Where Is My Calon Imam?

By rasamaa

20.1K 882 51

Cinta adalah Fitrah. Menikah adalah Sunnah. Jatuh cinta dan memendamnya adalah caraku menghormati rasa. Menj... More

prolog
1|Nama
2|Hari Pertama
3|Kembaran
4|Rumah Belajar
5|Jaga Sendiri Aja (1)
Jodoh
5|Jaga Sendiri Aja (2)
7|Jangan Lagi
8|Diam Dan Mengikhlaskan
9|Pergi
10|Rindu dan Doa
11| Move on
12|Baper
13|Rencana Allah
14|Kabar Gembira
15|Menjemput
16|Baper Jangan
17|Gagal Move On?
Bertemu Misha
18|Pengakuan
19. Menunggu?
20| Sakit
21|Gugup
22|Menunggu

6|Bukan Benci

961 41 5
By rasamaa

Jangan lupa baca Al-Qur'an!

💕🏡💕

"Bolehkah aku berharap pada ciptaan Mu? Semakin aku berharap, semakin aku takut kehilangan. Padahal Dia bukan apa dan siapa - siapa. Aku juga takut jika kau cemburu karena berharap selain pada Mu."

-Misha

💕🏡💕

"Kenapa bulan Juli masih aja sering hujan yah?" gerutu Intan membersihkan sisa Air hujan yang menempel di lengan dan jilbabnya, seolah debu yang bisa diusir terbang.

Berhenti di depan rumah gubuk kecil di pinggir jalan yang nampak kosong, berteduh. Sepeda kami biarkan terkena hujan di halamannya. Setengah perjalanan pulang hujan kembali mengguyur deras. Saling menjaga jarak aku berdiri di samping Intan. Hasan dan Husen pun berdiri semeter dari kami di ujung gubuk.

Aneh rasanya ketika mendengar orang-orang menggerutu hanya karena hujan turun. Aku menghela nafas. Dan berucap, "alhamdulillah Tan, harus bersyukur. Saat hujan, pikirkan yang baik-baik, dan jangan lupa berdoa—"

"Sebab, ada banyak malaikat yang akan membantu mengaminkan doa." Aku melirik Husen yang melanjutkan ucapanku. Buru-buru kualihkan pandangan saat wajah Husen bergerak ke arahku.


Apa dia dan Hasan begitu sehati? Sampai setiap ucap sama. Sudah lama aku tak mendengar kata-kata itu dari Hasan, dan sekarang malah Husen.

"Iya, Abi pernah bilang begitu. Tapi aku enggak suka main Hujan." Aku melirik Hasan. Mereka begitu dekat dengan Abinya, selalu mengingat ucapan itu. Apa mereka juga bisa bertukar tempat? Seperti di cerita novel, kembar identik yang bisa saling tukar tempat. Hasan jadi Husen atau Husen jadi Hasan. Bagaimana bisa? Aku terlalu banyak baca novel trailer. Lagian untuk apa mereka melakukan itu.

"Padahal hujan itu bagus loh. Sengaja terkena hujan yang jatuh langsung dari langit itu, sunnah Rasulullah ... Hujan itu rahmat dari Allah, dan enggak boleh dicela. Bahkan dijelaskan dalam Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 10. Yang artinya, "Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu .... " Aku dan Intan terdiam mendengar ucapan panjang Husen. Aku baru tau Husen bawel.

"Coba—" Husen berhenti, diam. Menatap kami bergantian. Dan telapak tangan kanan mengusap naik turun beberapa kali di belakang kepala sambil tersenyum kaku.

"Waahh, aku baru denger Husen ngomong sepanjang ini." Aku berdecak, menghela nafas lagi, mendengar ucapan Intan. Padahal Dia baru di sindir untuk tidak mengeluh saat hujan.

"Sampe berhenti hujannya denger kamu ceramah." Hasan menepuk pundak Husen. "Hayok pulang," ajaknya lebih dulu mengeluarkan sepeda dari halaman.


💕🏡💕


Hampir sepuluh menit perjalanan mengayuh sepeda. Aku terus mengayuh sepeda melewati rumah nenek. Ada tempat yang ingin kukunjungi saat ini juga.

"Mau kemana Sha?" teriak Hasan, berhenti di depan rumahnya. Melihatku yang melewatinya.

"Tempat Ibuk bentar." Aku terus mengayuh beriringan dengan Intan yang menatap seolah bertanya mau-ngapain? "Duluan ya,"  ucapku belok kanan memasuki gerbang area pemakaman.

Aku duduk di samping undukan tanah yang sudah di keramik rapih. Naisha Adindra Binti Hamdi ukiran nama di batu nisan. Ada perasaan sedih melihat kuburan Ibu dan Kakek yang berdampingan itu di keramik, aku takut beban undukan keramik membuat merek berat menahannya. Aku lebih suka melihat undukan-undukan yang di rapihkan dengan rumput hijau di atasnya.

Aku masih ingat saat ibu meninggal. Saat itu aku sangat terpukul sekali bahkan aku sering melarikan diri dari rumah pergi ke makam ibu, dan menangis memintanya kembali.

Kata nenek aku harus selalu mendoakan ibu dan tak boleh bersedih supaya ibu tidak ikut sedih melihat kumenangis. Bagaimana aku bisa, saat itu kepergiaan Ibu begitu tiba-tiba.

Disini. Aku kembali teringat, beberapa hari setelah ibu meninggal. Tanah yang masih basah, harum!! Banyak taburan bunga yang masih segar di sana di atas gundukan tanah, ada Ibu di dalamnya.

