[✔] 1. DEAR J

By tx421cph

48.1M 4.2M 4.2M

[Telah Dibukukan, Tidak tersedia di Gramedia] ❝Untukmu, Na Jaemin. Laki-laki tak sempurna Sang pengagum hujan... More

00
Attention
01. Something Bad
02. I Called You, Nana
03. Friends?
04. Keychain
05. I'll be Loving You (Forever)
06. The Rain
07. I Told You
08. Fallin' to You
10. Between Rain and Rhyme
11. Close to You
12. No Longer
13. Getting You
14. November Rain
15. Who Are You
16. Unfathomable
17. Talking To The Moon
18. The Reason Why
19. The Truth Untold
20. Stay With Me
21. Through The Night
22. Love Bomb
23. Hello Stu P I D
24. Our Moment
25. My One And Only
26. Revealed
27. Will You Hold On?
28. Dear Mom
29. Dear God
30. End Of A Day
30.5 Dear J
How To Order?
What's Next?

09. I'm Not

1.1M 125K 178K
By tx421cph

Sudah sedia tisu kan?
Jangan lupa spam komen 🤧

• Dear J •


Happy Reading

Aku masuk ke dalam rumah sambil merapatkan mantel milik Jaemin yang masih membungkus tubuhku. Aku hendak mengembalikannya tadi, tapi dia benar-benar tidak mau menerima. Dia mengatakan bahwa dia tidak mau aku kedinginan.

Padahal dia hanya pulang dengan kaus hitam dan celana panjang.

Setelah mengantarku tepat di depan gerbang, anak itu bergegas mengayuh sepedanya dan pulang. Mauku menyuruhnya mampir sebentar untuk kubuatkan coklat hangat, tapi dia menolak. Katanya sudah hampir larut.

Dan lagipula aku teringat aku memiliki kakak laki-laki, entah bagaimana reaksinya jika aku membawa teman laki-laki di malam yang nyaris larut ini.

"Kamu dimana? Kok baru pulang?"

Langkah kakiku terhenti di ruang tamu, disana kakakku sudah siaga sambil menyilangkan tangannya. Dia berdiri tegak menjulang setelah menghampiriku.

"Emm..."

"Kamu nggak sama Jeno"

Itu bukan pertanyaan, tapi tuduhan.

"Bunda sama ayah mana?" tanyaku takut-takut.

Kak Jaehyun menghela napas panjang, "mereka udah tidur. Tadi mereka nanyain kamu, tapi kakak bilang kamu udah tidur biar nggak nyari-nyari kamu lagi"

Aku mengulum bibir, merasa bersalah dan takut pada kakakku ini.

"Maaf..." cicitku pelan.

Entah kenapa, kemudian aku menunduk, dan menangis begitu saja.

"Loh, kenapa? Jangan nangis, kakak nggak marahin kamu"

Kak Jaehyun merunduk, menyamakan tingginya, berusaha melihat wajahku yang ku sembunyikan. Kedua tangannya memegang kepalaku.

"Hei..." suara pelannya yang berat terdengar begitu menyejukkan.

Aku masih menunduk, mengucek-ngucek mataku sambil menangis, kemudian terisak tanpa suara. Kemudian, kurasakan tangan Kak Jaehyun mengangkat kepalaku.

"Kakak nggak marahin kamu dek, jangan nangis, maaf ya"

Dia menatapku khawatir, kemudian mengusap air mata yang telah membuat wajahku tidak karuan.

Jujur sebenarnya aku malu menangis di depannya, tapi hari ini aku merasa begitu emosional.

Mengingat Jaemin dan semua apa yang dia lakukan hari ini, aku pun akhirnya melihat dengan mata kepalaku sendiri seperti apa hidup yang dia jalani. Rasanya sesak saja.

"Ada hubungannya... sama yang punya sepeda itu ya?"

Aku menatap mata Kak Jaehyun, kemudian mengangguk pelan.

Dia melepaskan tangannya, kemudian menepuk pucuk kepalaku.

"Ayo ceritain tentang anak laki-laki itu" katanya.

Padahal aku belum bilang temanku itu laki-laki.

Malam itu, aku pun menceritakan semuanya pada Kak Jaehyun. Mulai dari siapa Na Jaemin, bagaimanakah anak itu, kehidupan anak itu, hingga Lee Jeno yang kini mulai berubah.

.
.
.

Jaemin belum tidur, dia baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah sambil mengeringkannya dengan handuk.

Anak laki-laki itu memiliki bentuk tubuh yang bagus. Dengan sleevless yang dia kenakan, lengannya yang cukup berotot itu tampak.

Menaiki tangga, dia melewati kamar Jeno yang tak sepenuhnya tertutup, kemudian melirik ke dalam. Sepertinya si pemilik kamar belum tidur karena Jaemin bisa mendengar suara-suara dari dalam sana.

Alis Jaemin nyaris menyatu, dia kemudian melangkahkan kakinya mendekati pintu dan membukanya sedikit.

Jeno sedang duduk di sisi ranjangnya, kamarnya terlihat sedikit berantakan, sementara anak itu sedang merintih kecil sambil mengurut pergelangan kakinya.

"Apaan sih lo intip-intip!" dia menyadari keberadaan Jaemin, kemudian berteriak.

Tapi Jaemin adalah Jaemin. Walaupun tahu Jeno akan memperlakukannya tidak baik, anak itu tetap menerobos masuk.

"Woyㅡ!"

Jaemin mengambil kaki kiri Jeno, duduk di sisi ranjang, kemudian meletakkan kaki panjang Jeno ke pangkuannya.

