karena ayahnya. Seharusnya ayahnya bertemu dengan ibunya terlebih dahulu, mungkin Merenorth tidak akan pernah kena kutukan dan ia akan hidup normal. Lagi-lagi Cametra terus menyalahkan takdir, ia merasa tidak terima dilahirkan sebagai putri dari seorang penguasa kerajaan. Jika semua orang menyebutnya beruntung karena dilahirkan sebagai pewaris takhta, maka Cametra menyebut dirinya sial.

"Mama, kenapa saljunya tidak berhenti?" Cametra berjinjit di balkon istana, ia ingin melihat taman istana yang tertutupi oleh benda dingin berwarna putih.

Stella tersenyum tipis, ia menundukkan kepalanya. Cametra yang masih polos menoleh pada ibunya, ia kemudian berlari menghampiri wanita muda itu dan memegang tangan ibunya yang sedang memegang cangkir teh. "Mama kenapa?"

Stella mendongak, salah satu tangannya bergerak menyentuh pipi Cametra yang memucat karena kedinginan. "Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir."

"Baiklah. Tapi Mama, kenapa saljunya tidak pernah berhenti? Mama pernah cerita soal padang rumput yang penuh serangga, aku mau ke sana," ujar Cametra. sekali lagi Stella terlihat tampak sedang menahan rasa sedihnya.

"Kita hanya belum menemukannya," kata Stella seraya meletakkan cangkir teh di atas meja.

"Apa aku bisa menemukannya, Mama?" tanya Cametra. Iris emerald itu mulai berbinar.

"Ya, kau bisa. Kau yang akan mengantarkan kami ke padang rumput itu," ucap Stella dengan nada bergetar.

Cametra kembali menangis, bantalnya sudah basah karena air mata yang tiada hentinya mengalir. Dulu, ibunya memberinya sebuah harapan bahwa ialah yang akan merubah masa depan Merenorth, mengembalikan semua musim, dan kerajaannya akan makmur. Namun kenyataanya memang seperti itu, hanya saja dengan cara yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Cametra merubah posisinya, lantas ia bergumam dengan suara parau, "Kematianku akan mengantarkan mereka menuju padang rumput yang hilang."

❄❄❄

Cametra berlari di sebuah tempat yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, kakinya sama sekali tidak memakai alas dan ia bisa merasakan tanah, kerikil, ranting kering dan rumput yang ada di sana. Tunggu sebentar, ia bisa merasakan semua itu padahal seumur hidupnya ia tidak pernah menginjak benda-benda itu. Ia tidak peduli dengan rasa itu lagi, yang ia pedulikan adalah tujuannya di depan sana.

Mendadak saja ia tidak bisa melihat semua cahaya, hanya pendengarannya yang semakin tajam dan langkah kakinya yang semakin cepat. Ia terus berlari meski kakinya merasakan rasa sakit dari kerikil yang ia injak, dan rasa gatal dari rumput yang mengenai kakinya. Seolah-olah ada yang menuntunnya menuju sebuah tempat yang ia sendiri tidak tahu tempat apa.

Ketika telinganya menangkap sebuah suara air terjun, samar-samar sebuah cahaya tertangkap oleh matanya. Ia bisa melihat kembali, dan dengan senangnya ia berseru kegirangan. Matanya menangkap sebuah pemandangan indah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, air terjun dengan batu-batu kali yang bersinar. Iris emerald itu berbinar, baru kali ini dia melihat pemandangan yang seperti itu.

Namun, air terjun itu berubah warna menjadi merah. Batu-batu kali yang bersinar juga ikut berubah menjadi hitam. Cametra tidak tahu apa yang terjadi, ia sangat ketakutan dan rasanya ingin lari meninggalkan tempat itu. Ia membalikkan badannya, bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara samar membuat bulu kuduknya merinding, kakinya terasa berat hanya untuk sekadar melangkah. Suara itu mulai bergema di sana, mengharuskan Cametra menutup telinganya. Suara itu seakan-akan menyiksanya dari dalam, suara yang tidak ingin ia dengar.

"Kau akan mati, sebentar lagi." Suara itu semakin lama semakin mirip dengan suara Emily, ia mengira gadis itu ada di sana, tetapi di sana hanya ada dia.

"Kau akan mati, Cametra." Kali ini suaranya mirip dengan suara pamannya, lalu kemudian berubah lagi menjadi suara ibunya.

