Pekan Mimpi

By SynSarayu

71 4 0

Aku adalah impi yang tertunda Atau bahkan tak terwujud sama sekali Aku hanya mampu berdiri, berjalan Mengikut... More

Mimpiku Itu adalah ...

Melalui Musik

20 1 0
By SynSarayu

Hola, hola .. tandai ya kalau ada typo. Jangan lupa komen. Enjoy the story ..

Salam Syn

***

aku tak pernah tau apa itu kamu
yang cukup kutahu
hanya sebuah 'aku yang cinta padamu'
sesederhana itu

***

Bosan. Satu kata itu yang membuatku dijuluki dengan cewek-yang-memiliki-hobi-bernyanyi. Awalnya, aku bernyanyi karena aku bosan. Tapi, saat aku melihat dia yang sedang bernyanyi di acara hari ulang tahun SMA, aku mulai suka bernyanyi. Benar-benar suka.

Saking sukanya, aku mengikuti ekstrakulikuler musik. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, sampai aku, dengan keberanian yang sebesar biji jagung, masuk ke kawasan anak-anak yang memiiki bakat itu.

Namun, dari situlah aku mengerti apa itu perjuangan.

***

"Lana! Nadamu kurang tinggi!"

Teriakan keras dari Kak Anas—pembina sekaligus pelatih ekskul musik, membuatku menghentikan nyanyiku sejenak. Padahal baru akan masuki bagian reff-nya.

"Ulangi dari awal! Kalau kamu tidak bisa mengeluarkan nada tinggimu, kamu akan saya ganti dengan Ambar," ancam Kak Anas. Wajahnya menatapku galak. Menandakan bahwa apa yang ia ucapkan tidak main-main.

Aku menghela nafas dengan lelah sebelum menanggapi perkataan Kak Anas, "iya kak. Maaf."

Saat ini kami sedang berlatih untuk persiapan lomba Band tingkat provinsi yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Entah keberuntungan dari mana yang membuatku terpilih menjadi vokalisnya. Ada perasaan senang sekaligus cemas ketika aku mendengar kabar besar ini. Senang karena ini pertama kalinya aku akan tampil di depan umum, dan rasa cemas karena aku takut, aku tidak mampu menampilkan yang terbaik.

Sesuai dengan lagu-lagu yang ditentukan dalam Perfect Pitch—nama perlombaan yang akan kami ikuti, kami memilih lagu Mimpi dari Anggun, dan lagu kedua, kami memilih Kita Bisa dari Ran yang berduet dengan Tulus.

Dan karena lagu Anggun terdapat banyak sekali nada tinggi—yang membuatku kesulitan, maka aku harus berlatih setiap hari setelah jam pelajaran selesai. Mengesampingkan waktu untuk mengistirahatkan otakku setelah dari pagi sampai sore dijejali oleh berbagai macam mata pelajaran yang membuat pusing.

"Cukup buat hari ini. Setelah beres-beres nanti kalian boleh pulang. Dan untuk kamu, Lana, jangan lupa buat selalu latihan," kata Kak Anas. Dia mengakhiri sesi laihan kali ini dengan tak lupa memberikan kata-kata yang selalu sama padaku.

Memang benar apa yang dikatakan Kak Anas, bahwa aku harus selalu latihan. Apalagi jika disangkut pautkan dengan nada-nada sulit yang tak terlalu aku kuasai. Tapi, apakah dia tidak biasa, sekali saja, untuk memberikan apreasiasi mengenai hasil usaha disetiap latihan?

Yang dapat aku lakukan hanya bisa mengangguk sebagai jawabannya. Kemudian setelah itu, Kak Anas keluar dari ruang latihan dengan langkah mantap tanpa menoleh kebelakang, meninggalkan aku dan teman bandku manatap punggungnya.

Aku menghela nafas—lagi. Entah, sudah berapa kali aku melakukannya. Mataku mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang latihan. Dan di sana, aku menemukannya. Dia, Genta—kakak kelasku, sedang merapikan gitar akustik kesayangannya. Aku tersnyum sebentar melihatnya, lalu mengalihkan pandanganku ke arah yang lain. Takut, kalau aku berlama-lama memandangnya, dia akan memergokiku menatapnya dengan pandangan kagum. Ya, hal itu yang membuatku malu.