Jeno terkejut, apalagi ketika Jaemin memijat pergelangan kakinya.

"Lepasin gak njing!" dia mencoba berontak.

"Diam saja disitu sebentar, kakimu keseleo sepertinya"

Yang melihat bahasa isyarat Jaemin tampak mendecak, kemudian memalingkan pandangannya. "Ngomong apaan sih lo ga ngerti gue" omelnya.

Jaemin khawatir? Tentu saja. Besok adalah hari turnamen basket, dan sekarang saudaranya itu sedang keseleo. Dia juga bisa melihat barang-barang serta pakaian Jeno yang berserakan di samping backpack-nya.

Kasihan Jeno, sepertinya bebannya begitu berat, apalagi dia seorang kapten.

Lama Jaemin memijat kaki Jeno dalam keheningan, sampai akhirnya dia memutar telapak kaki Jeno danㅡ

Klek!!

"WOY ANJ*NG!"

Brukk!!

Jeno histeris ketika Jaemin menarik telapak kakinya hingga menimbulkan bunyi seperti patahan. Refleks dia mendorong Jaemin, mendorongnya hingga anak itu terjatuh ke lantai.

"Gila ya lo?! Sakit bangs*t!"

Jaemin menghela, kemudian dia mencari kertas atau apapun diatas meja belajar Jeno dan bolpoint. Kemudian menuliskan sesuatu.

"Coba rasain kaki kamu, masih sakit apa tidak?"

Melihat kalimat yang ditulis Jaemin, Jeno terdiam, masih dengan ekspresi kesalnya. Kemudian, ia menggerak-gerakkan pergelangan kakinya.

Laki-laki itu sedikit tertegun ketika kakinya tidak sakit lagi, jauh lebih baik dari yang tadi. Memang tadi saat Jaemin menarik kakinya rasanya luar biasa sakit, tapi itu hanya sebentar.

"Kamu harus cepat tidur, besok turnamen. Biar aku yang menyiapkan barang-barangmu"

Jaemin menggiring Jeno ke tempat tidur, sementara si empunya terlihat terkejut, kemudian mengibaskan tangannya kearah Jaemin.

"Apa sih lo! Sana pergi aja buruan!"

Tapi Jaemin mana mau, dia menarik tubuh Jeno dengan sekuat tenaga hingga anak itu terbaring di tempat tidur, lalu menyelimutinya.

"Woi njing! Gausah sok peduliㅡ"

Kalimat Jeno terputus dengan sendirinya, dia tercekat ketika Jaemin mengambil balsem, kemudian mengusapkannya dengan telaten pada pergelangan kakinya itu.

Anak laki-laki itu membisu, tak dapat berkata-kata bahkan sampai Jaemin selesai dengan kegiatannya.

Kemudian, di lihatnya saudaranya itu menulis lagi di atas kertas.

"Kamu harus cepat istirahat, setelah diolesi balsem kakimu akan baikan besok pagi. Aku akan siapkan semua keperluanmu untuk besok, jangan khawatir. Kamu harus sehat"

Dan Lee Jeno tak dapat berkata apapun setelah membaca kalimat itu, sampai Jaemin memunggunginya dan sibuk dengan aktifitas barunya, Jeno masih membeku.

Dia terus berpikir dalam keheningan itu sambil berusaha untuk terlelap, walau kini dia sedang gelisah setengah mati.

Jaemin membereskan semua pakaian Jeno yang berserakan di lantai, memasukkan yang tidak akan berguna besok ke dalam lemari, dan memasukkan baju hangat ke dalam backpack. Tidak lupa vitamin dan obat-obatan untuk berjaga-jaga, dan 3 pasang kaus kaki.

Turnamennya di selenggarakan di Busan selama 3 hari ke depan. Jadi Jaemin tahu apa saja yang akan dibutuhkan saudaranya nanti disana.

Sebisa mungkin, anak itu mencoba untuk tidak membuat suara. Takut Jeno terbangun. Bahkan saat ia berjalan kesana kemari, mencari barang-barang Jeno yang lainnya sambil menajamkan indera penglihatan karena penerangan ia ganti temaram.

Saat membuka lemari nakas, dia melirik sosok Jeno yang memejamkan matanya. Dia tampak sudah terlelap.

Kemudian, Jaemin menghela napas samar. Lalu tersenyum.

Telapak tangan Jaemin bergerak, memegang dahi Lee Jeno, mengusapnya dengan sangat perlahan.

"Jangan sakit..."

Padahal, Jeno masih belum tertidur.

-----oOo-----

Aku ikut dengan Jeno ke Busan.

Awalnya aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku diminta oleh Si Ketua Osis dan wakilnya secara langsung untuk ikut turnamen selama 3 hari tersebut. Bahkan sudah dibuatkan surat pengantar.

Katanya mereka kekurangan anggota untuk mengurusi masalah kesehatan dan kebutuhan anak-anak turnamen. Padahal aku tidak ikut klub PMR di sekolah.

Usut punya usut, ternyata Jeno yang merekomendasikanku pada Xiaojun.

Aku ingin menolak, tapi proposalnya sudah jadi dan di tandangani kepala sekolah.

Hhh....

Kenapa aku keberatan? Kalian pasti sudah tahu apa yang membuatku berat hati untuk pergi.

"Udah siap semua kan bawaannya?"

"Iya udah kak"

"Hati-hati, kamu jangan sampai sakit"

"Iya"

"Kamu tuh bakal ngurusin orang sakit"

"Iya"

"Masa kamu yang sakit"

"Iㅡ"

"Kan gak lucu"

"IYA IYA BAWEL AMAT SIH BAMBANG"

"Dih ngegas"

"Buruan jalanin mobilnya ih!"