Cametra terus menutup telinganya, memejamkan matanya dan berteriak. Namun, suara itu kembali terdengar oleh indera pendengarannya, kali ini lebih besar dan seolah-olah sedang mengejeknya. "Kau harus mati, kau tidak berguna." Lagi-lagi suara ayahnya yang terdengar kecewa.

"A-aku mohon hentikan!" teriak Cametra. Air matanya sudah merembes keluar, ia sudah tidak tahan lagi dengan semua suara itu. Kali ini semua suara itu bersatu, menyiksa Cametra dengan kata-kata yang membuatnya semakin ketakutan.

Dan ketika suara-suara itu berhenti, Cametra membuka matanya yang basah oleh air mata. Namun, pemandangan di depannya yang membuat jantungnya nyaris lepas. Ia melihat dirinya sendiri dengan lubang di dadanya dan gaun yang dikenakannya berlumuran darah. Dirinya itu berdiri di hadapannya, terlihat sangat pucat dengan lingkaran hitam di matanya.

Cametra terbelalak, ia segara menurunkan kedua tangannya yang tadi digunakannya untuk menutup telinga. Ia mencoba menggerakan kakinya, untungnya kakinya terasa ringan dan dengan cepat Cametra berlari ke arah kegelapan meninggalkan dirinya yang berlumuran darah.

"Kau tidak bisa lari dari kematian!" seru dirinya yang berlumuran darah. Suaranya bergema di sana, membuat Cametra semakin ketakutan dan terus berlari hingga ia tersandung sebuah akar pohon dan jatuh ke jurang menyeramkan yang tiba-tiba saja ada di sana.

❄❄❄

Cametra terbangun dari mimpinya, rasanya seperti nyata mengingat ia benar-benar merasakan semua hal itu. Lalu, ia menyadari bahwa dirinya sudah terjatuh dari ranjangnya. Mimpinya tersandung ke dalam jurang yang menyebabkan ia berada di lantai, dan harus ia akui mimpinya kembali mengingatkannya akan hari kematiannya.

Ia tidak tahu kapan padang rumput—dia menyebut hari berakhirnya kutukan dengan sebutan ini—akan tiba, pasalnya ia sama sekali tidak tahu kapan bulan biru itu datang. Dalam hatinya ia takut akan kematian, apalagi ia tahu bahwa cara ia akan mati adalah dengan dibunuh. Tidur mungkin hanya membuatnya lupa sementara akan nasibnya, tetapi tidur juga bukan cara yang bagus sebab mimpi bisa saja mengingatkannya.

Cametra bangkit, ia menolehkan kepalanya pada jendela yang tertutup tirai. Cahaya mentari menyusup melalui celah-celah, hari sudah berganti itu artinya kematiannya juga akan semakin dekat. Waktunya di dunia semakin sedikit dan ia sama sekali belum melakukan apa pun yang dia inginkan sejak kecil. Kemudian sebuah ide gila muncul di benaknya guna untuk mengatasi kecemasannya akan nasib, ia akan melakukan semua yang ia inginkan sebelum kematian datang. Dimulai dari hal yang paling dekat dengannya, ia ingin dilukis.

Cametra berjalan menuju kamar mandinya, ia sendiri yang menyiapkan semuanya. Berendam di air dengan aroma mawar, mencoba aroma lain selain aroma kesukaannya. Ia menghabiskan setengah jam berendam sampai-sampai airnya mendingin dan kulitnya mengkerut. Lalu, ia sendiri memilih gaun yang khusus dipakai hanya untuk acara penting. Ia menarik keluar gaun berwarna putih dengan renda di bagian atasnya yang jika ia kenakan berada di antara lengan atas kanan hingga kiri menampilkan pundaknya, lengan gaun itu hanya sampai sikunya. Di bagian tengah dadanya terdapat permata berwarna emerald seperti warna matanya. bagian rok dari gaun itu lebar bergelombang dengan tiga lapisan kain di dalamnya.

