Ante Meridiem #GrasindoStoryI...

由 AdynEvanali23

76 11 7

Valerina Blenda Aldric seorang produser yang mempunyai sebuah bakat - disebut dirinya sebagai kelainan. Itu s... 更多

BAB 1
BAB 3
BAB 4

BAB 2

16 3 0
由 AdynEvanali23

Aku menjejakkan kakiku di tangga eskalator kantor dengan penuh was-was. Aku memperhatikan di sekelilingku, bersiaga kalau ada yang membicarakanku pasca-peristiwa aku yang menampar staf sekretaris redaksi dengan tak sengaja. Ya, harus aku tegaskan aku tak sengaja karena itu bukanlah niatku untuk melakukannya.

Meski, di tangga eskalator aku merasa aman, tapi ternyata masuk ke dalam ruangan newsroom sebuah stasiun televisi yang penuh dengan banyak orang membuatku deg-degan tak karuan. Ini rasanya seperti aku berada pertama kali menjadi karyawan baru di ruangan yang sudah ku tempati 3 tahun belakangan ini. Rasa deg-degan bertemu dengan orang-orang baru menyeruak ke semua syarafku. Perasaan yang sangat aneh.

Tapi, yang harus ku lakukan pertama kali saat ini adalah menemui Lisa. Lisa staf sekretaris redaksi itu tengah sibuk di bangkunya. Tempat duduknya ada di tengah ruangan newsroom yang besar. Ia terlihat sendirian. Aku pun mendatanginya. Awalnya Lisa terkejut dan merasa tak senang melihatku. Ia mengeraskan rahangnya.

"Aku minta maaf karena telah berbuat seperti itu," ucapku yakin. Aku memang bersalah dan harus minta maaf.

"Baru sekarang mbak minta maaf?" Lisa kesal. "Kemana saja sudah seminggu lebih baru minta maaf," kata-katanya terdengar sewot. Aku sempat jengkel karena berani sekali dia, seorang staf sekretaris redaksi berkata seperti itu pada Produser sepertiku. Tapi, aku tahan emosiku karena aku tahu aku yang salah. Mungkin aku pantas menerima perkataanya.

Lisa nampak tak puas dengan apa yang Ia katakan. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menghadapku. Lalu, ia menatapku dengan penuh kekesalan. Dengan gerakan cepat aku menunduk. Bukan karena aku takut. Tapi, aku harus menghindari matanya atau sesuatu yang tak diinginkan bakal terjadi lagi.

"Maaf?" tanyanya sambil nada menyindir. "Tak semudah itu minta maaf!" Ia hampir berteriak. Membuat orang-orang di sekitar meja redaksi, termasuk teman-teman produser, koordinator liputan, editor dan beberapa orang lainnya menyadari pertengkaran kami.

Bukan maksudku ingin menambah panjang drama ini. Aku benar-benar ingin meminta maaf dan menutup buku permasalahan ini.

"Kenapa Mba menunduk?!" Lisa menghardikku. Astaga, wanita ini benar-benar mendramatisir keadaan. Sambil kesal aku sempat berpikir kalau dia kebanyakan nonton drama FTV. "Takut?!" katanya lagi.

Aku tidak tahan dengan perkatannya lagi. Ku tatap matanya dengan penuh berani. "Saya meminta maaf dengan tulus, bukan untuk mencari sensasi di newsroom seperti kamu ini," kataku.

Ia menajamkan matanya padaku. Mataku seolah terhisap ke dalam matanya. Pandanganku jadi blur dan buram. Seraya ada yang berbisik lagi di telingaku. "Berlutut!" teriak suara itu. Aku berusaha mengendalikan diri. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain selain mata perempuan ini. Aku mengedarkan pandangan. Terlihat beberapa produser mulai berdiri dari mejanya menyaksikan pertengkaran kami.

Aku tak boleh membiarkan "kelainan"ku ini muncul di saat-saat begini. Aku tak boleh membiarkan diriku menuruti apa yang ada di pikiran Lisa. Ia memintaku berlutut dan menyembahnya sambil meminta maaf.

Perintah "berlutut!" berkali-kali terdengar di kepalaku. Ragaku pun seperti terhipnotis. Badanku lemas dan lututku seakan-akan mati rasa. Aku menundukkan kepalaku dan kakiku tanpa seizinku mulai menekuk di lantai membuatku jongkok. Seperti ada yang mendorong badanku untuk jatuh, lututku pada akhirnya menempel pada lantai newsroom yang berkayu.