Kak Jaehyun mendecak samar, kemudian menyalakan mesin mobil. lalu ku dengar dia menggumam lagi.

"Padahal siapa yang semalem nangis-nangis sambil jadiin baju kakak lap ingus"

"Heh aku denger"

Dan begitulah selama perjalanan kami adu mulut. Mungkin efek karena aku akan pergi selama 3 hari, Kak Jaehyun mencoba untuk menghapus rasa sedihnya karena harus berpisah denganku. Hehe.

.
.

Bus sudah bersiap di halaman sekolah. Murid-murid yang berkepentingan sudah menyebar di area sekitar bus. Berbincang sendiri, kemudian mengecek barang bawaan masing-masing.

Aku yang baru turun dari mobil, segera bergegas menuju gedung sekolah setelah berpamitan dengan Kak Jaehyun.

Tidak mencari keberadaan Jeno kok, dia pasti sedang di ruang klub basket. Aku hanya pergi menuju loker.

Tadi pagi-pagi sekali, sebaris chat dari Jaemin membuatku tersenyum.

Nana🌈

|besok jangan lupa lihat loker sebelum berangkat :)
06.04

Aku tidak tahu apalagi yang dia lakukan, tapi sekarang tanpa pikir panjang kubuka pintu lokerku dengan gerakan cepat.

Terdiam selama beberapa detik, kemudian memandangi apa yang ada di dalam sana.

Namun perhatianku langsung tertuju pada benda tipis yang sepertinya sebuah surat.

Demi Tuhan, Na Jaemin... surat lagi.

Ku ambil cepat-cepat surat dengan kertas berwarna coklat itu, kemudian membukanya.

Kamu ikut ke Busan ya, semangat ya! Tapi aku sedih kamu pergi...
Tapi tidak apa-apa, kan cuma 3 hari. Tapi buat aku 3 hari itu lama...
Jangan lupa kabari apa yang kamu lakukan nanti!
Kamu pasti belum sarapan, makan di bus nanti, aku buat sendiri bekalnya tadi subuh

Kali ini, Na Jaemin berhasil membuatku tersenyum lagi.

-----oOo-----

Tidak ada yang menarik dari perjalanan kali ini. Aku menjalankan tugas sebagaimana mestinya walaupun sedikit kaku karena aku tidak pernah melakukan itu. Jeno pun juga bersikap seperti biasanya padaku, dia juga mengatakan bahwa dia merasa semakin bersemangat karena aku ada disana.

Dia tetap manis seperti Jeno-ku.

"Kamu nggak masuk?"

Aku yang sedang berada di depan pintu kamar, menoleh pada seseorang yang menegurku barusan.

Oh, dia salah satu anggota asli PMR. Namanya Choi Yoojung, dia satu-satunya yang cepat akrab denganku.

Tersenyum, kemudian aku menggeleng "Nggak, kayanya mau cari minum dulu deh"

"Eh Jung, you mau keluar ya? Kebetulan, Can buy some drink for me?"

Sialan sekali, Lucas yang kebetulan lewat dengan seenak jidat tersenyum lebar lalu melambai tanpa dosa. Responku hanyalah menghela napas.

"Yaudah kalo gitu, aku masuk dulu ya, jangan larut-larut kalo mau keliling" pesan Yoojung, aku hanya tersenyum mengangguk, sampai akhirnya gadis cilik itu melesat masuk ke dalam kamar kami yang di huni 6 orang anggota PMR termasuk aku.

"Hey, nona Jung, you denger nggak?"

Aku mendecak, cukup Mark saja yang suka berbicara dengan bahasa campuran seperti itu. Aku mungkin bisa mentolerir jika itu Mark Lee karena dia pun orang Kanada, tapi ini Wong Yukhei?

"Ya ya..."

"Nih duitnya" laki-laki bertubuh bongsor itu memberikan selembar pecahan uang yang bernominal lumayan. "Nanti kalo ketemu Jeno suruh cepet balik, ada rembukan kecil"

Alisku mengerut, "Dia nggak di kamar?"

Lucas menggeleng, "katanya doi lagi cari angin, jadi siapa tau lo bakal ketemu"

Kemudian, aku hanya mengangkat bahu. "Ya kalau ketemu"

Aku memilih untuk segera pergi dari sana karena Lucas pun terlihat ingin segera berlalu dan mungkin dia ingin segera menghubungi Yuqi. Pasangan aneh.

Tapi anehnya aku iri dengan hubungan mereka, padahal tak ada yang perlu aku irikan karena aku punya Jeno.

Jadi... apa yang harus membuatku iri dari hubungan manis Lucas dan Yuqi?

Sambil berjalan, aku menendang-nendang jalanan. Memasukkan kedua tanganku ke dalam hoodie, menunduk, kemudian berpikir.

Lucas itu berisik, dia banyak tingkah, dia jorok, dia mudah tertawa dan memilik level jokes yang tinggi. Sementara Yuqi gadis mungil dengan rambut keriting yang galak, sering berkata kasar, dan memiliki tenaga seperti laki-laki.

Bayangkan bagaimana jika mereka disatukan. Awalnya aku merasa creepy saat membayangkan, tapi rupanya mereka sangat lucu, bahkanㅡ

Oke, berhenti menerka Jung Jeha.

Sedikit syok, tapi sebisa mungkin aku bersikap biasa saja ketika langkah kakiku berhenti tanpa di komando, kemudian sepasang netraku menatap dua orang yang sedang berbincang-bincang di depan gedung hotel.

Aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak, tapi lagi-lagi aku memergoki Jeno dan Yiyang yang mengobrol dengan sangat menyenangkan.

Apakah urusan ketua klub dan sekretaris OSIS memang seperti itu?

Lagipula kenapa malam-malam begini? Dan kenapa diluar gedung begini?

Oh, Jung Jeha kau cemburu ya?

Maaf, tapi aku ingin mengatakan tidak tapi sebagai kekasihnya pasti aku memiliki perasaan tidak menyenangkan itu.

Hhh... Ya Tuhan Xu Yiyang cantik sekali, aku sepertinya harus mundur jika Jeno memiliki perasaan istimewa pada gadis itu.

Baik, kita skip saja mereka. Aku berbelok kearah kanan, menuju minimarket terdekat dengan langkah cepat dan tanpa suara agar mereka tidak menyadari kehadiranku.

Miris sekali.

Dan ngomong-ngomong aku rindu Na Jaemin. Ini sudah hari kedua dan kami sama sekali tidak chatting. Aku sangat sibuk, dan saat malam hari seperti ini aku lupa karena terlalu banyak hal yang kupikirkan.

Lagipula Jaemin juga tidak menghubungiku sama sekali, entah tumben. Karena itu aku adalah pihak yang menunggu untuk di hubungi lebih dulu.

Mengambil dua botol minuman soda dari dalam kulkas, aku bergegas menuju ke kasir. Masih dengan gestur yang lesu.

Jeno dan Yiyang benar-benar mengganggu pikiranku. Pacarku itu terlihat sangat berbeda saat bersama si sekretaris tersebut.

Jen, ayo kita putus.

Jeno, kita putus.

Maaf Jen, kita sampai disini aja.

Sial, aku malah menyiapkan kata-kata keramat itu.

Setelah membayar minumanku dan juga pesanan Lucas, aku berjalan kearah pintu minimarket. Perhatianku tidak pada tempatnya karena aku sedang berusaha membuka tutup botol minumanku.

Tapi lagi-lagi, orang yang kupikirkan sejak tadi berdiri di hadapanku. Membuatku yang baru saja keluar dari pintu, nyaris terpeleset.

"E-eh!" Jeno menggapai kedua lenganku, "Hati-hati"

"Kamu sih ngagetin" desisku, kemudian membenarkan posisi berdiri.

Jeno terdiam. Dia melirik kantong plastik yang berisi minuman Lucas, botol ditanganku, dan wajahku.

"Apa?" tanyaku, sambil melupakan kejadian tadi.

"Kamu lihat ya"

"Apa?"

"Aku"

"Lihat apa?"

"Sama Yiyang, tadi, di deket air mancur"

Aku terdiam. Rupanya dia memergokiku balik.

"Oh..."

"Itu nggak seperti yang kamu pikirin" sahut Jeno cepat.

"Emang apa yang aku pikirin?" tantangku.

"Ituㅡ"

"Nggak kok Jen"

Jeno terdiam, matanya yang meruncing itu menatapku dalam diam. Kemudian, dia tersenyum tipis, lalu merapikan rambutku ke belakang telinga.

"Ayo masuk kalo gitu, udah malem"

"Jen" panggilku cepat ketika dia hendak menarik tanganku.

"Aku mau puㅡ"

Alis Jeno berkerut heran, "hm?"

Sial padahal tadi aku bertekad, kenapa sekarang mendadak lidahku benar-benar kelu?

"Em, pu..."

"Apasih?"

"Aku mau pulang!"

"H-hah?"

Laki-laki terkejut, kemudian membelalakkan matanya sambil mengangkat kedua alisnya yang rapi.

"Pulang? Kemana? Ke Seoul?" Jeno membombardir.

Aku mendengus lemah, kemudian mengangguk pelan.

"Aku homesick"

Demi Tuhan tentu saja aku berdusta. Aku tidak pernah yang namanya homesick karena sudah terbiasa dengan jarangnya kehadiran ayah dan bunda di rumah. Apalagi jika Kak Jaehyun tahu aku homesick, dia pasti akan sangat menertawakanku hingga jatuh dari tangga.

Sejenak, Jeno tertawa. Dia mengacak rambutku gemas.

"Ada aku, kok masih homesick?"

"Beda ya!"

Begitulah selanjutnya, benar-benar tidak ada yang berubah dan tidak ada yang menarik dari perjalanan ke Busan dan menginap selama 3 hari di hotel sana.

Sepertinya aku tidak perlu menceritakan tentang ini pada kalian karena memang benar-benar tidak ada yang menarik untuk di umbar.

Yang jelas aku gagal untuk meminta putus dengan Jeno, itu saja. Selebihnya tenang turnamen basket dan Xu Yiyang, aku benar-benar tidak peduli.

Aku hanya benar-benar gelisah bahwa Jaemin sama sekali tidak menghubungiku bahkan saat aku akan kembali ke Seoul.

-----oOo-----

Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, tapi sejak aku kembali, bahkan masuk sekolah keesokan harinya, Jaemin benar-benar berubah.

Ngomong-ngomong jangan penasaran tentang turnamen kemarin, tim sekolah kami menang telak. Sudah, itu saja. Tidak banyak juga yang sakit atau kecelakaan dan semacamnya.

Kembali pada Na Jaemin, dia benar-benar tidak mau bertatap muka denganku, padahal saat masuk ke dalam kelas tadi aku melambaikan tangan dan tersenyum padanya.

Demi Tuhan dia malah berpaling dan berpura-pura tidak melihatku?

Jaemin mengacuhkanku!

