Red Bird (Bisa Dipesan di Sho...

بواسطة RaveindeRave

32.6K 3.1K 557

TERSEDIA DI SHOPEE MAPLE MEDIA [Pemenang The Watty Awards 2019 kategori Fantasi] [The Best Fantasy 2019 in Fi... المزيد

PRAKATA
Nixoid and Four Kingdom Map
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
SEBUAH UCAPAN
Extra Part: His Side Story
HARAP DIBACA, PENTING!
Pemesanan Online

CHAPTER 3

1.6K 194 36
بواسطة RaveindeRave

Di dalam gelapnya sebuah ruangan, muncul sebuah cahaya berwarna biru terang yang menyilaukan mata. Sinar itu kemudian berputar-putar di atas sebuah batu raksasa berbentuk meja dan memunculkan seekor burung merah darah berukuran besar. Warna iris matanya bagaikan putih susu dengan warna hitam tipis melingkar di pinggir irisnya. Di puncak kepala burung itu bertengger manis sebuah mahkota dengan bingkai perak yang mengkilap dan batu safir yang bercahaya. Burung itu tidak bergerak, iris matanya menatap pada satu objek hidup di depannya. Menatap Cametra yang berdiri di sana.

Kini, cahaya lain dengan asap hijau bergerak vertikal, membentuk sebuah pola zig-zag di samping batu, memunculkan sebuah bayangan yang menjelma menjadi seorang wanita cantik. Wanita itu mengenakan sebuah jubah berwarna hijau zamrud, gaun hitamnya tertutupi di balik jubah. Rambutnya yang berwarna pirang keemasan dibiarkan terurai. Warna iris mata wanita itu sangat mirip dengan warna batu safir di mahkota burung merah darah.

Wanita cantik yang tidak diketahui namanya itu bergerak perlahan, mengitari meja batu sambil menyentuh burung merah darah di atasnya. Tangan kirinya yang berada di balik jubah, mengeluarkan sebuah belati dengan gagang perunggu. Wanita itu lalu berhenti tepat di depan Cametra, wajahnya menatap burung merah darah itu dengan sinis. Cametra yang penasaran berjalan ke samping meja batu, melihat apa yang dilakukan wanita itu.

Wanita itu merentangkan tangannya, ia menengadah sambil memejamkan mata. Cametra ikut menengadah, iris emerald-nya menangkap sebuah objek bulat berwarna biru di atas langit. "Bulan biru?" gumam Cametra. Kepala Cametra bergerak cepat saat menyadari sebuah sulur bercahaya biru mengelilingi belati, seolah tak percaya apa yang baru saja ia lihat.

Angin berembus di sekitar mereka, tepat saat wanita itu mengucapkan sebuah kalimat yang tidak bisa didengar jelas oleh Cametra. Kedua tangan wanita itu memegang belati, lalu tangan kanannya mengambil alih belati dan mengarahkannya pada burung merah darah. Ia menarik napasnya, iris biru safir itu menatap burung merah darah. Sebuah senyuman penuh kemenangan muncul di wajah cantik itu, dan bibir tipisnya membisikkan sebuah kalimat yang terdengar samar oleh Cametra.

"Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanya Cametra dengan nada tidak percaya.

Tangan kiri wanita itu mengelus sayap burung merah, sebelum akhirnya ia menancapkan belati itu tepat di dada burung merah darah. Wanita itu tertawa puas penuh kemenangan, dan awan hijau muncul dari balik gaunnya, membungkus wanita itu hingga lenyap. Cametra menatap burung merah darah yang sudah tidak bernyawa dengan sedih, ia tidak suka binatang itu disakiti. Tangannya terulur untuk menggapai burung merah tetapi, ia merasakan sesuatu tersangkut di kerongkongannya.

Cametra mencoba untuk mengeluarkan benda apa pun yang ada di kerongkongannya. Ketika ia memuntahkan apa yang menjadi penyebabnya, Cametra terkejut melihat gumpalan merah kental. Darah, itu darahnya. Rasa sakit juga dirasakan di dadanya, seperti sebuah benda tajam baru saja ditancapkan di sana. Cametra menyentuh dadanya, jari-jarinya merasakan basah pada baju yang dikenakannya. Ia menunduk untuk melihatnya, rembesan darah melebar di sana. Bersamaan dengan itu, penglihatannya mulai buram. Kegelapan siap menyambutnya, membawa Cametra bersama sang kegelapan. Tepat setelah Cametra kehilangan seluruh kesadarannya.