Cametra membiarkan rambutnya terurai, ia butuh Emily untuk menatanya. Cametra juga mencari-cari sepatu pesta yang biasa ia gunakan, dan setelah mengenakannya ia berlari ke arah pintu yang masih membeku. Kedua tangannya terentang ke samping dengan telapak tangan yang mengarah pada pintu, lalu memutar hingga telapak tangannya menghadap ke atas. Es di sana berubah menjadi air yang bergerak turun lalu berbelok ke kanan dan kiri tepat sebelum menyentuh lantainya, air itu kemudian naik ke atas dan membentuk sebuah partikel-partikel kecil seperti salju. Begitu Cametra menyatukan kedua tangannya, partikel-partikel itu berubah menjadi kerlip-kerlip dan hilang.

Ia membuka pintunya, melongokkan kepalanya di sana berharap Emily ada di luar. Kenyataannya tak ada seorang pun di sana, begitu sepi seperti semua orang tengah berkumpul di suatu tempat. Memo anjingnya berlari meninggalkan Cametra, membuat ia terpaksa harus mengejarnya. Anjingnya itu terkadang tidak suka lama-lama berada di kamar Cametra kecuali ia tahu apa yang sedang terjadi pada majikannya, Memo sangat suka berdiam di diri di dapur memandangi para koki memasak.

Anjing itu memang tidak berlari dengan cepat, tetapi mampu membuat Cametra kewalahan karena ia menggunakan sepatu untuk pesta. Begitu jaraknya sudah dekat dengan Memo, ia langsung meloncat untuk menangkapnya. "Memo." Ia tidak sadar sudah berlari mengejar Memo sampai ke koridor menuju istana utama, yang kebetulan dua orang dewasa muncul dari arah koridor kanan istana utama.

"Kenapa kau menggunakan gaun itu, Camie?" Cametra mendongak saat menyadari ada yang bertanya padanya, ia kemudian lekas berdiri dan menatap lawan bicaranya dengan mengangkat dagunya.

"Aku ingin dilukis menggunakan mahkota dan duduk di kursi takhta," ucap Cametra dengan nada yang formal, seakan-akan ia berbicara pada para pelayan.

"Apa yang kau pikirkan, Nak?" tanya ayahnya yang juga berada di sana.

Cametra mengedikkan bahunya. "Siapa tahu aku tidak pernah menyentuh mahkota atau duduk di atas kursi tahkta," kata Cametra dengan nada sinis, terselip rasa sedih di antara kata-kata itu.

Stella dan Aelius saling menatap dengan mata terbelalak, mereka tak percaya bahwa putrinya berkata demikian. Stella kemudian mengangguk pada Aelius, menyetujui ide Cametra demi membahagiakannya. Aelius mengembuskan napas gusar, lalu mengangguk pada Cametra.

"Baiklah, akan kupanggil pelukis terbaik kita. Tapi, rapikan dulu rambutmu." Mendengar kalimat itu langsung membuat Cametra tersenyum senang, ia kemudian lekas berlari mencari Emily dengan menggendong Memo. Ia tahu harus mencari Emily ke mana, karena gadis itu selalu berada di sebuah tempat jika ia tidak bisa ditemui di mana pun. Emily sangat suka berdiam diri di dalam tumpukan buku, di mana lagi kalau bukan perpustakaan.

Dengan cepat ia berlari ke arah perpustakaan, mencari sosok gadis yang menjadi temannya itu. Namun, Emily tidak ada di sana, tidak seperti biasanya ia tidak ada di sana. Maka, Cametra bertanya pada setiap pelayan yang ia temui di mana keberadaan Emily, tetapi tak ada satu pun yang mengetahuinya.

Kedua tangannya terasa kebas karena terus menggendong Memo, akhirnya Cametra menurunkan anjing itu dan membiarkannya berlari mendahuluinya. Cametra tidak tahu harus mencari ke mana lagi, maka ia memutuskan untuk merapikan rambutnya sendiri, menatanya sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Saat Cametra membuka pintu kamarnya, alangkah terkejutnya ia melihat sosok seorang gadis tengah merapikan hiasan rambutnya. Tidak salah lagi bahwa gadis itu adalah Emily, dengan cepat Cametra menghampirinya dan memeluk Emily.

Gadis itu tentu saja terkejut karena dipeluk secara tiba-tiba oleh Cametra, mereka kemudian saling memandang dan Cametra tersenyum padanya. "Bisa kau bantu aku menata rambutku? Aku akan mengenakan mahkota."