Kemudian, sepanjang pelajaran, aku sama sekali tidak bisa fokus dan tidak berhenti untuk melirik ke sudut kelas.

Dan bahkan saat istirahat pun...

"Ayo ah"

Suara Yuqi mengejutkanku, membuatku yang melamun sambil memandang Jaemin yang sedang membereskan bukunya.

"Kenapa sih?" tanya temanku itu.

Aku menggeleng cepat, "Nggak kok"

Kemudian, Yuqi dan Herin berjalan duluan kearah pintu kelas, sementara aku masih menyempatkan diri melirik Jaemin yang kini menyumpal kedua telinganya dengan earphone.

Hhh...

Ya sudah, biar nanti aku bicara padanya sepulang sekolah.

Namun di tengah perjalanan, akuㅡ kami bertiga berhenti mendadak saat seseorang mencegat langkah kami.

Aku melotot ketika melihat tubuh jangkung itu menjulang tinggi di depanku. Dengan wajah dinginnya, dia memandangku angkuh.

"Ngapain lo?" suara husky Yuqi menginterupsi.

"Gue mau ngomong sama lo"

Tidak, Guanlin tidak menjawab Yuqi. Dia berbicara padaku karena saat itu anak laki-laki ini memandang tepat pada kedua mataku. Aku mengerutkan kening dengan horor.

"A-apaan?" tanyaku takut-takut. Jujur saja aku masih trauma dengan dia. Guanlin pernah menarik kerahku sampai tubuhku melayang kemudian melemparkannya begitu saja.

Orang gila.

"Gak disini" dinginnya.

"Heh apa-apaan sih lo? Udah yuk gausah di dengerin" Yuqi menarik tanganku, menyeretku pergi dari sana sementara Herin terlihat kebingungan.

Tapi tidak semudah itu, karena nyatanya Guanlin kini mencengkeram pergelangan tangan Yuqi hingga membuatnya berhenti.

"Lepasin!" seru Yuqi.

"Lepasin Jeha dulu" suaranya.

"Woi apaan sih kalian!" seruku gemas.

"I just want to talk" Guanlin melirik Yuqi dengan tatapan dinginnya.

Herin menghela napas panjang, kemudian bersuara "Yuqi..." dia menatap Yuqi, kemudian mengangguk.

"Herin lo gila ya?! Jangan tinggal Jeha berdua aja sama bajingan ini!" Yuqi marah.

Guanlin menggertakkan gigi, "Kalo gue bilang cuma ngomong, ga ada yang lain lagi"

Sialan, aku merinding.

"Y-yaudah Yuqi, gapapa gih"

"T-Tapiㅡ!"

"Tunggu aja dari jarak 10 meter disana, awasin" saranku.

Yuqi mendengus, menghela kasar. Kemudian melepaskan tanganku. "Fine"

Lalu dia menyentakkan tangan Guanlin, "gausah sentuh-sentuh gue lo" desisnya, dan dia mulai menjauh bersama Herin.

Yuqi benar-benar mengambil tempat yang tidak jauh dari sana. Dengan mata elangnya, dia mengawasi pergerakan kami berdua.

Aku penasaran apa yang akan dikatakan Guanlin sampai dia harus mengusir teman-temanku. Dia tidak akan membantingku lagi kan?

"Bukan gue"

"H-hah?" alisku menyatu.

"Pembullyan Park Jisung waktu itu bukan gue"

"Maksud loㅡ" aku mendengus, "bukan lo gimana jelas-jelas lo ada disana dan ngehajar Jaemin habis-habisan" emosiku tertahan.

"Gue tau"

"Ya terus?!"

"Gue cuma mau bilang itu bukan gue dan apa yang gue lakuin ke si bisu itu gak sengaja"

"What the fㅡ"

Susah kuduga anak ini gila, bagaimana mungkin setelah menghajar Jaemin habis-habisan hingga sekarat dia mengatakan itu sebuah ketidaksengajaan?

Aku menarik napas panjang, kemudian membuangnya dengan kasar.

"Terus tujuan lo ngomong gini apa?"

"Gue sukㅡ"

"Kayanya lo ga ngerti bahasa manusia ya?"

Aku terkejut, apalagi saat sebuah lengan merangkulku dari samping. Ketika aku menoleh, aku semakin menegang.

Itu Jeno.

Bukan karena kedatangan Jeno, tapi karena laki-laki yang berstatus pacarku itu menatap Guanlin dengan pandangan yang sangat menyeramkan.

Kudengar, Guanlin mendecih "Tipe pacar posesif"

"Tipe perebut pacar orang" balas Jeno.

"Hah?" aku menoleh dengan cepat.

Sebenarnya ada apa diantara mereka berdua? Setahuku Jeno dan Guanlin hanyalah orang asing, ini benar-benar pertama kalinya aku melihat mereka berdua berinteraksi.