❄❄❄

Cametra terbangun dari mimpinya, napasnya terengah-engah. Burung yang ia lihat di dalam mimpi adalah perwujudan dirinya, seekor burung merah darah dengan mahkota safir. Tangannya bergerak cepat meraba dadanya, ke tempat jantung berada. Tak ada luka di sana, tak ada rasa sakit, tetapi ia bisa merasakan detak jantungnya yang tidak santai.

Mimpi barusan benar-benar mimpi terburuknya, sebelumnya ia tidak pernah bermimpi akan dibunuh oleh seseorang. Dibunuh tepat saat bulan biru, momen di mana seluruh kekuatan makhluk supranatural beregenerasi lagi.

Cametra mengingat kembali mimpinya, wanita yang membunuh dirinya sangat cantik dan ia tidak pernah bertemu wanita itu sebelumnya. Cametra percaya bahwa mimpi biasanya berdasarkan apa yang dilihat oleh seseorang dan yang pernah dialaminya. Tapi sosok wanita pirang itu tidak pernah ditemui Cametra seumur hidupnya, dan Cametra mengakuinya bahwa kecantikan wanita itu seperti malaikat. Mungkin malaikat maut sebab ia membunuh Cametra di dalam mimpi. Dan lagi, Cametra yakin wanita itu adalah seorang penyihir. Apa pun yang wanita itu ucapkan dalam mimpinya, bisa jadi sebuah mantra yang entah mantra apa.

"Itu hanya mimpi," ucap Cametra menenangkan dirinya sendiri.

Pintu kamarnya terbuka, membuat Cametra terkejut, sosok ibunya-Ratu Stella-muncul dari balik pintu. Senyuman khas keibuan menyelimuti wajahnya, Ratu Stella datang membawa sebuah kotak besar. Di belakang Ratu Stella, Emily membawa sebuah nampan berisikan sarapan untuk Cametra.

"Selamat pagi," ucap Ratu Stella seraya mempercepat langkahnya. Ia meletakan kotak besar itu di hadapan Cametra dan langsung memeluk putrinya. "Selamat hari ulang tahun, Putriku."

"Terima kasih, Mama." Cametra tersenyum di balik pelukan sang ibu, namun senyumnya memudar saat ia mengingat mimpinya. Hari ulang tahun dengan mimpi kematian.

Ratu Stella melepaskan pelukannya, ia menatap putrinya yang semakin hari semakin cantik. Namun, kulit Cametra juga semakin memucat. "Kau sudah tumbuh besar dan semakin cantik."

"Seperti kau," tambah Cametra. Ia menoleh pada Emily yang baru saja membukakan tirai jendela, dan membiarkan cahaya mentari masuk ke kamar. Tidak seperti biasanya tumpukan salju itu tidak menutupi sebagian tinggi jendela, kali ini salju seakan lenyap. Mata Cametra bisa melihat langit Merenorth yang masih ditutupi awan putih, dan ia kembali teringat akan burung merah darah yang biasa terbang di pagi hari.

"Ayo buka hadiahnya," pinta Ratu Stella, mengalihkan perhatian Cametra.

Gadis itu membuka kotak pemberian ibunya, dan ia sangat senang saat melihat isi dari kotak tersebut. Sebuah gaun berwarna biru safir, dengan taburan kristal di bagian pinggangnya. Gaun ini menjadi gaun pertama yang Cametra miliki, sebelumnya ia tidak memiliki gaun seperti itu. "Ini indah sekali, Mama." Cametra kembali memeluk ibunya.

"Kau mau menggunakannya untuk malam ini?" tanya Ratu Stella. Cametra membalas pertanyaan ibunya dengan anggukan.

❄❄❄

Di bawah lampu kristal yang menggantung, Cametra duduk dengan tenang. Matanya terpejam, kedua telapak tangannya saling menumpu. Pikirannya difokuskan pada satu hal, seekor burung merah yang keluar dari dirinya. Lalu, kedua tangan Cametra digerakan ke belakang, mengayun yang kemudian berubah menjadi sayap besar dengan bulu semerah darah. Tubuh Cametra juga mengikuti perubahan wujud itu. Kini, di bawah lampu gantung bukanlah Cametra dengan wujud manusianya, melainkan seekor burung merah darah dengan mata seputih susu dan mahkota safir di puncak kepalanya.