Emily yang terkejut ingin sekali bertanya kenapa Cametra akan mengenakan mahkota, setahunya hari ini tidak ada acara yang mengharuskan ia mengenakan mahkota. tetapi pertanyaan itu diurungkan karena ia takut akan membuat Cametra kembali mengingat kejadian semalam dan bersedih. Maka Emily menyanggupinya, ia meminta Cametra duduk dan gadis itu akan menata rambut Cametra sebagus mungkin.

❄❄❄

Keinginan pertama Cametra terkabul, ia menggunakan mahkota dan duduk di kursi takhta. Seorang pelukis terbaik juga dipanggil untuk membuat potret dirinya. Dengan mengenakan jubah kerajaan, mahkota emas bertahtakan permata rubi dan safir. Mungkin mahkota itu tampak kebesaran untuk ukuran kepala Cametra, namun ia tetap senang memakainya. Ia terlihat seperti seorang ratu yang baru saja dinobatkan.

"Mama, menurutmu apa aku bisa jadi ratu?" tanya Cametra membuka percakapan.

Stella menoleh pada Aelius yang duduk di sampingnya kirinya, lalu ia menoleh pada Emily yang juga duduk di sisi kanannya. "Tentu saja, kau bisa."

"Boleh aku mencoba sehari saja menjadi ratu?" tanya Cametra lagi. Senyuman di wajahnya tidak memudar karena ia ingin dilukis dengan sebaik mungkin.

Aelius mengembuskan napas pelan, ia merasa bahwa keinginan putrinya terlalu berlebihan. Ia hendak berkata tidak namun dicegah oleh Stella, lirikan mata Stella mengisyaratkan agar ia mau mengabulkan semua permintaan Cametra. Dengan terpaksa, Aelius mengatakan Cametra boleh melakukan tugas seorang ratu, dan ia akan dibantu langsung oleh Aelius dan Stella.

Tentu saja Cametra senang, ia akan merasakan satu hari menjadi ratu. Meski hanya satu hari, ia akan terus menikmati tiap detiknya yang berharga.

❄❄❄

Aelius menunjukkan beberapa dokumen kerajaan yang harus ditanda tangani oleh raja, semua dokumen yang ia tunjukkan merupakan dokumen Kerajaan Merenorth. Jadi, ia pikir Cametra mungkin ingin mencoba untuk melihat-lihat dokumen milik Weldorf yang berada di ruang kerja ibunya.

Tetapi Cametra menolak, ia ingin berada di kantor ayahnya dan membiarkan ayahnya menjelaskan semua hal mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh pemimpin kerajaan, meski sebenarnya hanya ini satu-satunya cara ia bisa dekat dengan ayahnya. Ia mencoba duduk di kursi yang biasa ayahnya duduki, ia menyukainya dan bersikap seakan-akan ratu bukan seorang putri lagi.

"Apa semua dokumen ini harus ditanda tangani?" tanya Cametra dengan dua lembar kertas di tangannya. Matanya sibuk melihat satu persatu dokumen kerajaan.

"Ya, tapi ada juga yang harus kau cap dengan stempel kerajaan." Aelius mengeluarkan sebuah benda yang biasa ia gunakan untuk mencap dokumen dari laci kerjanya, ia menunjukkannya pada Cametra. "Dengan ini kau mencap dokumen kerajaan."

"Aku ingin mencobanya," kata Cametra seraya meletakan semua dokumen di tangannya.

"Tak ada dokumen yang harus diberi stempel, Cametra. Hanya yang harus ditanda tangani saja, dan ...." Aelius sengaja menggantung perkataannya, membiarkan Cametra menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Cametra kemudian menggerakkan kepalanya, ia tersenyum simpul dan kembali melihat-lihat dokumen yang ada di meja ayahnya. "Hanya kau yang bisa menandatangani semua ini, baiklah."

Semua tugas dan kebiasaan seorang ratu dilakukan oleh Cametra, meski tidak semuanya benar-benar dilakukan. Tetapi semua keinginan Cametra ternyata membuat Aelius jengkel, sebaliknya untuk Christopher yang menganggapnya sebuah hiburan. Ke mana pun Cametra pergi, ia diikuti oleh ayah dan pamannya, juga Emily yang berperan sebagai penasihat pribadinya walau hanya bersifat sementara.

Bahkan, Cametra meminta agar ia duduk di kepala meja untuk hari itu saja setiap ada acara makan. Ia mencoba untuk makan seperti seorang ratu, dan meminta semua orang yang hadir di meja makannya untuk berhenti makan setelah ia berhenti. Ia juga meminta koki untuk membuat makanan yang paling enak.