Tapi, kenapa begini...

~~~

"Na!"

"Nana!"

"Na Jaemin!"

Ya Tuhan, aku tidak ingin mengatakan ini, tapi apakah anak itu pura-pura tuli atau benar-benar tuli?!

Maaf, bukan maksudku begitu. Tapi aku sangat kesal, aku sudah berteriak-teriak di koridor hingga menarik perhatian murid-murid yang lain, tapi Jaemin malah mempercepat langkahnya dan lenyap setelah melalui pintu utama dari kaca.

Aku bergegas berlari, mengejarnya. Ini aneh, aku yakin sesuatu telah terjadi.

Jaemin terlihat setengah berlari, menuju ke sudut parkir untuk menghampiri sepedanya. Sementara aku masih berusaha untuk berlari sekuat tenaga agar cepat sampai disana sebelum anak itu kabur lagi.

"Na!"

Aku menghadangnya ketika dia naik keatas sepeda, Jaemin melotot terkejut.

"Ngapain lari!" seruku.

Ekspresi Jaemin terlihat tidak seperti biasanya, dia mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil menatapku... tidak suka?

"Kamu kenapa?" tanyaku sambil berusaha menetralkan napas.

Anak itu mendengus pelan, "Kamu minggir saja" katanya.

Aku mendelik, "Apa-apaan?!"

"Aku harus kerja"

"Kamu kenapa begini? Aku salah apa?!" pekikku kesal.

Bayangkan saja, aku tidak pernah bertengkar dengan Jeno, dan jika bertengkar pun Jeno-lah yang selalu mengalah. Jadi aku sama sekali tidak punya pengalaman bertengkar dengan orang keras kepala seperti Jaemin begini.

Jaemin mendengus kesal, kali ini lebih berat. Untuk pertama kalinya pun, aku melihat anak ini marah.

"Aku kecewa sama kamu"

"A-apa?" keningku berkerut semakin dalam, "Kenapaㅡ"

"Aku tahu aku menyedihkan, tapi aku tidak semenyedihkan itu untuk di kasihani"

"Na, maksud kamu apa?!"

Jaemin mendecak.

"Kenapa kamu bayar hutangku sama Renjun?! Kamu pikir aku tidak bisa bayar?!"

Aku membeku, jadi itukah maksudnya? Dia marah karena aku membayar hutangnya?

"Itu..."

"Aku bekerja seharian, mengambil semua pekerjaan, melakukan semua pekerjaan yang bisa kulakukan, itu untuk membayar sekolahku! Kenapa kamu seenaknya begini?! Aku tahu kamu kaya, tapi tolong hargailah kerja kerasku!"

Aku menatap Jaemin tidak percaya, apa-apaan dengan kata-katanya itu?

"Na, akuㅡ"

"Aku mau membayar setengah hutangku pada Renjun, tapi dia malah bilang kamu sudah melunasinya, mau kamu apa? Kamu bahkan tidak bilang sama sekali"

Aku bukannya sama sekali tidak menghargai Jaemin, aku hanya ingin membantunya, benar-benar hanya ingin membantunya. Sungguh...

"Aku cuma mau bantu kamu Na!"

"Maaf tapi aku bisa cari uang sendiri, aku bukan pengemis"

Jaemin mengambil tangan kananku, kemudian meletakkan amplop putih diatasnya yang telah ia ambil dari saku celana. Dia menggenggamkan amplop itu pada tanganku.

"Ini hutangku, aku akan cari uang untuk membayar setengahnya setelah ini"

Setelah itu, Jaemin mengayuh sepedanya, setelah melirikku dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Dia meninggalkanku sendirian di tempat parkir itu.

Aku menatap ke depan dengan pandangan kosong, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Apakah tadi benar-benar Na Jaemin? Kemana Na Jaemin yang polos dan lugu?

Sejenak, aku menatap amplop yang berisi uang Jaemin di tanganku.

Kemudian, aku menangis saat mengingat semua kata-katanya.

~~~

Jaemin baru saja pulang dari bekerja. Anak itu berjalan sambil menuntun sepedanya. Langit gelap, sementara itu ia berjalan sendirian di jalanan yang sepi.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, membuat Jaemin yang baru saja melirik jam tangannya, bergegas menaiki sepedanya dan mulai mengayuh. Dia memiliki cukup banyak PR, dia harus segera sampai di rumah dan belajar.

Namun saat di sebuah persimpangan, tepat di bawah lampu jalan, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia bergenti mengayuh, kemudian menatap segerombol anak laki-laki yangㅡ

"?!"

Jaemin terkejut setengah mati saat mendengar teriakan dan rintihan, juga siluet yang sangat ia kenal.

Dia berlari, membanting sepedanya dan berlari kearah kerumunan tersebut dengan tangan terkepal.

Buagkh!!

Bugkhh!!

Jaemin marah, dia sangat marah hingga kini dia menghajar beberapa anak laki-laki yang entah siapa itu dengan sekuat tenaga.

Jaemin murka, dia sangat murka ketika 4 orang tak di kenal itu menghabisi Jeno. Disana, ia melihat betapa saudaranya tidak berdaya dengan tubuh penuh darah.

"Woi! Siapa lo!"

Dia menulikan pendengarannya, yang ada di otaknya kala itu betapa dia sangat marah dan ingin membalas mereka.

Buagkh!!

Dugkhh!!

Brukk!!

Siapa yang menyangka rupanya Na Jaemin jago berkelahi? Walaupun beberapa kali dia terkena pukulan, tapi dia mampu melawan empat orang sekaligus.

Jaemin tidak segan meninju wajah mereka, menendang perut mereka, bahkan menginjak-injak tubuh mereka di atas aspal.

Saking marahnya ia, otot-otot matanya muncul hingga berubah memerah.

Jeno terbatuk, matanya samar-samar melihat perkelahian itu. Agak tidak percaya bahwa yang datang menyelamatkannya saat itu adalah saudaranya. Na Jaemin. Jeno memegangi dadanya, dia berusaha untuk bergerak.

Jaemin terus memukul dan menghajar orang-orang yang masih tidak mau menyerah itu, bahkan wajahnya sendiri kini juga terluka. Nafas Jaemin tersengal.

"Pergi! Pergi ayo pergi!" salah satu dari mereka berteriak.