Cametra dalam wujud burung, terbang mengitari ruangan sebelum akhirnya melesat keluar melalui jendela terbuka. Ia terbang mengamati kerajaannya, mengamati keadaan Kota Mere yang sudah lama tertutupi salju. Cametra tahu, setiap satu hari di setiap tahunnya salju akan meleleh meski hanya sedikit. Hari di mana awan putih yang selalu menurunkan salju lenyap, digantikan oleh sinar matahari. Hanya di hari ulang tahunnya, dan Cametra berharap hari seperti ini terus berlangsung selama setahun demi mengembalikan Merenorth yang asri dan indah oleh tanaman.

Dari atas, Cametra mencoba melakukan sihirnya. Meski ia tahu sihirnya tidak akan berhasil untuk melelehkan semua es yang ada di Kota Mere, setidaknya beberapa pohon beserta atap-atap bangunan berhasil dibebaskan dari salju yang menutupinya.

Matanya tak sengaja menangkap sebuah momen yang mengingatkan ia akan sesuatu. Cametra memutuskan untuk hinggap di sebuah batang pohon tak jauh dari lokasi tersebut. Di belakang pohon itu, ada sebuah rumah sederhana dengan cerobong asap yang mengepul. Di depan rumah itu, terdapat lapangan luas dengan hamparan salju putih dan berbagai boneka salju yang menghiasinya. Tiga anak kecil kisaran usia delapan tahun sedang bermain di sana.

Cametra dalam wujud burungnya terharu melihat pemandangan itu. Tiga anak-anak itu tampak bahagia dan bebas, tidak terlihat sedih atau merasa hampa. Mereka mengingatkan Cametra akan masa kecilnya. Ia mungkin tidak pernah sebahagia anak-anak itu, Cametra tidak pernah keluar istana karena ayahnya melarang hal itu. Satu-satunya teman Cametra dulu hanyalah anjing peliharaan yang ia beri nama Memo, sebelum Emily datang ke kehidupannya. Hanya Memo yang menemaninya bermain salju di taman istana, berlarian di ruang dansa, menemaninya di menara sambil memandang Kota Mere, dan bahkan hampir ke seluruh aktivitasnya.

Iris putih susu itu melebar saat melihat tiga anak itu kini ditemani oleh seorang pria dewasa, mereka bermain lempar salju dan tertawa riang. Ia kembali ingat sesuatu, untuk pertama dan terakhir kalinya, ayahnya pernah mengajak Cametra bermain salju di belakang istana tepat saat hari ulang tahunnya yang ketujuh. Kenangan itu mungkin menjadi kenangan terindah yang pernah ia miliki dan tidak pernah terjadi lagi.

❄❄❄

Emily berjalan melewati para pelayan yang sibuk dengan tugasnya masing-masing untuk persiapan pesta ulang tahun Cametra. Beberapa pelayan terlihat membawa bunga-bunga segar yang diimpor dari Kerajaan Valskif di bagian Timur daratan Nixoid. Merenorth sendiri berada di bagian Utara Daratan Nixoid, dan Weldorf di bagian Barat tempat asal Ratu Stella, ibunya Cametra.

Beberapa buah-buahan yang sedang di bawa para pelayan berasal dari Weldorf dan Valskif, ini karena semenjak Merenorth dilanda musim dingin selama enam belas tahun, menyebabkan mereka tak memiliki pasokan makanan. Satu-satunya penghasilan mereka hanyalah berasal dari laut, karena laut mereka sama sekali tidak terkena dampak dari musim dingin berkepanjangan ini. Untungnya pernikahan Raja Aelius dengan Stella membawa berkah tersendiri, setidaknya mereka masih punya satu tempat untuk mempertahankan ketersediaan pangan. Weldorf, kerajaan milik Stella.

Dari jendela di aula yang terbuka, Emily bisa melihat seekor burung merah darah berkoar. Ia sudah tahu bahwa burung itu pasti Cametra, sebab tak ada burung merah darah yang berani melintasi istana dengan begitu dekat. Burung merah darah penghuni Hutan Schroeder terkenal pemalu dan selalu terbang tinggi.