Setelah dessert-nya habis, Cametra berdiri dan meninggalkan meja makan. Semua orang harus menunduk hormat padanya, sampai ia benar-benar meninggalkan meja makan. Emily juga ikut pergi meninggalkan meja makan, mengekor pada Cametra. Setelah dua orang itu benar-benar meninggalkan ruang makan, Aelius mengumpat keras.

"Oh ayolah, itu hiburan sederhana untukku," ledek Christopher pada kakaknya itu. Yang lainnya hanya terkikik pelan.

"Keinginannya berlebihan, dia malah bertindak kurang ajar." Aelius mengempalkan tangannya menahan emosinya.

Bovel menatap Chrisopher yang malah terkikik mendengarnya. "Bagaimana jika itu adalah keinginan terakhirnya?" ucap penyihir berambut merah itu. Bovel tahu tampaknya Aelius tidak senang dengan perlakuan putrinya hari ini.

"Ini demi kebaikannya juga, apa yang membuatmu berpikir kalau ia bertindak kurang ajar?" ucap Stella pelan. Tangannya bergerak mengelus perutnya yang sudah membesar.

"Ia memintaku untuk membiarkan ia memberi cap di dokumen, kaupikir itu hanya sebuah permainan? Lalu ia meminta kita seakan-akan kita pelayan pribadinya, ia duduk di sana dan tidak membiarkan kita menikmati makanan penutup. Nanti, apalagi? Bermain catur layaknya orang dewasa?" Aelius berdiri menatap semua orang yang ada di meja, ia tampak tidak menyukai perilaku berlebihan putrinya padahal semua yang dilakukan Cametra hanyalah sebagai bentuk untuk mendapatkan perhatian ayahnya.

"Hanya sehari, jadi biarkan saja." Ucapan Stella terpotong saat suara hentakan kaki terdengar. Mereka berempat menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Cametra menatap mereka dengan air mata yang berlinang. "Camie ...."

"Kau menganggap aku kurang ajar? Yang aku inginkan hanya semua keinginanku terkabul sebelum aku mati. Aku ingin kau memperhatikanku sehari saja, oh ... atau jangan-jangan aku bukan putrimu." Cametra mengusap air matanya yang mulai menetes, ia segera berlari meinggalkan ruang makan.

Semua orang yang berada di meja langsung berdiri, terkejut dengan perkataan Cametra. Stella menatap Aelius nanar, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengejar putrinya. Namun, karena beban tubuhnya yang berat, ia tidak sanggup untuk berlari. Bovel meminta Stella untuk tidak kelelahan mengantarkan wanita itu ke kamarnya, dan ia sendiri yang akan menemui Cametra.

Christopher menatap kakaknya dengan datar. "Dia akan mati? Apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Dia syarat kutukan itu, Chris," kata Aelius pelan. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, dirinya masih terkejut dengan kata-kata Cametra sendiri.

"Oh Tuhan, ini bencana." Ujung bibir Christopher tertarik ke atas, menampilkan senyum licik. Sedangkan, Aelius mengacak rambutnya kasar.

❄❄❄

Saya belum sempat cek apakah ada typo atau tidak. Mohon maklum ya karena saya juga akhir-akhir ini sibuk sama tugas akhir tahun sebelum UAS yang diundur jadi januari.

Terima kasih telah membaca cerita saya.

Cimahi, 18 Desember 2018

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 214 24
𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠𝐚𝐝𝐮𝐥𝐭 15+ || 𝐂𝐚𝐦𝐩𝐮𝐬 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 Zenita itu seperti titik di mana angin tenggara dan angin timur saling bertemu, iya benar, dalam...
2.7K 240 3
Rank #6 Filsafat Desember 2019 #2 Humanity Maret 2021 #3 Kontes April 2021 Kisah tentang krisis di seluruh dunia di abad 25 yang berakibat kehancuran...
42K 3.8K 37
[BOOK #1 COMPLETED | BOOK #2 ONGOING | Fantasi] UPDATE SETIAP MINGGU Karya ini dilindungi UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014. "Bagaimana rasanya menjadi a...
28.8K 2.8K 14
(Underground Bullet case:01) Elena Grimm sudah sebulan tinggal di underground bersama para member UB. Tapi tetap saja dia tak bisa membaur dengan Ron...