Ada beberapa orang yang menonton aksi kami, terpekik. Ia bersuara karena kaget. Seorang produser program utama berlutut di depan seorang staf. Sementara, hatiku meronta-ronta bukan main saking malunya.

"Berlutut saja tidak cukup ..." Lisa terdengar tidak puas. "Mbak harus ..." sebelum Lisa menyelesaikan perkataannya, aku merasakan lenganku ditarik ke atas oleh seseorang. Ia berjas hitam dengan sosok tinggi semampai. Ia menarikku hingga membuatku berdiri. Aku tak bisa melihat wajahnya yang membelakangiku. Tapi, aku bisa mencium wangi air dari parfum yang dikenakannya.

"Ajukan surat resign, dan kemasi barang-barang kamu sekarang juga," dengan nada datar namun meyakinkan, pria yang membelakangiku ini berkata pada Lisa. Kata-katanya membuat Lisa terkejut dan tak menekanku lagi. Lisa hanya menatap tak percaya pada Pria itu.

Pria dengan wangi air-nya itu tak berkata-kata lagi. Ia langsung balik arah meninggalkan kami berdua. Sementara, para penonton masih menyaksikan drama kami. Aku tak pernah mengenal sosok ini sebelumya. Selama 3 tahun aku bekerja disini aku sama sekali belum pernah melihat orang ini. Terakhir yang bisa ku tangkap dari sosoknya yang kabur dengan cepat itu adalah hidung mencuatnya. Tinggi ku hanya sebahunya, jadi aku tak bisa melihat sejajar seperti apa wajahnya.

* * * * *

Aku hanya diam saja sambil menunggu rapat redaksi untuk program petang berlangsung. Sejujurnya aku cukup malu terlibat dalam perkelahian yang tak berkelas di tengah newsroom seperti tadi itu. Tapi, aku diam saja menutup mulut rapat-rapat. 

"Gimana sih kamu Val!" nada suara produser senior-ku bernama Armindiptha terdengar memprotes. Tentu, ia tak ingin rekan satu programnya dipermalukan begitu di tengah newsroom. "Kenapa tak membalas si Lisa itu!" katanya lagi dengan kesal. Aku tahu, Ia membelaku. Tapi, aku tak mau membicarakan itu karena aku harus menutup rapat-rapat apa yang terjadi padaku. Aku tak bisa melawan karena sebuah "kelainan" yang hanya terjadi padaku.

"Er ... itu tadi siapa ya?" tanyaku mengalihkan perkataannya. Pikiranku juga langsung terfokus pada seseorang yang 'menolong'-ku tadi.

Sontak, mata Armi langsung berbinar-binar. Ia juga merasa terharu karena seseorang itu membelaku. Dengan begitu yakin-nya, ia memerintahkan seorang staf sekretaris redaksi untuk resign dan jangan kembali. Memangnya siapa dia?

"Haduh ... kamu terlalu panjang sih cuti-nya!" Armi kesal lagi namun kali ini sambil bercanda. "Nih, kamu harus lihat" katanya sambil mengambil remot televisi. Ia menyalakan TV yang ada di ruang rapat redaksi.

TV pun menyala menampilkan stasiun televisi tempatku bekerja. Sosok seorang pemuda dengan wajanya yang cerah, hidungnya mencuat dan mata hitam kecokelatannya tertampil di layar kaca. Ia menggunakan jas hitam persis sama dengan seseorang yang 'menolong'-ku tadi. Tapi, yang lebih membuatku tertegun adalah pemuda itu merupakan pria yang pernah ku temui sebelumnya.

"Se ... sejak kapan dia jadi presenter di sini?" tanyaku terkejut campur terpesona. Ada rasa hangat yang membuncah di dadaku di ruang rapat yang dingin begini.

"Sudah seminggu lalu," jawab Armi santai. "Ganteng ya dia!" Tambah Armi sambil tersenyum-senyum sendiri melihat TV. Ia seperti sedang melihat sosok aktor di drama korea yang ia sukai.

Sementara, pemuda itu mengucapkan salam perpisahan untuk program News Update di siang hari. Ia pun berjanji akan kembali satu jam berikutnya di layar televisi HKTV. Layar TV pun menampilkan bumper News Update dan masuk dalam tayangan iklan.

Aku menghadap Armi yang masih memandangi TV. Meski sudah masuk iklan, nampaknya Ia masih mengkhayalkan wajahnya si presenter itu. "Hei ... hei ... hei ...!" aku berusaha menyadarkannya sambil tertawa-tawa dan melambai-lambaikan tanganku di depan mukanya. Armi langsung tersadar dan merasa jengkel karena aku membuyarkan imajinasinya. Aku tertawa-tawa.