Emily berlari mengikuti ke mana Cametra terbang, seolah-olah ada sesuatu yang ingin disampaikan Cametra padanya. Sadar kecepatan terbang Cametra melebihi kecepatan larinya, Emily akhirnya memutuskan untuk menaiki bingkai jendela dan melihat ke mana Cametra pergi.

"Oh, sial!" gerutu Emily saat tahu Cametra ternyata masuk ke dalam menara timur, tempat yang memang menjadi favorit Cametra.

Emily lekas berlari menuju lorong penghubung antara istana utama dan istana timur, bagian yang memang jarang dikunjungi. Dalam hati Emily mengutuk siapa saja yang membangun istana itu karena saat keadaan seperti ini, ia harus berlari dan menguras tenaga. Ketika Emily sampai di jembatan penghubung menuju menara timur, Emily menyadari sesuatu. Salju di sekitar menara timur telah mencair, berbeda dengan dengan bagian istana yang lain. Ia sangat yakin, perubahan wujud Cametra menjadi burung menyebabkan sekitar istana terbebas dari salju. Semakin hari kekuatan Cametra ternyata semakin kuat, mungkin Cametra bisa membebaskan Merenorth dari salju.

Satu lagi yang harus dihadapi Emily, tangga spiral di menara yang jumlah anak tangganya mungkin ada puluhan. Tak ada yang bisa dilakukan Emily selain mengembuskan napas kasar dan berjalan menuju lantai teratas menara.

❄❄❄

Burung merah itu berdiri di bawah lampu kristal yang menggantung. Cahaya biru muncul dari mahkotanya dan membungkus tubuh sang burung, mengembalikan wujud aslinya. Cametra berdiri di sana, dengan wajah sedih. Ia kembali ingat apa yang tadi ia lihat, dan ia menginginkan hal serupa.

Tanpa sadar air matanya mengalir, mulutnya tertutup rapat. Perlahan, ia memejamkan matanya untuk menahan agar air mata itu tidak sembarangan keluar. Di dalam hatinya ia berbicara sendiri, mengatakan betapa sial hidupnya. Yang ia inginkan hanyalah waktu bersama ayahnya, meski hanya semenit. Cametra tahu ayahnya sibuk, beban dan tugasnya sebagai Raja kadang menyita waktunya akan keluarga. Namun, kenapa ayahnya tidak mau meluangkan waktunya sedikit demi membahagiakan putrinya?

Cametra mengusap air matanya, ia mengerjap beberapa kali saat menyadari ada seseorang yang berdiri di dekat pintu. Ia tahu siapa yang datang, dan Cametra tidak perlu menoleh untuk memastikannya.

"Salahkah aku jika ingin dilahirkan kembali?" tanya Cametra dengan nada bergetar. Emily yang mendengarnya terkejut, tak percaya apa yang baru saja dikatakan oleh Cametra.

"Kenapa?" Emily berjalan perlahan menghampiri Cametra.

Cametra menoleh, memperlihatkan matanya yang agak bengkak karena menangis. "Aku ingin punya masa kecil yang bahagia ... seperti anak-anak lain," ucapnya dengan sedih.

Emily terdiam sejenak, ia tahu kalau Cametra memang tidak punya teman semasa kecil. Bahkan ayahnya sendiri tampak tidak terlalu mempedulikannya, meski ibunya selalu hadir di sisinya.

"Kurasa, dilahirkan kembali bukanlah jalan yang bagus." Emily berjalan semakin mendekat, mereka berdua kini saling menatap. "Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita jika seandainya dilahirkan kembali. Mungkin saja kehidupan kita akan berjalan sesuai ekspetasi saat ini, atau bahkan malah menjadi buruk. Tak ada yang tahu rahasia takdir."

Emily benar, siapa yang tahu bahwa masa depan mungkin akan berjalan sesuai ekspetasi. Dunia ini penuh dengan misteri dan kejutan di setiap detiknya. Cametra menyerap perkataan Emily, ia seharusnya tidak mengatakan ingin dilahirkan kembali. Itu sama saja dengan menentang takdir.

"Aku hanya ingin memiliki momen bahagia, terutama bersama papa." Cametra tersenyum tipis, yakin bahwa ia tidak akan pernah mendapat momen bahagia bersama ayahnya.

"Nah, manfaatkan pesta ulang tahunmu. Buatlah kenangan terindah." Dua kalimat itu memberikan suntikan semangat pada Cametra yang bersedih.