Jadi, yang bisa kulakukan selama ini, hanya bisa menatapnya diam-diam. Dari kejauhan yang sekiranya dia tidak akan tahu bahwa aku, Lana, selalu menatapnya

"Sabar ya Lan buat ngehadapin Kak Anas," tiba-tiba saja perkataan Sandy membuatku terbangung dari lamunanku tentang Genta. Dia adalah pemain keyboard disini.

Aku menatapnya dengan senyum lemah. Kemudian menanggapi perkataannya dengan nada yang sebisa mungkin biasa. "ok!! Thanks yaa."

Sandy mengangguk sekali melihat responku. Tak lupa acungan jempolnya sebagai tambahan semangat untukku. Kemudian, tak lama setelah itu, dia berpamit akan pulang terlebih dahulu, "gue duluan ya Lan."

Kubalas pamitan Sandy dengan anggukan mantap. Dan tak lupa seruan hati-hati kuberikan padanya. Setelah itu aku melihatnya membuka pintu ruangan dan menghilang dibalikknya. Menyisakan aku, Genta, Lisa—pemain Bass, dan Andi—pemain Drum. Setelah Lisa dan Andi meninggalkan ruangan, aku mulai lagi membuka suaraku untuk bernyanyi—latihan lebih tepatnya.

Berkali-kali aku mencoba mengeluarkan nada tinggiku untuk menyamai Anggun, tetap saja, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyemai nada suara Anggun.

Kepalaku tertunduk dengan begitu dalam. Kedua bahuku terkulai dengan lemah. Tubuhku merosot dengan sendirinya. Membuatku terduduk dilantai cokelat ruang latihan ini.

Sedikit demi sedikit, mataku mamanas. Lalu kurasakan cairan bening mengahalangi bola mataku. Pandanganku kabur seketika. Rasanya, aku ingin mengungkapkan rasa tidak sanggup dan tidak bisaku. Tapi aku tak mau menyerah begitu saja.

Namun, aku tidak menemukan solusi untuk mengatasi masalah ini. Apa yang harus aku lakukan?

"Kalau lo hanya sekedar nyanyi, lo nggak akan bisa buat nada tinggi kayak Anggun. Mungkin lo emang nggak bisa, tapi nyanyi nggak selalu tentang nada tinggi yang bisa memukau para penonton."

Tubuhku tertegun mendengar penuturan dari Genta. Pelan memang, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Dengan perlahan, aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya. Pandanganku sedikit terhalang air mata yang siap tumpah. Tapi, aku masih bisa menatap wajahnya dengan sangat jelas. Menatap bola mata sepekat langit malam itu yang tengah menatapku dengan pandangan yang akku ragu untuk mendeskripsikannya. Dia menatapku seolah-olah dia percaya bahwa aku bisa? Apa aku tidak salah liha?

Aku mengerjapkan mataku. Di saat yang sama aku melihat Genta berdiri dari duduknya, dan berlalu pergi dengan tas gitarnya, meninggalkanku terduduk sendiri.

Apa masudnya itu?

***

Siang dan malam yang cepat berganti membuatku semakin merasakan kegugupan. Tak terasa sudah kurang dua hari menuju acara itu.

Dan sejak dua minggu yang lalu aku tidak pernah bertegur sapa lagi dengan Genta. Genta memang cowok yang pendiam, tapi ketika gitar kesayangannya berada didalam pelukannya, dia tak terlihat seperti cowok yang pendiam. Bagiku, Genta mengekspresikan apa yang dirasakannya dengan nada-nada yang keluar dari petikan tangannya. Nada-nada yang dapat membuatku—khususnya, ikut tersenyum ataupun bersedih ketika aku menyimaknya. Dan aku juga ingin bisa seperti itu. Mengekspresikan apa yang aku rasakan lewat lagu yang kunyanyikan.

Benar apa yang dikatakan oleh Genta dua minggu yang lalu bahwa bernyanyi tidak selalu berurusan dengan nada tinggi untuk membuat para penonton untuk terkesima. Tapi, bagaimana penyanyi itu bernyanyi dengan rasa. Seolah-olah, dia telling story menggunakan lagu yang dia nyanyikan. Bercerita. Mendongeng.

"Ini adalah hari terakhir kalian berlatih," Kak Anas memulai percakapan pagi itu.