"Lee Jeno urusan kita belum selesai!" mereka menuding Jeno yang terkapar, beberapa diantaranya ada yang sekarat dan dibantu oleh temannya yang lain.

Keempat laki-laki asing itu pergi dari sana dengan tergesa, merasa tidak mampu melawan Jaemin. Sementara Na Jaemin sendiri masih berdiri di tempatnya sambi berusaha menormalkan nafas.

Kemudian, ada setetes darah mengalir dari pelipisnya.

"Ugh..."

Tersadar saat mendengar rintihan Jeno, Jaemin panik, dia berlutut di samping saudaranya.

"Kamu bisa berdiri?! Ayo aku bantu!"

Jeno merasa dadanya sesak, dia memegangi tangan Jaemin kuat-kuat saat anak itu membantunya untuk duduk.

Jaemin terlihat berpikir sejenak sambil memandang sepedanya yang roboh, kemudian memalingkan kepalanya kesana kemari.

Sama sekali tidak ada taksi yang lewat, tentu saja, ini jalanan yang sepi.

"Tunggu disini sebentar!"

Setelah menyandarkan tubuh Jeno di pagar tembok, Jaemin bergegas berlari menghampiri sepedanya. Kemudian membawanya sepedanya ke supermarket terdekat. Dia menitipkan sepedanya disana.

Jeno benar-benar tidak memungkinkan untuk di bonceng dengan sepeda, anak itu kesakitan.

Menghampiri Jeno kembali, Jaemin berjongkok di depan Jeno, memunggunginya. Sementara Jeno hanya memandang dengan lemah.

"Naik!" dia menunjuk punggungnya sendiri sambil menoleh kearah Jeno.

Jeno paham maksud Jaemin, hanya saja dia tidak memiliki banyak tenaga untuk menggapai Jaemin, apalagi tubuhnya yang sudah sangat kesakitan begitu di gerakkan sedikit.

Tidak sabar, akhirnya Jaemin meraih tangan Jeno, mengalungkan kedua lengan Jeno ke lehernya. Kemudian dia menempatkan saudaranya itu ke punggungnya dengan susah payah.

Jeno memang berat, tapi Jaemin masih cukup mampu untuk menggendong saudaranya pulang ke rumah.

Setelah dipastikan Jeno merasa nyaman, Jaemin mulai berjalan. Sambil berusaha menormalkan pernafasannya, anak itu berjalan dengan perlahan. Memegangi kedua kaki Jeno erat-erat, sesekali tangan Jeno yang terkadang mulai melonggar.

"Jangan sakit... Jangan sakit, saudaraku"

Kata-kata itu yang terus di gumamkan Jaemin dalam hatinya, kemudian kedua korneanya menggenang air mata.

.
.
.


Jaemin sudah memencet bel rumahnya selama tiga kali, padahal dia sudah bersusah payah menekan bel rumahnya, tapi masih belum ada yang membukakan pintu. Dia berharap ayah dan ibunya belum tertidur.

Saat dia berusaha untuk menekan bel keempat, pintu terbuka tiba-tiba. Menampakkan sosok ayahnya yang tampan, masih menggunakan pakaian kerjanya. Dia kepala keluarga Lee, Lee Donghae.

Jaemin membuka mulutnya, ingin menjelaskan tapi kedua tangannya menggendong Jeno. Dia bisa melihat ayahnya melotot ketika mendapati Jeno yang berada di punggungnya dengan wajah babak belur.

"Jeno?!" serunya, "Kenapa begini?!"

Jaemin sendiri bingung bagaimana cara dia menjelaskan.

"Masuk Jaemin!"

Kemudian anak itu masuk ke dalam rumah tanpa menunggu lama, di dalam sana dia melihat ibunya yang baru saja muncul dari ruang tengah.

"Jeno?! Astaga! Sayang kamu kenapa?!"

Jaemin yang baru saja menurunkan Jeno ke sofa, di dorong oleh ibunya hingga ia limbung, anak itu mundur menjauh.

"Jeno... Jeno anakku kamu kenapa?!" Sang ibu mulai histeris. Wanita cantik itu ketakutan melihat kondisi Jeno saat ini.

"Dia kenapa?! Kamu yang ngelakuin ini ke Jeno?!"

Yang di tuduh terkejut ketika ayahnya menudingnya dengan tajam. Jaemin panik, dia menggeleng dengan cepat.

"Kamu yang ngelukain Jeno?!" ibunya menoleh, menatap dengan tidak menyangka.

"Kalian habis berkelahi kan?!" teriak ayahnya marah, "Hah?!!" kini suaranya semakin menggelegar.

Jaemin terus menggeleng, mengibaskan tangannya. Mengatakan bahwa itu tidak benar. Dia takut, apalagi saat melihat kemarahan yang besar di wajah ayahnya.

"Dasar anak bener-bener nggak tau di untung!"

Plakk!!

Satu tamparan keras mendarat di wajah Jaemin hingga anak itu limbung, bekas tamparan itu berubah merah, terasa sangat perih.

"Kenapa kamu lakuin ini?! Salah apa Jeno sama kamu?! Kamu dendam sama dia?!" teriakan ibunya menginterupsi, membuat Jaemin semakin frustasi. "Ayah hukum dia!"

Jaemin melotot, dia terkejut saat mendengar perintah ibunya. Apalagi saat ayahnya mendekat sambil melepaskan sabuknya.

"Ikut!!" seru ayahnya, menarik kerah belakang Jaemin, kemudian menyeretnya.

Jaemin merasa semua ini percuma, disaat seperti ini, dia selalu ingin mengutuk dirinya sendiri yang terlahir bisu.