❄❄❄

Cametra memperhatikan setiap tamu undangan yang hadir, para bangsawan yang hadir dari setiap kerajaan di Daratan Nixoid. Ia meremas gaunnya saat menyadari tak ada satu pun tamu undangan yang seusia dirinya. Setiap tahun pesta ulang tahunnya diadakan, tapi tak pernah ia melihat seseorang yang sebaya dengannya. Cametra mengira ayahnya benar-benar keterlaluan, membiarkan putrinya hanya bertemu orang-orang yang jelas lebih tua darinya.

Dari atas sini, ia memperhatikan betapa bahagianya orang-orang di bawah sana. Senyum dan tawa mereka seakan mengejek Cametra. Tak ada yang bisa dilakukan Cametra selain memalingkan wajahnya, membiarkan dirinya menatap langit malam dengan taburan bintang yang hanya terjadi di hari ulang tahunnya saja.

Ia berjalan perlahan ke arah jendela, tersenyum saat menyadari ada bintang jatuh. Emily pernah bilang bahwa ketika ada bintang jatuh, buatlah permintaan dan mungkin permintaan itu akan terkabul. Ia menyentuh jendela, memejamkan matanya, dan mengucapkan permintaan dari dalam hatinya.

Seseorang menepuk pundaknya, membuat Cametra terkejut. Saat ia membuka matanya, lalu menoleh pada sosok di belakangnya, seorang pria dewasa dengan setelan kerajaan tersenyum padanya. Wajah pria itu sangat mirip dengan ayahnya, hanya saja iris mata yang berwarna biru terang begitu berbeda dengan milik ayahnya.

"Paman?" Cametra harus mendongak karena pria itu lebih tinggi darinya, bahkan lebih tinggi dari ayahnya.

"Kau tidak berdansa?" tanya Christopher, merasa aneh karena biasanya Cametra akan berada di tengah lantai dansa, berdansa dengan siapa saja.

"Aku hanya ingin berdansa dengan papa." Cametra menunduk, memperhatikan taburan berlian di gaunnya.

"Kalau begitu, ayo turun." Cametra berjalan berdampingan bersama Christopher. Menuruni tangga dengan anggun, membiarkan beberapa pasang mata di bawah sana menatapnya kagum.

Desas-desus yang tersebar di Daratan Nixoid ternyata membuat pernasaran para bangsawan tentang seperti apa rupa Cametra, karena banyak yang bilang bahwa Cametra sangat cantik seperti ibunya, Ratu Stella.

"Tersenyumlah," bisik Christopher saat menyadari Cametra sama sekali tidak tersenyum, wajah murungnya masih terlihat jelas.

Dengan malas Cametra memasang senyum palsu, berharap tak ada yang menyadarinya. Ketika ia sudah hampir sampai pada anak tangga terakhir, ayahnya muncul dari samping kanan tangga, sedangkan ibunya dari samping kiri tangga. Cametra bisa melihat mereka tersenyum, sayangnya ia sama sekali tidak percaya kalau ayahnya tersenyum tulus.

"Para hadirin, sambutlah Putri Cametra Merenorth." Semua orang langsung menunduk hormat pada Cametra, kemudian para tamu berjalan ke pinggir lantai dansa. Cametra menoleh pada ayahnya yang mengulurkan tangan. "Berdansalah denganku, Cametra," bisik ayahnya.

Cametra mengangguk, ia tak percaya apa yang baru saja dikatakan ayahnya. Kini, ia bisa tersenyum, mengucapkan syukur di dalam hati. Mungkin, hari ini adalah hari terbaiknya. Mungkin permohonannya terkabul. Cametra tak ingin melewatkan momen ini, maka ia menikmati setiap detiknya.

Alunan musik yang mengiringi dansa mereka, seakan-akan menjadi pelengkap di dalam memori baru Cametra. Senyuman tidak kunjung hilang dari wajah Cametra, ia benar-benar sangat bahagia.

Namun, senyuman bahagia Cametra harus lenyap ketika semua cahaya di istana padam. Para tamu terkejut dan musik berhenti dimainkan. Aroma mawar dan hutan pinus tercium oleh hidung mereka, beberapa tamu bergumam pelan bahwa aroma itu milik penyihir.