Sementara teman-teman Produser lainnya, Andrik, William, dan Reno memasuki ruang rapat, diikuti oleh Eksekutif Produser kami Heru Wicaksono. Setelah mereka duduk, barulah Manager Produksi dan Wakil Pemimpin Redaksi kami, Priandoko Mulyaman dan Wanandi Hermawan memasuki ruangan.

"Sudah jadi rundown-nya, eh?" Tanya Wanandi dari ujung meja di depan sana.

"Sudah, Pak!" Jawab William sigap. Ia hari ini bertugas sebagai show producer  alias Produser yang menjaga show selama program petang berlangsung nanti sore.

"Baik, sebelum mulai, saya ingin memperkenalkan seseorang terlebih dulu," lanjut Wanandi. Kemudian Ia bangkit dari tempat duduknya di ujung meja dan membuka kan seseorang yang masuk dari pintu.

Ketika orang itu masuk, ada kepikan-kepikan seperti kupu-kupu yang menggelitik ulu hatiku. Jantungku berdebar-debar. Ternyata, tak harus satu jam lamanya aku bertemu dengan sang Presenter News Update di layar HKTV tadi. Pemuda itu masuk masih dengan jas hitamnya. Ia hanya tersenyum tanpa menganggukkan kepala sebagai salam hormat saat masuk. Malah, ia terlihat hanya menegakkan kepalanya.

"Kenalkan, ini Ezra. Selain jadi presenter Ezra juga akan membantu kalian di produksi ya," Pak Wanandi memperkenalkan sekaligus menugaskan Ezra yang tampaknya masih begitu dingin.

"Halo, salam kenal. Mohon bantuannya," suara berat pemuda itu menggema di ruang rapat. Tanpa membungkukan badan sebagai permohonan bantuan dan bimbingan dari para senior, Ia langsung mengambil tempat duduk tepat di samping Wapemred kami. Di sebelahnya juga ada Manager Produksi.

Tanpa ada perkenalan lanjutan, Pak Wanandi langsung meminta William menjelaskan apa yang menjadi isu utama untuk disajikan kepada pemirsa di program petang nanti. William menyebutkan beberapa berita utama seperti pertarungan kampanye calon presiden hingga pembunuhan sadis yang menimpa beberapa keluarga belakangan ini. Satu per satu setiap segmen dibahas. Setiap segmen dibahas lagi, item-item berita apa yang akan dibuat para produser. Selain itu, dibahas pula materi-materi apa saja yang sudah didapatkan dari teman-teman di lapangan melalui Koordinator Liputan kami.

Saat William menjelaskan, aku tak bisa fokus dengan apa yang Ia ucapkan. Pasalnya, ada sepasang mata yang begitu menghunusku dari sudut ujung meja di depan sana. Pemuda itu nampak penasaran dengan wajahku yang ada di ujung seberang mejanya. Aku berusaha memalingkan wajah dengan membelakanginya.

Masuk ke segmen terakhir, William masih menyebutkan sejumlah item berita. Aku mulai fokus mendapatkan suara William yang menyebut latihan Timnas menjelang piala persahabatan hingga kejuaraan hockey yang masuk ke dalam segmen tersebut. Aku tanpa sadar menoleh ke arah pemuda itu.

Ezra kini terlihat dengan dingin dan serius memperhatikan rundown yang ada di emailnya, sembari mendengarkan penjelasan William. Aku memperhatikan lekat bagaimana bentuk wajah, hidung dan bibir tipisnya. Di kepalaku, aku langsung membandingkan dengan bentuk wajah yang pernah menatapku waktu itu. Tatapan mata yang membuatku luluh.

Tanpa aba-aba dan membuatku kelabakan, mata hitam kecokelatannya memergoki mataku. Ia membalas pandangan mataku yang seakan mulai menyedot pikiran. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Aku berdehem tiba-tiba sampai terbatuk-batuk demi mengalihkan tatapannya.

William menghentikan penjelasannya karena batukku ternyata cukup keras. Semua produser termasuk Ami hingga ke Wapemred Wanandi menoleh padaku. Meski semua memandangiku, yang paling ku rasakan adalah pandangan pemuda itu. Ada rasa hangat terpancar dari tatapannya. Tatapan yang membuatku gelisah tak karuan.

* * * * *

繼續閱讀