Kak Anas berdiri ditengah-tengah ruang musik dengan dikelilingi anggota band yang akan tampil. Matanya dengan teliti menatap kami satu persatu. Meyakinkan bahwa hal ini adalah hal yang berharga. Tidak ada kata main-main lagi. Membuatku semakin gugup saja.

"Jadi latihanlah dengn maksimal hari ini. Dan untuk besok, kalian boleh istirahat di rumah, mempersiapkan diri untuk lusa. Jangan pikirkan menang atau kalah, pikirkanlah bahwa kalian akan tampil dengan baik dan lancar," sambung Kak Anas sebelum memulai sesi latihan hari ini.

Mataku mengedar menatao satu persatu temanku. Mereka terlihat tenang. Apa hanya aku saja yang merasa gugup disini?

"Oh ya Lana saya suka dengan apa yang kamu improvisasi di langunya Anggun," pujian dalam kalimat Kak Anas membuatku tesenyum senang. Rasa gugupku berkurang meskipun hanya sedikit.

"Makasih kak," ucapku pada Kak Anas yang hanya dibalas dengan anggukan kepala.

Dan setelah itu latihan benar-benar dimulai.

***

Hari ini pun datang juga.

Saat ini kami sedang berkumpul di belakang panggung tempat acara berlangsung untuk menunggu gilaran Band kami tampil. Dan selama itu, aku tidak pernah berhenti untuk menggosok-gosokkan kedua telapak tangangku. Tak cukup dengan itu, aku juga setiap lima menit sekali selalu berdiri dari dudukku dan berjalan mondar-mandir di depan teman-teman bandku. Kalau tau perasaan gugup sebegini menyiksanya, aku tak akan mau menerima tawaran ini dulunya.

"Lo nggak bisa duduk ya? Dari tadi mondar-mandir mulu," perkataan Lisa membuatku berhenti dari aktivitasku untuk menenangkan diri.

Aku menatap sekelilingku dan memperhatikan satu persatu wajah teman-teman bandku. Mataku memperhatikan Genta sedikit lebih lama dari yang lain. Dan kulihat dia juga sedang memperhatikanku, lalu tiba-tiba dia tersenyum tipis yang ditujukan—mungkin, untukku. Aku membalas dengan senyum tipis yang sedikit ragu.

Kemudian kulihat Genta berdiri dari duduknya dan berjalan ke arahku.

"Lo pasti bisa," Genta berkata setelah dia berdiri tepat di depanku. "gue yakin lo pasti bisa."

Genta menepuk bahuku dua kali dan tepat setelah itu aku mendengar pemandu acara memanggil nama band kami untuk tampil. Tanpa ragu lagi aku melangkahkan kakiku menuju panggung diikuti oleh yang lainnya.

Mungkin jika aku tak bertemu dengan Genta, yang membuatkuku—dengan nekat, masuk eksktrakulikuler musik, aku tak akan pernah tahu tentang apa itu "musik".

Bisa saja sampai saat ini aku akan bernyanyi dengan asal-asalan, dan tak pernah memahami pesan apa yang ada di dalam lagu yang aku nyanyikan. Namun, sekali lagi aku merasa beruntung bisa bertemu dengan Genta.

Meskipun aku tahu, dia tidak mungkin membalas perasaanku yang satu ini. Aku ingin menyatakannya. Tentang aku yang jatuh cinta padanya melalui musik yang menjadi perantaranya. Aku ingin mengatakannya. Tentang aku yang menyukainnya melalui gitar akustik kesayangannya yang menjadi pelengkapnya. Aku ingin mengungkapkannya. Tentang aku yang mengangguminya melalui perilakunya padaku yang menjadi ciri khas bagi seorang Gentara Raharja. Namun aku tidak bisa. Tidak mungkin malah. Karena aku tahu, bahwa dia memiliki apa yang dikaguminnya sendiri.

Terima kasih Genta, karena melalui musik aku tahu apa itu "perjuangan".

The End

Continue Reading

You'll Also Like

3.9M 158K 69
Highest rank: #1 in Teen-Fiction and sci-fi romance, #1 mindreader, #2 humor Aaron's special power might just be the coolest- or scariest- thing ever...
90.1M 2.9M 134
He was so close, his breath hit my lips. His eyes darted from my eyes to my lips. I stared intently, awaiting his next move. His lips fell near my ea...
84.6K 1.9K 49
Alissa Iris De León the daughter of both the Spanish and Italian Mafia. A week after she was born she was sent away from her 2 brothers to live with...