Isak tangis ku pecah begitu saja dihadapan makam Ibu, aku tak mampu menahan . Kupeluk gundukkan tanah berbunga itu, seolah aku merasakan memeluk tubuh ibu.

"Ibu Fath kangen, Ibu kenapa cepet banget pulangnya ... Kata nenek Allah lebih sayang Ibu, tapi Fath juga sayang banget sama Ibu." Aku menyeka airmata, membiarkan isak tangis menguasai.

"Ibu kata nenek, Fath gak boleh nangis, tapi air mata Fath ngalir sendiri bu, tapi Fath gak nangis kok bu," ucapku kembali mengusap air mata di bawah kelopak mata dan mendongakan kepalaku agar air mataku tak kembali jatuh.

"Fath cuman sedih aja Ibu pulang sendiri Fath gak diajak sama Ibu. Fath gak mau lihat Ibu nangis atau sedih kalau Fath sedih tapi Fath gak bisa gak sedih." Menahan isak, kusedot cair yang mengalir di hidungku. Dan lanjut bercerita, "Ibu gak di sini lagi."

Banyak hal yang aku sampaikan pada Ibu, sampai aku tertidur dengan Sandaran gundukan tanah makam ibu.

Hingga terasa setetes air jatuh tepat di pipi ku. Aku terbangun membuka mata dan belum sempat aku mengumpulkan kesadaran dengan singkat tetes tetes air air itu pun datang bersama-sama. bertubi-tubi menghujam bumi.

Ternyata langit sudah berubah gelap, tak ada lagi awan putih hanya ada awan hitam dan sedikit cahaya menyelip.

Aku masih terdiam menikmati dingin air yang turun, menikmati kesendirian ku.

"Ibu disini. Tapi Fath sendiri ...." Tangisku pecah kembali mengingat saat-saat bersama Ibu.

Seorang anak laki-laki datang menghampiriku dengan seluruh pakaian basah masih di bawah deras hujan sore.

Dia tersenyum seolah tak mengetahui aku menangis.

"Kenapa main hujan di makam?" ucapnya sambil tersenyum.

Aku masih terdiam, ada rasa cemas. Aku tak terbiasa dekat dengan orang yang tidak ku kenal, rasanya aku ingin berlari dari sini.

"Hey, aku bercanda ... Aku tahu kamu lagi sedih ... itu makam ibu kamu?"
Dia banyak menghela nafas dijedanya bercerita, yang mungkin menyadari aku tak suka melihat dia.

"Saat hujan, pikirkan saja yang baik-baik, dan jangan lupa berdoa ... Sebab, ada banyak malaikat yang akan membantu mengaminkan doa ... begitu kata ayahku." Dia tersenyum manis di bawah hujan menghiburku yang menatapnya dengan tatapan terusik karena kehadirannya yang tiba-tiba sok akrab.

"Aku abis dari makam Abi aku. Tuh disana." Dia menunjuk arah makam yang dia maksud. Bercerita tanpa kuminta. "Udah lama sih meninggalnya. Aku cuman mampir aja tadi kirim doa buat Abi aku, trus tiba-tiba hujan turun."

Aku masih terdiam dan mulai memerhatikan anak laki-laki itu. Tanpa kata.

"Kamu cucu nenek syah kan?" Aku memicingkan mata, mengusap wajah yang terus diguyur hujan.

"Kok kamu tau?" tanyaku penasaran dan mulai merespon anak laki-laki itu.

"Hehe, kita kan tetanggaan." Dia menyeringai, tertawa kecil. Dan mengajakku pulang, "pulang yuks udah mau gelap, kamu enggak takut disini?" ucapnya seperti orang dewasa, sambil tersenyum, menenangkan.

Aku hanya mengangguk kecil setelah memerhatikan keadaan yang ternyata mulai menyeramkan.

Aku lihat makam Ibu lalu mulai berjalan kecil sambil menunduk dan meninggalkan anak laki-laki itu.

Sepanjang perjalanan pulang dibawah hujan aku masih bisa mendengar langkah kaki anak laki-laki itu tepat di belakangku berjarak beberapa langkah saja, bahkan dia masih terus mengajakku berbicara dan aku masih tak merespon.

"Eh, itu rumah nenek kan?"
Dia mempercepat langkah agak berlari menyamakan langkahku, dan menunjukkan rumah nenek.

"Iya," responku singkat.

"Ini rumah aku," katanya sambil menunjukkan rumahnya di sebelah kiriku. Padahal aku tak bertanya.

Aku hanya diam terus berjalan dan memerhatikan rumah yang dia maksud.

"Kenapa kamu masih ikutin aku? Itu kan rumah kamu udah lewat." Aku berhenti. Merasa aneh dengan anak laki-laki itu yang masih mengikutiku.

"Cepetan hujan. Aku anterin kamu dulu."

Belaian angin menerpa wajah, mengibarkan jilbabku. Kembali menyadarkan tujuan awalku. Bercerita pada Ibu sebelum bercerita dengan nenek nanti di rumah, tentang ketakutanku, jika seseorang kembali mengungkit kejadianku dan kak Aqil digudang sekolah. Siapa yang peduli itu hanya salah paham.

"Ibu tau, kan. Fath udah cerita semuanya sama Ibu. Kak Syaqil enggak salah. Fath enggak benci sama kak Aqil. Tapi Fath enggak suka dia masih berlebihan, bukannya jauhin Fath—"

"Fath!" panggilan lembut bersama angin. Ada perasaan mengganjal, saat tak kutemukan pemilik suara.

💕🏡💕

Jazakumullahu Khairan..

Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak boleh Vote atau  comment ya. 🤗🤗💕


#161218
#1212wib

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
319K 19K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
562K 43.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
3.4M 179K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...