Ayahnya membawanya ke kamar mandi, menutup pintu. "Mana tanganmu"

Anak itu gemetaran.

"Kemarikan kedua tanganmu!!" seru ayahnya.

Jaemin pasrah, dia mengulurkan kedua tangannya.

Ctarr!!!

Ctarrr!!!

Tanpa perasaan, tanpa belas kasihan, Sang ayah mencambuk kedua tangan Jaemin dengan sabuknya. Mencambuknya berulang kali, mencambuknya dengan sekuat tenaga.

"Ini kan? Ini kan yang kamu mau? Kamu ingin di hajar seperti ini?"

Ctarr!!

Jaemin menangis sambil menundukkan kepalanya, kedua tangannya yang terluka gemetar hebat. Dia merintih, merintih tanpa suara.

"Berani kamu menyakiti Jeno? Kamu pikir kamu siapa hah?!"

Ctarr!!

Ctarr!!

Setelah mencambuki tangan Jaemin, ayahnya kini mencambuki tubuh putranya. Dia tidak menggunakan bagian ekor sabuk, tapi mencambuk dengan bagian gasper sabuknya.

Ctarr!!

Ctarr!!!

Jaemin terisak tanpa suara, rasa sakit itu benar-benar tersalurkan sampai ke hatinya. Gesper dari besi itu membuat tubuh Jaemin bengkak dimana-mana, sebagian kulitnya terkelupas, dan sebagian berdarah.

"Kumohon berhenti!!"

"Ayah sakit...!"

"Itu bukan aku, bukan aku!"

Sayangnya, Jaemin hanya bisa berteriak di dalam hati.

Setelah memukuli Jaemin dengan sabuk, ayahnya menyalakan shower, membuat Jaemin yang berada tepat di bawahnya menjadi basah kuyup, kemudian dia menjambak rambut putranya.

Duakgh!

Kepala Jaemin seketika pening ketika ayahnya memukulkan kepalanya ke dinding kamar mandi.

Jaemin merintih, air matanya bercampur dengan air shower. Dan ayahnya yang sama sekali tak mempedulikan tangisan Jaemin, terus melakukannya berulang-ulang.

Kepalanya di benturkan ke dinding, kaki Jaemin yang penuh luka cambukan di injak dengan sepatu. Tubuhnya bengkak dimana pun, membiru, berdarah.

"Kemari!"

Jaemin diseret, dia dengan kasarnya di ceburkan kedalam bathub yang penuh dengan air. Anak itu meronta, ayahnya menahan kepalanya di dalam air, membuatnya sulit bernapas.

Darah dari kepala Jaemin bercampur dengan air bathub, membuat air itu berwarna kemerahan. Sesekali ayahnya akan mengangkat kepalanya, kemudian di tenggelamkan lagi ke dalam air.

Begitu seterusnya, hingga Jaemin merasa paru-parunya penuh oleh air.

"Ini yang kamu dapatkan jika kamu berani sakitin Jeno. Ingat itu Jaemin, dan ingat siapa diri kamu!"

Brakk!!

Pintu kamar mandi di banting dengan keras, kemudian Jaemin bisa mendengar suara pintu yang di kunci dari luar.

Jaemin di kurung di dalam kamar mandi.

Menormalkan nafasnya, anak itu gemetaran, tubuhnya menggigil, dia kedinginan setengah mati.

Jaemin berusaha untuk keluar dari bathub, dengan sisa-sisa tenaganya, dan dengan menahan segala rasa sakit di tubuhnya, dia keluar dari bathub, kemudian terjatuh dan terbaring di lantai.

"Uhukk!" dia memuntahkan air yang bersarang di paru-parunya. Dadanya terasa sesak.

Dilihatnya kondisi tubuhnya sendiri, kemudian dia tersenyum miris. Kondisi kaki dan kedua tangannya benar-benar mengerikan. Kini bekas cambukan itu sebagian menghitam, membengkak, melukai kulitnya. Bekas gesper sabuk itu membuat tubuhnya berdarah dan kulitnya mengelupas hingga daging tubuhnya terlihat.

Perih setengah mati.

Bahkan kepala belakangnya yang berdarah, bocor setelah di bentur-benturkan ke dinding.

Jaemin tidak mampu lagi untuk bergerak, semuanya sangat menyakitkan bahkan untuk bergerak beberapa inci saja. Dia hanya berbaring di lantai lembab itu sambil mendiamkan luka-lukanya.

Kemudian, anak itu menangis lagi. Jaemin paling benci menangis, tapi sekarang dia sudah tidak sanggup lagi.

"Bukan aku ayah... bukan aku yang menyakiti Jeno, aku hanya ingin melindungi Jeno..."

Tubuhnya gemetar, bahunya naik turun karena tangisannya yang hebat.

"Sakit... bunda bawa aku, kumohon... ayah tidak menginginkanku... Bawa saja aku pergi..."




To be continued...

What do you feel?

Continue Reading

You'll Also Like

110K 19.5K 38
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
38K 3.6K 7
Apa yang ditakdirkan untukmu, sejauh apapun akan selalu menemukan jalan untuk kembali kepadamu. - Dava Bahari
739 146 24
Ada tiga orang gadis yang hidup bersama dari kecil, mereka bernama Shaynala, Asa, dan Vyora. Hidup mereka berjalan dengan tentram dan damai, sampai s...
519 55 5
"'𝑳𝒐 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒖𝒊𝒕, 𝒍𝒐 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂.' 𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒂𝒅𝒂𝒏𝒚𝒂." ••• Reenjani benar-benar mengutuk kehidupannya yang miskin. Ia ben...