Sebuah cahaya hijau bergerak meliuk-liuk di udara, membuat semua orang di dalam aula itu ketakutan. Cametra merasa tidak asing dengan cahaya hijau itu, ia seperti sudah pernah melihatnya. Pertanyaannya, di mana ia melihat cahaya seperti ini?

Cahaya itu kemudian mewujud sesosok wanita, berdiri di tengah-tengah lantai dansa. Senyuman liciknya tersungging, ia menatap Aelius dengan tatapan jijik. Tatapannya kemudian beralih pada Cametra yang berdiri di samping ayahnya, dan seketika tatapan miris muncul di mata biru safir itu.

"Medivh, apa yang kau inginkan?" tanya Aelius dengan tatapan tidak suka.

Medivh menatap satu per satu tamu yang ada di sana. "Aku hanya kasihan pada Merenorth." Mata Medivh kembali menoleh pada Cametra. "Dan padanya." Medivh menunjuk Cametra.

"Bukankah kau tidak memiliki rasa kasihan?" kata Aelius seakan menantang Medivh.

Penyihir itu tertawa mendengar perkataan Aelius. "Setidaknya aku tidak mengutuk kerajaanmu dilanda penyakit mematikan, Aelius. Aku masih punya hati."

Cametra terbelalak saat menyadari bahwa wanita itu adalah wanita di dalam mimpinya, wanita yang membunuhnya dalam wujud burung merah darah. Dan tadi ayahnya menyebutkan nama wanita itu, lalu perkataan wanita itu meyakinkan Cametra bahwa penyihir inilah yang mengutuk Merenorth dan dirinya.

"Aku ingin meringankan bebanmu, Aelius. Kutukan ini bisa berakhir." Medivh lagi-lagi tersenyum licik.

"Katakan!" seru Cametra. Ia sudah lelah dengan musim dingin di Merenorth, ia juga ingin merasakan tiga musim lainnya.

"Di bawah bulan biru, alirkan darah seekor burung merah darah dengan mata seputih susu dan memiliki mahkota safir. Burung terkuat yang ada di Merenorth, maka darahnya akan membebaskan kutukan. Aku akan menunggu di meja batu di dalam Hutan Schroeder, jika kau mau kerajaanmu terbebas dari kutukan." Sudut bibir Medivh terangkat, menatap lawannya dengan angkuh.

"Kenapa kau mengutuk kami?" tanya Cametra cepat, ia mengira bahwa penyihir itu akan segera pergi. Dan benar saja, cahaya hijau mengelilingi wanita itu, diikuti aroma pinus yang mendominasi ruangan.

"Salahkan ayahmu." Medivh lenyap bersama dengan lenyapnya cahaya hijau. Kini, lampu-lampu di istana kembali menyala, tetapi para tamu terlihat kebingungan.

Salahkan ayahmu.

Hanya satu kalimat, tetapi justru membuat Cametra tak percaya bahwa kutukan Merenorth dan dirinya adalah kesalahan sang Ayah di masa lalu. Cametra terdiam, semua pertanyaan tentang alasan mengapa dia dan Merenorth dikutuk ternyata memiliki satu jawaban yang sejak dulu ada di sekitarnya. Ayahnya adalah jawaban dari semua pertanyaan Cametra.

"Apa yang telah kau lakukan di masa lalu, Papa?"

❄❄❄


Terima kasih sudah baca chapter ini, tunggu chapter berikutnya minggu depan ya :)

See ya

Sukabumi, 9 Desember 2018

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

LEGACY OF THE WIZARD بواسطة Yafie Rahmat

الخيال (فانتازيا)

1.6K 277 64
Novel ini bercerita tentang seorang pemuda diantara 10 penyihir yang mewarisi kekuatan sihirnya dari para tetua atau yang biasa disebut dengan 10 pen...
14.5K 1.5K 43
3 orang anak kecil bermimpi untuk membuat 'bunker'. Rumah bawah tanah yang akan melindungi seluruh penduduk desa dari bencana alam. Namun, tanpa bant...
63.4K 9.2K 25
- Winner of The Heroes on Wattys 2018 - Ketika sebuah permainan menjadi lebih dari sekadar permainan. Benarkah yang terakhir bertahan akan tetap sela...
13.2K 1.3K 13
Jika orang yang sangat kau sayangi mati di depanmu, dan kau punya kesempatan untuk mengulang waktu kembali. Apakah kau akan menyelamatkannya?