Surat itu seolah datang dari dalam kotak malapetaka. Lebih mengerikan dari petir yang menyambar di malam gelap gulita. Siapa sangka, ketika ia membuka mata, sosok itu tidak ada di sana. Sebagaimana yang sudah dijanjikannya.
Ia sedih, cemas, dan kecewa.
Bagaimana mungkin sebuah surat diawali dengan kata 'maaf'? Jelas, isinya pasti bukanlah suatu kabar yang menyenangkan.
Dengan susah payah, ia mencoba menghirup oksigen yang seolah lenyap dari sekelilingnya. Sementara matanya berusaha tetap fokus memerhatikan bentuk-bentuk huruf yang sangat dikenalnya itu.
Semudah itu? Apakah kebersamaan mereka selama ini tidak pernah memiliki arti?
Ia ingin protes. Ia ingin marah. Ia ingin memaki.
Andai saja orang yang membuat perasaannya kacau itu ada di sini. Ia akan melampiaskan semua emosi. Sayangnya, eksistensi itu hanya digantikan dengan sepucuk kertas yang tidak sepadan dengan kehadiran dirinya secara langsung.
Beberapa detik berlalu tanpa terasa. Hingga akhirnya ia sudah tiba di penghujung surat itu. Di mana nama yang selalu melekat di hatinya tertulis di sana. Di sudut kertas yang renyuk. Tampak rapuh dan kesepian.
Padahal keinginannya sederhana. Ia hanya ingin mereka bisa terus bersama. Tetapi jika pada akhirnya mereka memang tidak bisa mendapatkan itu semua, setidaknya ia berhak untuk mendapat perpisahan yang indah untuk dikenang.